Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Seseorang yang pernah berkunjung ke Mansion Rei akan mendapati hal yang berbeda dari yang mereka ingat beberapa tahun lalu. Rasa-rasanya, keadaan Mansion itu berubah menjadi lebih sunyi dan senyap. Setidaknya dua tahun lalu, puluhan pegawai sering didapati hilir-mudik dari satu koridor ke koridor lain, juga berlalu-lalang di belakang rumah menuju gudang tempat persediaan barang dagangan. Wajah dari semuanya tampak bersahaja, memancarkan aura kemakmuran. Sekarang, tidak ada seorangpun yang berlalu-lalang di koridor juga di gudang, meninggalkan seorang buruh tenaga kasar berusia dua puluh tahunan dan seorang kepala pelayan tua bernama Arseine. Keduanya adalah orang yang paling setia kepada Rei dengan alasan hutang budi.

   Sudah berkali-kali Rei menghimbau keduanya untuk mencari pekerjaan di lain tempat, terutama Neils si buruh tenaga kasar yang tak juga kuat, namun juga cerdas. Namun keduanya menolak dan tetap setia pada Rei dalam keadaan pelik apapun.

   Dari yang semua orang tahu, keadaan perusahaan Rei amatlah terpuruk. Ini kali pertama dalam usahanya, ia meminta keringanan dan kelonggaran pada kolega bisnisnya tentang pengunduran jatuh tempo pembayaran surat hutang. Sekarang, ia sedang duduk gelisah menunggu satu kapal dan dua karavan pedagang terakhirnya. Seharusnya, mereka datang dua hari sebelumnya, namun entah alasan perihal keterlambatan mereka.

   Detik demi detik kegelisahan di hati Rei tumbuh. Kapal Avem yang membawa hasil penjualan kain sutra dan Karavan Palmite yang membawa hasil rempah-rempah lah harapan terakhirnya. Jika mereka berakhir, maka berakhir pulalah cerita keluarganya.

   Suara tiga kali ketukan pintu mengagetkannya, menyadarkannya dari lamunan pagi itu. Jika dilihat dari nada ketukan, ia tahu siapa yang datang. “Masuklah Arseine!” lekas itu, seorang berseragam pelayan datang membungkuk padanya. “Seorang utusan dari Keluarga Septim di Hyulida meminta untuk menemui Anda.”

   “Suruh dia masuk, Arseine,” tegasnya dengan suara lemah. Ia menarik napas, lalu menyiapkan dirinya pada orang asing yang mungkin adalah seorang kreditur.

   Decit suara pintu terbuka, sekarang Arseine tampak diikuti oleh seorang pemuda semampai. Ditilik dari wajahnya, pemuda itu masih berusia sekitar sembilan belas tahun; selisih dua tahun lebih muda dengan Albert putranya. Setelah Arseine mohon undur diri, Rei mempersilakan pemuda itu duduk di bangku tersedia. “Anda tahu siapa saya?”

   Rei menatap sejenak, pikiran gelisahnya tak terkendali hingga ia tak menggubris lawan bicaranya, “anda utusan dari Keluarga Septim di Hyulida; begitulah kata pelayanku tadi. Untuk urusan apa Anda ke sini?” ucapnya dengan sedikit keraguan.

   “Benar. Baiklah kalau begitu, urusan ini lebih mudah,” pemuda itu mengeluarkan selebaran kertas yang langsung Rei kenali. Itu surat hutang perusahaannya. Peluh di dahi Rei menetes, ketakutan muncul di hatinya, namun ia tetap meneguhkan hati karena masih ada secercah harapan.

   “Aku memiliki beberapa surat hutang perusahaan Anda. Ini dari Ser Leris Si Pengurus Pemakaman sebesar—”

   “Tiga ratus ribu koin Myriad...” lanjutnya halus. Ia akhirnya mengerti alasan utama kedatangan utusan itu. “Iya, itu surat hutang seharga tiga ratus ribu dan saya ingat betul bahwa tenggat waktunya tinggal lima hari lagi. Aku mohon Anda bersabar untuk menunggu.”

   “Tidak hanya itu,” imbuh si pemuda, “Keluarga Septim juga memiliki tiga surat lain: satu dari Kuil Junier seharga 60.000 koin, satu dari Ser Alexa sebagai pejabat pelabuhan seharga 20.000 koin, dan satunya dari Madame Karra sebagai pejabat pajak seharga 12.500 koin.” Si pemuda itu mengeluarkan tiga surat hutang lain dengan tertanda namanya yang dibubuhi dengan cap perusahaan. Itu surat yang valid. “Jika di total, hutang yang harus Anda bayar lima hari kedepan ini—”

  “Tiga ratus sembilan puluh dua ribu lima ratus,” ucapnya dengan nada bergetar. Ia ingat betul dengan nominal itu di buku besarnya, namun tetap saja ia terkejut dengan hutang yang harus ia bayar di masa-masa sesulit ini. “Kujanjikan akan kubayar penuh hutang itu lima hari kedepan....”

   Si pendeta muda itu tersenyum ramah, mencoba bersahabat. “Anda dahulu dikenal sebagai orang yang selalu tepat dan jujur dalam memenuhi kewajiban-kewajiban Anda. Namun sekarang, untuk pertama kalinya Anda mengundur jatuh tempo tanggungan Anda. Sekarang, kutanya sebagai sesama pria: apakah Anda sanggup membayar semuanya itu dalam lima hari ke depan? Jika tidak, apa yang nantinya akan Anda lakukan?”

   Wajah orang tua itu berubah menjadi seputih susu. Kalimat itu benar, masih ada kemungkinan uang yang ia terima dari hasil dagang di kapal dan karavannya itu tak cukup. “Demi kehormatan keluargaku, anak muda. Maukah Keluarga Septim memaafkanku atas keterlambatan pembayaran sekali lagi, anak muda?” ucapnya dengan sorot memelas.

   “Dalam dunia bisnis, kami tidak membeli janji buta; kami perlu jaminan, Ser Rei.” Ucapan itu benar-benar memukul hati Rei. Tetapi pemuda itu benar, sudah sewajarnya orang yang berkaitan dalam bisnis—apalagi dengan hutang sebesar itu—berkata demikian.

   “Mohon Anda percaya; sebesar saya percaya awak kapal dan kru karavan saya.”

   Sekonyong-konyong suara derap langkah terdengar dari luar. Pandangan keduanya tertumbuk ke pintu kayu. Dari suara ketukannya, Rei tahu siapa yang datang. “Nia, itu Nia putriku. Jika Anda berkenan, mohon Anda tunggu di sini sejenak.” Pria itu berjalan menyongsong pintu kayu, membuka slot kunci dan lekas menarik gagangnya.

   “Papa!” seru gadis berusia tiga belas tahun itu. “Paman Ariesh dan Paman Burdier! Mereka datang, Papa!” imbuhnya. Rei mendekap putri kecilnya itu. Berita yang ia terima adalah kabar baik, namun mendengar nada suara gadis itu membuat Rei semakin gelisah.

  “Ada apa dengan mereka?”

  “Anda mohon segera turun, Ser Rei,” yang menjawab adalah Arseine, “mereka menunggu di depan gudang.”

   Rei mengangguk. Dari wajahnya, semua orang tahu bahwa kegelisahan hatinya sudah sampai di titik terpuncak. Saat turun, keduanya meninggalkan si kecil Nia di ruang tamu dan melangkah cepat menuju gudang. Di sana, sekumpulan orang telah menunggu. Mata Rei langsung buncah ketika mengenali para awak kapal dan kru karavannya. Yang paling mencolok dari mereka tak lain adalah Ariesh dan Burdier: satu buntung di tangan, satunya lagi buntung di kaki.

   “Salah satu dari kalian majulah!” ucap Rei, “dan laporkan perjalanan kalian!”

   Ariesh maju terlebih dahulu karena kakinya masih utuh, namun terpincang-pincang hingga tombak kebanggannya turun derajat menjadi tongkat untuk membantunya berjalan.

   “Selamat pagi Ariesh yang pemberani!”

   “Selamat pagi juga, Ser Rei.”

   “Sekarang coba ceritakan apa yang terjadi pada kru karavan.”

   “Minggu lalu, kami sudah bertolak dari kota pemberhentian terakhir kami, Kota Ferk di Selatan dan siap untuk pulang. Ketika di perjalanan, kami melalui rute seperti biasanya. Sayangnya, kami tak tahu bahwa dua minggu lalu Grende sudah berubah menjadi tanah tandus hitam. Awalnya, kami bertanya-tanya apakah kami salah jalan, namun tidak. Peri Hutan yang kutanyai menjawab bahwa jalan yang kami lalui benar menuju Junier.

   “Itu kesalahanku, Ser Rei. Aku percaya dengan apa yang dikatakan Peri Hutan itu, padahal aku sudah merasa janggal mengapa Peri Hutan dapat datang dengan sendirinya tanpa senandung lagu.”

   “Lalu kemana Peri Hutan itu menuntunmu, Ariesh yang baik hati?”

   “Menuju kematian, Ser Rei,” sela pria itu, “malam itu kami beristirahat di tempat peristirahatan yang sama seperti biasanya. Salah satu anak buahku bertanya, ‘Kapiten, apa benar kita akan bermalam di sini?’ kujawab dengan anggukan, ‘bukankah kita biasanya bermalam di sini? Percayalah, rute ini sudah kulalui puluhan kali.’

   “Malam itu, aku menelan liur yang telah kuludahkan. Tepat tengah malam, raungan datang dari segala penjuru. Kami bangkit meningkatkan penjagaan. Itu bukan raungan serigala, tapi sesuatu yang lebih menakutkan. Miasma mengerubungi kami, menutup jarak pandang kami. ‘Jangan takut!’ teriakku pada semua anggota, ‘tetap pada penjagaan kalian!’

   “Tiba-tiba, suatu terkaman datang dari balik miasma di sisi barat perkemahan. Satu orang tertarik ke miasma dengan teriakan jeri, lalu lenyap di balik miasma. Aku dengan sekuat tenaga melempar obor yang kupegang. Dan setelah obor itu mendarat, sinarnya menunjukkan Tyran yang bahkan tak pernah kubayangkan adanya; hewan seperti singa dengan ular di ekornya dan kepala kambing di punggung.

   ‘Manticore!’ seru salah anggota. Kami mundur ke Timur demi mendapati terkaman lain mencegat kami,” mata Ariesh mendongak ke atas, “demi cinta pada mendiang ibuku, kami bertahan di tengah-tengah. Mereka mempermainkan kami dengan menerkam satu persatu anggota, hingga jumlah kami terhitung lima. ‘Kita tak bisa berlama-lama di sini,’ ucapku, ‘apa ada yang punya ide agar pergi dari tempat ini!’

   ‘Ada!’ jawab seseorang, ‘pernah kudengar mantikora memiliki indra penciuman yang kuat. Jadi, kita dapat mengusirnya dengan suatu hal yang berbau kuat!’ Aku berpikir sejenak, kami saat itu tidak memiliki apapun. Hingga suatu ide terbersit di kepalaku... ‘bakar semua rempah-rempah yang ada di kereta!’ itulah perintah yang keluar dari mulutku. Empat anggotaku mengangguk. Aku dan dua orang lain mengambil obor dan mulai membakar kereta sementara dua yang lain melindungi punggung kami. Dalam tiga menit, asap sudah membumbung tinggi.

   “Lolongan mantikora itu menandakan mereka terusik. Aku bernapas lega, namun cepat-cepat menelan ludah ketika salah seekor dari mereka malah melompat menuju api. Jelas mereka terusik dengan bau rempah-rempah yang dibakar, namun prediksi kami keliru kalau mereka pergi; malahan mereka semakin mengamuk. ‘Sekarang!’ teriakku sambil menunggangi seekor kuda yang kami lepas dari kereta. Ringkik kuda berdering, tanda ia juga ingin kabur dari tempat itu.

   “Aku adalah orang terakhir di pelarian. Empat kuda terpacu di depan, sementara diriku berjaga di akhir dengan tombak teracung ganas. Dan firasatku benar; mereka mengejar kita. Aku berteriak, ‘aku kalian minta bersumpah untuk memberitahukan kabar ini pada siapapun yang kalian temui nanti dan bilang bahwa rute ini tak aman seperti sedia kala!’ lalu aku berbalik menyongsong keduanya.

   “Satu berhasil kutikam tepat di dahi. Satu lagi berhasil kugorok lehernya, meskipun dengan lengan kiri sebagai bayaran. Setelah itu, dapat Anda lihat, kami sampai di sini. Begitulah cerita kami, Ser Rei,” akhir cerita, beberapa orang di belakang Ariesh tampak mengangguk takut-takut.

   Rei mengangguk lemah dengan senyum penuh bangga, setelahnya ia melempar pandangan ke satu orang yang lain. Kali ini, Rei sendirilah yang datang ke sosok itu, “Selamat pagi pula, Burdier! Di mana Kapten Pepelon?”

   Pria yang terduduk di kursi itu mencoba bangkit, namun kawannya menghimbau agar ia tak berdiri dengan satu kaki. “Beliau tenggelam sebagai Kapten terhormat bersama Avem.”

   Rei tak kuasa menahan air matanya sembari menepuk-nepuk pundak juru kemudi itu, “di mana mereka tenggelam?”

   “Di Teluk Kriets, lima puluh mil ke Timur Laut dari Junier.”

   “Bagaimana bisa?” kali ini yang angkat bicara adalah Arseine, “bagaimana kalian karam di perairan tenang?”

   “Baiklah, bila Anda berkehendak, saya akan menceritakannya,” ia duduk kembali memasang posisi senyaman mungkin, “seperti yang orang-orang dengar, Teluk Kriets masihlah tersambung dengan wilayah Grende. Jika hutan itu hilang, maka Teluk Kriets hanyalah salah satu dari teluk liar di dunia ini. Sialnya, kami tak mengerti kabar semacam itu; kami melaut selama berbulan-bulan tak tahu-menahu kabar dari daratan. Saat itu, aku sendirilah yang menggantikan Kapten Pepelon sebagai juru mudi pertama dan kami memilih untuk beristirahat sejenak di Pelabuhan Kreits karena kabut tebal sedang mengungkung perairan.

   ‘Burdier, bukankah menurutmu kabut ini terlalu tebal untuk melaut? Bahkan aku tak tampak apapun sejauh empat mil!’ seru Kapten Pepelon dan kujawab, ‘Anda benar Kapten. Baiklah, mari kita berbelok ke Teluk Kriets dan bermalam di sana, kemungkinan esok pagi angin bukit akan meniup kabut ini.’ Dengan itu, kami mengubah haluan kami ke Teluk Kriets.

   “Saat sampai di sana, betapa kami terkejutnya dengan keadaan pelabuhan. Semuanya tampak sepi, seperti tidak ada kehidupan. Aku melepas kemudi dan menyuruh kelasi lain menggulung layar, membiarkan arus menuntun Avem berlabuh.

   “Namun anehnya, kapal tidak segera berlabuh, malahan menjauh. Aku melongok ke bawah, melihati arus, lalu mataku tertumbuk ke garis di ujung pantai yang di sana terdapat garis guna menghitung tinggi permukaan laut ketika pasang atau surut dan terakhir, aku mendongak ke atas melihat bulan separo masih bertengger di sana. ‘Aneh, harusnya sekarang pasang, mengapa tiba-tiba surut?’

   “Angin berhenti ketika aku menyuruh kelasi menurunkan salah satu layar, seolah membimbing kapal kami untuk pergi dari teluk. Namun tidak, Avem berhenti tepat di tengah-tengah teluk. Aku mencoba memegang kemudi, mungkin dengan arus yang sama dan kendali yang tepat, aku mampu membawa kami kembali ke pelabuhan. Ketika aku mencoba berbelok, roda kemudi macet. Kuperiksa tali pengaitnya dan hasilnya tak apa-apa. Karena penasaran, kusuruh beberapa kelasi untuk memeriksa bagian buritan.

   “Lima menit lewat, dan kelasi itu tidak kembali ke geladak. Perlahan, kami merasakan guncangan. Setelah kutengok, ombak mulai menggumpal di bawah. Aku mulai gelisah, juga Kapten, juga semua bawahanku. Ini keadaan yang tidak wajar.

   “Lama kelamaan guncangan itu mulai memiringkan kapal. Kami diluluhlantahkan oleh ombak, bukan badai! Sialnya pula, kami tak bisa bergerak. Di detik-detik itu, kepalaku penuh tanya, ‘kapten! Bagaimana caranya ombak setinggi lima kaki muncul tanpa angin sedikitpun?!’

   “Kapten tampak berpikir, lalu wajahnya berubah menjadi pucat. Dengan langkah pincangnya, ia membunyikan bel bahaya di tengah geladak seraya berteriak, ‘siapkan diri kalian! Separuh kelasi menggerakan kapal ini dengan dayung! Sisanya ambil senjata apapun yang ada! Cepat atau kalian akan mati di teluk terkutuk ini! Cepat! Cepat! Jika kalian menyayangi nyawa kalian seperti aku menyayangi selingkuhanku, maka mendayunglah hingga ke pelabuhan itu!’

   ‘Ada apa?!’ tanyaku sembari menyiapkan pedang lekuk dan karabin. Ia menjawab, ‘mimpi buruk semua pelaut kesepian: Putri Duyung, Burdier!’ serunya. Aku menelan ludah lalu turun ke tengah geladak dan memegang kendali perintah.

   “Namun kami terlambat. Suara kayu-kayu bergemeretak lengkap dengan raungan makhluk itu sudah dekat. Mereka menjebol lambung kapal dengan kekuatan terjangan mereka. Beberapa dari mereka bahkan melompat melalui geladak, menerkam kelasi dan menyeretnya ke laut. Keadaan mencekam dan menakutkan, namun kami berhasil bertahan lima hingga delapan menit.

   “Tinggal seratus depa ke bibir pantai, namun lambung sudah tenggelam. ‘Cepat! Cepat! Jika kalian mencintai nyawa kalian seperti aku mencintai istriku, berenanglah hingga ke tepi!’ teriak kapten. Kami menurut karena secinta-cintanya seorang pelaut dengan kapal yang ia tumpangi, mereka masih lebih mencintai hidup mereka sendiri; namun tidak dengan Kapten Pepelon, ia tetap memegang kemudi kapal, mengorbankan dirinya sebagai santapan makhluk buas demi nyawa seluruh bawahannya.

   “Aku berenang dan sampai ke tepian. Sisa kami tinggal dua belas orang termasuk Aku. Dari kejauhan, kami mengamati kapal itu tenggelam di tengah kecamuk. Kami bernapas lega, namun sekali lagi teror masih belum sirna jika kami terus-terusan di bibir laut. Beberapa Putri Duyung memiliki cambuk untuk menangkap kami, beberapa kelasi lolos namun orang-orang sepertiku tidak. Saat itu, aku bertahan hidup dan mati. Tangan kiriku memegang batuan karang menahan tarikan dengan jemari, sementara tangan kananku menarik pedang. Sebenarnya, ingin kutebas pecut itu; sayang jangkauan pedangku tak sampai di pergelangan kaki, tempat cambuk itu melilit, namun cukup untuk meraih lutut....”

   “Cukup, anak muda,” potong Rei sembari berdiri dan menatap lamat-lamat semua kelasi dan kru itu, “omong-omong, sejak kapan kalian belum kubayar?”

   “Ah, tidak perlu Ser Rei,” jawab Ariesh.

   “Jawab pertanyaanku! Demi nama kehormatan keluargaku, aku akan membayar kalian!”

   Orang-orang itu ragu, namun Burdier memberanikan diri untuk menjawab, “dua bulan, Ser Rei.”

   “Baiklah. Arsiene! Tolong beri semua orang pemberani ini masing-masing 300 koin sebagai jasa mereka.” Dengan sigap, Arsiene balik badan lalu kembali beberapa menit setelah membawa sekantung koin dan memberinya pada buruh-buruh itu. “Sekarang, selamat tinggal, kawan! Silakan kalian mencari majikan baru di luar sana,” imbuh Rei dengan tegar.

   Ariesh yang paling senior di sana bangkit dan maju, “Anda tidak puas dengan kinerja kami, Ser Rei?”

   Pria tua itu memegang pundak, meremasnya dengan lemah lembut di bagian yang terpotong itu, “tidak Ariesh, malahan sebaliknya aku bangga. Tak kusangka masih ada orang sesetia kalian di dunia ini.” Ariesh ingin menjawab, namun Burdier menghentikannya, menggeleng lemah. “Ser Rei, kami rela bekerja tanpa bayaran sekalipun! Mohon tangguhkan pembayaran ka—”

   “Tidak, Ariesh. Tidak, cukup. Aku tak punya kapal atau kereta karavan lagi. Sejujurnya, jika aku tidak terjepit keadaan ini, aku akan membelikan Burdier kaki palsu dan tangan palsu untukmu; bahkan sebenarnya aku ingin sekali melayat ke keluarga kawan kita yang meninggal. Tapi tidak kawan, maafkan aku. Tiga ratus per orang, hanya itulah yang cukup kuberi saat ini.” Rei dan Arseine balik badan, juragan tua itu masih punya urusan dengan utusan Keluarga Septim yang sedari tadi mengintip dan menguping dari balik jendela.

   Saat Rei masuk, utusan Keluarga Septim itu sudah kembali ke tempat duduknya. Rei duduk menyamankan posisi, tak tahu kata apa yang tepat untuk membuka perbincangan.

   “Anda tak sanggup membayar? Tolong berkatalah jujur, Ser Rei yang baik hati.”

   Rei diam, ia menjawab dengan anggukan di wajahnya yang sepucat mayat itu. “Aku takut tidak mengembalikan hutang itu pen—”

   “Bagaimana bila kutawarkan suatu hal: kuundur jatuh tempo pembayaran, bagaimana?”

   Secercah harapan terlihat di sinar mata tua pria itu, juga rona pipi yang kembali muncul, “Anda yakin?”

   “Iya, dan saya pulalah yang akan bertanggung jawab penuh terhadap penundaan itu. Sekarang, sebutkan kapan Anda menyanggupinya?”

   “Tiga bulan,” jawabnya lirih.

   “Baiklah, empat bulan dari sekarang,” ujarnnya dengan beranjak pergi.

   “Tunggu dulu! Apa Anda yakin?”

   “Saya tidak hanya seorang utusan yang berhati dingin; sebaliknya saya adalah seorang pendeta muda di Hyulida. Saya akan bicara pada atasan saya mengenai hal ini. Lagipula, lebih baik menunda dan menerima empat ratus ribu daripada mendesak namun tak mendapatkan apa-apa.”

   Rei mengangguk lemah, membuat surat hutang baru dan menandatanganinya lalu lekas-lekas memberikannya pada pemuda. Senyum hangat pendeta muda itu membuat hatinya tenang, meskipun semua pebisnis harus tahu arti tersembunyi dari senyum manis itu.

   Lenggang menyergap ruang kerja Rei setelah pemuda itu lenyap di balik pintu yang sama. Ia meraih pena dan menulis ulang kewajiban-kewajiban yang harus ia penuhi dan menandatanganinya sekali lagi. Napas lega meluncur lengkap dengan ucapan syukur meluncur dari mulutnya, meskipun tak mengubah fakta bahwa dirinya masih terjepit.

   Sementara itu, si pendeta muda turun dan mendapati sesosok gadis menangis di ruang tamu. Karena penasaran, si pendeta datang dan mencoba menghibur gadis itu. “Ada apa?”

   Sayang gadis itu tak berani menjawab. Ia hanya berani menoleh, menatap wajah si pendeta muda itu dengan ragu-ragu dan mata berbinar. Beberapa saat, gadis itu berani bicara, “Anda adalah teman ayah?”

   “Iya, tentu saja aku temannya. Aku ingin saja membantunya,” si pendeta muda kemudian berbisik, “siapa namamu?”

   “Nia, Anda dapat memanggilku dengan nama Nia.”

   “Apa kau tidak bersekolah?”

   “Tidak, semenjak Mama jatuh sakit dan Papa menjadi pemurung, aku berhenti sekolah. Aku merawat Mama agar ia lekas sembuh, tapi tabib yang merawatnya bilang bahwa Mama tak akan bertahan lama.” Mata gadis itu buncah, namun intonasi suaranya tetap tegar.

   “Memangnya, sakit apa Mama-mu?”

   “Tabib bilang ia mengidap radang paru. Aku tahu penyakit itu tapi aku tak tahu obatnya. Sudah banyak dokter dan tabib yang berusaha mengobatinya, namun tidak satupun dari mereka yang berhasil....” isak tangis gadis itu memecah keheningan. Si pendeta mengelus hangat kepala Nia, mencoba menenangkan gadis itu.

   “Baiklah, aku punya seorang teman di sini. Dia adalah seorang peracik ramuan. Tapi, untuk saat ini aku tak tahu keberadaannya. Jadi, aku akan mencarinya terlebih dahulu. Jika sudah waktunya, ia akan mengirim surat padamu untuk bertemu.”

   Secercah harapan tampak muncul di kemilau mata Nia, “benarkah? Tolong berjanjilah atas nama Dewa—”

   “Aku adalah seorang pendeta; sepatutnya diriku untuk memegang dan menepati janjiku.” Si pendeta muda berdiri lalu berjalan menuju pintu, “omong-omong, ia sering dipanggil Si Pengembara Kesepian! Mohon ingat namanya!” si gadis mengangguk dan melepas kepergian punggung pembawa harapan itu.

   Dalam perjalanannya kembali ke kota, si pendeta muda bertemu dengan kawanan kru kapal dan karavan Rei. “Bisakah kalian ikut denganku? Aku punya urusan bisnis dengan kalian semua.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
Dream Of Youth
753      491     0     
Short Story
Cerpen ini berisikan tentang cerita seorang Pria yang bernama Roy yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya untuk mengejar mimpinya Roy tidak pernah menyerah untuk mengejar cita cita dan mimpinya walaupun mimpi yang diraih itu susah dan setiap Roy berbuat baik pasti ada banyak masalah yang dia lalui di kehidupannya tetapi dia tidak pernah menyerah,Dia juga mengalami masalah dengan chelsea didala...
AKU BUKAN ORPHEUS [ DO ]
731      413     5     
Short Story
Seandainya aku adalah Orpheus pria yang mampu meluluhkan hati Hades dengan lantutan musik indahnya agar kekasihnya dihidupkan kembali.
Dimensi Kupu-kupu
14229      2756     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
The Wire
10071      2188     3     
Fantasy
Vampire, witch, werewolf, dan guardian, keempat kaun hidup sebagai bayangan di antara manusia. Para guardian mengisi peran sebagai penjaga keseimbangan dunia. Hingga lahir anak yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan hidup dan mati. Mereka menyebutnya-THE WIRE
TRISQIAR
8768      1697     11     
Fantasy
Aku memiliki sesuatu yang berbeda. Ibuku bagaikan monster yang memelihara anak iblis. Teman hanyalah kata kiasan untuk mengutuk mereka Manusia bagiku hanyalah bayangan yang ingin aku musnahkan aku tidak pernah sama sekali memperdulikan hidupku karena aku tidak akan pernah bisa mati dan hal itu membuatku senang membunuh diriku sendiri. tapi karena kebiasaanku, sesuatu itu memberikanku kek...
I N E O
6545      1383     5     
Fantasy
❝Jadi, yang nyuri first kiss gue itu... merman?❞
Sacred Sins
1568      681     8     
Fantasy
With fragmented dreams and a wounded faith, Aria Harper is enslaved. Living as a human mortal in the kingdom of Sevardoveth is no less than an indignation. All that is humane are tormented and exploited to their maximum capacities. This is especially the case for Aria, who is born one of the very few providers of a unique type of blood essential to sustain the immortality of the royal vampires of...
Dominion
222      179     4     
Action
Zayne Arkana—atau yang kerap dipanggil Babi oleh para penyiksanya—telah lama hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Perundungan, hinaan, dan pukulan adalah makanan sehari-hari, mengikis perlahan sisa harapannya. Ia ingin melawan, tapi dunia seolah menertawakan kelemahannya. Hingga malam itu tiba. Seorang preman menghadangnya di jalan pulang, dan dalam kepanikan, Zay merenggut nyawa untuk p...
Shinta
6584      1882     2     
Fantasy
Shinta pergi kota untuk hidup bersama manusia lainnya. ia mencoba mengenyam bangku sekolah, berbicara dengan manusia lain. sampai ikut merasakan perasaan orang lain.
Nobody is perfect
13812      2487     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...