“Baiklah Erno, istirahat kita sudah cukup banyak. Sekarang waktunya kita melanjutkan pekerjaan kita.” Enire berdiri setelah menegak habis secangkir kopi guna mengusir rasa kantuk. Ia langsung berdiri, berjalan cepat menuju ruang praktik, disusul Erno yang tertinggal beberapa langkah. Harus ia akui, ia amat mengantuk dan langkah kakinya pun sudah tak lurus. Beberapa langkah, ia berhenti, menyandarkan tangannya di dinding, berusaha menopang beban tubuhnya sesaat agar tak rubuh.
Ia terheran-heran dengan fisik gurunya. Mempertanyakan tentang bagaimana tubuh tua itu masih sanggup berdiri setelah dua hari tanpa tidur sekejap pun dan menggeluti ilmu yang bahkan semua orang tidak tahu benar atau tidaknya. Erno mengeluh tertahan, ia tak punya hak untuk melawan perintah gurunya yang absolut. Sebodoh apapun riset yang gurunya buat, ia tak bisa komplain, ia hanya seorang murid. Jika ia mundur, jangan harap ia akan pulang tanpa amarah Ayahnya. Kasus terburuknya, ia diusir. Karena memang dari awal, ia tak punya hak di keluarga itu.
Keduanya sampai di ruangan praktik. Erno menyiapkan apa yang dibutuhkan sekali lagi, sementara Enire sudah siap merapal mantera lain yang sudah ia tulis. Erno sudah terampil menulis rune unik itu dengan halus hingga mata orang awam tak akan menyadari bahwa ada ukiran rune halus di beberapa benda di sana.
“Erno, kita mulai dari barang kemarin saja,” perintah Enire dengan suara parau. Erno tahu, dari intonasi suaranya, pak tua ini juga sudah kelelahan. Erno mengangguk, mengambil beberapa barang yang ditaruh di ujung ruangan.
“Koin, tongkat sihir, lencana lama, dan jubah,” gumam Erno mengingat urutan barang yang digunakan. Setelah beberapa saat, ia menaruh semua wadah itu di tengah lingkaran. Ia memulainya dengan menaruh koin berlubang di sana, keluar dari lingkaran sihir, dan mulai menulis rune kuno di wadah yang lain.
Enire mulai merapal mantera. Keduanya tidak mengharap banyak tentang apa yang akan terjadi. Berpikir bahwa hanya menunjukkan kombinasi warna lain yang tidak ada sambungannya dengan kombinasi sebelumnya.
Tapi, kali ini tidak terjadi sedemikian rupa. Ruangan itu bergetar. Kilatan hitam tampak ganas menyambar dari lingkaran sihir, diikuti dengan miasma hitam berbau pekat dan tengik. Lingkaran tersebut menjadi hitam sepenuhnya. Enire terkejut, tak berani menyelesaikan rapalan manteranya.
Benda-benda lain mulai berterbangan. Keduanya mundur beberapa langkah, menjaga jarak. Saat mereka sadari, semua benda yang terbang adalah wadah dengan tulisan rune. Semua dari mereka terserap menuju pusat miasma, ditelan oleh kegelapan yang mengerikan.
“Apa yang sedang terjadi?!” teriak Erno mengalahkan kesiur kencang angin di ruangan itu. Entah sejak kapan, atap tempat rumah itu mulai berlubang di sana-sini, mendung tampak mengungkung Junier juga disertai dengan ribuan hujaman bintik air, badai telah datang. Suara kecamuk orang-orang juga terdengar di luar, riuh dan kisruh. Erno melongok melalui jendela, melihat badai yang menghujam cepat.
“Bagaimana sebuah badai datang dari cuaca cerah hari ini!?” teriak seoarang dari luar sembari berlari menuju tempat teduh.
Erno mengumpat dalam hati, ini pasti karena lingkaran sihir ini! Ia harus menghentikan sihir ini atau Junier tidak akan ada di peta lagi. Ini kondisi hidup atau mati dengan taruhan ribuan nyawa di Junier.
“Guru, kita harus menghentikan sihir ini!”
“Sedang kuusahakan!” Enire tengah mencari potongan perkamen kuno guna menemui solusi untuk menyelesaikan sihir ini. Ia mengingat setidaknya ada satu potongan yang dapat membatalkan sihir ini. Di tengah kecamuk itu, ia mencoba untuk tenang. Panik dan gegabah hanya menambah masalah. Dengan mengatur napasnya, ia dapat tenang dalam keadaan yang buruk—ia sudah banyak makan garam dari pengalamannya selama ini.
Erno tak bisa berbuat banyak selain mengamankan peralatan. Ada beberapa yang sudah ditelan miasma dan tersambar petir hitam. Beberapa peralatan lain terlontar keluar karena derau angin deras, Erno tak sempat menyelamatkannya. Beberapa kali, ia tersengat petir kecil, membuat bulu kudunya berdiri seketika dan mengembalikan kesadarannya yang telah separuh hilang. Ia beberapa kali terjerembab dan terpental akibat derasnya angin, namun ia mampu bangkit kembali untuk menunaikan tugasnya.
Angin semakin deras. Badai di luar juga tak menandakan akan tenang dalam beberapa waktu ini. Erno berusaha keras menutup kusen jendela dengen mengganjal, namun sia-sia. Angin dengan kuat menjebol pertahanan kayu itu, menyiram bergalon-galon air dari langit.
“Guru!” teriak Erno.
Enire tak sempat menjawab, tangannya juga sibuk dengan tafsiran mantera, ia tak punya waktu yang dibuang, bahkan hanya untuk menjawab Erno. Tangannya bergetar, menulis mantera penangkal yang bahkan belum selesai. Kertas itu tiba-tiba melayang karena angin, merosot dari genggaman tangannya, melayang bebas dengan puluhan kertas lain.
Keadaan menjadi semakin buruk dengan gaya tarikan yang tiba-tiba menyerap semua benda menuju lingkaran sihir dan menelannya bulat-bulat menuju miasma. Pertanda buruk. Benda apapun yang terhisap tidak tampak kembali.
Erno menatap jeri. Tanpa ia sadari, tubuhnya tiba-tiba bergerak. Dengan bantuan gaya tarikan, tubuhnya meluncur selaiknya perenang andal melakukan tolakan dengan tepi sungai. Dengan sekuat tenaga, Erno mengulurkan tangannya guna menggapai kertas itu. Jika kertas itu ditelan, maka jangan harap untuk melihat matahari esok harinya—tidak, mungkin saja gugusan bintang tak akan terlihat nanti malam.
Wush! Siulan angin halus memenuhi telinga Erno, hingga ia sendiri tak mendengarkan suara parau khas Enire yang memanggilnya. Dalam detik-detik terakhir, jemari Erno berhasil meraih kertas. Dengan cepat, ia membuntal kertas itu dengan pecahan batu lumos, lalu melemparkan sekuat tenaganya ke Enire.
Gaya tarikan tersebut amatlah kuat. Tubuh Erno sudah tak kuasa melawan. Ia sudah masuk penuh ke dalam miasma. Di sisi lain, Enire bertindak cepat dengan meraih kertas tersebut, lalu merampungkan rapalan mantera penangkal. Dalam satu menit menegangkan itu, ia berhasil menyelesaikan manteranya.
Kesiur angin perlahan hilang. Badai di luar mulai tenang. Keadaan menjadi seperti semula, meninggalkan ruangan yang porak poranda. Enire melangkah dengan hati-hati, memastikan bahwa sihir sudah lenyap meskipun sisa miasma belum sepenuhnya menguap.
Begitu miasma hitam itu hilang sepenuhnya, Enire mendapati tubuh Erno tergeletak. Di sana, semua barang-barang yang tertelan terkumpul di tengah lingkaran sihir. Enire merangsek, menyentuh nadi Erno dan mendapati denyutnya. Meskipun volume napasnya kecil, tapi ia masih hidup. Enire bersyukur, satu langkah terlambat bisa saja mengirim Erno ke kematian.
Wajah pucat pasi Erno perlahan kembali ke warna kulit aslinya. Enire membopong Erno ke ruang istirahat. Matanya penuh khawatir, ia tak menyangka legenda sepele semacam itu berubah menjadi bencana yang amat mengerikan. Ruangan itu ia biarkan dulu, yang menjadi prioritas saat ini adalah keselamatan Erno.
Enire lekas membaringkan tubuh Erno dan menyuntikkan air garam lengkap dengan ramuan asupan. Ia tahu tubuh Erno amatlah kelelahan. Perlahan, aliran darah di pembuluh darahnya kembali lancar, suhu tubuhnya mulai menghangat, kulit pucatnya lenyap digantikan dengan warna langsatnya. Denyut nadinya kembali terasa. Kembang-kempis dadanya teratur. Erno mulai baikan.
Enire tidak dapat berbuat lebih. Ia memilih untuk menunggu Erno hingga siuman, lalu menyuruhnya pulang sesegera mungkin. Insiden tadi masih terbayang di kepalanya. Pertanda buruk, pikirnya. Miasma serta kilatan petir hitam disertai datangnya badai merupakan pertanda yang amat buruk. Tiba-tiba, ia teringat kenangan lama, kenangan di saat ia masih bekerja untuk Asosiasi Sihir. Kenangan ketika ia masih muda, masih tidak setua ini. Kenangan ketika ia masih merasakan apa yang semua orang panggil cinta dan kasih sayang, bukan kehilangan dan kehampaan.
Itu masa lampau yang amat jauh, tak bisa dijangkau. Bukan terbatas dimensi ruang, namun dimensi waktu. Waktu adalah obat paling mujarab sekaligus garam paling pekat untuk luka hati. Ia tak ampun untuk siapapun jua. Tidak peduli tua-muda, pria-wanita, kuat-lemah, sekalinya seseorang memiliki luka di hatinya, waktu akan bertindak cepat.
Terkadang, waktu mengampuni seseorang dengan memberi jawaban lain, memberi hadiah atas keteguhan hati. Namun, terkadang waktu tidak akan memberi seseorang peristirahatan yang tenang, membuka luka berisi penyesalan, hingga orang itu menutup mata dalam keputusasaan. Mengharapkan bahwa waktu dapat diulang kembali dan menyelesaikan apa yang nantinya menjadi penyesalan di kemudian hari itu bagai menangkap debu di tengah padang pasir kerontang—bahkan kita tidak pantas mengharap seperti itu.
Enire adalah satu dari sebagian orang yang cukup beruntung. Takdir memilih untuk mengampuninya meskipun dengan cara yang cukup sulit. Tapi itu tak apa. Ia sempat kehilangan alasan untuk hidup, kehilangan satu atau hal lain tidak akan mengubah apapun. Meskipun ia dulu punya pilihan untuk mengakhiri hidup dan menyusul orang yang ia kasihi, ia tak memilihnya. Ia tak sanggup mengkhianati pengorbanan kekasihnya.
Enire termenung. Ia tak dapat larut dalam arus masa lampau yang menikami hatinya. Lagipula, Erno sudah kembali siuman. Ia sudah bukan pria pengecut lagi. Ia masih memiliki tugas yang harus ia emban. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya terus hidup demi merenda esok harinya, meskipun tanpa orang yang ia sayangi.
***
Siang itu, tidak banyak yang terjadi. Erno dan Enire hanya membersihkan ruang tempat mereka praktik. Tidak banyak yang mereka bicarakan. Enire menyuruh Erno untuk pulang, sementara ia membereskan sisanya. Percobaan itu dihentikan dengan alasan stabilitas sihir yang tak terjamin. Sihir tingkat tinggi semacam itu bisa saja mendatangkan bencana yang lebih buruk daripada badai.
Selepas Erno menutup pintu luar, rumah itu lenggang. Tidak ada yang berani bersuara. Bahkan jam dinding di ruang tengah tak berdenting—rusak akibat badai listrik statis yang melanda. Sepi senyap.
Yang berani bersuara adalah Enire sendiri. Suara derap kaki terdengar menggaung di rumah itu, menemani kesibukannya untuk menyelesaikan pekerjaan. Suara kertas berderak ikut terdengar, dibuntal menjadi satu oleh tangan Enire. Tak banyak yang tersisa. Semua perkamen tua yang terbuat dari serat papirus rusak akibat air badai yang meresap melalui celah dinding dan atap. Peralatan sihir banyak yang rusak. Enire menarik kesimpulan bahwa percobaan ini hanya sia-sia belaka.
Ia tak mendapat apa-apa. Malahan, ia hampir saja membuat bencana. Sekarang ia tahu mengapa masyarakat menyebut legenda sebagai “legenda orang bodoh” atau “malapetaka”. Enire terlalu berharap banyak. Ia tak bisa mengubah kenyataan bahwa orang akromatik dapat meraih bakat. Kenyataan adalah kenyataan, tak dapat dilawan dengan impian belaka.
Enire menghibur diri sembari membereskan kekacauan. Dalam hati kecilnya, ia mengharap bahwa ada satu hasil yang mereka capai, atau memang idealismenya benar-benar salah. Ia percaya betul bahwa akromatik tidak sepenuhnya betul buta sihir.
Dan secercah harapan itu datang tanpa ia duga-duga.
Ketika ia mengambil beberapa barang yang tergeletak di lantai. Salah satunya adalah koin dengan torehan rune. Awalnya, tidak ada yang spesial dari koin emas itu. Namun, setelah meneliti, Enire mendapati ada yang aneh darinya. Koin itu memancarkan berkas sihir. Enire mengirim sihir secara berkala dan berhati-hati, memeriksa dari jarak aman.
Awalnya, tidak ada respon. Lama kelamaan, koin itu mulai bergetar, menunjukkan respon positif terhadap sihir. Koin itu melayang, melesat menuju jemari Enire yang mengirim berkas sihir. Enire tercengang, ia tidak mempercayai matanya yang melihati hal semacam ini. Dengan penuh kehati-hatian, ia menaruh koin itu. Butuh beberapa saat ia menenangkan dirinya. Setengah senang dan setengah takut—hatinya merasa separuh ragu juga separuh yakin. Koin itu tengah diam di lantai, tapi Enire malah semakin yakin dengan sihir yang tersemat di koin itu—di dalam torehan rune.
“Apa percobaan ini berhasil?” batinnya dalam hati. Fakta bahwa kekuatan yang dijanjikan dari legenda juga sepadan dengan bencana yang didatangkan, Enire semakin yakin dengan itu.
Legenda mengatakan, bahkan orang akromatik dapat menggunakan sihir dari kekuatan yang tersemat dalam torehan rune. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mencobanya. Tidak ada siapapun, hanya dirinya sendiri. Jika malapetaka kan datang, ia dapat meminimalisir korban—skenario terburuk adalah kematiannya, tidak ada yang lebih buruk lagi. Ia sudah bersiap dengan perkamen berisi mantra penangkal tingkat tinggi di tangan kanan, sementara tangan kiri bersiap mengambil koin itu.
Ia tak perlu mengambilnya secara langsung. Bagi si koin, Enire tampak seperti magnet sihir yang penuh akan kekuatan. Sama halnya seperti tadi, koin itu melesat cepat ke tangan Enire seperti magnet yang saling tarik menarik. Enire menggengam koin itu. Rasa takutnya dikalahkan dengan rasa penasaran—itulah prinsip yang dipegang teguh oleh cendekiawan, rasa penasaran adalah ambisi serta nafsu mereka yang besar, bahkan melebihi harga jiwa yang mereka miliki.
Meskipun legenda menyatakan bahwa akromatik dapat menggunakan sihir macam apapun, tapi Enire tak yakin itu. Ia tak paham dengan konteks sihir macam apapun. Ia berpikir sejenak, namun hatinya meronta untuk menunda berpikir dan langsung mengambil langkah. Nafsu hatinya mengambil alih caranya bertindak.
Meskipun Enire adalah ahli sihir, namun ada beberapa hal yang tak bisa ia lakukan. Ia tak bisa melakukan sihir tipe menyerang tingkat empat ke atas. Karena penasaran, ia mencoba beberapa sihir api yang pernah ia pelajari, meskipun tak pernah ia gunakan sekalipun. Dengan tangan bergetar, ia mengarahkan telapak tangannya menuju setumpuk kertas. Dengan konsentrasi kecil saja, ia merasa kekuatan mengalir dari koin itu. Kekuatan asing yang menjanjikan.
“Angui Gatei, eteenpan tho hamies (wahai api, melesaklah menuju musuhku)...”
Burst! Bola api seukuran tangkup tangannya datang lalu melesat cepat menuju sebuntal kertas di ujung meja. Dengan cepat, kertas itu tersambar bola api, lalu hangus dan lenyap menjadi abu. Sederhana, namun nampak menjanjikan. Enire yakin, masih banyak potensi yang tersembunyi dari koin ajaib itu.
“Eureka!” teriaknya tanpa ia sadari. Ia senang bukan main. Saking senangnya, ia langsung membuka buku referensi tentang sihir murni tingkat lanjutan. Dengan membacanya singkat serta mendapat gambaran bagaimana tiap mantra bekerja, Enire dapat mempraktikannya. Ia hanya perlu fokus dan merapal mantra, untuk energi dan jalur sihir yang harus di atur sudah dikerjakan oleh koin itu.
“Koin ajaib!” teriaknya. Ini merupakan temuan terbesar yang ia pernah lakukan—dan mungkin temuan terhebat dalam abad ini. Setelah mencoba dua-tiga mantra rumit tanpa tenaga berlebih, Ia menaruh koin itu di kotak khusus. Ia terlalu bersemangat hingga ia menulis semua hal yang ia ingat, mulai dari torehan rune yang ditulis, mantra penangkal yang digunakan, hingga pengalamannya dalam mencoba koin itu.
Semuanya ia tulis dengan detail. Sayangnya, ia tidak menulis satu hal penting yang mungkin terlihat amat sepele—tanpa setetes darah, ritual ini tak akan mencapai kata selesai.
***
Bayangan awan jatuh di Junier pada saat puncak angkasa dikuasai oleh sang surya. Teduh. Gumpalan kapas tampak menggantung di angkasa, tampak kelabu gelap. Hari itu adalah hari yang tidak lain dari biasanya bagi Florence, hanya saja ada beberapa kabar yang tersebar tentang badai topan yang tiba menerjang kota pelabuhan di ujung benua itu secara tiba-tiba, tanpa pertanda. Hujan tampak seperti air bah dari langit. Petir dan guntur datang silih berganti, lengkap dengan pusaran angin yang menghantam dan menerjang apapun. Badai yang ganas.
Beruntungnya, badai itu tak berlangsung lama. Hanya sekitar sepuluh menit. Sama seperti cara munculnya, badai tersebut langsung hilang tanpa pertanda yang jelas. Orang-orang mulai mengaitkan badai tersebut dengan amukan Dewa dan Dewi, atau pertanda bakal ada bencana yang lebih buruk.
Florence tidak tertarik dengan perbincangan yang merebak di kalangan temannya itu. Ia tidak punya waktu untuk mengurusi masalah di masa lampau yang telah usai. Baginya, itu hanya sia-sia belaka. Daripada membicarakan badai yang telah berlalu, kenapa semua orang tidak berpikir untuk bersiap demi menghadapi badai serupa di lain hari, pikirnya. Baginya, itu adalah kebiasaan buruk umat manusia sedunia—mengikatkan diri dengan masa lalu dan yang terburuk, kebanyakan dari mereka tak mau berdamai dengan waktu.
Waktu dapat mengobati luka hati macam apapun. Florence selalu berpikir seperti itu. Ia yakin bahwa Dewa dan Dewi tak meninggalkan umatnya selama umatnya juga tak meninggalkan Dewa dan Dewi. Meskipun Dewa dan Dewi memberi takdir yang kejam, itu bukan berarti mereka tak menyayangi kita, malahan mereka bisa saja lebih menyayangi kita dengan menguji kita terlebih dahulu, lalu memberi hadiah yang pantas di kemudian hari.
Dan itu sudah terbukti di beberapa orang yang Florence kenal, salah seorangnya adalah kakaknya sendiri. Meskipun sempat jatuh dalam jurang keputus-asaan, Erno dapat bangkit kembali, malahan jika Florence boleh bilang, kakaknya itu jauh lebih berkembang daripada dirinya.
Bakat murni Erno dalam belajar cepat membuatnya menguasai berbagai ilmu dalam waktu singkat. Kemampuan Erno sudah mencukupi dalam kriteria pebisnis kecil-kecilan, serta pengetahuan umumnya juga amatlah luas. Ia pandai dalam meramu ramuan, membuat artikel ilmiah, karangan, kerajinan tangan, dan beragam kegiatan lainnya.
Sempat Florence bertanya ketika Erno membuat replika patung ksatria dari ukiran kayu di waktu luang mereka. Erno menjawab dengan santai, “guru yang mengajarkanku.” Dengan senyuman di wajah Erno, Florence tahu bahwa Erno sudah kembali seperti sedia kala.
Hari silih berganti. Florence semakin terpandang di kalangan teman dan guru-gurunya. Bakat yang ia miliki menarik perhatian semua orang. Di umurnya yang masih empat belas tahun, ia sudah menguasai mantra kelas menengah—sebuah lompatan besar untuk anak seumurannya.
Ia bangga. Hasil kerja kerasnya selama ini terbayarkan. Dan ia semakin dekat dengan cita-cita yang ia impikan selama ini, yaitu menjadi seorang ahli sihir, terutama sihir bidang Alkemi. Ia mulai membayangkan di mana hidupnya sebagai peneliti sihir, mengkaji serta bereksperimen dengan bahan-bahan bumi, berkutat dari pagi hingga malam tiba. Di sela-sela impiannya, ia membayangkan hidup dengan Erno.
Florence saat ini belum menyadari perasaan sebenarnya. Pikirannya selalu menyangkal. Dewa dan Dewi pasti akan melaknatnya jika ia sedikit saja memiliki perasaan suka pada Kakaknya sendiri. Ia yakin itu. Namun, jauh dari kecilnya, ia berpikir keduanya akan hidup jauh dari masyarakat. Hidup terasingkan, di mana omongan masyarakat tak akan menyakiti keluarga kecil mereka. Tak akan.
Tetap saja, Florence menggeleng keras. Hukuman Dewa dan Dewi akan datang di dunia dan kehidupan selanjutnya. Dan ia tak ingin Erno menderita karena impian egoisnya.
Dengan itu, ia memendam impian dan menatap kenyataan. Ia hanya mengharap bahwa hari-hari yang ia nikmati dengan Erno akan selalu seperti ini. Ia akan bergantung pada Erno jika ia mau, namun ia harus melupakan Erno suatu saat, mengetahui fakta bahwa Erno nantinya akan mendapat orang yang lebih pantas.
Florence percaya pada kebaikan hati Dewa dan Dewi. Hingga di suatu siang, ketika bayangan jatuh di Junier, tepat setelah dua hari badai mengganas di Junier dalam hitungan menit itu, roda takdir bergerak. Mengubah jalan hidupnya, mengubah jati dirinya, memunculkan kembali impiannya untuk memiliki Erno.
Si Trenggiling muda merontokan sisiknya, hanya untuk menggantinya dengan sisik yang lebih keras dan kuat...
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona