Ketika melangkah menuju pintu keluar. Tanpa sengaja aku melihat seorang pria, yang sepertinya pernah kulihat di antara keramaian bandara. Tapi entah di mana dan kapan, tidak bisa kuingat saat itu. Begitu sampai di dekat mobil, sebelum aku dan Inspektur Dirga masuk. Baru kuingat kalau pria itu adalah Zul, Zulham Sugiantoro kawan kuliahku yang pernah kuceritakan.
Sedang apa Zul di Kuala Lumpur? Aku jadi ingin tahu, apa yang sedang ia lakukan di sini. Apa ingin bertemu denganku, perihal program miliknya yang belum kuserahkan tempo hari? Atau ada maksud lain? Entahlah. Semuanya seakan membuatku bingung dan dipenuhi berbagai tanda tanya perihal keberadaannya di sini.
Dalam perjalanan menuju KLCC. Aku dan Inspektur Dirga terlibat obrolan seru, mengenai kasus meninggalnya ayah beberapa minggu lalu. Sejenak kulupakan perihal keberadaan Zul, yang tadi sempat terlihat di bandara.
“Inpektur, tadi Anda cakap perihal [1]kes kematian ayah saye. Ada hal ape yang nak Anda ceritakan ke saye?” tanyaku, begitu mobil yang kukendarai menerobos keramaian kota Kuala Lumpur.
“Jadi begini, Satria. Dalam penyelidikan saye beberapa hari ini. Ada sebuah indikasi kes kematian ayahmu itu, mengarah kepada seseorang yang kini dekat dengan awak,” kata Inspektur Dirga, perlahan. “Jadi, menurut penyelidikan. Ada seorang yang dibayar untuk membunuh ayahmu. Belum begitu jelas siapa yang menyuruhnya, hanya beberapa jam sebelum peristiwa penembakan. Ada seseorang yang menghubungi si pelaku, di dekat gedung apartemen. Sepertinya pembunuhan berencana.”
Maksud Anda cem mana, Inspektur? Apakah ada yang dendam dengan ayahku selama ini?” sergahku, penasaran.
“Sepertinya bukan masalah dendam, Satria.”
“Lantas?”
“Menurut beberapa penyelidikan yang saye kembangkan, dengan mase terjadinya kes. Ada seorang yang merencanakannya, setelah ayahmu masuk ke dalam bank tempat terjadinya perkara tuh.”
“Maksud Anda, bank milik Nouna kawan saye tuh?”
“Iya. Dan orang yang merencanakan pembunuhannya, mengarah kepada Puan Lemi, ibu tirimu itu, Satria.”
“Apa?! Jadi Lemi dalang dari meninggalnya ayahku itu, Inspektur?!” ungkapku terkejut.
“Menurut hasil penyelidikan selama ini, ya. Puan Lemi yang menghubungi si pelaku, sesaat sebelum kejadian penembakan itu.”
“Sial! Ternyata selama ini dia bermuka manis di depanku. Lantas ada maksud apa, dia membunuh ayah saya tuh, Inspektur? Bukannya selama ini, Lemi sangat mencintai ayah saya, tuh?” tanyaku penasaran.
“Kemungkinan masalah harta, Satria. Kekayaan ayahmu selama ini diincar oleh Puan Lemi, dan kemungkinan ia ingin memiliki seluruh harta ayahmu itu. Hanya, kami belum menemukan bukti akurat keterlibatannya. Saye mendapatkan ada beberapa aktivitas penggunaan ponselnya, selama kejadian saat itu.”
“Dasar wanita jalang! Saye sudah curiga kepadanya. Hanya tak bisa mengungkap kelicikannya itu, Inspektur. Lalu, cem mana Anda bisa mengungkapnya?”
“Korang tahu, dia sedang ada di mana sekarang?”
“Setahu saye. Dia sedang latihan tadi pagi, sebelum saye dan Panji berangkat ke kampus, guna minta surat kuasa dari dosen pembimbing. Dan kemungkinan dia ada di KLCC, nak tengok acara wisuda kawan saya Nouna, sebagai salah satu pihak sponsor acaranye.”
“Baiklah. Kita tengok ape yang nak dia rencanakan selanjutnya. Ape yang nak dia perbuat terhadap awak nantinya, sebab awak seorang adalah pewaris kekayaan yang sedang dia incar tuh.”
“Baik, Inspektur.”
Tidak berapa lama, mobil yang kukendarai memasuki area KLCC. Di sebuah atrium yang terlihat megah dengan desain panggung sekitar satu meter tingginya. Tampak beberapa acara sudah dimulai. Begitu memasuki area. Mataku berusaha mencari keberadaan Nouna, yang beberapa hari ini sedikit terlupakan karena kesibukan masing-masing.
“Na, saye sudah ada di depan panggung acara korang. Awak ada di mana?” Isi pesanku kepada Nouna. Cukup lama kutunggu balasan. Namun begitu akan kutelpon. Seorang pengisi acara memanggilnya, untuk segera tampil dalam acara tersebut.
Tidak berapa lama. Nouna muncul dari belakang panggung dengan membawa sebuah biola di tangannya. Saat itu wanita yang kutunggu kemunculannya, menggunakan gaun berwarna putih, di padu dengan hijabnya yang sepadan dan tampak anggun kulihat.
“Terima kasih atas kesempatan mase untuk saye, nak hadir di panggung ini. Saye nak cuba bawakan sebuah musik klasik dengan biola kesayangan saye nih, berjudul ‘Wajah Sang Keksaih’ dan musik ini saye tujukan untuk seseorang, yang selama ini sangat berarti dalam hidup saye, yaitu Satria.” Itulah sambutan Nouna seraya menunjuk ke arahku, sebelum ia memainkan biola di tangannya.
Sontak seluruh yang hadir bersorak dengan tepuk tangan meriah menyambutnya, seraya saling menatap ke arahku yang sedang berdiri bersama Inspektur Dirga. Tidak pernah kuduga sebelumnya, kalau Nouna begitu mempesona dengan aksinya itu. Sungguh, aku merasa sangat mencintainya dan berharap setelah semua yang terjadi, kami pun bisa hidup bersama. Itulah yang kurasakan saat melihatnya memainkan biola di atas panggung.
Sementara, Inspektur Dirga mencoba menelaah beberapa deret kursi tamu dan tidak melihat keberadaan Lemi di sana siang itu.
“Satria. Awak cakap tadi, jike Lemi nak hadir dala acara ni? Tapi, kurasa dia tak ada, pun. Apa awak tahu, ke mana dia tuh?” ungkap Inspektur, begitu tahu apa yang dicarinya tidak berada di sekitar kursi tamu.
“Iya keh? Cem mana dia tak datang? Dia ujar nak hadir, dan seharusnya sekarang ada di sini.” Aku pun mencoba menelusuri deretan bangku tamu, dan benar Lemi tidak berada di tempatnya.
“Korang sudah cuba menghubunginya, Satria?”
“Tak. Saye tak punye nomor ponselnya, Inspektur. Sebab apa guna, jike saye tahu nomornya?”
“Cuba korang hubungi rumah, ape dia ada di sana atau ada orang rumah yang tahu ke mana dia? Jangan-jangan ada sebuah rencana lain, nak ia perbuat terhadap awak, Satria. Lebih baik, kita mesti lebih waspada lagi,” pinta Inspektur dengan penuh curiga.
“Baik, Inspektur. Saye nak cuba hubungi rumah,” balasku segera mengubungi rumah, dan ternyata hanya Pak Sugi yang menjawabnya.
“Halo. Ini Pak Teguh, keh? Puan Lemi ada tak?” tanyaku begitu telepon diangkat seseorang, yang ternyata Pak Teguh salah satu pengurus rumah.
“Halo. Ouh ...,ternyata Anda, Encik Satria. Puan Lemi belum balik, Encik.”
“Apa maksud awak dia belum balik, Pak Teguh? Apa dia belum balik, sedari pagi saat latihan tuh?”
“Iya, Encik. Saye sedari pagi [2]berkemas rumah, dan tak tengok Puan Lemi balik.”
“Tapi dia pegi latihan dari pagi, Pak Teguh. Mana mungkin dia belum balik. Apa korang sudah cek biliknye? Atau cuba tengok, mobil yang saye tinggal buat dia pegi. Apa masih ada?” balasku mulai sedikit cemas.
“Saye sudah periksa semua ruangan rumah, Encik. Tapi Puan Lemi belum terlihat sama sekali.”
“Kenapa korang tak hubungi saye?” tanyaku kembali penasaran.
“Saye tak tahu Encik pegi ke mana, pun. Sebab saye hanya ada di dapur, dan berkemas taman sedari pagi saat Encik pegi same Encik Panji tuh.”
“Pak Sugi ada tak? Setahu saye dia serba tahu ke mana Puan Lemi pegi.”
“Pak Sugi pun belum saye tengok, sejak tadi ia guna [3]motosikal keluar rumah, Encik. Setahu saye ia nak membeli belah, tersebab keperluan dapur habis pun.”
“Baiklah, Pak Teguh. Jike ada kabar Puan Lemi, korang talipon saye, ya?”
“Baik, Encik.”
Telepon pun terputus. Setelah menghubungi rumah, aku memberi kabar kepada Inspektur Dirga perihal Lemi.
“Lemi belum pulang sejak dari pagi ia latihan, Inspektur,” kataku, “biasanya dia pegi latihan tak sampai siang, pun. Satu atau dua jam langsung dia balik.”
“Apa awak sudah pastikan, ke semua yang ada di rumah, Satria?”
“Saye sudah tanya ke salah satu amah di rumah yang biasa berkemas rumah, Inspektur. Tak seorang pun tengok ia balik.”
“Kalau begitu, kita mesti segera ke rumah nak pastikan, Satria. Apa korang sudah selesai, dengan hal ehwal awak di sini, pun?” saran Inspektur Dirga.
“Saye nak temui Nouna dulu sebentar, Inspektur. Lepas tuh, kita balik nak cek rumah saye. Cem mana?” pintaku, seraya berlalu mencari Nouna di balik panggung.
“Baik, Satria. Saye nak tunggu hal ehwal awak di sini, sebelum kite balik ke rumah awak tuh.”
Tidak berapa lama, aku pun bertemu dengan Nouna yang sudah bersiap dengan pakaian wisudanya. Topi toga terlihat di kepalanya, serta sebuah surat kelulusan kesarjanaan di tangan. Sebelum ia berkumpul dengan teman sekampusnya, aku meminta untuk berbicara sebentar. Meski beberapa dari temannya saling memandang ke arahku, dengan wajah riang.
“Na, bisa kita cakap sebentar? Saye nak ade kes, sebelum tengok awak wisuda, bisa?” tanyaku, begitu berhadapan dengan Nouna yang terlihat sangat anggun siang itu.
“Ouh ternyata ini, pria pujaan engkau tuh ya, Na? Hai ... apa kabar?” sapa salah satu teman Nouna, sebelum sempat ia menjawab pertanyaanku.
“Ouh, hai. Iya ... kenalkan, saye Satria. Kawan dekat Nouna.” Aku hanya bisa tersenyum dengan candaan beberapa kawan Nouna.
“Bukan sekedar kawan dekat, keh? Tapi boyfriend, ye?” Kembali temannya menggodaku serta Nouna, yang hanya terlihat tersenyum gembira.
“Yah ... bisa dibilang macam tuh. Hehehe ....” Aku pun mencoba mencairkan suasana dengan sedikit candaan juga. “Maaf, bisa saye nak bincang dengan Nouna sikit masa? Ada satu kes yang mesti kami cakap berdua, bisa?” lanjutku sebelum temannya kembali menggoda.
Nouna yang sedari tadi hanya diam dengan wajah semringah, berusaha menenangkan kawannya dan menarik tanganku bermaksud memisahkan diri untuk memberi waktu kepadaku berbincang dengannya.
“Ada kes ape, Satria? Tampaknya sangat penting keh?” tanya Nouna, begitu kami sedikit menjauh dari kerumunan teman-temannya tadi.
“Begini, Na. Saye nak balik ke rumah, sebab Lemi sejak dari pagi belum balik dari latihan paginya. Apa engkau tak keberatan, jika saye nak balik sebentar? Atau ada acara penting sebelum saye balik?” tanyaku.
“Ouh cem tuh, keh? Tak, Sat. Saye rasa, acara sudah hampir selesai. Ape awak tak tunggu sikit mase lagi, guna kita [4]ambil gambar dulu? Saye berharap, awak tengok saye saat penyematan topi toga nanti, Sat. Cem mana?” pinta Nouna dengan sedikit berharap, aku mengerti keinginannya itu.
“Ouh ... baiklah. Saye nak tunggu sikit masa lagi, sampai engkau selesai, ye? Saye nak tunggu di sana, bersama Inspektur Dirga, ye? Sebab beliau sudah tahu sebuah kes penting, dari kes kematian ayah saye tempo hari,” ungkapku, seraya menunjuk ke arah Inspektur Dirga berdiri.
“Wah ... hebat, Sat. Akhirnye terungkap juga kes kematian ayah awak tuh. Baiklah, lepas acara nih, kita segera balik ke rumah awak, nak lanjut kes yang dibawa Inspektur Dirga tuh, cem mana?”
“Oke, Na. Saye tunggu acara engkau, ye? Lepas tuh, kita bisa balik dan saye nak pegi ke orang tua engkau, gune rencana saye melamar, cem mana?”
“Iya keh? Terima kasih, Sat. Awak sungguh perhatian same saya. Saye sangat senang mendengarnye.”
“Saye pun.” Aku hanya bisa menjawab singat terhadap perasaan Nouna, yang mulai terbuka dengan kehadiranku selama ini.
“Baiklah, saye segera ke panggung dulu guna acara penyematan, ye? Lepas tuh, kita balik.” Nouna pun bergegas ke arah panggung, sebab beberapa temannya sudah berada di sana untuk acara penyematan topi toga sebagai tanda kelulusan kuliahnya.
Setelah Nouna kembali ke panggung, aku pun balik ke tempat di mana Inspektur Dirga berada, dan melihat acara sampai selesai. Setelah itu kami berfoto berdua dan kemudian bersama Inspektur Dirga, sebelum akhirnya pulang ke rumahku guna mencari kabar tentang Lemi.
*****
[1] Kes: Kasus / hal / Masalah.
[2] Berkemas rumah: Membersihkan rumah.
[3] Motosikal: Motor.
[4] Ambil gambar: Berfoto.
NB:
Terima kasih untuk yang sudah sudi mampir di episode ini.
Bila berkenan, ditunggu ulasan, saran, masukan, juga kritikannya. Agar cerita ini lebih baik lagi.
Selamat membaca, dan sukses selalu. :)
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU