Florence merasa tubuhnya kaku untuk digerakkan. Ia mulai membuka matanya, mendapati bahwa ia sekarang sedang berbaring di sebuah ranjang. Hal pertama yang ia lihat adalah temaram hangat batu lumos yang bergelantungan di langit-langit. Hembusan udara lembab bercampur embun menyentuh pipinya, ia langsung tahu bahwa hari masih pagi. Kepalanya pusing dan pening, berusaha mengingat apa yang terjadi.
Api. Hanya satu kata dan itu sudah membuatnya mengingat segala hal. Mengingat kematian ibunya juga mengingat inci demi inci api menelan semua mimpi yang ia bangun dari riumahnya. Ia mencoba bangun, namun tak kuasa menahan rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya.
Florence mencoba untuk tenang. Fakta bahwa ia berada di bangsal perawatan menunjukkan bahwa dia juga selamat, meskipun dengan luka yang lebih parah. Ia percaya dengan kekuatan yang kakaknya miliki karena ia tahu bahwa kakaknya selama ini bekerja sebagai pemburu di malam hari.
Florence bergantung pada benang tipis yang ada di dalam diri kakaknya, tanpa mengetahui bahwa benang tipis itu lama kelamaan akan menyakiti dirinya dan Erno. Ia bahkan menggantungkan semua benih harapan di benang tipis itu, mengharap suatu hari bahwa harapan itu akan diusahakan oleh Erno, atau setidaknya harapan itu melekat bersama Erno, selamanya.
Namun, satu hal yang tidak pernah Florence pikirkan, yaitu ketika benang tipis itu putus.
Pagi itu, seseorang langsung datang kepadanya. Itu orang yang amat ia kenal. Itu Guru Enire. Pria tua itu datang dengan wajah yang bersahabat. Mulutnya itu tertutup rapat. Ia datang dengan baju yang jarang dipakainya—sebuah setelan baju petualang berwarna hijau. Itu baju yang spesial, Enire pernah berkata bahwa ia tak akan mengenakan baju itu untuk keadaan penting. Sempat suatu hari Florence mendapati Enire mengenakan setelan ini setelah ia berhasil dalam percobaannya. Itu pertanda bagus, batin Florence.
Namun, wajah bersahabat Enire terlihat berbeda. Lamat-lamat, Florence tidak mendapati wajah itu bersahabat, melainkan wajah dari pak tua yang iba. Mulutnya yang kini membisu itu juga menjadi pertanda; Florence kenal dengan tabiat orang tua ini—ia suka berbicara.
Florence diam seribu bahasa. Ia meragukan suatu hal dalam hatinya.
“Di mana Kakak?” tanyanya dengan suara lirih.
Enire diam.
Florence kembali bertanya. Ia mengelak suatu keraguan dalam hatinya. Ia menatap Enire di mata, lalu kembali bertanya, “Di mana Kakak?”
Enire kembali diam, kali ini ia juga mengalihkan pandangannya. Itu jawaban yang cukup jelas bagi Florence. Binar mata Enire yang terpancar semakin memperjelas jawaban yang tidak ingin dengar itu—ia bahkan tidak pernah ingin tahu jawaban itu. Tubuhnya gemetaran, nafasnya mulai tergugu, ia mulai menangis.
Saat itu, langit seakan runtuh menimpa dirinya, matahari seolah membeku dan jatuh dalam satu kubangan singularitas lubang hitam yang menyerap segala cahaya dari hatinya. Lubang hitam itu menyerap segalanya, menghancurkan cinta, harapan, dan mimpi lalu menjadikannya menjadi suatu partikel yang seragam—kesedihan, kepedihan, dan keputus-asaan. Ia tak memiliki apapun. Ia sekarang bagai jiwa buta yang mengarungi dunia, ia tahu bahwa dunia itu indah, namun tak mampu melihatnya. Ia memang mampu mendengar, mengendus, mengecap, juga mendengarnya, namun itu hanya membuat jiwanya itu tumbuh dengan iri dan dengki karena tak bisa menikmati seutuhnya dunia ini.
Ia tak memiliki apa-apa. Semua harapan sudah ia berikan pada Erno, dan sekarang ia tiada di dunia, beristirahat dengan tenang menuju Surga.
Perlu beberapa menit bagi Florence untuk menenangkan diri dan berhenti menangis. Ia menanyakan bagaimana Erno meninggal. Enire awalnya diam, namun setelah mendengar desakan Florence, ia akhirnya membuka mulut.
“Sudah dua hari yang lalu... dia sudah wafat dua hari yang lalu...”
“Bagaimana ia meninggal?”
“Menyedihkan juga mengharukan. Ia meninggal dengan seulas senyum di wajahnya. Ia tampak pergi tanpa membawa penyesalan apapun. Saat kami menemukan kalian di reruntuhan puing, dia menggunakan tubuhnya sebagai perisai melindungimu... Ia tahu bahwa ia tidak akan keluar... dan itu—”
Florence menghentikan Enire dengan intruksi jarinya. Ia tak kuasa mendengar lebih detail kematian Kakaknya itu. Florence menundukkan kepala. Ia meremas-remas selimutnya dan menahan isak tangisnya. Pahit, kenyataan yang ia terima memang pahit. Ia serasa memakan daging kakaknya sendiri untuk hidup.
“Bisa tinggalkan aku sendiri?” ucap Florence tergugu. Matanya sembab juga perasaannya yang meluap-luap.
Enire tetap diam di sana, tak mengindahkan ucapan Florence. “Florence, aku tahu pera—”
“Tahu apa Anda tentang kehilangan?!” bentak Florence memecah heningnya bangsal perawatan. “Tahu apa Anda tentang harapan yang lenyap?!” Florence mengeluarkan tiap jengkal amarahnya, tanpa mengetahui betul tentang siapa yang ia ajak bicara.
Enire diam seribu kata, perlahan ia mendekap Florence, membenamkan kepala gadis itu dalam dadanya. Florence berontak dengan memukulkan kepalan tangannya ke tubuh Enire. Tiap pukulan itu mewakili sepersekian perasaannya. Sekuat tenaga ia membuangnya, semakin banyak pula yang beranak-pinak di lubang hitam dalam hatinya.
Butuh beberapa saat lagi sebelum Florence berhenti menangis. Ia mendongakkan kepala, kembali bertanya, “di mana ia beristirahat?”
“Di ujung kuil bukit paling utara dari Junier. Pemakaman umum tidak mau menerima mayatnya juga mayat ibumu. Temanku sendirilah yang mengurus mayat mereka. Sayang...”
“Ada apa, Tuan Enire?”
“Sayang sekali mereka meninggal. Terutama Erno, ia masih amat muda dan banyak potensi. Sungguh disayangkan. Mari kita kesampingkan terlebih dahulu itu, Florence. Aku punya beberapa hal lain yang harus kusampaikan.”
Florence duduk mendengarkan sembari mengusap sisa air mata, setelahnya ia melempar pandangan ke arah pemandangan laut di balik jendela. Debur ombak tampak tenang di bawah sana. Beberapa nelayan sudah kembali ke peraduan mereka, ada pula perantau laut yang berangkat menuju daerah lain melalui jalur air. Keadaan pelabuhan Junier sibuk seperti biasanya—seolah tidak peduli apa yang terjadi baru-baru ini.
Sejenak, Florence larut dalam lamunannya. Ia berpikir bahwa dunia yang ia tempati ini tidak benar. Jika Dewa dan Dewi memberi karunia pada dunia yang indah ini, maka umatnyalah sendiri yang mengotori karunia itu. Lihatlah, bahkan mayat ibu dan kakaknya tidak diterima oleh mereka! Apa salahnya?! Apa salah mereka hingga mayat yang sudah tak bersalah terhina semacam itu?!
“Omong-omong,” potong Florence, “Anda tahu siapa mereka? Siapa yang bertanggung jawab atas api itu?”
Enire mengerutkan dahi, tahu kemana arah pembicaraan Florence, “mereka adalah sekelompok kultis... mereka mengira bahwa ibumu dan bahkan dirimu adalah jelmaan dari Penyihir Abadi yang selama ini mereka sembah.”
“Apa hubungannya?” tanya Florence dengan nada terkendali.
“Mereka mencoba membebaskan jiwa yang terperangkap dalam tubuh—”
“Dengan membunuhnya... sekarang, aku tanya apa kaitannya dengan topik yang akan Anda bicarakan? Jika dilihat, Anda sangat berhati-hati mengambil kata yang tepat untuk berbicara.”
Enire sontak terkejut, ia tidak menyangka gadis yang beberapa menit lalu menangis lemah kini dapat berpikir semacam itu. “Kau mirip ayahmu, mampu berpikir rasional dan logis di saat-saat semacam ini,” desahnya halus, “aku persingkat saja; untuk beberapa alasan tertentu, kau mendapat perlindungan langsung dari Petinggi Asosiasi.”
“Tolong jelaskan.”
Sebenarnya, Enire tidak ingin menjawab Florence, namun sorot mata Florence berubah membuat Enire bergidik sesaat. Sorot mata itu tajam dan dinign. Itu sorot mata yang ia kenal, sorot mata dari seseorang yang sempat ia sayangi. Itu sorot mata milik Morgausse. Sorot mata yang mirip dari mata safirnya namun lebih dingin. Pikirannya yang rasional dan logis dengan tingkat pikiran kognitif yang tinggi seperti ayahnya dikombinasikan dengan rupa ibunya di saat muda, Enire ragu-ragu menjawab dan memberanikan dirinya. “Angket dari tiap Petinggi Asosiasi menyatakan bahwa kasus tersebut ditutup dan tuduhan terhadapnya diangkat—”
“Setelah kematian keluarganya? Tuduhan itu diangkat setelah semua yang terjadi?” Florence menajamkan matanya. Sekarang, ia menggunakan kemampuannya yang tersembunyi, yaitu menyembunyikan jati dirinya—lebih tepatnya membuang jati dirinya yang lemah ke dalam lubang hitam di hatinya, lalu menggantinya dengan kepribadian yang keras.
Itulah Trenggiling, dan itu yang menjadi julukannya nanti di dunia sihir. Si Trenggiling dapat mengetahui lawan dan melukainya dengan sisik yang keras juga bersamaan dengan melindungi dirinya dari musuh. Sama seperti Florence, ia dapat mengetahui isi hati lawan bicaranya dan bersamaan melindungi hatinya. Mata biru itu seolah menembus jiwa, melihat sendiri isi hati tiap orang. Kemampuan yang menakutkan.
Dan sekarang, ia membalik pertanyaannya, “pastinya akan ada kompensasi, bukan? Di dunia ini tidak ada yang gratis—bahkan Dewa dan Dewi harus disembah untuk karunia di dunia ini. Apalagi hanya manusia. Jadi, apa yang mereka minta? Sebagai catatan, Aku bukan ayahku.”
“Mereka meminta dirimu untuk menggantikan ayah—astaga!” Enire menghentikan kalimatnya. Bertanya-tanya betul tentang apa yang terjadi pada gadis di depannya. Seolah-olah ada kepribadian lain yang tersembunyi di tubuh mungil gadis ini. Misteri yang bahkan tidak bisa ia jawab terletak di hatinya.
“Sudah kubilang aku bukan ayahku. Aku tidak bisa menggantikan beliau. Sekarang, biar kutebak, apa karena bakat dan potensi yang tersimpan padaku?”
Enire mengangguk. Tanpa ia sadari, ia merinding. Ia ingat sesaat gadis ini tersenyum hangat, kini raut wajahnya tak ubahnya seseorang yang penuh dengan kebencian. Menakutkan. Namun Enire tak memikirkan lebih jauh. Ia berpikir bahwa keadaan ini hanya berlangsung sejenak, semuanya akan kembali ke keadaan semula di mana gadis ini akan tersenyum seperti sedia kala.
Sayangnya ia salah.
Tiga hari dirawat dalam bangsal, Florence akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Namun, kemana ia akan pulang? Ia tak punya tempat untuk dipanggil “rumah”. Meskipun seseorang memberinya tempat untuk berteduh, namun hal itu berbeda dengan kembali. Ia tersenyum kecil, ia mengharap suatu hal yang amat mahal. Lagipula, ia sudah tak layak untuk mengharap suatu hal pun.
Guru Enire memberinya tempat berteduh itu. Ia menjaga omongan dari mulutnya yang kasar. Sering kali, ia menutup mulutnya dan memilih untuk diam. Lama-kelamaan, ia menjadi sosok yang pemurung dan diam. Ia sering kali menyalahkan kematian keluarga Orkney karena kecerobohannya.
Sementara Florence sering mengutuki dirinya dengan buku. Ia membaca semua buku yang ada di koleksi perpustakaan milik Enire. Semua macam buku ia telan. Di setiap kata yang ada, ia bersumpah ia akan menguasai isi buku itu, di tiap buku yang ia rampungkan, ia bersumpah akan mengingatnya, dan di tiap almari dan rak yang ia selesaikan, ia bersumpah untuk mengubah dunia. Iya, mengubah dunia.
Itu bukan ambisi belaka. Itu adalah takdir yang ia pegang. Ia ingin mengubah kenyataan pahit yang ia terima. Ia ingin membalas dendam pada semua umat manusia yang lahir, bahkan pada Dewa dan Dewi. Kadang ia menangis, namun ia cepat mengusapnya, menggantinya dengan amarah dan kebencian.
Potensi dalam dirinya berkembang dengan cepat. Ia menguasai semua cabang sihir di usianya yang cukup muda. Dengan kemampuannya itu, ia diam-diam mendaftarkan dirinya di Akademi Hyulida, akademi sihir tertinggi yang langsung dibawahi oleh Asosiasi Sihir. Tanpa banyak urusan, ia langsung diterima dan bersekolah disana atas rekomendasi Asosiasi Sihir sendiri.
Rangkaian kejadian itu hanya berlangsung selama enam bulan. Gadis itu sudah berubah, baik secara fisik maupun mental. Fitur fisiknya yang paling berubah adalah raut wajah, warna rambut, serta sorot matanya. Kini, wajahnya berubah menjadi lebih tegas senada dengan sorot matanya yang dingin, juga warna rambutnya yang memucat berkat stress tinggi yang ia derita. Walaupun terkadang, ia dapat mengubah-ngubah raut wajahnya seperti topeng guna menipu lawan bicaranya.
Licik. Memang Florence akui ia licik, tapi bukankah dunia juga seperti itu? Ia tidak percaya pada kebaikan orang; bahkan Dewa dan Dewi. Yang hanya ia percayai adalah dirinya dan selalu dirinya sendiri. Ia menutup dirinya dari sosialita, hidup dalam dunianya sendiri.
Dia jenius, semua orang berkata demikian. Banyak yang mendukungnya, juga banyak pula yang membencinya. Dengan berjalannya waktu, ia memiliki reputasi yang cukup bagus di Akademi Hyulida, dengan itu pula ia semakin dimusuhi dan dibenci. Itu tidak masalah bagi Florence. Ia tidak membutuhkan siapapun. Jika ia membutuhkan seseorang, ia akan memperalatnya selaiknya bidak-bidak catur.
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona