Florence mulai berpikir bahwa apa yang dikatakan semua orang adalah benar—ibunya adalah seorang Penyihir Abadi. Alasan ia dapat berkata semacam itu berasal dari penampilan ibunya yang relatif muda meskipun usianya separuh abad. Meskipun beberapa bercak keriput mulai bermunculan, namun kulitnya dapat kembali kencang. Ia awet muda. Meskipun sorot matanya tenggelam dalam keputus-asaan, ia masih memiliki penampilan muda.
Erno tidak terlalu sering mengamati Ibunya, apalagi Erno tidak memiliki intuisi wanita seperti Florence. Bagi Erno, ia melihat Ibunya semakin hari semakin menua. Nyatanya, wanita itu tetaplah seperti sedia kala, hanya ekspresi wajah dan sorot matanya sajalah yang membuat wanita itu tampak berkali-kali lipat menua. Erno tidak tahu betul dengan keadaan yang terjadi sebenarnya. Erno tak dapat berpikir jernih karena keadaan ini.
Pikirannya tambah berkalut dengan tekanan yang dialami Florence. Karena stres berat, Florence jatuh sakit dengan demam tinggi yang tak kunjung sembuh. Sering kali ia tak mampu bangkit dari ranjangnya, tidur seharian bagai seorang putri. Ia kembali ke impian lamanya.
Lama kelamaan, Florence menginginkan punggung kakaknya sebagai tempatnya bersandar. Memeluk lengannya, merindukan dekapannya. Ia semakin menutup diri dengan dunia yang berada ada di luarnya, karena ia tahu bahwa Erno sekarang tak punya pilihan banyak selain merawat dirinya. Florence kembali ke sifat kanak-kanaknya.
Di sisi lain, Erno semakin khawatir dengan keadaan adiknya. Ia sering berdiam sembari berpikir satu-dua hingga berkali-kali tentang langkah apa yang harus ia ambil. Ia bersyukur pekerjaan sederhananya dapat menghidupi mereka selama satu bulan ini. Mereka hampir tidak memiliki sepeserpun ketika jabatan ayahnya dicabut. Semua aset milik ayahnya dirampas oleh Asosiasi Sihir dengan alasan bahwa ada kemungkinan benda miliknya memiliki ilmu hitam yang tersembunyi.
Erno bekerja keras dan menyisihkan sebagian kecil tabungan. Ia bahkan menjual patung berlian ksatrianya untuk menghidupi mereka. Sangat disayangkan, namun Erno tak punya banyak pilihan.
Lama kelamaan, pekerjaan yang ia geluti membawakan hasil yang memuaskan. Ia sudah membeli sebuah gubuk kecil di salah satu sudut Hutan Magis Grende, dekat pedesaan Half-Elf. Mereka akan hidup berdampingan dengan salah satu ras yang juga dianggap hina karena hasil persilangan antar dua ras. Itu tidak apa-apa. Dengan perasaan senasib-sepenanggungan, Erno yakin mereka akan hidup rukun. Pedesaan itu terletak terpencil. Bahkan amat jarang dilalui oleh pengembara manapun. Hanya pengembara tersesat sajalah yang mampir, itupun mereka hanya menanyakan arah untuk kembali ke jalur pulang—prinsip nomor empat belas seorang pengembara, “jangan percaya pada tanah yang bahkan tidak ada di peta. Bisa saja itu tanah para hantu.”
Rencana yang indah. Erno berusaha keras memutar kemudinya untuk mengembali arah hidupnya yang tenang. Perjuangan kerasnya selama ini hanya untuk mengembalikan seulas senyum di ibunya dan Florence. Ia tidak meminta lebih. Ia tidak pantas untuk meminta lebih. Dengan penuh keyakinan, ia terkadang tersenyum membayangkan hidup baru mereka. Meskipun Erno tidak yakin dapat menutup lubang kesedihan akibat kematian ayahnya di hati ibu dan adiknya, namun ia yakin dapat memberikan kebahagian lain.
Sayang, takdir berkata lain.
Suatu malam, ia pergi berburu dengan seorang penjaga gerbang kota untuk memburu babi hutan yang meresahkan perkebunan di sekitar gerbang. Hanya dua orang saja yang ditugaskan. Erno dan seorang senior penjaga gerbang. Si penjaga gerbang membawa seonggok tombak sepanjang tinggi tubuhnya. Ia terlihat tangkas dan lincah walaupun ia mengenakan satu set baju besi seberat separuh tubuhnya. Anehnya, derap kakinya tetaplah senyap, seolah rantai logam di sekujur tubuhnya tak mau bergemerincing.
Erno tidak mengenakan baju besi seberat itu. Ia cukup dengan menggunakan rompi dari kulit kuda yang ia beli dari toko kelontong. Tangannya memang lebih cekatan dibandingkan dengan si penjaga gerbang jika ia diberi kesempatan untuk memegang tombak, namun ia lebih mematikan dengan segenggam belati di tangannya. Erno mampu berkelit lincah menghindar sekaligus menyerang. Pengalamannya berburu selama ini menyebabkan ia berkembang menjadi pemburu andal yang mengetahui tabiat hewan-hewan hutan, juga mengerti cara membedakan mana tumbuhan beracun dan mana yang dapat dimakan atau dijadikan obat. Ia bersyukur pernah belajar cara membuat ramuan dari gurunya. Sebagian ia jual atau berikan pada petualang lain, sebagian lagi ia buat untuk dirinya sendiri. Meskipun tidak banyak, namun terkadang setetes dapat menyelamatkan seseorang dari kematian.
Bulan purnama sudah menggantung di zenit. Tengah malam semakin merajut gulita. Sekarang adalah waktu bagi sebagian besar hewan untuk beristirahat. Hanya hewan-hewan kecil seperti tikus, kucing hutan, dan musang sajalah yang beraktivitas. Sementara hewan bertubuh besar seperti babi hutan akan tidur nyenyak bersama koloni atau sendiri. Sasaran yang Erno kejar adalah pejantan dengan ukuran tubuh lima hingga tujuh kali orang dewasa. Lawan yang tangguh.
Sesaat ketika mereka masuk melalui penghalang tak kasat mata dari Hutan Magis Grende, mereka merasa banyak mata yang sedang mengawasi. Itu adalah peri hutan. Jumlah mereka mungkin ratus ribuan di hutan ini. Mereka adalah makhluk yang damai, namun menakutkan bila diusik. Mereka adalah keturunan dari Dewi Foresta, dewi penguasa alam. Dengan kekuatan sihir dari Dewi Foresta, para anak Dewi Foresta menjaga semua hutan magis di seluruh penjuru dunia.
Perjalanan mereka tidak lama. Mereka hanya perlu mengikuti bau lemak yang sempat dilempar di tubuh si babi. Lemak itu mampu bercampur dengan minyak tubuhnya, melekat lama dan menguarkan bau menyengat sehingga mudah dilacak. Erno dengan hidungnya yang terlatih mampu membedakan bahan ramuan yang beragam, melacak bau menyengat semacam ini adalah pekerjaan yang gampang baginya.
Dalam lima menit dalam kesenyapan, mereka akhirnya menemukan sasaraan mereka. Babi itu sedang tidur nyenyak menuju kematiannya.
Si penjaga menyiapkan tombaknya, lalu merapal mantra secara halus, “O Rih, wasal ins lanzha... (wahai angin, datanglah ke tombakku...)” hembusan angin mulai terpusat di ujung tombak. Tombak itu siap melesat cepat, tinggal si penjaga melepas genggamannya.
Dengan isyarat, si penjaga menyuruh Erno untuk mencegat babi hutan di sisi lain. Ukuran babi hutan yang terlalu besar membuat tombak si penjaga tak sanggup menembus tubuhnya dan menghabisinya dalam satu tembakan. Setidaknya, mereka butuh dua kali serangan. Satu berupa tembakan tombak, satu berupa tikaman tepat di kepala. Dengan itu, si babi hutan pasti akan rubuh.
Erno sudah bersedia di posisi. Ia melirik menuju si penjaga dan mengangguk. Si penjaga membalas anggukan Erno. Sekarang, ia sedang membidik dan tinggal melepaskan tombaknya itu.
Di sepersekian detik itu, sebuah ledakan tiba-tiba terdengar. Akibatnya, bidikan tombak itu meleset. Si babi hutan langsung meloncat setelah mendengar suara ledakan, langsung berlari menerobos semak belukar. Erno mengejar cepat, namun tak sanggup melompat meraih si babi. Belatinya bahkan hanya membelah udara kosong malam itu.
Hutan Magis Grende dilanda kepanikan. Suara lolongan hewan mulai terdengar di mana-mana. Ribuan peri hutan terbang ke sana kemari, ikut panik. Erno bangkit sembari bersiaga dengan belatinya, sementara si penjaga cepat menyambar tombaknya yang tertancap di tanah. Keduanya saling memunggungi dan bersiaga jika ada babi hutan itu kembali.
Selama sepuluh detik, mereka tak merasakan ancaman apapun. Erno menyarungkan belatinya kembali, begitu juga si penjaga menurunkan moncong tombaknya. Si penjaga mendongakkan kepala lalu berbisik pelan dengan bahasa yang tidak dikenali Erno.
Mendengar itu, salah satu peri hutan turun kepadanya. Erno terdiam mengamati mereka. Dari sana, Erno tahu bahwa si penjaga ini bukan saja seorang caster, melainkan juga seorang tuner—pelantun lagu yang dapat menarik perhatian para peri dan bercakap dengan mereka. Para peri—terutama peri hutan—adalah makhluk yang amatlah pemalu. Mereka tidak sering terlihat ketika siang merajai hari, namun ketika gulita menyelimuti dunia. Hanya beberapa kesempatan sajalah mereka mau berinteraksi dengan manusia, dan itupun biasanya melalui mimpi seorang pengembara.
Cara menarik perhatian mereka adalah bernyanyi. Peri hutan hanya mau berbicara pada orang yang piawai dalam bersenandung. Seorang pengembara yang tersesat akan mulai melantunkan nyanyian. Dengan nyanyian itu, setidaknya ada satu peri hutan yang mendengar. Jika beruntung, ia akan didatangi sesegera mungkin, jika tidak, si peri akan datang melalui mimpi, lalu memberikan petunjuk untuk pulang.
Namun ada juga yang dapat berbicara langsung dengan peri hutan. Masyarakat menjuluki orang yang memiliki karunia ini dinamai tuner. Jiwa dari seorang tuner selalu menarik perhatian peri hutan—karena jiwa merekalah yang bersenandung. Lagu dari jiwa sangatlah indah. Sayangnya, tidak ada orang dapat mendengar lagu dari jiwa seseorang, hanya makhluk halus seperti peri sajalah yang dapat mendengarnya.
Setelah satu-dua menit berbincang. Peri hutan itu kembali ke barikade peri hutan yang lain. Sekarang, ketika Erno mendongak, jalur terbang jutaan peri hutan teratur. Semua dari mereka memancarkan energi sihir. Mereka sekarang dalam keadaan terusik, dan mungkin akan menyerang siapapun yang membahayakan koloni besar mereka.
Si penjaga mulai berlari, diikuti Erno. Suara derap kaki mereka terdengar keras, namun dikalahkan dengan suara jutaan kepak sayap semua peri hutan di atas mereka. Warna mereka amatlah elok. Namun Erno menarik pikirannya cepat. Warna elok itu bisa berarti kematian bagi mereka.
“Apa yang terjadi?” tanya Erno sambil berlari menyamai laju si penjaga.
“Kekacauan di kota. Terjadi ledakan di rumah salah seorang penduduk. Ledakan itu cukup besar, sehingga para peri mengira akan ada yang menghancurkan Grende. Mereka tidak mengamuk, namun bersiaga untuk bertempur. Sebaiknya kita cepat-cepat keluar dari sini, dalam keadaan ini, mereka menjadi agresif. Kita bisa saja dianggap penyusup.”
Keduanya menambah kecepatan derap kaki mereka. Setelah menembus melalui semak-semak, mereka akhirnya sampai di pinggir hutan. Dari sana, mereka dapat melihat asap yang membumbung tinggi dari balik tembok kota. Beberapa penjaga dan penduduk berlarian membawa dua ember berisi penuh air. Sebagian tembok kota terbakar.
Keduanya kembali berlari. “Maaf anak muda, aku akan berhenti di gerbang dan mengambil alih kendali. Bisakah kau terus ma—”
“Baiklah,” jawab Erno sembari meninggalkan si penjaga di belakang. Kakinya melayang dengan cepat, mengirim tubuhnya merangsek menembus angin malam.
Erno mendongak ke atas. Jika dilihat dari asap, Erno memperkirakan api sedang melanda di bukit dekat rumahnya. Bahaya, batin Erno. Ia berdoa penuh harap ibu dan adiknya baik-baik saja. Namun hati kecilnya ragu. Ia meragukan doa yang ia panjatkan pada Dewa dan Dewi. Langkah demi langkah, keraguannya semakin membesar. Keraguannya itu mengubah hatinya menjadi cemas.
Kobaran api yang mengamuk di gerbang kota tidak menghentikan langkah Erno sedetik pun. Tanpa berpikir panjang, Erno melompat, melesakkan tubuhnya menembus kobaran api dan mendarat di sisi dalam demi melanjutkan langkahnya sekali lagi.
Dari sana, biasanya ia dapat melihat pemandangan asri rumahnya di ujung bukit. Pada pagi hari, ketika ia pulang dari perburuan, ia berdiam diri di depan gerbang hanya untuk melihati rumahnya, memikirkan nasib orang yang menunggunya di rumah. Ia membayangkan senyum adik dan ibunya yang hangat menyambutnya pulang. Ia selalu membayangkan itu.
Namun, impian itu hangus serupa rumah itu. Erno hampir lemas, tetapi ia mampu bangkit dan mempertahankan tubuhnya. Ia kemudian berlari kencang. Tiap momen amatlah penting, ia tak punya waktu sediktipun untuk mengambil nafas. Nyawa orang yang ia sayangi akan hilang dalam beberapa waktu jika ia tidak bertindak cepat.
Ia memaksa dirinya untuk tidak terlambat. Jantungnya berdegup kencang dan menyesakkan dada. Malam itu, keheningan dipecah dengan derak api serta lolongan orang meminta tolong. Beberapa dari mereka meminta tolong pada Erno, tapi ia tak mendengar. Jauh di sana, ada orang yang juga membutuhkannya.
Jalanan paving menanjak yang biasanya berwarna merah delima, sekarang bertambah pekat. Beberapa cipratan darah terlihat, juga mayat-mayat yang teronggok tak berjiwa. Darah segar mengalir deras dari luka di tubuh mereka. Erno mengamati sejenak. Sebagian besar mayat yang teronggok adalah tetangganya sendiri. Ada luka tusuk dan tebas di tubuh mereka. Erno menyiagakan diri, ada yang mencoba menghabisi orang-orang disini.
Erno bergidik. Tiap mayat memiliki luka di tempat yang sama. Leher atau dada, bahkan ada kepala yang tergeletak dan menggelinding. Akurasi dan presisi yang menakutkan dari si pembunuh. Selaiknya algojo berpengalaman, satu ayunan berarti satu nyawa. Erno mengambil belati dari sarungnya, maju dengan hati-hati.
Ia berjalan berada di antara koridor api. Perlahan, dadanya mulai sesak. Ia mempercepat langkah halusnya hingga ia sampai di depan rumahnya. Rumah itu masih berdiri, namun rapuh. Pondasi bangunan mulai berderak satu sama lain. Erno melempar belatinya. Ia langsung menerjang masuk tanpa berpikir dua kali.
Brak! Panas api di sekitarnya menyengat. Kepulan asap menutup pandangannya. Erno kehilangan napas. Ia terbatuk-batuk sesaat, namun tetap berusaha keras memanggil ibu dan adiknya. Ia maju perlahan, namun bertindak cepat karena hanya Dewa dan Dewi saja yang tahu kapan pondasi rumah itu runtuh dan menimpa dirinya.
Tidak ada jawaban. Erno menenangkan diri. Bertindak gegabah di saat semacam ini hanya memperburuk suasana hatinya. Ia berjalan melintasi kobaran api di koridor rumah yang menghubungkan ruang depan dengan ruang makan. Tak ada yang bisa ia lihat, ia percaya betul dengan ingatannya sendiri untuk menuntun kakinya berjalan.
Sesaat sampai di sana, Erno kembali memanggil mereka, demi mendengar jawaban yang hanya dimengerti angin. Derak pondasi semakin keras. Erno mulai panik.
Saat ia masuk. Ia menginjak sesuatu yang basah. Erno menundukkan pandangan, mendapati sesuatu yang jauh dari bayangannya.
Untuk saat itu, ia menanyakan dosa apa yang dilakukan ibu dan adiknya. Ia menanyakan kesalahan macam apa yang harus ditebus. Ia menanyakan kasih sayang para Dewa dan Dewi di tanah bumi yang dulunya tandus ini. Ia menanyakan takdir keji yang harus ia lalui—jalanan penuh duri yang berkelok, menanjak, dan curam bagai jurang gelap. Ia menanyakan janji Dewa dan Dewi tentang hari esok yang lebih indah, di mana hangatnya mentari menyambut di pagi. Ia menanyakan karunia dunia yang luas ini ketika menyaksikan jutaan bintang di langit malam, lalu membandingkan dengan kesialan yang mengungkung dirinya menuju ruang sempit—penjara takdirnya sendiri.
Tidak, ia tidak lagi menanyakan semua hal itu, melainkan meragukan semuanya. Hatinya jatuh ke dalam keputusasaan. Cahaya harapan sudah lenyap dari hatinya, digantikan dengan gelapnya amarah dan dendam; dendam pada janji para Dewa dan Dewi. Dalam hati kecilnya, sebuah api kecil terpercik. Api itu adalah pengganti harapan yang terang. Api itu adalah api dendam dan amarah yang berwarna hitam. Saat itu, untuk pertama kalinya, Erno mengotori jiwanya. Ia melakukan itu tanpa ia sadari. Api kecil itu akan tumbuh seiring dengan waktu.
Genangan merah. Erno langsung tahu apa arti genangan darah itu. “Ibu! Florence!” pekiknya sembari berlari merangsek. Saat ia masuk, ia mendapati beberapa jasad orang yang tak dikenal. Semua dari mereka mengenakan jubah hitam dengan topeng yang seragam. Di jubah mereka terdapat logo asing. Semua jasad itu mati kaku.
Bedanya dengan jasad di jalanan, jasad-jasad ini mati dengan ribuan tikaman dari jarum-jarum kecil di sekujur tubuh mereka. Itu ulah ibunya. Ibunya yang ahli dalam akupuntur dapat melawan menggunakan manipulasi jarum. Meskipun kecil, jika jarum itu menekan titik-titik tertentu, sekuat dan sebesar apapun musuhnya, Morgausse akan menang.
Namun, Erno salah besar. Baru saja ia bernapas lega, ia mendapati mayat ibunya terkulai lemas di genangan darah.
“Ibu!” Erno langsung jatuh tersungkur. Ia mengelus ibunya, mencari nadi di leher juga pergelangan tangannya. Ada, namun tipis. “Ibu,” ucapnya lirih. Ia memeriksa luka di punggung ibunya. Luka itu amatlah fatal. Dan bila dilihat dari genangan darah di lantai, Morgausse sudah kehilangan hampir seluruh darahnya.
Morgausse mendongakkan kepala. Pupil di matanya mulai melebar, kematiannya sudah dekat. “Flo-rence, Ern-o. Selamat-kan Flor—” kalimat itu tak sempat selesai. Dongakan kepala wanita itu rubuh, juga dengan nadinya yang lenyap.
“Tidak, oh tidak! Dewa dan Dewi, jangan kau rengut juga dia dari hidupku!” pekik Erno dengan suara serak. Ia menghantamkan kepalan tangannya di lantai. Ia menyesali keterlambatannya.
Ia bangkit. Florence masih hidup, itu pesan kematian ibunya. Ia tak memiliki banyak waktu untuk dibuang demi menangisi orang yang telah mati.
“Florence!” Erno berlari menaiki tangga. Di sana, ia langsung maju mendobrak pintu kamar Florence. Erno kehabisan nafas. Kepalanya mulai berat dan pandangannya mulai kabur. Kakinya mulai lemas, namun ia tak bisa rubuh di sini—ia sama saja menghina mayat ibunya sendiri jika berani mati sebelum menyelamatkan Florence.
Florence tidak bergerak sama sekali. Tubuh kecilnya masih di ranjang. Erno bergegas. Ia langsung mendekap tubuh kecil itu dan merasakan hangatnya jiwa yang masih melekat di sana. Kembang-kempis dadanya tak beraturan, tanda bahwa gadis itu tidak bernafas dengan baik. Erno berpikir cepat, ia mengambil nafas dalam-dalam, menahannya, lalu memberikan nafas buatan kepada Florence.
Tidak ada cara lain. Jika ia terlambat atau salah mengambil langkah, Florence mati di dekapannya sendiri. Berkali-kali Erno mengisi paru-parunya dengan asap, menyaringnya dengan tubuhnya sendiri dan memilah-milah oksigen, lalu memberinya pada Florence melalui mulut ke mulut.
Beberapa saat kemudian, Florence terbatuk-batuk dan mulai membuka mata. Erno tersenyum lemah. Tubuhnya mulai lemas, namun ia tak bisa menyerah. “Kita keluar. Tahan napasmu.”
Dengan sisa tenaga, ia membopong Florence. Florence tak sanggup bicara. Ia masih separuh sadar dan mencoba menerka apa yang sedang terjadi. Erno mencoba menyeret kakinya. Berat tubuh Florence membuatnya melamban. Langkahnya terseok-seok, napasnya tersengal, pandangannya semakin buram.
Suara pondasi yang termakan api mulai mengeras. Erno semakin mempercepat langkahnya. Saat melalui tangga, mereka terjerembab karena tangga tersebut sudah separuh termakan api. Erno mencoba bangkit lagi, demi mengamati kobaran api yang mengungkung mereka.
“Apa kami mati di sini?” batinnya dalam hati. Sebatang kayu besar tiba-tiba datang menimpa mereka. Erno sigap menahan kayu itu dengan tubuhnya, melindungi Florence di dekapannya. Punggungnya bergemeretak, ia merasa satu-dua tulang retak. Namun itu bayarannya yang murah daripada nyawa Florence.
Erno hampir kehabisan akal. Otaknya beradu dengan api yang makin mengurung.
Tiba-tiba, ia menemukan sebuah akal gila. Dengan cepat, ia membuka jubahnya, lalu menaruhnya di tubuh Florence, membebatnya betul dengan rapat. Sekali lagi ia bangkit. Ia memegang Florence dengan erat agar tak lepas dari genggamannya. Dengan teriakan, ia lalu maju menembus api, melintasi koridor yang menyengat. Api membakar tubuhnya, mengelupas kulitnya. Namun, itu bayaran yang setimpal dengan nyawa seseorang.
Pintu rumah hanya tinggal satu-dua langkah. Erno berteriak kencang, menumpahkan rasa sakit yang selama ini ia pendam dan simpan. Ketika tinggal beberapa senti, ia sudah tak sanggup berdiri lagi. Ia jatuh tersungkur ke depan. Sebelum ia terjatuh, ia melempar tubuh Florence menjauh.
Momen itu tepat. Erno tersenyum kecil melihat Florence yang berada lima kaki darinya. Dilihatinya, Florence mulai bangun, disebabkan karena kepalanya terantuk. Florence akhirnya sadar apa yang terjadi. Ia bangun lalu berlari menuju Erno sembari mengulurkan tangannya. Gadis itu berteriak sambil berlinang air mata.
Itu wajah yang akan selalu Erno ingat. Selalu. Wajah dari adik manisnya yang selama ini ia sayangi. Wajah dari orang yang amat mencintainya. Perawakannya yang mungil menjadikan dirinya sosok yang layak dan harus dilindungi, dan Erno merasa bersyukur dapat melindunginya, meskipun itu harus dibayar dengan nyawa ibunya dan nyawanya sendiri.
Mata biru itu basah dan bersinar. Rambut ungu itu tanda corak khas dari Florence, tak senada sekali dengan raja merah yang sedang berkuasa di sini. Erno tak akan melupakannya. Ia bersumpah tak akan melupakannya.
Di saat-saat itu, pondasi bangunan mulai runtuh. Teriakan Florence yang membelah udara tak sampai di telinga Erno. Erno sudah tak kuasa bergerak, namun ia tetap tersenyum.
Pondasi bangunan itu runtuh menimpa Erno.
***
Florence tidak tinggal diam. Ia berlarian kecil menuju belakang rumah lalu mengambil dua ember air dari sumur. Jalannya terhuyung-huyung. Kesadarannya masih belum pulih, bahkan ia masih sulit untuk bernapas. Ketika sampai di depan, ia menyiramkan tumpukan kayu itu dengan dua ember.
Butuh beberapa kali ia harus mondar-mandir mengambil air dari sumur. Ia mengambil nafas sejenak, menyiapkan tenaga untuk menarik tubuh Erno dari jepitan pondasi. Sayang, jari kecilnya tak kuasa mengangkat pondasi bahkan sesenti pun. Florence berpikir sejenak, ia mencari cara lain untuk mengeluarkan Erno dari sana.
“Pengungkit,” ujarnya pelan. Ia tahu bahwa pengungkit memudahkan pekerjaannya. Florence mengedarkan pandangan, mencari ranting yang cukup kuat. Namun tidak ada. Ranting-ranting kecil ikut hangus ditelan api. Florence kembali berpikir cepat, api di sekitar mulai memadati mereka.
Waktunya dan pilihan yang tersedia tidak banyak. Florence akhirnya nekat mengangkat kayu yang masih panas itu dengan tangannya sendiri. Ia menyiapkan tenaga dan nyalinya ketika jemarinya menyentuh salah satu kayu. Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat kayu itu. Ia tidak menjerit, hanya meringis kesakitan.
Selama satu menit yang panjang, ia akhirnya berhasil menggeser kayu itu ke tempat lain, memberikan Erno ruang yang lebih luas untuk bergerak. “Kakak!” Florence menyentuh wajah Erno, menepuk pipinya berkali-kali dan mengharap mata Erno terbuka kembali. “Demi Dewa dan Dewi, mohon jangan ambil dia!”
Doa Florence terkabulkan, Erno berhasil membuka mata. Ia perlahan mendorong tubuhnya keluar sementara Florence berusaha menariknya. Butuh beberapa menit untuk mengeluarkan Erno. Ketika keluar, tubuh Erno dipenuhi dengan luka. Sebuah keajaiban tersendiri ia dapat bangkit dari hantaman pondasi bangunan.
Florence langsung mendekap Erno ketika ia keluar. Erno membalas pelukan itu sejenak, merengkuh Florence seolah ia akan hilang dari tangannya bila ia lepas. Tubuh mungil itu rapuh dan lemah. Erno tidak membayangkan adik kecilnya itu hancur menjadi remah-remah abu, terkubur dalam tanah dan terlupakan.
Api semakin mendekat. Erno tangkas mengambil jubah yang separuh basah di dekat ember dan menutup Florence dengannya. Tangannya langsung menggendong tubuh Florence. “Pegangan erat pada kakamu ini, Florence!” ucapnya dengan senyum.
Florence tak menjawab sepatahpun kecuali dengan anggukan kecilnya. Tubuhnya lemas disertai dengan kesadarannya yang semakin memudar.
Erno mulai berlari menembus pilar-pilar merah. Ia berlarian lincah menghindari pondasi yang berguguran, meskipun satu-dua sempat menghantamnya. Ia tidak melihat apapun kecuali tirai merah yang mulai menutupi panggung, juga tak dapat mendengar apapun kecuali lolongan api yang kelaparan walaupun telah melahap semuanya, juga tak dapat merasakan apapun kecuali hangatnya unggun.
Hanya jalanan paving yang menuntunya untuk keluar dari bukit. Hingga suatu titik, ia tak bisa menembus kobaran api lagi. Ia mulai jatuh. Tanpa ia sadari, luka di sekujur tubuhnya terbuka lebar. Rasa perih mencabiknya, menggelontorkan darah dari tubuhnya sedikit demi sedikit. Tanpa Erno sadari, ia sudah kesulitan bernapas. Bukan karena asap, melainkan karena darah dari tubuhnya hampir habis tak bersisa.
“Apa memang berakhir di sini?” batin Erno sambil menatap langit yang kelam. Ia tak sanggup memikirkan satu hal untuk keluar dari sini. Di dekatnya, Florence tergeletak lemah.
Sesaat, semua kenangan selama hidupnya mulai terputar. Ah, Erno tahu maksudnya. Ia pernah membaca bahwa beberapa menit sebelum otak seseorang benar-benar mati, otak akan otomatis memutar kenangan-kenangan yang pernah disimpan. Entah itu menyenangkan ataupun menyedihkan. Seolah-olah kehidupan terulang dari awal.
Seorang cendekiawan bijak pernah berkata, “kita tidak pernah merasakan kehidupan sebelum kita menyongsong kematian itu sendiri.” Erno terkikik kecil dalam hatinya. Iya dia mengerti. Dia memahami betul hidup yang telah ia sia-siakan selama ini. Ia menyalahkan takdir yang jatuh kepadanya dan menyangkal ketidakmampuannya, meskipun beberapa hari ini ia mampu menerima takdir dan mencoba untuk mencari jalan daripada bermain-main di dalam kubangan yang bernama “keputus-asaan”.
Erno berusaha bangun, namun tak bisa. Pandangannya mulai menghablur, juga dengan indra perabanya. Ia merasa tubuhnya melayang. Kesadarannya mulai menipis. Erno tidak kehabisan akal, dengan daya hidupnya, ia memfokuskan seluruh tenaganya di rahang, lalu mengatupkan rahang itu sekuat mungkin.
Rasa sakit itu benar-benar menyakitkan. Lidahnya putus, darah mengucur deras dari mulutnya. Erno tidak bisa berteriak, hanya melolong tanpa jelas dengan tenggorokannya. Rasa sakit itu menegmbalikan jiwanya, meningkatkan adrenalin sesaat, dan kembali memaksa sebagian tubuhnya bergerak.
“Sial!” raung Erno dalam hati. Ia bersyukur dapat tersadar kembali, namun itu juga mengembalikan rasa sakit disekujur tubuhnya.
Kakinya tak mampu menopang tubuhnya. Ia sekarang menggeret dirinya sendiri menuju Florence. Ia sudah tak bisa melangkah, namun bukan berarti ia tak bisa menyelamatkan Florence. Setelah sampai, Erno mendekap tubuh Florence dengan erat. Ia bertindak sebagai perisai.
Florence masih memejamkan mata. Namun Erno tetap tenang, ia masih dapat merasakan hangatnya jiwa yang masih melekat.
Ia ingin mengucapkan selamat tinggal, namun hanya suara erangan bersama simbah darah yang keluar dari mulutnya, tidak ada yang lain. Jika ia bisa berbicara, ia akan mengucapkan satu kalimat saja.
“Selamat tinggal, Florence.” Dengan itu, Erno menutup mata sembari merengkuh Florence dengan kuat...
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona