Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Angin laut yang membawa bau asin garam sudah tercium, itu berarti jarak mereka dengan Kota Junier hanyalah berkisar setengah hari saja. Medraut yang memimpin kawanan semakin cepat memacu kudanya, tergesa-gesa dan terlalu berambisi untuk menyelesaikan misi secepat mungkin. Abi dan Marlin di tengah, dikawal dengan Felice yang mampu melakukan pertarungan jarak dekat sekaligus sihir tingkat lima dan enam, sementara Panther dan Gawain berjaga di belakang dengan pedang yang setiap saat teracung. Biasanya, menjelang malam kawasan Hutan Grende akan dikerubungi oleh kawanan serigala atau bahkan Tyran. Dari pengalaman Panther dan Felicia melintasi Grende tiga tahun lalu, mereka sering kali bertemu dengan berbagai macam Tyran, mulai dari Black Dog atau hanya Fake Fairy yang sesat menjermuskan petualang.

   Tidak ada tempat pemberhentian yang aman di Grende. Hanya berbekal sepenggal kalimat itu dan membisikannya ke kuda cukup membuat rasa lelah kuda itu sirna digantikan takutnya kematian, seolah-olah mereka paham dengan rasa teror yang mencekam cukup dengan nada bicara tuan mereka. Berbekal obor di tangan kiri dan sebilah pedang di tangan kanan, Medraut maju tanpa memegang tali kuda, namun kemampuan keseimbangannya yang menakjubkan mampu membuatnya seimbang meski kuda yang ia kendalikan berontak. Panther dan Felice tentunya tak membutuhkan sinar, mata kucing pemberkatan dari darah Tigra sudah cukup untuk keduanya melihat gelapnya malam. Begitu juga dengan Abi yang memang terbiasa malam dan Marlin yang berdarah iblis memiliki kemampuan khusus untuk menerawang dalam gelap. Hanya Gawain sajalah yang tampaknya kesusahan melihat dalam gelap.

   Begitu terdengar suara lolongan panjang yang mencekam, enam kuda tiba-tiba berhenti mendadak. Bukan karena takut untuk melanjutkan perjalanan, namun lebih tepatnya karena tuan mereka yang menyuruh. Semua orang bersitatap dan melihat keadaan sekitar. Abi yang tanggap langsung naik memanjat ke pohon terdekat dan segera menarik panah. Panther turun, pertarungan di atas kuda bukanlah gayanya, sementara sisanya tetap berjaga di kuda masing-masing.

   “Sial sekali kita, Mantikora di malam pertama kedatangan kita?” desing ngilu pedang berat Panther yang bergesekkan dengan sarung besi yang tersampir di punggungnya membuat bulu roma semua orang berdiri tegak. Ia mengambil napas, lalu meniupnya dengan perlahan namun kuat hingga membuat uapnya tampak mengepul, mengingatkan Gawain dengan Hartein ketika menghirup cerutu. “Felice, jaga Si Penyihir Tua dan bocah ksatria kecil ini.”

   “Oh hei, tubuhku memang kecil dibandingkan kalian, oh ayolah...” Gawain mengeluarkan pedangnya. Itu kali pertamanya ia mencoba pedang dua tangannya. Lebih berat dibanding dengan pedang buatan Hefias, tapi justru disitulah kelebihannya. Dengan pedang yang lebih berat, Gawain dapat mengumpulkan lebih banyak momentum daripada pedang hitamnya. Yang jadi permasalahan adalah kecepatan ayunan. Jika dibandingkan dengan Panther dan Medraut, ia masih kalah jauh, apalagi ukuran pedang Panther tiga kali lipat dari pedang Gawain. “Figurku memang kecil, tapi ketahuilah aku gesit di garis depan.”

   Suara lolongan terdengar makin dekat, membuat semua orang menelan ludah masing-masing. Abi yang sedari tadi mengawasi dari atas segera menyiapkan panah ketika melihat sebuah pergerakan cepat di sisi timur. Dengan ketelitian tinggi, ia bisa memperkirakan jarak antara kelompok dengan mantikora serta jumlahnya. “Tiga, satu pemimpin jantan, dua betina. Tiga ratus kaki dan terus mendekat. Jantan setinggi empat atau bahkan lima depa!” pekiknya dengan suara tajam.

   Semua orang di sana tahu bahwa pertarungan sudah tak terelakkan. Alhasil, semua dari mereka menyiapkan senjata masing-masing. Ketiga ksatria sudah menghunuskan pedangnya masing-masing, dua penyihir sudah mundur dan berjaga dengan tongkat sihir teracung, sementara seorang pemanah menunggu waktu yang tepat untuk melepaskan anak panahnya.

   Suara derap kini beradu dengan ranting dan dedaunan yang menjerit karena terinjak dan bergesekan. Mata sang pemanah yang sedari tadi cerdik mengawasi kini telah memberi penilaian dan keputusan untuk menembak. Syut! Dengan kecepatan yang bahkan tak satupun mata bisa mengikuti, panah itu melesat menembus udara, menggetarkannya, lalu mengirim suara selaiknya siulan tajam yang menukik gendang telinga. Sepersekian detik selanjutnya, panah itu tepat bersarang di tengkorak harimau salah satu dari mantikora dan langsung mengirimnya ke dunia kematian.

   Satu tumbang, dan dua yang lain mulai kalap. Abi segera mengambil satu panah lagi dan membidik cepat. Kini jarak antara kelompok dan dua mantikora hanyalah lima puluh kaki, jarak yang cukup mencekam mengingat panjang tubuh satu ekor saja bisa mencapai tujuh depa. Apalagi dengan kepala ular dan kambing yang keduanya bisa meludahkan racun cukup merepotkan.

   Sayang Abi hampir kalah cepat. Tahu-tahu sebuah terkaman sudah menyongsong tubuhnya. Tidak ada yang bisa melihat lompatan cepat mantikora jantan, bahkan dengan mata setajam Abi ataupun Felice. Walau tidak ada yang melihat, tapi dua orang sudah bergerak cepat hanya berdasar naluri belaka. Itu Panther dan Gawain. Panther dengan pedang beratnya menghalau terkaman sementara Gawain langsung melompat menyambar Abi dan mendarat di bebatuan dengan kedua kaki menahan berat tubuh Abi dan dirinya sendiri. Momentum itu cepat, hingga membuat seluruh tulang dari pinggang hingga ke jari-jari kakinya sendiri retak ketika menahan.

   Tentu saja itu rasa sakit yang murah untuk ditanggung. “Cepat sembuhkan,” batinnya. Florence hanya mengangguk, lalu dengan teknik rumit alkemi, ia langsung mengubah kandungan asing yang telah Gawain masukkan sebelumnya menjadi tulang dan otot untuk merokuntruksi jaringan yang rusak dan sobek. Wajarnya, Gawain bisa membuat rekontruksi dengan menggunakan darah, karena kita tahu bahwa bahan karbon adalah bahan utama jaringan hidup, tapi darah peri di nadinya mencegahnya berbuat serupa. Alhasil, ia memerlukan nutrisi lain untuk tubuhnya. Misalnya, belakangan ini ia sering mengambili batu kapur dimanapun ia menemuinya, lantas menggerus dan mencampurnya dengan masakan.

   Tidak hanya kapur. Logam seperti emas dan besi, bahkan juga kristal obsidian juga ia makan dengan alasan serupa. Jadi, jika Gawain memiliki kadar kandungan besi yang cukup banyak, ia bahkan mampu membuat pedang besi lain hanya dari darahnya saja. Uniknya lagi, karena terdapat kandungan darah peri, pedang itu otomatis sebuah pedang yang dapat menebas segala sihir!

   Tentu saja pedang itu tidak sempurna. Bila Gawain kehilangan konsentrasi bahkan satu detik saja, maka pedang itu akan kembali ke asalnya, darah amis, lantas bersinar dan lenyap bersama kandungan logam yang dibawa. Selain itu, ia harus mengeluarkan logam itu suatu saat secara berkala, akan rumit ceritanya bila semua logam berat itu mengendap di tubuhnya.

   Gawain tak bisa sembarangan menggunakan teknik semacam itu. Selain mengurangi sepersekian ingatannya, ia juga mengurangi banyak darah dan tenaga. Itu jurus pamungkasnya yang terakhir dan terdesak, tidak lebih.

   Sekarang, kembali ke pertarungan.

   Abi langsung melompat turun dari tangan Gawain yang kini sudah maju kembali. Sayang ia langsung dihadang oleh mantikora yang lain. Dilihat dari surai cantiknya, ia si betina, namun tak kalah gagah dan buas dibanding si jantan. Gawain menyeringai, ia maju tanpa keraguan sedikitpun. Hanya degan berbekal perisai berdiameter satu hasta tangannya sendiri, ia menepis terkaman maut dari cakar harimau, lantas berkelit menghindari sengatan kepala ular yang tiba-tiba datang dari sisi kananya, tapi ia tak bisa menghindar ketika kepala kambing menyerunduk tubuhnya.

   Buk! Itu bukan suara kepala kambing yang menumbuk tubuhnya, tetapi suara sebuah peluru batu berukuran segenggam tangan orang dewasa yang menumbuk tepat di tanduk kambing. Rupanya Felice ikut bergabung dengan pertarungan. Mantikora itu mengerang kesakitan dan melompat mundur beberapa langkah, begitu juga Gawain yang kini kembali bersiaga dengan periasi di depannya. “Kau tak apa, kawan?” tanya Felice gugup.

   “Terlambat satu detik saja dan mungkin aku mati... terima kasih.”

   “Tentu saja.”

   Gawain berusaha menilai-nilai kekuatan mantikora, juga sebaliknya. Abi sudah siap menembakkan panah, tetapi menunggu perintah Gawain, karena provokasi di waktu yang tepat dapat memberikan celah pada musuh.

   “Kau punya ide, Florence?” batin Gawain.

   “Master lihat pedang Medraut?

   “Tentu saja.

   “Pedang itu pedang spesial. Kekuatannya bahkan cukup untuk menghabisi dua makhluk raksasa sekaligus.

   Gawain mempertimbangkan opsi. Jika apa yang dikatakan Florence benar, maka hal semacam itu patut dicoba. Tetapi kartu andalan semacam itu pasti disimpan dengan sebaik mungkin dan tak bisa digunakan sesuka hati. “Apa kau tak punya opsi lain?

   “Dengan mempertimbangkan bahwa Anda tak mau menggunakan sihir, maka Marlinlah yang memiliki kemampuan yang memadai.

   Gawain berpikir lagi, kali ini dengan maju berhati-hati dan mawas melingkar. Apa yang terjadi bila Marlin menggunakan sihir terlalu banyak? Bukankah dia yang tertua di sini? “Bisakah ide-idemu tidak mengundang pertimbangan lain?

   “Percayalah, Master.

   “Baiklah,” gumam Gawain sembari mengangguk. Dengan melejit maju sembari mengayunkan pedang dengan ganas, ia berhasil memberi tebasan tepat ke mata si kepala singa. Memang luka itu akan sembuh dalam beberapa detik, tapi cukup untuk membeli waktu beberapa saat. Gawain melompat kesamping, menghindari taring ular yang entah sejak kapan sudah menghampiri. Abi yang sedari tadi fokus langsung menembakkan panah, menggores luka di lidah ular dan menancapkan satu panah lagi dengan cepat. Felice yang ternyata sedari tadi merapal mantra panjang mulai beraksi, kini ia mengirim getaran di tanah, lalu membuat pijakan mantikora itu melunak dan mengubahnya menjadi lumpur hisap.

   Hampir kaki Gawain ikut tenggelam bila ia terlambat mundur. Sekarang, Tyran malang itu hanya bisa mengaum, meronta untuk lolos dengan sekuat tenaga. Itu kesempatan yang tepat bagi seseorang untuk menghabisinya dalam satu kali serang.

   Di sisi lain, Panther dan Merdraut berhasil menebas salah satu kaki dan memenggal kepala kambing secara bebarengan. Tidak butuh waktu lama bagi dua ksatria berpengalaman seperti mereka. Begitu pekerjaan bagi kedua ksatria itu selesai, Marlin segera melepaskan mantra api dari tongkat kayunya. “Arkheteim Srashias!” Sepersekian detik berikutnya, sebuah cahaya terang langsung menusuk semua mata yang menyaksikan. Tapi itu bukan mantra bola cahaya yang biasanya Gawain gunakan, melainkan sebuah mantra api orisinal milik Marlin sendiri.

   Merasa bahaya, Gawain segera melindungi dirinya dengan perisai. Ia menunduk, membiarkan kakinya terselip di antara akar-akar pohon yang bermunculan di atas tanah dan lantas bertaruh pada peruntungan semata. Abi mau saja menarik Gawain dari sana, tapi Felice mencegahnya dengan merapal mantra penghalang agar pengaruh mantra tak sampai, begitu juga dengan Panther dan Merdraut yang memilih bersembunyi di balik pohon raksasa di dekat mereka.

   Abi berteriak, tetapi suaranya kalah dengan ledakan yang menyusul sepersekian detik selanjutnya. Blazt! Semua orang menutup matanya karena pedih melihat cahaya terang yang terasa menusuk saraf. Begitu lenyap, tidak ada yang tersisa, bahkan abu sekalipun. Yang benar-benar masih ada di sana adalah bau kayu hangus juga beberapa potongan api berwarna ungu yang masih menjilati udara di beberapa titik. Hangus atau “lenyap”, dan Gawain bukan di antara keduanya.

   Ia masih merunduk tepat di tempat yang sama, di depan mantikora betina yang kini sudah lenyap entah kemana. Meski di sekitarnya hangus, ia tidak sedikitpun tergores. Perisainya masih utuh setelah menahan ledakan semacam itu, bahkan tidak sehelai benang pun bajunya terurai atau sobek. Ia berdiri, membersihkan debu yang ada di sekitar pundaknya, lalu lantas kembali seolah tidak terjadi apa-apa.

   Abi bungkam. Dalam hati kecilnya, ia lega melihat Gawain selamat bahkan tanpa tergores sekecil apapun. Ia berlarian, melempar busur yang memberatkan langkahnya, lantas melompat memeluk Gawain. Tangis tanpa suara teredam ketika wajahnya tertanam di dada Gawain, menerima rasa hangat yang sama ketika kepulangan Gawain dari tanah Tír na nÓg. Dibalik helm besinya, Gawain hanya bisa tersenyum dan membalas rengkuhan itu. Felice ikut bergabung, tak main-main ia mengucap syukur pada Dewi Fortunie yang memberi keberuntungan semacam itu.

   Begitu juga dengan Panther yang langsung muncul ketika letupan cahaya sudah sirna. Ia khawatir dengan kawan yang lain, terutama si kecil—begitulah ia meledek Gawain—karena dengan ceroboh maju meski mengetahui ia tidak sekuat Panther atau Medraut. Tapi ia salah besar, dengan mata melotot tanda tak percaya, pemuda itu selamat. Mungkin hanya Medraut dan Marlin yang tampak biasa saja, seolah tahu bahwa hal serupa sudah berada di pikiran mereka sedari awal. Ketiganya kembali bergabung. Panther yang merasa bangga atau bersemangat, langsung memanggul Gawain dan melemparnya ke atas. “Bersorak untuk si kecil!” teriaknya dengan lantang.

   Tiga kali Gawain dilempar, dan tiga kali ia ditangkap oleh Panther. Setelahnya, ia turun dan mengaku mual dengan cara Panther merayakan kemenangan. “Malam makin larut, dan simpan saja sorak soraimu di tempat minum setelah ini.” Gawain acuh dan bersegera kembali ke kudannya. Masing-masing orang berpendapat sama, lantas tak banyak tanya mereka kembali memacu derap kuda mereka menuju Junier.

   Lima belas menit memacu kuda, terlihat secercah obor yang tampak naik-turun di ujung bukit. Tidak hanya bergerak naik turun, pancarannya juga terlihat mendekat. Rupanya sekelompok petualang dan penjaga kota elit diitus untuk menengok apa yang sedang terjadi di Grende. Kedua kelompok itu bertemu di pinggiran hutan. Dengan pias wajah takut, semua petualang dan penjaga itu memilih berbicara dengan menggenggam gagang pedang.

   “Demi Dewa dan Dewi! Siapa kalian!?” tutur salah seorang dari mereka dengan lantang. Obor-obor ditinggikan agar para petualang mampu mengintip wajah pendatang baru yang tersembunyi di balik tabir kegelapan malam, juga berusaha mengusir bayangan yang terlempar dari rimbunya Grende. Dengan mengacungkan pedang, ia menambahi, “apa kalian salah seorang dari mereka?!”

   Gawain mengernyitkan dahi. Apa yang terjadi selama kepergiannya? Apa ada musibah lain yang terjadi?

   “Harap tenang, kalian semua,” balas Panther dengan setengah membentak, “kami bukanlah musuh.”

   “Mereka juga membujuki kami dengan kalimat yang sama!”

   “Benarkah?” kali ini Gawain angkat bicara. Ia juga penasaran tentang siapa yang dimaksud ‘mereka’ oleh para petualang. Ia turun dari kudanya, maju dua langkah diikuti dengan Panther yang merasa khawatir. Tapi Gawain mengangkat tangannya, menyuruh Panther untuk tetap diam dan tak mencapuri urusannya. “Lalu apa yang harus kami buktikan untuk membuat kalian percaya?”

   Semua petualang saling pandang satu sama lain. Beberapa dari mereka berbisik satu sama lain, menimang-nimang cara apa untuk membuktikan bahwa pendatang baru ini dapat dipercaya atau tidak. Salah seorang dari mereka mengangkat tangan. Itu seorang pria paruh baya. Semua orang berada di depannya langsung menyingkir dan membuatkannya jalan.

   Hampir semua wajah petualang dan penjaga kota di sana Gawain kenali dan mungkin juga mengenali Gawain bila ia mengenakan jubah abu-abunya. Terutama orang yang satu ini. Ciri khasnya adalah tombak maut yang sekaligus bertugas menjadi tongkat jalannya. Ia tak berkuda; ia tak lagi bisa berkuda karena kehilangan lengan kirinya. “Paman Ariesh...” tak sadar Gawain menggumamkan namanya. Wajah lama yang bersahabat itu terlihat di bawah tempias obor. Jika ia pulang ke Junier, maka Ariesh termasuk jajaran orang pertama yang akan ia ajak bicara.

   “Namaku Ariesh! Sebagai perwakilan aku akan bicara.” Ia menghentakkan tombaknya, “jika kalian bisa meyakinkanku, bagaimana pun caranya, maka akan kuanggap kalian bukanlah musuh.” Begitu selesai, semua petualang lain bergumam dan mengangguk yakin, paham betul habwa penilaian Ariesh lah yang terbaik.

   Gawain menurunkan penjagaanya, ia tidak perlu tegang. Dengan santai, ia maju meski desing pedang sudah beradu. Ia membuka helm besinya, lalu menunjukkan wajahnya. Samar-samar, Ariesh mengenali wajah pemuda itu. Ia penasaran, tapi ia tetap dalam penjagaannya.

   Dengan bisikan halus, Gawain bertanya, “bagaimana kabar Karavan Palmite?”

   “Astaga!” seru Ariesh tertahan. Ia langsung ingat siapa sosok pemuda itu, “Ser Agwain! Demi Dewa dan Dewi, berkahi langit dan bumi, Anda kembali!” serunya yang separuh berbisik. “Sebuah kehormatan tersendiri bagiku untuk menemui Anda kembali!” tambahnya.

   Ia menyalami tangan Gawain dan mengayunkan tangannya berkali-kali. “Kawan-kawan, mari kita kembali! Mereka adalah kawan kita! Aku jamin itu!” seru Ariesh kepada sisa pasukan di belakangnya.

   “Maaf, Ser Ariesh, tapi bukankah ada Tyran yang sedang berkeliaran?” tanya salah seorang serdadu muda.

   “Kalian tak usah repot, kami sudah menanganinya,” sela Gawain enteng. “Lebih baik kalian beristirahat, begitu juga kami.” Gawain maju bersama Ariesh, memimpin yang lain hingga sampai ke gerbang kota.

   Selama perjalanan, keduanya banyak berbincang mengenai satu sama lain. Ariesh yang kental dengan dialek gurun berbicara luwes, sementara Gawain juga membalasnya dengan bahasa dan dialek yang sama. Ia tidak takut akan identitas yang terbongkar, karena hanya mereka berdua sajalah yang mengenai bahasa gurun.

   “Kemana saja kau?” tanya Ariesh.

   “Berpetualang.”

   “Kau pasti lebih dari itu! Kau pasti sudah menjadi seorang pejabat!”

   Gawain tak bisa berbohong di depan seorang kawan yang akrab. Semenjak ia berencana mengembalikan Karavan Palmite, ia selalu berbicara dengan Ariesh untuk mengambil keputusan. Kala itu, Gawain hanya bisa memberikan dana sementara Ariesh lah yang memberi keputusan. “Aish! Kau orang muda, seharusnya kau yang memegang kendali!” dan setelahnya, Ariesh selalu memberi cerita pengalamannya sebagai dasar ketika Gawain mempertimbangkan keputusan.

   “Kurang-lebih Anda benar,” balas Gawain agak malas, “omong-omong, apa yang terjadi di sini?”

   “Selaiknya kita tak bicara di sni, Agwain. Aku punya rumah di dekat dinding, bagaimana bila kau makan malam di sana?”

   “Asal hanya kita berdua.”

   “Tentu saja,” jawabnya cepat. Makin mereka berjalan, makin terang langit yang mereka lihat. Itulah fitur baru dari Kota Junier: perlindungan Dewi Nix, sang Dewi Malam. Kelompok itu sudah keluar dari kawasan Grende. Dengan mengikuti jalanan paving utama, komplotan itu diam seribu kata tanpa berbincang sedikitpun. Hanya langkah kaki yang menginjak bumi lah yang berani bersuara.

   Panther yang sedari tadi heran dengan Gawain kini bertanya pada Abi, “apakah ia berasal dari Junier? Juga, apakah ia memang sekuat itu?” bisik Panther yang merasa bersalah meledek Gawain hanya karena tubuh kecilnya, “ditambah lagi, ia juga pandai berbicara ragam bahasa!”

   Abi hanya diam, lalu sebuah senyum tersimpul di wajahnya. “Dia yang terkuat di antara kami,” jawabannya yang singkat itu cukup membuat Panther tertegun. Dari kelakuan Abi beberapa saat ini, ia tahu bahwa Abi sudah menaruh hati kepada Gawain. Panther sekali lagi mengubah pandangannya kepada Gawain dan meningkatkannya dari ‘kenalan’ menjadi seorang ‘kawan’.

   Seketibanya di barak pelatihan serdadu, masing-masing penunggang kuda menggiring kendaraan tunggangannya ke tempat yang disediakan. Rencananya, mereka menjual enam kuda ini demi mendapat biaya transport kapal menuju Pulau Berg. Mungkin butuh waktu dua hari atau bahkan lebih, dan sesampainya di sana mereka harus memikirkan cara untuk memanjat Pegunungan Berg yang dikenal curam dan bengis bagi semua pendaki.

   Gawain bertaruh pada peruntungan kosong. Jika saat ini Avem atau Fortuner berlabuh, maka ia bisa meminta tolong pada kedua kapten kapal untuk mengantar mereka sampai ke tujuan, itu jika keduanya berlabuh di Junier. Jika tidak, maka ia harus merelakan enam kuda untuk biaya melintasi laut dengan kapal layar.

   Panther dan Felice yang mengingat Junire kali ini memimpin, menggantikan peran Gawain yang sedang bercengkrama hangat dengan Ariesh. Karena angin malam yang semakin dingin, keduanya bergegas masuk ke rumah Ariesh yang terletak hanya dua blok dari barak, dan bila Gawain benar mengira, maka hanya butuh waktu tiga menit untuk sampai ke Mansion Rei. Pintu rumah itu tak dikunci, dibiarkan separuh terbuka dengan lampu teplok yang tergantung di daun pintunya. Ketika masuk, seseorang tahu bahwa rumah itu hanya terdiri dari empat ruangan saja: satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, dan sebuah ruang tamu.

   “Masuklah, Agwain. Jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri.” Ariesh melempar tombaknya ke pojok ruangan, dan menggantikannya dengan tongkat kayu. Gawain memilih duduk di salah satu kursi namun memilih berdiri ketika mendapati Ariesh kerepotan membawa botol anggur yang ia simpan di dapur. “Kau duduk saja! Seorang tamu adalah raja di rumahku!”

   “Keras kepala seperti biasanya,” desah Gawain yang memilih menurut. Meski Ariesh sedikit kikuk, tapi ia terlihat sudah terbiasa hanya hidup dengan menggunakan satu tangannya. Dengan gerakan yang luwes, ia bahkan mampu melepas baju dan bersalin hanya dengan selang satu menit saja. Tidak hanya itu, ia mampu memanjati atap di mana letak gudang rumahnya berada untuk mengambil satu kasur lipat dan menawari Gawain untuk bermalam. Gawain menolaknya, tapi ia sungkan bila melihat kasur itu sudah dilempar ke bawah; tentunya bukan urusan mudah untuk membawanya kembali ke atas hanya dengan satu tangan.

   “Baiklah-baiklah, mari kita bicara demi jumpa kawan lama,” Gawain meneguk anggur, “apa yang terjadi di Junier hingga Dewi Malam memberikan berkah perlindungan?”

   Wajah murung Ariesh menyirnakan air muka bahagianya. Tangannya bergetar, mulutnya bungkam, dan pandanganya menyorotkan harapan yang runtuh. Ia, yang dikenal sebagai petualang yang riang dan paling optimis, kini terlihat seperti seekor serigala yang kehilangan taringnya—patah asa dan semangatnya. Seolah ada hal yang benar-benar tak bisa ia kendalikan dengan mengakali fantasi, seolah tidak ada lagi mentari di esok hari, atau mungkin malam ini ia menyusul mati.

   “Bungkam tidak akan menyelesaikan apapun, Paman Ariesh,” desak Gawain yang mulai penasaran, “mohon ingat, Paman Ariesh. Pemuda yang ada di depanmu ini seorang pendeta. Aku tak mengambil sepeserpun. Lagipula, percayakan pada pendeta muda ini untuk menyelesaikan masalah!”

   Ariesh memandangi Gawain. Dilihatnya wajah itu masih serupa dengan tiga tahun yang lalu; guratan wajahnya keras, sorot matanya tajam untuk ukuran pendeta yang memiliki notabene ‘penenang hati’. Tak hanya ia cerdik, tapi ia juga pembelajar cepat dan seorang petarung yang kuat. Sebuah api harapan terpercik di jiwa Ariesh yang malang dan tua, menunggui apakah percikan api itu menyambar minyak atau tersiram hujan, apapun keduanya, ia hanya bisa menunggu dan berdoa.

   “Mereka, Para Penyamar. Begitulah kami menjulukinya.”

   “Penyamar?”

   “Iya,” bisik Ariesh, “mereka adalah monster! Seperti julukannya, amat sulit untuk membedakan mereka dari manusia biasa. Bahkan anjing-anjing terbaik kami tak mampu mengendus dan melacak mereka! Sungguh bajingan!” umpatnya dengan tangan geram. “Satu demi satu, mereka memburu kami di malam hari, merampas jiwa kami hingga kering kerontang bersisa tulang belulang.”

   “Berapa jumlah mereka?”

   “Untuk pastinya, kami tak tahu. Biasanya, mereka berburu satu malam sekali dalam sebulan, dan di saat inilah waktu yang tepat baginya untuk berburu. Maka dari itu, kami membuat kelompok sebagai pelindung kota kecil ini dan berdoa penuh pada semua Dewa dan Dewi yang kami percaya untuk memberkahi kota ini. Beruntungnya, Dewi Malam memberikan berkahnya meski tidak sepenuhnya.”

   Seperti biasa, Gawain menopang kepala dengan tangannya, berpikir. “Apa berkah yang Junier terima?”

   “Seekor gagak pengawas untuk tiap ketua regu. Bilamana Para Penyamar beraksi, seekor gagak akan muncul melalu jendela tiap ketua dan bicara di mana Para Penyamar terlihat.”

   “Pernahkah kalian menangkap atau menyudutkan mereka?”

   “Sekalipun tak pernah!” seru Ariesh. “Tak sekalipun aku melihat dia menangkap mangsanya, paling cepat aku melihat tetanggaku sendiri sekarat di tengah jalan, tanpa ada seorang pun selain diriku dan pemuda malang itu. Cuih!” kekesalan dan rasa sesal menggerogoti hati tuanya. “Andai saja... andai saja aku lebih cepat!” ia menghantam meja dengan segenggam kepal terkuat yang ia bisa. Akibatnya, bercak alkohol dari tumpahan gelas mengotori meja makan dan tentunya, melusuhkan keadaan.

   Tapi Gawain sekalipun tak menggubrisnya, ia tenggelam ke dalam pikiran bersama Florence dengan tetap menjaga kontur wajahnya. Kini tatapannya kosong, tapi itu bukan berarti ia mati, hanya tak sadarkan diri selama beberapa saat. Di alam mimpi, mereka berdiskusi tentang kemungkinan lain yang lahir dari sebuah fantasi. Gagasan terperinci Florence ternyata sama dengan apa yang menghantui pikiran Gawain baru-baru ini.

   “Ungkapan ‘anjing terbaik tak bisa mendengusnya’ membuatku terusik, kau tahu apa yang kupikirkan, bukan?” singgung Gawain pada Florence yang masih sibuk menghantam kepalanya dengan buku-buku. Kini gadis itu lebih sering diam dan membaca literasi yang pernah Gawain arungi. Entah motivasi macam apa, tapi Florence terlihat lebih bijaksana jika ia diam. Seolah dia memang seorang penyihir asli dan bukannya imitasi.

   Florence turun dari kursinya, menaruh buku di rak yang seharusnya lalu duduk manis di salah satu tumpukan buku. Selama itu, Gawain mengamati ratusan rak buku yang ada di dunia mimpi dan semakin kagum lagi mengetahui semuanya berasal dari semua potongan diskret ingatannya yang Florence kelola. Tidak hanya literasi, tapi juga pengalaman pribadi. Dari sana, Gawain tahu bagaimana cara Florence menyortir ingatan yang harus dibayar, mulai dari cerita fantasi dari sebuah karangan fiksi, hingga prosa puisi yang menggurat jalan takdir yang ia titi.

   Ia berjalan ke rak yang lain, melihati bahwa ada rak yang kosong atau buku yang telah usang dan tak terawat. Rupa-rupanya itu bekas bayaran yang Florence terima. Ia menyentuh buku-buku itu, membukanya dan mungkin bisa menemui sepenggal ingatan yang lenyap sebagai bayaran kekuatan. Namun kosong, ia tak menemui secuil aksara di sana, hanya kertas putih yang usang dimakan rayap atau jamur, atau bahkan waktu yang tak ampun; terlupakan karena penuaan.

   Florence menyusul, rupa-rupanya ia tak bisa diam menunggu Gawain yang penasaran. Karena waktu terus berdetak, Gawain memilih langsung bicara dengan Florence. “Penyihir Abadi, bukan?” tanyanya dengan gamblang, “mekanisme sihir yang unik dan rumit serta sihir yang orisinal; apalagi kalau bukan?”

   “Kita masih belum sampai di tempat tujuan,” Florence mengingatkan, “terlalu cepat menarik kesimpulan semacam itu.”

   Gawain melakukan pertimbangan. Apakah ia hendak singgah untuk memburu mangsa yang bahkan semua orang belum menyaksikannya, atau memburu mangsa yang lebih spesifik? Apa yang harus ia pilih: kota kecil kelahirannya dengan semua orang yang ia kenal dan sayangi, atau seisi dunia untuk mewujudkan mimpi yang ia warisi? Ia ingin melakukan keduanya, tapi tidak bersamaan. Salah satu dari mereka harus menunggu.

   “Kita akan tetap di sini, Florence.” Dan itulah keputusan Gawain. “Lagipula, aku merindukan aroma Grende. Sudah lama aku tak menyambangi ibu dan diriku sendiri, atau juga Sa’rah.”

   “Oh, bagaimana bila Anda gunakan kesempatan ini untuk kencan dengan istri Anda?”

   Gawain tersenyum kecut. Terakhir kali ia mengajak Abi kencan malah diakhiri dengan bentakan. Saat ini ia terjepit, bisa saja di tengah kencan yang romantis kejadian serupa terulang. Dan itu hanya membuat hubungannya dengan Abi menjadi rentan. Mungkin gadis itu masih suka, tapi salah langkah bisa mengeruk jurang pemisah, dan Gawain tak yakin dapat menutupnya kembali.

   “Abi akan terus bersama kelompok, sementara kita tetap tinggal di sini.” Gawain berbalik, tanda ia tak menerima komplain lebih. Dalam satu hentakan, sosok Gawain sudah hilang di depan Florence yang mengejar. Ketika akan sampai tangan gadis itu menarik kain di punggung Gawain, sosok tuannya lenyap tak bersisa.

   Florence bukan tak menurut dengan perintah sang tuan, tapi ia khawatir; sudah menjadi tugas seorang ajudan untuk mengkhawatirkan keadaan tuannya. Gawain selalu menaruh semua beban di punggungnya, tanpa mengetahui batas kemampuannya. Entah mengapa, Florence memiliki rasa kekecewaan tersendiri kepada Gawain. Entah rasa kecewa mengapa ia tak terpilih? Atau kecewa karena ia tak banyak berbuat ketika Gawain membutuhkan? Atau mungkin karena tak jujur dengan rahasia yang simpan dari Gawain? Kecewa atau bersalah? Ia tak tahu.

   Florence perlahan mengimitasi Florence.

                                                                                                                  ***

“Agwain? Agwain? Kau tak apa?” tanya Ariesh yang baru menyadari bahwa Gawain sedari tadi melamun lama tanpa berkedip sekalipun. Begitu ia menggoyah pundak sang pendeta, pemuda itu tersadar dengan wajah kebingungan. Mata Gawain perih karena tak tertutup sekitar dua menit. Ia memejam dan mengucek matanya yang panas beberapa saat. “Matamu tadi tampak seperti mayat! Rupanya kau kurang istirahat kawan.”

   “Ah, tidak. Aku memang jarang istirahat, tapi menemui Paman serasa menyegarkan kembali kepalaku.” Gawain meneguk lagi segelas alkohol, membiarkan kepalanya makin ringan di setiap tegukan. Setelah membanting cangkir kayu itu, ia berkata, “demi seorang kawan sekaligus guru lama, Paman Ariesh, aku akan tetap di sini selama satu hingga dua minggu.”

   “Bukannya kau terburu-buru?”

  “Keterburuan hanya membawa petaka pada kaum yang lelah—prinsip nomor lima para petualang. Aku akan mengusulkan untuk singgah sejenak di kota ini satu-dua hari, dan kelompokku akan melanjutkan perjalanan mereka tanpaku.”

   “Apa tidak apa-apa? Bukankah peranmu amat vital dalam formasi kelompok?”

   Gawain memalingkan pandangannya sejenak ke jendela yang menerawang langit malam yang cerah dengan bintang-bintang yang tampak bergerak perlahan mengarungi luasnya semesta alam. Ada yang redup, juga ada yang benderang. Contohnya saja sabuk dari sang pemburu, Arion yang terlihat mencolok di antara yang lain, atau kelap-kelip dari mata Medusa yang terpenggal oleh pedang Persei. “Sama seperti bintang di langit, masih banyak yang orang yang lebih berpotensi daripada diriku, Ariesh.” Gawain berdiri dan memilih untuk berhenti minum. Ia melempar tubuhnya ke kasur lipat yang telah Ariesh siapkan setelah menanggalkan semua perlengkapan tempurnya.

   Ariesh meniup lampu lilin pada lentera yang tergantung di sudut ruangan. Ia memilih tiduran di sofa kecil yang terletak di ruang utama. Dengan lirikan kecil, ia mencuri pandang Gawain yang mencoba untuk tidur. Tak lupa dengan kain selimut, ia berkemul hangat melawan angin musim gugur yang masih menembus tembok rumahnya yang tipis. “Kau masih bangun, Agwain?” tanyanya dalam kesunyian hampa sepuluh menit pertama.

   “Tentu saja,” balas Gawain tanpa menoleh. “Terlalu banyak fikiran yang membebani, Paman Ariesh. Dalam artian lain, terlalu banyak beban yang kutanggung.” Untuk pertama kali, Gawain jujur dengan masalahnya, dan mungkin hanya kepada Ariesh sajalah ia berani mengatakan hal semacam itu.

   Ariesh mengangguk takzim mendengar masalah muridnya yang telah ia anggap putranya sendiri. Sungguh, ia mungkin tertawa keras bila ia mampu terhadap kenangan hidupnya yang selama ini ia sia-siakan demi semangat berpetualang yang hangus. Tiga gadis ia tolak cintanya hanya karena alasan sepele dan serupa. “Aku lebih mencintai alam ini daripada dirimu,” jawabnya ketika ia masih gagah di usia muda. Dengan api semangat buta, ia memulai petualangannya ke Selatan dari desanya di Gurun Halida. Perjalanan yang tak mudah karena medan padang pasir yang amat sulit dan terik serta amat luas membuatnya menghabiskan hampir tiga tahun hanya untuk sampai ke pesisir Hutan Amarta. Jika bukan keuletan, ketabahan, penglaman, ketahanan, doa dari mendiang ibunya yang tercinta, serta berkah keberuntungan dari Dewi Fortunie, maka ia mungkin tak sampai di Amarta—itu berarti ia sudah mati kehausan di tengah gurun dan menjadi santapan serangga gurun yang terkenal ganas.

   Itupun amat tipis. Di hari terakhir, ia sudah kehabisan perbekalan makanan dan air, juga jubahnya mulai tercabik selepas pertarungan dengan Tyran berupa R’ewiats, peranakan dari Raja Ikan Leviathan yang mampu hidup di padang pasir. Ia sudah tahan dengan terik dan kulit coklat kehitamannya adalah bukti utama dari sekian ribu waktu yang terlampaui di bawah teriknya matahari, tapi makhluk hidup apa yang dapat hidup tanpa setetes air?

   Kala itu, sudah tiga hari berturut-turut ia tak menemui satu oasis pun. Unta yang menjadi tunggangannya mati lemas dengan punuk—yang seharusnya berisi lemak guna cadangan makanan—kempis, rubuh di salah satu perbukitan. Demi kehormatan karena kesetiaan si unta menemani Ariesh selama tiga tahun lamanya, sang pemuda menguburkannya dengan layak walaupun tahu tak ada liang lahat yang damai di tengah lautan berpasir itu. Itu sudah dua hari yang lalu dan lengkap sudah penderitaannya ketika tak menemui oasis atau berkah hujan setetespun dari Dewa dan Dewi.

   Tapi bukan berarti Dewa dan Dewi menakdirkannya untuk mati di sana. Begitu ia melihat sebuah ujung pohon palem di tengah hamparan fatamorgana padang pasir, harapan sang pemuda kembali menyala. Berlarian menjadi usaha dan daya terakhirnya. Ia amat yakin dengan doa dari ibunda tercinta yang mengizinkannya menjejakkan kaki ke tanah yang belum terjamah, dan hanya bermodalkan keyakinan semacam itu, sang pemuda menemui garis akhir dari perjalanan pertamanya.

   Tentunya, ia pernah mendengar kabar dari pengembara dan musafir yang ia temui di perjalannya. Mereka berkata bahwa Amarta adalah tanah tropis damai. Hampir semua ras tinggal di sana, dan ada anggapan bahwa munculnya makhluk berintelek pertama di dunia berasal dari teduhnya hutan hujan tropis. Kebanggaan darah Rediart—julukan bagi kaum nomaden gurun—sang pemuda memuncak, sebuah pencapaian tersendiri bahwa ia masih hidup meski ia merantau seorang diri.

   Orang yang pertama kali ia temui adalah seorang dari ras Lizardia, manusia kadal di kawasan rawa-rawa. Ia memang tak lancar bahasa di kawasan Amarta karena seumur hidupnya ia hanya tahu bahasa gurun, tapi pria Lizardia itu cerdik dalam memahami maksud Ariesh. Beruntung pula bagi Ariesh, pria itu dengan baik hati menawarinya tempat bernaung dan mengajarinya budaya yang ada di Hutan Amarta. Ariesh muda menerima kebaikan hati itu dan membayarnya dengan tenaga dan keahlian berburu yang cukup unik bagi si pria Lizardia.

   Naas, kehidupan Ariesh dengan sang pria Lizardia tak lama. Lima tahun setelah mereka hidup bersama, dunia diguncangkan dengan pernyataan perang dari Penyihir Abadi, dan Amarta tentunya tak sanggup untuk bertahan dari serangan sporadis ratus ribuan Tyran. Mulai dari hewan “kecil” seperti Iron Caterpillar, Hell Hound, Gargoyle, atau sekawanan Harpy, hingga Tyran berukuran “sedang” dan “besar” seperti Hobgoblin Emperor dan Mad Mace of Tyrant King.

   Jika bukan keberanian seorang penyair druid bernama Murf Reynald yang memiliki kemampuan mengendalikan sulur tetanam dan tenaga alam, serta ketenangan dan kecerdikannya dalam mengatur strategi, maka Amarta tidak akan bernafas hingga saat ini. Ja’is, begitulah semua orang memanggil pria Lizardia itu, dan Ariesh bergabung dengan militan bentukan yang dipimpin oleh Reynald. Mereka tentunya tak bisa berbuat banyak dan luas karena pada dasarnya letak Amarta memang terkunci dari segala penjuru. Mungkin hanya Tanah Suci Shari-La, tempat para penyihir menemukan rahasia dunia sajalah yang mau menolong mereka, itupun jika mereka sendiri tidak kerepotan.

   Pada suatu pertempuran, ketika Ja’is dan Ariesh bertarung berdampingan satu sama lain di salah satu lembah di sisi utara Amarta, tragedi itu terjadi. Kala itu, mereka sedang melakukan mobilisasi dalam kelompok kecil beranggotakan enam orang. Seorang anggota Birdiest—manusia separuh burung—menyatakan bahwa lembah itu aman dan tak ada satupun Tyran yang menuggu di sana. Mereka tentunya percaya, tapi mereka keliru. Selang beberapa menit setelah mereka beristirahat, perlahan satu-persatu dari mereka disergap oleh ular hitam berukuran hanya satu hasta saja, tapi racunnya cukup untuk membunuh satu ekor jerapah hanya dalam hitungan menit.

   Ja’is yang ketepatan mendapat giliran jaga pertama menyibukkan dirinya sembari mengasah belati kesayangannya. Dengan menekuri aktivitasnya, ia bisa menghiraukan suara dengkuran kawannya yang lain. Tapi pada suatu waktu, ada satu suara dengkuran yang tiba-tiba senyap dan sunyi. Entah mengapa, ia malah merasa terganggu bila satu dengkuran hilang di daun telinganya; biasanya hal semacam itu menandakan satu diantara mereka bangun atau mengalami mimpi buruk.

   Karena penasaran, Ja’is bangkit. Dia perlahan mendekati Boaris, kawannya yang separuh babi yang tidur agak jauh dari cahaya dan hangatnya unggun. Begitu sampai, ia menyadari ada satu hal yang janggal. Pertama, sensor pendeteksi hangat—semua filum Raptilia memiliki organ tersendiri untuk mendeteksi mangsanya melalui panas yang terpancar— mengindikasikan bahwa suhu Boaris turun drastis. Itu bukan demam atau kedinginan. Ia mulai panik, dan tanpa banyak pikir ia segera memangunkan yang lain.

   “Bangun—” jrek! Belum usai kalimat itu keluar dari moncong kadalnya, seekor ular hitam kecil sudah melompat ganas dan tepat menggigit leher Ja’is, mencegahnya untuk bicara lebih lama. Sisik keras Ja’is tentunya bisa bertahan dari tikaman taring, tapi karena sifat kulitnya yang lembab dan berlendir, racun yang keluar dari taring cukup dengan mudahnya bercampur dan meresap ke jaringan tubuhnya.

   Itu detik-detik yang menyiksa. Perlahan tapi pasti, tiap tetes bisa beracun mulai menggerogoti organnya satu-persatu. Dimulai dari tenggorokannya yang mulai terasa panas membara, lalu turun ke jantung dan paru-parunya, lantas naik ke otak dan sumsum tulang belakangnya. Alhasil, ia mulai mati rasa dan kehilangan kesadaran. Pandangannya buram, tapi ia masih belum mati.

   Dengan penuh usaha, ia mengambil belati yang tersemat di pingang kirinya. Tangannya berayun tanpa arah, ia hanya berusaha mengayunkan tangan itu atau berbuat berisik hingga salah seorang yang lain bangun dan menyadari apa yang terjadi. Tapi itu muskil! Ia kenal dan tahu semua watak kawannya itu; mereka tak akan bangun tanpa alasan sebelum jadwal berjaga mereka masing-masing.

   Ia rubuh, otot-otot kakinya sudah tak kuasa menahan beban tubuhnya. Racun itu amat efektif. Hanya beberapa tetes mampu mengirim maut. Tapi Ja’is tak kehabisan ide, ia masih memiliki tangannya sendiri. Daripada mengayun tanpa arah untuk menyabet tubuh ular, maka ia punya cara lain: menikam lehernya sendiri.

   Itu cara nekat, dan mungkin ia juga ikut mati, tapi bila ia masih hidup nanti, apakah seseorang mampu menyelamatkannya? Jawabannya tidak. Dengan kata lain, kematiannya sudah pasti semenjak ia bangkit berdiri.

   Matanya yang merah jambu itu melihati satu-persatu wajah kawan seperjuangannya, mengira-ngira apakah ia akan dimaafkan dengan alasan kematian yang terdengar konyol. Dari empat orang kawannya, pandangan Ja’is berhenti lama di Ariesh. Entah mengapa, ia menangis, mungkin karena takut akan ajalnya. Tapi ketahuilah, ia tak menangis karena ajal yang menyusulnya, tapi fakta bahwa ia akan meninggalkan semua kawannya.

   Dengan memejamkan mata, Ja’is menikam lehernya sendiri, mengharap pada taruhan murni bahwa ujung belati itu juga menikam ular yang bercokol di lehernya. Dan itu terbukti efektif. Hanya dalam satu kali tikaman, Ja’is mampu membunuh ular itu, sekaligus menyelamatkan semua kawannya dari marabahaya di tengah mimpi malam, meski dengan bayaran nyawanya seorang diri.

   “Ah, sudah lama sekali...” gumam Ariesh tiba-tiba memecah keheningan di antara dirinya dengan Gawain.

   “Apa yang lama sekali?” tanya Gawain, membalas acuh.

   “Kau masih ingat kisah hidupku di Amarta?”

   “....iya, tentu saja!” jawab Gawain ragu-ragu. Padahal, ia tak ingat sama sekali. Ia mulai berkucuran keringat. Ia tahu bahwa nama “Ariesh” memang berasal dari kaum nomaden gurun. Tradisinya, masyarakat yang pernah singgah ke gurun Halina atau bertempat tinggal di sana memiliki akhiran “sh” dalam namanya. Misalkan Ariesh dan Kurish. Tapi bagaimana Gawain bisa lupa tentang cerita Paman Ariesh? Sejak kapan? “Ah, tolong Anda bercerita lagi tentang pengalaman Anda.”

   “Untuk apa bila kau masih tetap mengingatnya?”

   “Kisah sebelum tidur, mungkin?”

   “Dan kau berencana meninggalkanku di tengah cerita?”

   “Oh ayolah, Paman!”

   “Memangnya kenapa?”

   Ada satu hal di benak Gawain yang mengusiknya, bagaimana kabar Guru Enire dan Florence? Mungkin, dengan mengingat kembali cerita Ariesh, Gawain dapat memproyeksikan keadaan mereka. Dan tentunya itu semu serta penuh harapan palsu. Tapi di situlah poinnya: sebuah jawaban dari harapan. “Katakanlah, wahai Paman Ariesh, umpamakan ada seorang pria tua bersama cucunya yang pesakitan melintasi Gurun Halina hanya berbekal sepucuk surat yang mengatakan bahwa ada seorang ahli nujum yang mampu menyembukan cucunya yang pesakitan itu—katakanlah pendapatmu, apakah mereka hidup dan mampu melintasinya?”

   Ariesh tampak berpikir lama. Rupa-rupanya ia memahami apa yang dimaksudkan. Tapi Agwain yang ia kenal adalah orang yang kritis: beri ia harapan maka ia akan meragukannya dan beri ia kritikan maka ia menyanggahnya. Maka dari itu, Ariesh yang bijak tidak memberikan jawaban dan memilih berdoa pada Dewa dan Dewi yang memegang takdir untuk bicara melalui mimpi seorang pemuda yang penuh asa.

   Musim gugur akan berganti musim dingin, tanda tahun akan berganti sekali lagi, menggilas atau menumbuhkan harapan dari tiap insan.

                                                                                                             ***

“Maafkan Aku, kawan-kawan, tapi aku akan tetap singgah di sini untuk beberapa alasan dan kepentingan,” hal semacam itulah yang Gawain katakan pada yang lain. Dengan hidangan daging kepiting di pagi yang hari yang ditemani dengan segarnya ekstrak rumput laut di salah satu kedai rekomendasi Panther tak cukup mengembalikan suasana runyam yang Gawain bawa. Ariesh yang berdiri bersandar di dinding merasa tak enak merepotkan semua orang, tapi Gawain sudah bilang bahwa semuanya itu adalah keputusannya sendiri.

   “Untuk apa?” kali ini yang bertanya orang yang paling diam di grup: Abi. “Untuk apa kau singgah di kota ini?!” tanyanya dengan separuh membentak. Ia tahu betul bilamana Gawain menanggung sesuatu, ia pasti berusaha menanggungnya sendirian, mengucilkan dirinya dari kelompok dan bekerja di balik bayangan, lantas kembali dengan senyum dan luka yang tersembunyi.

   “Bukan urusanmu,” balas Gawain singkat. Begitu ia selesai menyampaikan pesannya, ia beranjak berdiri dari kursinya dan pergi tanpa mendengar komplain yang lain. Tapi, sebelum ia benar-benar lenyap di balik daun pintu, Medraut memanggilnya. Gawain berhenti, dengan sedikit keraguan ia menoleh.

   “Kau benar-benar tak butuh orang lain?”

   Gawain menyeringai, “tidak, dewi malam menyertai kami. Aku rasa itu cukup.” Ia pergi dan melanjutkan pekerjaan yang sudah ia rencanakan malam kemarin, yaitu menyelidiki dan mengklarifikasi apa yang sedang terjadi di Junier. ‘Sekelompok penyamar’, cukup dengan frasa itu sudah membuatnya penasaran tentang kemampuan musuh. Tapi ia harus berhati-hati, hanya sedikit orang yang dapat ia percaya. Kali ini, ia bisa percaya pada Ariesh—ayolah, jika Ariesh adalah penyamar, maka tentunya ia sudah mati kemarin malam.

   Bagaimana dengan kuil Junier? Tanya Gawain pada dirinya sendiri. Ia tak bisa percaya betul pada seseorang, bahkan pada dirinya sendiri. Karena terlalu banyak yang ia pikirkan membuat ia tak punya perasaan, dan di saat itulah orang yang tepat wajib menyelamatkannya.

   Ketika ia benar-benar tenggelam dalam pikiran, seseorang menghampirinya dengan separuh berlari, menarik punggungnya, lalu menampar wajahnya keras-keras. Gawain tertegun, hanya dari ukuran tangannya saja, Gawain tahu siapa sosok yang menamparnya.

   “Kenapa...?” tanya lirih Abi dengan nada bergetar. Peristiwa itu hanya menarik mata sekitar selama beberapa saat. Karena sibuk dengan kepentingan masing-masing, semua dari mereka tak menggubris lebih permasalahan sepasang kekasih atau apapun itu.

   Ditilik dari tangisnya, Abi benar-benar kecewa. Gawain tahu kesalahannya, tapi ia lebih memilih tertampar Abi daripada kehilangannya. Bodoh? Tentu saja ia bodoh, tapi dari sanalah kekuatannya terasah. Ia bukan mempercayai Abi, tapi tingkah lakunya yang terlalu protektif itulah yang menyakiti kebanggaan Abi. “Kenapa kita tidak bisa kembali seperti dahulu? Kenapa...” wajah Abi tenggelam di dada Gawain, “...kenapa hubungan kita tak sama seperti di Nixie?”

   Gawain langsung merengkuh Abi. Ia memeluknya dengan kuat untuk membuat Abi terdiam dan menangis di dadanya. Tapi, Florence tahu ketakutan tersendiri mengapa Gawain melakukan hal semacam itu. Bukan untuk menenangkan Abi, melainkan agar Abi tak tahu teror di ekspresi wajahnya yang penuh ketakutan. Mata dingin itu menajam, menunjukkan betul keadaan jiwa Gawain yang tak tenang di hatinya.

   Dengan berbisik pada hati dan akal sehatnya sendiri, ia bertanya, “Nixie?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
Untuk Takdir dan Kehidupan Yang Seolah Mengancam
771      523     0     
Romance
Untuk takdir dan kehidupan yang seolah mengancam. Aku berdiri, tegak menatap ke arah langit yang awalnya biru lalu jadi kelabu. Ini kehidupanku, yang Tuhan berikan padaku, bukan, bukan diberikan tetapi dititipkan. Aku tahu. Juga, warna kelabu yang kau selipkan pada setiap langkah yang kuambil. Di balik gorden yang tadinya aku kira emas, ternyata lebih gelap dari perunggu. Afeksi yang kautuju...
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
650      363     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
Army of Angels: The Dark Side
34892      6006     25     
Fantasy
Genre : Adventure, Romance, Fantasy, War, kingdom, action, magic. ~Sinopsis ~ Takdir. Sebuah kata yang menyiratkan sesuatu yang sudah ditentukan. Namun, apa yang sebenarnya kata ''Takdir'' itu inginkan denganku? Karir militer yang telah susah payah ku rajut sepotong demi sepotong hancur karena sebuah takdir bernama "kematian" Dikehidupan keduaku pun takdir kembali mempermai...
Zo'r : The Teenagers
14139      2815     58     
Science Fiction
Book One of Zo'r The Series Book Two = Zo'r : The Scientist 7 orang remaja di belahan dunia yang berbeda-beda. Bagaimana jadinya jika mereka ternyata adalah satu? Satu sebagai kelinci percobaan dan ... mesin penghancur dunia. Zo'r : The Teenagers FelitaS3 | 5 Juni - 2 September 2018
The Adventure of KANDINI
14099      2721     5     
Fantasy
Kandini adalah pejuang wanita yang banyak mengalami pengalaman yang sangat mengagumkan. Ikuti petualangannya ya!!!
DELUSI
551      388     0     
Short Story
Seseorang yang dipertemukan karena sebuah kebetulan. Kebetulan yang tak masuk akal. Membiarkan perasaan itu tumbuh dan ternyata kenyataan sungguh pahit untuk dirasakan.
The Dark Woods
1001      526     2     
Fantasy
Ini adalah kisah tentang pertempuran antara kaum PENYIHIR dan kaum KESATRIA yang selalu menjadi musuh bebuyutan. Sesibuk itukah kaum Penyihir dan kaum Kesatria untuk saling memerangi sehingga tidak menyadari kembalinya kekuatan jahat yang sudah lama hilang ?
Jalan-jalan ke Majapahit
4668      1428     8     
Fantasy
Shinta berusaha belajar Sejarah Majapahit untuk ulangan minggu depan. Dia yang merasa dirinya pikun, berusaha melakukan berbagai macam cara untuk mempelajari buku sejarahnya, tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah website KUNJUNGAN KE MAJAPAHIT yang malah membawanya menyebrangi dimensi waktu ke masa awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit. Apa yang akan terjadi pada Shinta? ...
BATAM HAIL BASKETBALL
11910      2755     52     
Action
Sekuel dari novel ANTOLOGIA (terbitan Intishar ©November 2018) dan ANKLE BREAKER: ORIGIN. ---------------- Aku tidak mengira, kemegahan Batam yang selama ini terbangun, adalah hasil kerja dua tangan yang seharusnya saling melawan, namun saling berjabat tangan demi suatu tujuan. Ada konspirasi antara pemerintah kota dengan Demiro The Forbidden Most Wanted yang mengendalikan sentralisasi berja...
The A-War
465      314     0     
Science Fiction
Hari seperti biasa di Bandung telah menjadi sebuah bencana ketika spesies alien bernama Lizardian muncul tanpa alasan yang jelas dan mulai memangsa umat manusia. Chris dan Adly, salah satu remaja di Bandung, harus menerima kenyataan bahwa dunia telah terbantai oleh para Lizardian. Lebih buruk lagi, kelompok militer gadungan bernama Alone mengorbankan umat manusia demi mengalahkan Lizardian dengan...