Selang satu bulan berlalu dengan cepat. Sa’rah sekarang tidak hanya mencari tetanam herbal saja, namun juga mencoba meraciknya dan mencoba menjualnya ke desa-desa lain. Ia mulai memberanikan diri untuk menjejakan kakinya di luar Hutan Magis Grende, membuktikan sendiri catatan-catatan yang ditinggalkan Gawain ketika mencoba mengingat-ingat masa lalunya. Tulisan itu ditulis dengan detail, membuat Sa’rah semakin tak sabar dan penasaran tentang dunia luar.
Meskipun ia menyiapkan diri, namun pengalaman pertama tetaplah mengejutkannya. Sa’rah mendapati dirinya berlabuh di sebuah desa manusia di pinggiran hutan, tepatnya di perkebunan tuan tanah. Di sana, puluhan petani sibuk bercocok tanam hingga tak melihat Sa’rah datang melintasinya. Sa’rah ingin menyapanya, namun berkat reputasi buruk bangsanya, ia mengurungkan niat; ia belum tahu pasti tabiat manusia sebelum melihatnya sendiri.
Alasan dirinya ke desa ini hanyalah rasa penasaran murni. Di sana, ia menikmati pemandangan dengan duduk-duduk di salah satu bukit sembari melihati gembala-gembala cilik berlarian bersama anjing mereka. Tongkat-tongkat kayu itu menari-nari di genggaman si gembala, menggiring puluhan domba putih ke tanah lapang luas. Setelah tuannya berhenti mengarahkan, semua domba itu menyebar mencari tempatnya masing-masing. Mata Sa’rah mengikuti figur si bocah yang sekarang kini duduk di bawah rindanganya pohon kao-kao. Di sana, ia sudah ditunggu oleh bocah lain dari atas ranting, mereka berdua berbincang dan juga memakan buah kao-kao yang berwarna coklat itu.
Sebuah siulan halus keluar dari mulut seorang dari mereka, menyuruh anjing gembala untuk kembali pada tuannya. Saat kembali, anjing berwarna hitam berbelang putih itu menyalak ke arah Sa’rah, menyadari keberadaannya. Akibatnya, dua bocah tadi menoleh, lalu berjalan mendekat. Sa’rah tidak beranjak, namun menutup tudung kepalanya semakin rapat. Ia tak ingin diketahui identitasnya walaupun ia amat penasaran dengan tabiat para manusia.
“Apa Anda seorang petualang?” tanya salah satu bocah yang lebih pendek dari kawannya.
“Kau tidak sopan,” ujar kawan satunya sembari menyikut siku.
Sa’rah tersenyum tipis di bawah bayangan tudungnya. Ia merasa bodoh merasa berhati-hati pada seorang anak manusia yang bahkan tak bersenjata. “Tidak, aku bukan seorang petualang.”
“Tapi baju itu mengutarakan hal lain,” sahut si bocah pendek, “Anda pasti seorang petualang! Jangan ingkar pada hal yang aku li—”
Ucapannya itu terhenti ketika kawan satunya menyikut di perutnya. “Maafkan temanku ini. Maklumi karena ia sering mengimpikan dirinya menjadi seorang petualang.”
Sa’rah tak menjawab dengan kalimat, namun dengan siulan semata. Siulan itu tampak halus, menyatu dengan desir angin membentuk komposisi musik yang indah. Lagu indah dari alam itu sendiri yaitu kesunyian yang membawa kedamaian. Kedua bocah itu terpukau mendengar siulan pendek itu, keduanya lalu merekahkan senyum.
Sa’rah memang tak ingin memberitahukan identitasnya secara penuh, namun siulan itu dapat memberi ide pada kedua bocah itu bahwa dirinya adalah seorang Half-Elf. Ia penasaran umpatan macam apa yang akan tersembur dari pasangan bocah ini, juga menanti raut wajah apa yang akan mereka pamerkan, atau mengira-ngira laju lari mereka yang terbirit-birit ketakutan karena isyarat semacam itu.
“Anda...” ujar si bocah pendek dengan gemetaran, “seorang Druid!” lanjutnya dengan nada gembira. “Tak kusangka aku akan menemui seorang Druid di usiaku yang muda ini!” si bocah pendek menyodorkan tangannya, meminta Sa’rah untuk menyalaminya.
“Reaksi yang tak terkira!” batinnya. Ia tak mengira bahwa isyaratnya yang jelas seamacam itu gagal, namun juga senang dengan tingkah laku kedua bocah di depannya itu. Sa’rah akhirnya menyuruh mereka duduk dan menemani mereka dengan cerita-cerita dari kuno hingga sore tiba.
Kedua bocah itu menghela nafas, tak menyangka bahwa waktu terlampaui cepat. Karena masih kurang puas, mereka mengajak Sa’rah untuk mampir di desa mereka. Sa’rah awalnya menolak, namun dengan pertimbangan untuk mengetahui lebih lanjut tentang manusia, ia memberanikan diri untuk melangkah.
Seperti yang ia tahu, jarak antara pedesaan setempat dengan tanah lapang itu tidaklah jauh, hanya sepanjang lima menit berjalan. Namun, dengan membawa puluhan domba-domba itu mengulur waktu menjadi lima belas menit. Saat sampai di peternakan, domba-domba itu langsung digiring menuju kandang mereka di sudut peternakan. Dua gembala itu tampak tanggap mengarahkan lajur domba agar mulus dan cepat. Dalam tiga menit selanjutnya, pintu kandang itu sudah dikunci rapat dari luar, menjaga para domba dari ancaman serigala yang turun dari Bukit Alliyun.
Dua gembala itu mengajak Sa’rah berkeliling desa kecil itu. Desa itu tampak hidup pada malam hari. Ratusan batu lumos berjajar rapi di sepanjang jalan, menerangi malam dengan sinarnya. Lampu minyak juga tampak menerangi beberapa rumah penduduk, sumbunya tampak timbul tenggelam di genangan minyak coklat tersebut. Itu kali pertama Sa’rah melihat rupa dari lampu teplok. Di desanya, mereka jarang sekali menggunakan batu lumos; mereka mengandalkan cahaya bintang dan rembulan juga cahaya yang terpancar dari Peri Hutan. Itu indah, namun tetap saja sulit membandingkannya dengan desa asri ini.
Langkah kaki mereka berhenti di sebuah kedai di pinggir Sungai Teirie. Mereka melenggang masuk. Sa’rah ragu, namun memantapkan niatannya—pun toh, jika keadaan memburuk, ia bisa kabur dengan mudah.
Seorang pria tua sedang duduk di meja pesan. Wajahnya tampak bersahaja, sama dengan kondisi kedai itu. Kedai itu tampak sederhana dengan meja-kursi kayu yang terletak berbaris rapi. “Pak tua! Kami memesan seperti biasanya! Oh, aku hampir lupa. Anda memesan apa?” tanya si pendek kepada Sa’rah.
Sa’rah menggeleng, namun demi melihat kekecewaan di mata si pendek, ia mengurungkan niatannya. Ia tidak terlalu tahu betul dengan minuman manusia, namun Gawain pernah mengenalkannya pada suatu minuman dari racikan berbagai macam tanaman. Sa’rah mengingat-ingat, lalu ia akhirnya mengucapkan nama minuman itu, “teh hitam jika ada.”
Si pemilik kedai mengangguk, pergi berbalik menuju dapur di balik tirai. Lima menit menunggu, ia sudah kembali dengan satu nampan berisi dua mangkuk sup merah lengkap dengan susu masing-masing porsi, dan secangkir teh hitam. Aroma teh itu dibawa oleh kepulan uap yang menari-nari. Sa’rah menghirupnya sejenak, lalu mulai menegaknya perlahan.
Harus ia akui, teh racikan pemilik kedai ini enak, namun tidak mengalahkan milik Gawain. Ia tersenyum getir, teh ini mengingatkannya pada sosok Gawain. Ah, ia merindukannya.
“Apa aku mengingatkanmu pada seseorang, nona muda?” tanya si pemilik kedai sambil duduk di hadapannya. “Jika iya, maaf bila kualitas racikanku sudah menurun. Tanganku sudah terlalu tua untuk menumbuk tiap tanaman itu, juga mataku sudah rabun untuk mencari bahan racikan; kau tahu sendiri bukan bahwa tanaman berkualitas tinggi dipetik sesaat sebelum mentari terbit bukan?”
Sa’rah tersenyum, orang tua di depannya ini bijak dan dalam satu kali lihat, pak tua itu bisa tahu bahwa Sa’rah bukanlah ras manusia—sindiran “nona muda” itu sedikit menyinggungnya. “Aku beli teh ini dan mendapat gurauan dari pemiliknya, Anda cukup menarik.”
“Oh, tebakanku benar? Omong-omong, yang menarik perhatianku adalah Anda, nona muda. Jarang sekali orang dari ras Anda datang kemari. Apakah Anda ada urusan yang mendesak hingga Anda menjejakan kaki keluar dari Grende?”
“Tidak, alasanku ke sini tidak berkaitan sama sekali dengan kepentingan saudaraku; aku ke sini datang karena rasa penasaran murni, tidak lebih juga tidak kurang.”
Si pemilik kedai mengernyitkan dahi, “jadi, Anda tidak datang karena,” ia menurunkan tekanan suaranya hingga amat lirih, “menyelidiki tentang mereka?”
Melihat itu, Sa’rah juga ikut melipat dahinya, “siapa yang Anda maksud?”
“Ah, maafkan aku. Aku lupa kalian hidup di Jantung Grende. Yang kumaksudkan adalah anggota kultis Topeng Hitam. Beberapa bulan ini, tersebar rumor bahwa mereka sedang mengintai Junier dan sekitarnya selepas insiden Keluarga Orkney.”
Sa’rah tidak tahu insiden yang berkaitan sebelumnya, namun fakta bahwa ada rumor yang dapat mengancam kedamaian Hutan Magis Grende cukup membuatnya terusik. “Bisa Anda jelaskan tentang rumor itu? Oh, juga segelas teh hitam lagi.”
Si pemilik kedai tua itu terkekeh pelan. Ia beranjak ke dapur dan kembali dengan satu teko penuh teh hitam. Setelah menuang ke cangkir Sa’rah, ia duduk dan menarik napas, bersiap menceritakan rumor itu. “Sebelum kulanjut, akan kuberi pertanyaan. Kau tahu Penyihir Abadi?”
***
Sa’rah sudah tahu garis besarnya, kaitan antara Penyihir Abadi, Perang Besar dua dekade lalu, juga Topeng Hitam. Jika ia disuruh untuk menjelaskannya lagi, ia hanya butuh satu-dua kalimat untuk meringkas cerita pemilik kedai: Topeng Hitam ingin Penyihir Abadi untuk kembali mengubah dunia sesuai pandangan mereka. Sekarang, mereka sedang mengumpulkan kekuatan-kekuatan sihir yang tersebar di dunia; Hutan Magis Grende adalah salah satunya.
Kekuatan sihir yang ada di dunia ini ada karena dunia ini tidaklah stabil. Mereka bertindak sebagai anak pasak, mendukung peran Pohon Yggdrasil sebagai pasak utama. Singkat cerita, Hutan Magis Grende bertindak sebagai salah satu penyedia sihir penyetabil dunia dan Half-Elf, Druid, dan Peri Hutanlah yang berperan menjaganya dari ancaman.
Tapi rumor yang tersebar tidak cukup bukti. Semua itu hanya spekulasi segelintir orang. Pada akhirnya tidak semua rumor itu dapat dipercaya kebenarannya, karena pada dasarnya rumor tetaplah rumor belaka. Namun, Sa’rah merasa tidak sepenuhnya tenang. Fakta rumor itu ada tidak bisa diremehkan masih adanya kemungkinan rumor itu benar.
Malam semakin menyingkap dunia, waktunya ia harus kembali ke tempat di mana ia seharusnya berada. Sebelum pergi, si pemilik kedai mengatakan suatu hal yang tak ia kira, “salam pada Tetuamu. Bilang kalau ia bosan di hutan, jangan ragu untuk mampir.”
“Anda mengenal Tetua?”
“Tentu saja! Dia adalah kawan berburuku ketika aku masih muda. Sekarang, sudah lima puluh tahun tak jumpa. Apakah ia masih sehat seperti sedia kala?”
Sa’rah mengangguk dan tersenyum kecil, “aku akan memberikan salam Anda pada Beliau.” Sa’rah berbalik menghampiri pintu dan menyentuh gagangnya, hingga si pemilik kedai memanggilnya lagi. Kali ini, Sa’rah hanya melirik.
“Lagi-lagi, sambangi aku disini, nona muda. Aku tahu bahwa bangsamu itu memiliki reputasi buruk, tapi itu masa lalu! Waktu telah menyembuhkan luka dan amarah itu. Kini mungkin saatnya bagi kau dan saudaramu untuk mengetahui dunia daripada mengurung diri sendiri di hutan.”
Sa’rah tersenyum, “kuterima tawaran Anda,”Sa’rah kembali menghadap ke pintu, “sayang tidak semua orang di dunia ini menerima kami seperti Anda,” gumamnya sesaat sebelum keluar dari kedai. Begitu keluar, Sa’rah mengedarkan pandangannya di jalanan, mencari jalur tercepat dan sepi untuk kembali ke hutan. Matanya yang tajam itu terlatih menyibak malam, memudahkannya memilih jalur lalu kembali ke desa dengan cepat.
Keesokan harinya ia datang kembali, namun kali ini membawa beberapa racikan ramuan juga satu bungkus teh hitam yang dibuat Gawain. Sebagai rasa terima kasihnya kepapda pemilik kedai yang menerimanya, ia membuatkan teh hitam versinya, menyeduhnya dengan terampil, lalu menyuguhkannya pada pemilik kedai.
Awalnya si pemilik kedai ragu, namun ketika hidung tuanya bersungut sebagai respon menhirup aromanya, ia langsung menegaknya sekali. Sejenak, ia menutup matanya sembari mengangguk-anggukan kepalanya. “Teh yang bagus. Kau buat sendiri?”
“Seorang kawan yang meraciknya. Bagaimana menurut Anda?” tanya Sa’rah sembari mengeluarkan beberapa botol ramuan dari kantongnya.
“Enak, mengingatkanku pada teh hitam milik saudagar Rei di Junier. Rasanya persis sekali,” ujarnya. “Bahkan harum uapnya sama persis!” imbuhnya dengan mata tak percaya, “apa benar temanmu yang membuatnya?”
Kalimat itu membuat Sa’rah berpikir sejenak. Ia tahu bahwa Junier adalah kota yang paling dekat dengan Hutan Magis Grende. Kota itu tidak terlalu besar, namun ramai dan terkenal jika didengar dari cerita si pemilik kedai kemarin. Sebuah gagasan terbersit di kepalanya: “aku mungkin dapat menemui masa lalu Gawain di sana.”
Tiba-tiba suatu rasa kekhawatiran menyusupi hatinya. Satu hal yang sempat menggetarkan nyali di hatinya itu: bagaimana bila ia bertemu dengan keluarga lama Gawain? Dari yang Sa’rah dengar saat si pemilik kedai bercerita kemarin, ia mengaku menikah ketika berumur enam belas tahun di tengah ia meniti karirnya sebagai pemburu ulung. Jika Sa’rah tak salah hitung, Gawain saat ini sudah berumur tujuh atau delapan belas tahun, ada kemungkinan bahwa ia sudah beristri atau bahkan beranak.
“Nona muda?” tanya si pemilik kedai, “aku lihat kau melamun. Apa ada suatu hal yang mengganggu pikiranmu?” imbuhnya sembari melihat-lihat botol kecil berisi ramuan berwarna hijau terang. “Ah, maaf jika mengganggu pikiranmu tadi. Bolehkah aku...”
Sa’rah paham dan mempersilakan pak tua itu melihati ramuan. “Ini tidak seberapa, tapi aku ingin memberi racikan ramuan ini. Kata kawanku, ramuan ini berkhasiat untuk melancarkan metabolisme tubuh.”
Mata si pemilik kedai itu menyipit, meneliti kembali ramuan itu dengan mengocoknya, lalu mengamati partikel yang jatuh ke dasar botol dengan menerawangnya melalui cahaya batu lumos. “Kau yakin memberiku ini, nona muda? Aku yakin sekali, bila kau menjualnya di pasaran, orang-orang akan berbondong-bondong mematok harga tinggi walaupun setetes. Dan kau memberinya padaku cuma-cuma?”
Sa’rah mengangguk. “Itu sebagai tanda terima kasihku pada Anda.” Sa’rah mendongak, mengedarkan pandangannya, mendapati beberapa orang masuk ke kedai. Jika ditilik dari baju yang mereka kenakan, mereka adalah petualang. Sa’rah tak mengenali motif baju yang dikenakan seragam oleh mereka, namun berkat bisikan si pemilik kedai yang berpengalaman, ia tahu bahwa tiga orang itu berasal dari Kerajaan Laitan di timur.
Ketiganya membuka tudung yang menutup wajah mereka. Mata Sa’rah memicing, juga diikuti hidungnya yang menajam. Ia mengenali bau itu. Bau tiga ekor kucing. Dan itu benar, rupa tiga Tigra dengan tubuh tegap terlihat. Mereka tersenyum kecil, lalu duduk memesan minuman.
Si pemilik kedai kembali ke dapur menyiapkan pesanan, meninggalkan Sa’rah yang sekarang duduk sendirian.
Sa’rah tak mengamati mereka—bahkan sedetik untuk melirik tidak. Tapi ia mendapat balasan tiga pasang mata tajam memandangi punggungnya. Itu pandangan yang tidak nyaman, Sa’rah dapat merasakannya. Sa’rah mengencangkan otot-ototnya, bersiaga. Ia tak menyangka bahwa bangsanya dumusuhi hingga manusia setengah harimau itu. Bunyi derit kursi terdengar, disusul dengan langkah berat dari sepasang kaki menghampiriSa’rah.
“Hei,” sapa suatu suara berat dari punggungnya. Sebuah lengan raksasa menyentuh pundak kanannya. Sa’rah melirik sesaat, menapaki kuku tajam nan berkilau itu dari dekat. Bulu romanya menegak, instingnya mengatakan bahwa keadaannya terdesak. Alhasil, ia memegang telapak tangan raksasa itu dengan tangan kirinya, lalu melempar dirinya ke samping, menendang sosok itu tepat di perutnya. Tubuhnya terjungkal ke belakang. Dengan cepat, Sa’rah bangkit kembali.
Si manusia harimau itu menyeringai kecil. Terlihat bahwa tendangan keras itu tak sebanding dengan tubuhnya yang berukuran satu setengah depa. Sa’rah bergidik, mulai membayangkan seberapa kuat musuh di depannya itu. Dengan cepat, ia mengeluarkan belati dari balik jubahnya, mulai memasang kuda-kuda.
Sebaliknya si manusia harimau itu mengangkat tangannya, “tunggu kawan, tunggu. Aku rasa ada kesalahpahaman di antara kita, maka dari itu, mari kita luruskan.”
Sa’rah mendongak ke atas, menatap wajah manusia harimau itu berubah menjadi lebih bersahabat, begitu juga dengan dua kerabat yang menemaninya tadi. Setelah meyakinkan diri, Sa’rah menyarungkan kembali belatinya. “Maafkan aku, tuan harimau yang baik hati. Aku merasa ada tatapan tajam di antara Anda sekalian,” terlihat satu teman yang lain menyikut kawan di sebelahnya, “maafkan aku jika salah.” Sa’rah membenahi jubahnya, lalu kembali duduk dan menikmati teh hitam sisa di cangkir.
Manusia harimau itu duduk di sebelahnya, diikuti dua kawannya. Sa’rah tidak keberatan. Lagipula, untuk apa menyerang Half-Elf yang bahkan tak berharta sama sekali? Ia hanya membawa sebotol ramuan—dan itupun sudah telak menjadi milik si pemilik kedai; ia tak punya apa-apa lagi.
“Ah, aroma Grende,” ujar salah seorang dari mereka. “Jarang sekali mendapati Half-Elf bersahabat dengan manusia,” imbuh Tigra itu seraya menunjukkan senyumnya. Dari senyum itu, Sa’rah tahu bahwa tigra itu wanita.
“Jadi, apa yang kalian mau hingga repot-repot berbicara dengan Half-Elf?” balas Sa’rah dingin.
Tawa hangat keluar dari manusia harimau terakhir. Dilihat dari suaranya, ia adalah yang tertua dari ketiganya. “Sebelumnya, maafkan tingkah laku kemenakanku ini. Dia salah mengenalimu dengan orang lain,” ujarnya sambil mengelus-ngelus surai halus di sekitar dagunya. “Kami hanyalah tiga petualang. Kebetulan sekali kami singgah di tempat ini dan menikmati teduhnya Grende. Kami akan bertolak menuju Kota Anerit lalu ke Larista di selatan satu hingga tiga bulan lagi dan menetap di sana. Di sini, kami memilih untuk tinggal sejenak.”
Tidak ada mencurigakan dari kalimat itu, yang ada hanya kebohongan kecil. Tapi untuk apa? Untuk apa seseorang memberikan kebohongan yang sia-sia? Sa’rah tak melihat kaitan antara kebohongan itu dengan hal lain, kecuali... “siapa kalian sebenarnya? Dataran Aliyun dan Grende tidak sesubur dengan yang kalian kira juga Kota Junier tak semakmur yang diceritakan. Jika kalian berkata bahwa kalian petualang, kukatan satu hal; itu kebohongan. Di tanah ini tak ada yang menarik bagi orang luar seperti kalian.”
“Kami tidak berpetualang untuk mencari harta—”
“Lalu mencari apa? Tak pernah kudengar orang berpetualang yang tak mencari kekayaan.”
“Kami punya alasan kami tersendiri mengapa kami menjejakan kaki di sini. Aku rasa Anda tak perlu repot-repot menempelkan hidung Anda dengan urusan kami.”
Kali ini, Sa’rah merasa tigra tua itu benar. Tanpa kebohongan, meskipun ada beberapa hal yang disembunyikan. Sindiran itu juga membuatnya mundur. Ia tak ingin berurusan langsung dengan mereka, itu kekalahan yang telak dan pasti.
Suara gemerincing manik-manik di balik tirai menuju daput memecah keheningan sesaat. Semuanya tahu si pemilik kedai telah kembali membawa pesanan. Dengan senyum merekah, si pemilik kedai menyajikan beberapa kudapan lengkap dengan air tuak yang tiga tigra itu pesan. Ia duduk di sebelah Sa’rah, mencoba ikut menyimak. “Jarang sekali ada petualang yang datang ke sini—terutama dari timur. Bisakah kalian bercerita apa yang membuat kalian tertarik ke sini?”
Si tigra tua menjawab dengan kalimat yang sama dengan sebelumnya. Si pemilik kedai mengangguk takzim, lalu ia membalasnya dengan cerita tentang rumor Topeng Hitam. Ketiga tigra itu mendengarkan dengan cermat cerita itu dari awal hingga akhir. Di akhir cerita, mereka menarik kesimpulan bahwa Topeng Hitam itu tidak benar-benar ada. Mereka berkata fakta bahwa mereka sebagai petualang lepas tidak mendengar rumor semacam itu memperkuat gagasan bahwa rumor itu keliru.
Tapi tidak bagi Sa’rah. Fakta bahwa ketiga tigra itu mengutarakan gagasan sebaliknya. Dengan itu, ia beranjak pergi dan meninggalkan beberapa uang seraya berkata, “teh yang nikmat seperti biasanya. Kukan kembali esok atau bahkan nanti.”
Jalanan pagi menyambutnya. Sekarang jadwal untuk dirinya memetik tanaman lain. Dengan langkah cepat, ia menghilang di balik semak dan memasuki kawasan hutan. Di sana, ia tak langsung pergi, ia memanggil beberapa peri hutan untuk ia tugasi mengawasi tiga tigra itu. Setelahnya, ia beranjak masuk ke hutan, menunaikan tugasnya sebagai pencari tanaman herbal.
Setelah dua jam, peri hutan yang ia suruh kembali ke dirinya dan mengatakan bahwa tiga tigra itu membangun perkemahan di pinggiran Kota Junier, dekat dari gerbang hutan di sisi utara, bertolakan dengan desa yang mereka kunjungi meskipun tidak jauh. “Awasi mereka. Jangan sampai lolos dari pandangan kalian, terutama ketika mereka masuk ke kawasan hutan.”
Setiap malam, peri hutan melaporkan hasil pengintaiannya terhadap kelompok kecil tigra itu. Sudah seminggu mereka menetap di sana dan tak ada bau aktivitas yang mencurigakan. Di tiap kesempatan, Sa’rah berpikir lagi apakah mungkin ada kaitannya antara rumor Topeng Hitam. Ia belum dapat memastikannya, dengan demikian pengintaian itu berlanjut.
Satu bulan berlalu dengan laporan yang sama dari peri hutan. Sa’rah akhirnya meyakinkan dirinya bahwa ketiga petualang itu benar-benar tak tahu apapun. Dengan itu, ia menghentikan usaha sia-sianya selama sebulan ini. Juga masih ada kemungkinan bahwa tiga tigra itu tahu kalau mereka diawasi.
Pada suatu sore di bulan kedua, Sa’rah memilih untuk menghabiskan malam di kedai sambil berbincang dengan si pemilik kedai, juga beberapa masyarakat lain yang sudah beberapa ia kenal. Di sana, ketiga tigra itu duduk di meja ujung; meja favorit mereka di mana kalian bisa menikmati jajaran bukit melalui jendela. Sa’rah memesan minuman, lalu bergabung duduk dengan mereka.
“Tak kusangka Half-Elf punya kebiasaan buruk untuk mengintip,” ujar si tigra pria, “dan kau beraninya menunjukkan dirimu di depan mata kami!”
“Kau tak bisa menyalahkannya, anakku. Itu memang sudah tugas mereka untuk mengawasi hutan magis,” imbuh si tigra tua, “omong-omong, aku punya hadiah untukmu,” si tigra tua melirik si tigra wanita. Dengan anggukan, si tigra wanita mengeluarkan sepasang anting dari sakunya.
“Anggap saja ini sebagai permintaan maaf kami.”
Sa’rah tahu makna simbolis dari hadiah itu: penyogokan. Ia berpikir sejenak. Awalnya ia menolak, namun setelah mempertimbangkan hasil pengintaian juga perhiasan menarik di depannya, membuatnya ragu. Sejenak, ia melamun dan membayangkan bagaimana rupanya ketika mengenakan sepasang di depan Gawain. Telinga panjangnya itu pasti akan menawan. Dengan anggukan kecil, Sa’rah akhirnya setuju.
Perbincangan mereka berjalan lancar setelahnya, hingga malam benar-benar larut. Pada malam yang menyusul, ketiga tigra itu izin untuk kembali ke perkemahan mereka, meninggalkan si pemilik kedai dan Sa’rah yang masih berbincang.
Sa’rah sempat bertanya-tanya mengapa ada manusia yang dapat ia akrabi. Dari observasinya, hanya beberapa orang saja yang mau berinteraksi dengannya bahkan ada yang sempat mengutuknya. Sedangkan, si pemilik kedai ini malah senang dan menunggu-nunggu kedatangannya dari balik pintu kedai. Sering kali ia lupa menanyakannya, takut dengan beberapa alasan yang sudah ia spekulasi yang nantinya akan menyinggung si pemilik kedai. Namun rasa penasaran mendorongnya hingga sepotong kalimat keluar dari mulutnya, “apakah saya mengingatkan Anda pada seseorang?”
Si pemilik kedai tersenyum, lalu mendongak ke atas, melihati langit-langit kedai di mana lampu lilin menggantung di sana. Ia menjawab, “iya, kau mirip dengan mendiang istriku, sama-sama bedarah setengah.”
Tepat setelah jawaban itu, sebuah gemuruh datang menggetarkan tanah hingga menjatuhkan botol-botol yang tersaji. Karena terkejut, si pemilik kedai jatuh tersungkur lalu tertimpa almari. Guncangan itu cukup kuat hingga rantai yang menahan beban batu lumos di langit-langit putus, hampir menimpa Sa’rah.
Beruntung Sa’rah dapat menghindar di momen-momen terakhir, namun tidak si pemilik kedai. Ia sempat menghindar sebelum tubuhnya tertimpa almari, namun kakinya yang tua itu tak sempat bergeser. Ia mengucap syukur pada Dewa dan Dewi. Sa’rah sigap menghampiri, dengan tangannya ia mulai memegangi ujung almari lalu mengangkatnya, memberi ruang agar si pemilik kedai menarik kakinya.
Setelah keluar dari jepitan itu, si pemilik kedai menarik tubuhnya juga mengatur napasnya yang tersengal. “Nona muda, lekas pergi dari sini. Kembalilah ke tempatmu. Aku punya firasat buruk tentang ini.”
Sa’rah menurut. Ia menjejakan langkahnya dengan cepat. Derak kayu rapuh terdengar akibat guncangan, sempat ia tersandung namun tak merubuhkannya. Ketika pintu kedai dibuka, baru ia mengetahui apa firasat buruk yang dirasakan pemilik kedai.
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona