Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Seorang gadis Half-Elf turun dari pohon tempatnya memanjat memetik buah plum segar dari tangkainya. Di keranjang samping pinggangnya, sudah terdapat puluhan buah dari pohon-pohon sebelumnya. Tidak hanya plum, terdapat pula buah lain seperti Juno’s Berries, apel, serta berbagai dedaunan. Gadis itu tampak lincah menuruni pohon. Ia cekatan sekaligus berhati-hati dalam memilih pijakan.

   Setelah turun, ia memandang langit sejenak, memperkirakan waktu yang telah ia habiskan di dalam hutan belantara ini. Mata merahnya bersinar redup karena cahaya mentari, menerawang jauh dan mengingat letak presisi bintang itu lalu mengira waktu yang telah terlalui.

   “Lima belas derajat, itu berarti setidaknya sudah satu jam...” gumam Sa’rah, si gadis Half-Elf. Ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya, menghangatkan diri. Keadaan hutan hujan ini amatlah lembab dan dingin. Terkadang, sinar mentari tidak menembus hingga lantai dasar hutan, tertutup kanopi teduh dari pohon-pohon tua yang tinggi. Jika tidak terbiasa, seseorang akan tergelincir karena licinnya lumut di lantai dasar atau terjerembab ke lubang yang tertutup ilalang setinggi pinggang.

   Sa’rah menutup kantong dan keranjangnya. Ia mulai mengambil ancang-ancang, lalu berlari melintasi rumput-rumput liar di hutan. Gerak-gerik matanya sama dengan kilat lincah kakinya. Ia mencari-cari pijakan mana yang dapat ia percayai, juga berkonsentrasi penuh bila ada hewan buas yang mengincarnya. Meskipun masih siang, hewan di hutan hujan dapat buas. Hewan semacam serigala dapat saja menerkam seorang petualang dengan cepat tanpa suara. Berkat lingkungan semacam ini, hewan buas di hutan hujan ini berkembang menjadi lebih cerdik dan buas.

   Tapi tidak bagi orang yang memang hidup di hutan ini. Para Half-Elf yang bertempat tinggal di jantung hutan sudah bosan dengan keadaan di sini. Konsentrasi tinggi yang mereka miliki adalah akibat hidup terpencil di tempat ini. Mereka adalah kaum yang baik meskipun memiliki reputasi buruk karena darah mereka yang dianggap “kotor”. Para Elf membuang keturunan mereka yang berdarah separuh itu, juga ras manusia. Hal ini disebabkan oleh perseteruan lama antara Ras Elf dan Ras Manusia setelah peperangan. Kembalinya kedamaian setelah kematian Penyihir Abadi tidak memutuskan rantai kebencian lama antar ras, hanya mengendurkannya saja.

   Meskipun kebencian itu sudah melarut dikarenakan salah satu Petinggi Asosiasi berasal dari Half-Elf, namun kebencian itu belum sepenuhnya hilang dari muka bumi. Masih banyak bangsawan Elf yang memusuhi mereka, juga banyak bangsawan ras lain yang menyimpan dendam lama dari ras Elf. Mereka tidak diterima di mana-mana. Tapi bukan berarti mereka tidak diterima oleh Dewa dan Dewi mereka.

   Dengan wahyu dari Dewa dan Dewi, akhirnya mereka bertempat tinggal di seluruh jantung hutan magis. Di sana, mereka hidup berdampingan dengan Peri Hutan dan Druid. Mereka menutup diri dari kehidupan sosial dunia luar dan hidup dalam komunitas kecil berbentuk desa. Sebagai kompensasinya, mereka ikut menjaga kedamaian hutan bersama Peri Hutan dan Druid. Tiap ada masalah yang mengganggu keseimbangan hutan, maka mereka akan cepat turun tangan, meskipun nyawa mereka jadi taruhannya.

   Biasanya, Sa’rah menghentikan aktivitasnya ini ketika sore menjelang, namun beberapa hari ini ia pulang lebih awal karena ada api yang mulai memanas di desa mereka. Sebenarnya itu konflik kecil, namun keadaan mulai bertambah buruk dengan beberapa desas-desus yang tersebar. Apalagi, desas-desus itu mengarah pada dirinya dan kawan yang baru saja hidup bersama satu tahun lalu.

   Satu tahun lalu, ia bertemu dengan seorang manusia. Malam itu, seorang lelaki menyedihkan terbaring di bawah rumah pohonnya. Tanpa pelindung apapun selain selembar kain lusuh. Rambutnya berantakan, sorot matanya sayup dan layu, tubuhnya kurus kering. Gadis itu langsung membawa lelaki itu ke rumahnya, mengobati luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya.

   Keesokan paginya, lelaki itu siuman. Mata coklat lelaki itu mulai hidup kembali. Perlahan, tubuhnya mulai terisi kembali karena ada makanan. Lelaki itu kembali seperti sedia kala setelah tiga hari dirawat di rumahnya. Sang gadis tidak terlalu banyak berbincang, namun karena penasaran ia akhirnya bertanya tentang siapa si lelaki itu.

   Sayang, lelaki itu tak bisa menjawab. Ada dua alasan kenapa ia tak dapat menjawab pertanyaan itu. Pertama, lidahnya terpotong dan yang kedua karena ia tak memiliki ingatan apapun. Meskipun ia paham betul dengan bahasa yang diucapkan oleh Sa’rah, juga paham dengan berbagai macam aktivitas, sayang si lelaki tak mengetahui apapun tentang keluarga dan kerabat, atau alasan mengapa ia datang dengan semua luka itu. Penderita amnesia yang menyedihkan.

   Tapi ia tidak sepenuhnya menyedihkan. Ia pandai dan orang yang cerdas. Sa’rah awalnya mengira bahwa lelaki itu adalah budak yang meloloskan diri dari penjualan ilegal, namun anggapannya salah ketika melihat lelaki itu mahir membuat ramuan dari tanaman herbal yang ia kumpulkan sebagai perbekalan untuk berburu. Awalnya ia ragu, namun setelah mencoba khasiat yang mujarab, ia akhirnya percaya pada lelaki itu.

   Lelaki itu tak hanya pandai membuat ramuan, namun juga pandai memainkan musik dan beradu pedang. Kecapi di rumah Sa’rah tidak akan menganggur lagi, juga pedang pendek dan beberapa pisau belati akan selalu terasah lagi. Ia lelaki yang baik hati, dan itu merupakan caranya berterima kasih.

   Suatu malam, mereka sempat berbincang dan bertukar pikiran tentang berbagai macam hal. Namun, setiap topik berhenti, Sa’rah takut menyinggung perasaan lelaki itu. Hening selama tiga puluh menit, hanya jerit ilalang dan desahan ranting yang bergesek satu sama lain yang memainkan lagu malam. Orkestra yang sunyi. Tapi itu cukup untuk menemani malam sembari berbaring di rerumputan, memandang luasnya langit di atas yang gelap. Bintang-bintang tampak bertabur. Ada yang sendiri, ada yang berpasangan, juga ada yang berkelompok.

   Sa’rah akhirnya bertanya, “hei, bagaimana aku memanggilmu? Sebulan ini aku hanya memanggilmu dengan sebutan ‘kau’. Aku rasa kita harus memikirkan sebuah nama yang cocok untukmu?”

   Lelaki itu menoleh, ia tak menggeleng atau mengangguk, ia hanya mengamati gadis itu dengan mata coklatnya yang seolah berkata, “terserah kau mau memanggilku apa.” Hidup bersama seatap membuat keduanya memahami satu sama lain. Sa’rah yang sedari dulu diajari bahasa tubuh sebagai strategi berburu berkelompok dapat memahami cepat apa maksud si lelaki, beruntungnya pula si lelaki piawai sekali dalam berkomunikasi dengan bahasa tubuh, seolah ia juga seorang pemburu yang ahli.

   “Baiklah, biar aku pikirkan sejenak,” gadis itu bangun dari rebahannya, menekuri diri dengan menyilangkan tangannya di depan dada. Sa’rah tampak berpikir keras, sementara si lelaki dengan santai saja menikmati pemandangan. Ia tidak tertarik atau tersinggung dipanggil macam apapun oleh seseorang; ia tidak berhak komplain pada orang yang telah merawatnya.

   Si lelaki menutup mata, mendengarkan siulan angin halus. Perlahan matanya membuncah. Ia merasa melupakan suatu hal yang amat berharga. Ada lubang menganga di hatinya; emosi yang hilang dan lenyap. Saat ia menutup mata, ia membayangkan seseorang yang sedang menunggu dirinya untuk pulang. Sesosok figur gadis. Rambutnya tergerai halus karena tiupan angin. Si lelaki tak mengetahui wajah figur itu dari belakang. Si lelaki berjalan menghampiri hingga suatu tangan menarik pundaknya untuk menjauh. Figur itu lama kelamaan lenyap, lalu hilang dari pandangannya.

   “Gawain? Kau tidak apa-apa?” suara Sa’rah membawanya kembali dari lamunannya. Mungkin itu adalah kenangan lama. Si lelaki menggeleng kecil pada lamunannya itu, karena pada dasarnya, seorang yang melupakan masa lalunya tak pantas untuk menyesali kesalahan yang ia perbuat.

   “Gawain?

   “Iya, G-a-w-a-i-n. Bagaimana menurutmu?”

   “Aku rasa nama yang bagus. Tapi apakah aku pantas untuk menerima nama itu?

   “Kenapa tidak? Aku rasa kau pantas. Peri-peri hutan juga setuju dengan namamu ini.” Tiba-tiba, beberapa cahaya muncul dari pundak Sa’rah. Itu adalah Peri Hutan. Mereka berterbangan di sekitar mereka. Gawain (mari dari sekarang kita panggil si lelaki dengan sebutan Gawain) menatap temaram cahaya biru air dari peri-peri hutan. Redup, nyaman, nan hangat. Temaram kecil itu menyepuh wajah Sa’rah yang awalnya tertutup bayangan malam.

   Pandangan mereka beradu sejenak. Detik-detik itu, dunia serasa membisu hanya untuk kesempatan bagi mereka berdua. Degup jantung Sa’rah tak beraturan. Di saat-saat itu, ia merasa suatu hal dan perasaan yang selama ini tak ia sadari—cinta.

   Sa’rah tak menolak perasaan itu. Ia menerimanya seperti menerima Gawain seutuhnya selama ini. Gawain memang tidak terlalu tampan bagi standarnya, tapi ia tahu bahwa jiwa yang dimiliki lelaki itu baik. Ia memang memiliki banyak kekurangan fisik, tapi juga memiliki kelebihan yang tak terkira dari wawasan yang luas dan kebijaksanaannya yang mumpuni; perilakunya yang mudah beradaptasi dengan kehidupan sekitar membuat hingga tetua desa menerimanya dengan baik, bahkan fakta bahwa Peri Hutan berterbangan di sekitarnya saat itu cukup menunjukkan bahwa dia lelaki yang baik hati.

   Namun, bagaimana dengan Gawain? Dia masih muda, sekitar belasan tahun bagi umur manusia sedangkan dia sudah separuh abad; hanya karena darah Elf-nya lah yang membuat dirinya tetap berumur panjang. Lagipula, Gawain tak bisa lama menemaninya. Rerata manusia biasa hanya akan hidup selama tujuh hingga delapan puluh tahun, artinya Gawain diperkirakan akan meninggal enam hingga tujuh puluh tahun lagi, sementara itu ia masih memiliki sisa usia sekitar satu abad lagi. Apakah ia dapat hidup dengan kehampaan di sisa umurnya?

   Jawabannya tidak. Meskipun sedari dulu Sa’rah hidup sebatang kara karena tidak diterima di bangsa manusia dan Elf, ia dapat meneguhkan langkah kakinya meniti hari demi hari. Tapi sekarang, separuh dari jiwanya tercuri. Ia yang sedari dulu tidak pernah bersisian dengan seorangpun dan hanya ditemani oleh Peri Hutan, kini dihadapi dengan pilihan yang menentukan jalan hidupnya. Jawaban yang bahkan sekarang dapat ia raih dengan tangannya sendiri—pasangan sejati, sehidup semati.

   Sa’rah membungkuk mendekat. Gawain tidak menghindar, malahan ia meluruskan sorot matanya; ia tidak terlalu bodoh tentang apa yang akan terjadi.

   Sa’rah menutup mata pula mendekatkan wajahnya. Juga Gawain. Hanya tinggal beberapa saat saja.

   Dalam sepersekian detik itu, sebuah pikiran terbersit dalam pikiran Sa’rah. “Bagaimana bila ada seseorang yang menunggunya?

   Masa lampau Gawain tidaklah jelas. Banyak pertanyaan mengenai kemampuannya, alasan luka di tubuhnya, juga yang terpenting identitasnya. Orang sehebat Gawain pasti seseorang yang penting dan terkemuka di luar sana. Sa’rah yang tak pernah menjejakan kaki selain di hutan hujan ini ragu dan kembali bertanya, “apakah aku pantas mendampinginya?” Banyak yang tidak ia tahu dari rahasia dunia ini. Ia bagai titik di tengah garis yang kita sebut sebagai dunia.

   Di malam itu, Sa’rah mendapatkan jawabannya untuk menunda dan berpikir kembali.

   Sa’rah menarik tubuhnya seketika, lalu menjauh beberapa jengkal. Ia menutup wajahnya yang merah saat itu. Gawain bersemu, ia berbalik ke arah lain, juga menyembunyikan semu merah di pipinya. Keadaan malam itu berubah runyam. Peri-peri hutan yang sadar bahwa keberadaan mereka mengganggu terbang menjauh, meninggalkan dua insan yang saling memunggungi satu sama lain.

   Beberapa saat kemudian, Sa’rah beranjak pergi tanpa berkata apapun, meninggalkan Gawain yang masih sabar menunggui malam yang tenggelam digantikan bangkitnya fajar esok. Malam itu keduanya berpikir bagaimana cara untuk berbincang di keesokan harinya dan juga memikirkan alternatif cerita lain jika saja Sa’rah tak berhenti. Itu malam yang tak biasa bagi keduanya, walaupun malam itu sama seperti sejuta malam yang lain.

                                                                                                        ***

Langkah Sa’rah terhenti tepat di depan gerbang desanya. Sepasang penjaga bertombak menyapanya sesaat, Sa’rah juga membalas sapaan sejenak, lalu berpaling masuk. Tetua desa sudah menunggunya. Mereka punya janji bertemu pagi hari ini untuk berdiskusi tentang langkah yang harus diambil.

   Setelah berjalan menuju balai desa, ia langsung masuk menuju ruang diskusi. Di sana, ia sudah ditunggu oleh seorang tetua berusia tiga abad, umur yang cukup tua bagi seorang Half-Elf. Sa’rah duduk manis setelah menaruh tasnya, lalu menunduk penuh hormat pada tetua.

   Si Tetua berdiri dari duduknya, memunggungi Sa’rah dan berjalan menuju jendela bundar di belakang meja kerjanya. “Kau terlambat.”

   “Mari kita kesampingkan itu, Tetua. Anda tahu sendiri bukan beberapa hari ini tanah sekitar mulai tak subur. Aku harus mencari tanaman jauh dari sini. Butuh waktu cukup lama aku melintasi hutan.”

   “Itu pertanda buruk, seburuk ramalan itu...” Tetua itu membalik tubuhnya, “yang kutakutkan bahwa isyarat tanah kita menjadi tak subur menandakan bahwa ramalan itu benar.”

   Ini sudah tiga kalinya Sa’rah mendengar ramalan yang dimaksud. Di mana dengan adanya pendatang asing di desa mereka, sebuah bencana akan datang menimpa, meluluhlantahkan seisinya. Gawain adalah pendatang asing yang mungkin dimaksud ditambah ia tidak menjelaskan siapa dirinya dan darimana asalnya. Atas perintah Tetua, Gawain diasingkan dalam segel khusus di tengah desa, menunggu putusan yang akan diambil.

   “Tetua, Anda sendiri juga tahu pria itu. Mungkin, alasan Dewa dan Dewi mengirimnya ke sini juga untuk kebaikan pada kita. Lihat, ia juga rela menolong kita dan bahkan ikut menjaga kedamaian Hutan Magis Grende ini!”

   “Aku tahu itu, aku tahu. Tapi gadis muda, ini putusan yang berat. Aku juga sempat meragukan ramalan itu; tapi mimpiku malam-malam ini menunjukkan bahwa ramalan itu akan terjadi! Api membakar segalanya. Darah menggenang di kubangan selaiknya hujan darah baru saja terjadi dengan dirinya berdiri di tengah-tengah desa. Sosoknya yang hitam legam itu,” Si Tetua menggantungkan kalimatnya di tenggorokan, tidak berani melanjutkan kengerian yang dialaminya.

   Ini sudah ketiga kalinya mereka berdiskusi. Dua hari sebelumnya tidak menghasilkan apapun selain penangkapan Gawain. Sekarang, solusi harus ditemukan. Kemarin malam, sempat ada yang mengusulkan berbagai solusi seperti mengusir Gawain atau bahkan membunuhnya. Tapi ide itu terlalu bengis mengingat segala macam kebajikan yang diberikan lelaki itu. Semua dari mereka merasa menyesal telah memikirkan cara sekeji itu.

   Pada akhirnya, Sa’rah hanya membuang waktunya dengan bertemu Tetua. Keduanya tak menemukan jalan tengah apapun. Akhirnya, keputusan final dan terbaik adalah dengan menyegel Gawain di penjara selama beberapa waktu. Di sana, Gawain akan tidur panjang. Ia tak seubahnya mayat hidup; hanya tidur demi menanti kematiannya sendirilah yang menyusul.

   Semua warga desa menyesali keputusan mereka karena tak mencabut nyawanya saja, namun mereka juga tambah menyesal jika mereka berani mengkhianati kebaikannya. Lagipula, segel tersebut tidak permanen—hanya berusia sepuluh tahun. Jika dalam jangka waktu itu tidak terjadi apa-apa, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ramalan itu salah.

   Itu keputusan yang tepat, terutama bagi Sa’rah. Dengan itu, ia menanti Gawain untuk bangun dari tidurnya dan itu waktu yang cukup untuk memikirkan matang-matang rencananya jika ia serius dengan hubungannya. Jalan yang mereka tempuh akan berat, ia tahu itu. Tapi dengan Gawain di sisinya, mereka pasti menemui solusi dari tiap rintangan. Dan meskipun Gawain mendahuluinya, ia akan tetap hidup demi anak mereka kelak. Impian yang indah.

   Dengan itu, Sa’rah bersabar menunggu, tak mengetahui bahwa takdir berkata lain.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
LINN
13597      2040     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...
Gossen, Master Of Blades
909      543     1     
Short Story
Gossen was a master of blades that grows up in a small village. To be the strongest creature in the world he must find the 5 magic swords.
Dunia Gemerlap
20931      3115     3     
Action
Hanif, baru saja keluar dari kehidupan lamanya sebagai mahasiswa biasa dan terpaksa menjalani kehidupannya yang baru sebagai seorang pengedar narkoba. Hal-hal seperti perjudian, narkoba, minuman keras, dan pergaulan bebas merupakan makanan sehari-harinya. Ia melakukan semua ini demi mengendus jejak keberadaan kakaknya. Akankah Hanif berhasil bertahan dengan kehidupan barunya?
Dream Of Youth
753      491     0     
Short Story
Cerpen ini berisikan tentang cerita seorang Pria yang bernama Roy yang ingin membahagiakan kedua orangtuanya untuk mengejar mimpinya Roy tidak pernah menyerah untuk mengejar cita cita dan mimpinya walaupun mimpi yang diraih itu susah dan setiap Roy berbuat baik pasti ada banyak masalah yang dia lalui di kehidupannya tetapi dia tidak pernah menyerah,Dia juga mengalami masalah dengan chelsea didala...
HAMPA
416      288     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Perceraian kontrak
10523      1916     0     
Romance
Ryan Delon seorang Ceo terkaya se-Eropa harus menyamar menjadi satpam demi mendapatkan cinta sejatinya. Akan tetapi, penderitaan itu hanyalah sementara sampai akhirnya ia dipersatukan dengan desainer cantik bernama Calesthane. Mereka menjalani hubungan hingga kejenjang pernikahan, namun hari-hari yang mereka jalani tidak seperti bayangannya. Banyak bebatuan di kehidupan mereka, sampai pada akh...
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
650      363     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
Maroon Ribbon
523      379     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.
The Skylarked Fate
7074      2082     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
Secuil Senyum Gadis Kampung Belakang
465      356     0     
Short Story
Senyumnya begitu indah dan tak terganti. Begitu indahnya hingga tak bisa hilang dalam memoriku. Sayang aku belum bernai menemuinya dan bertanya siapa namanya.