Pasca terjadinya penembakan ayah di depan Bank Malih Corporation, milik Nouna. Sore itu, terlihat beberapa petugas kepolisian dari resort kriminal Malaysia, yang sibuk mengolah TKP. Sementara, aku dan Panji segera menyusul Nouna serta Lemi yang membawa tubuh ayah di rumah sakit terdekat.
“Cem mana kondisi ayahku, Na? Apa yang terjadi dengannya?!” seruku begitu tiba di rumah sakit, yang tidak jauh dari bank milik Nouna.
“Ayah awak telah tiada, Sat. Dokter kata, ia tewas di lokasi dan sekarang sedang diautopsi.” Pernyataan Nouna membuatku benar-benar terkejut, dan tidak percaya.
“Tidak! Ayahku tidak mungkin mati! Tidak! Kenapa ini terjadi dengannya?! Tidak!” teriakku seraya berontak hendak memasuki ke dalam ruang darurat, namun segera dicegah oleh Panji juga Nouna yang memegang erat tubuhku.
“Udah, Sat. Mungkin ini takdir ayah lu, kita semua enggak nyangka ini terjadi kepadanya! Elu mesti tabah menerimanya, Sat!” sergah Panji, terus berusaha memegang erat tubuhku yang mulai terkulai lemas.
“Aku ... aku enggak nyangka ini terjadi dengan ayah, Ji. Apa ia punya musuh selama ini di sini?” lirihku, setelah sedikit mereda dengan perasaan.
“Kamu! Kamu biang keladi kejadian ayahku ini, wanita sundal! Semuanya gara-gara kamu!” teriakku ke arah Lemi, yang sedang menangis tersedu di bangku tunggu.
“Hey! [1]Ape pasal awak nak salahkan saye? Saye pun merasa kehilangan ayah awak tuh! Jangan korang asal tuduh sahaja!” balas Lemi, tidak terima dengan tuduhanku.
“Iya, semuanya gara-gara kamu! Ayahku tak mungkin ada di sini jika tak kenal kau! Dasar wanita sial!”
“Jaga ucapan awak! Semuanya ....”
“Sudah—sudah! Sekarang bukan saatnya saling menyalahkan! Lebih baik segera kita urus jasad Encik Dani, biar arwahnya tenang di alam sana!” cegah Nouna, menengahi pertengkaranku dengan Lemi.
Belum sempat aku berbicara. Dari arah depan rumah sakit. Terlihat Inspektur Dirga berjalan ke arah ruang darurat, diikuti oleh anak buahnya yang berseragam polisi.
“Selamat sore. Saye dapat kabar tentang tertembaknya Encik Dani Sunjaya, di depan Bank Malih Corporation. Apa di sini, ada sanak saudara dari korban keh?” tanya Inspektur Dirga begitu berhadapan denganku, Panji, Nouna serta Lemi di depan ruang darurat.
“Hey! Jumpe lagi kite di sini, Encik Satria. Apa hubungan awak dengan korban, keh?” sambung Inspektur Dirga menatap ke arahku.
“Saye anak dari Tuan Dani Sunjaya, Inspektur.” Aku hanya bisa membalas dengan senyum getir ke arah Inspektur Dirga, yang menatap dengan penuh tanda tanya ke arahku juga Panji.
“Ouh cam tuh, keh? Bagaimana kronologi kejadian tertembaknya Encik Dani, nih? Kenapa kalian semua ada di sini?” tanya Inspektur Dirga, penuh selidik.
Belum sempat aku menceritakan kejadian sore itu. Nouna segera menjawab dan membeberkan panjang lebar kejadian tewasnya ayah.
“Ouh cam tuh keh kejadiannye? Lalu ... bagaimana Satria bisa tau, jike pelaku penembak Encik Dani arahnye dari apartemen di seberang jalan bangunan bank tuh?” tanya Inspektur Dirga ke arahku, begitu Nouna selesai menceritakan kronologi tertembaknya ayah sore itu.
“Saye sedikit paham ilmu investigasi, Inspektur. Dengan melihat kondisi, dan letak tertembaknya korban. Saye bisa menyimpulkan dengan singkat arah pelaku. Itu pun setelah saye menelusuri area sekitar. Sehingga saye langsung menelusuri dugaan itu, dan menemukan beberapa kaleng minuman bekas di sekitar area pelaku. Jika tak percaya, saye bisa tunjukkan tempatnya.” Aku mencoba menjelaskan apa yang menjadi kecurigaan Inspektur Dirga kepadaku.
Memang, di saat kejadian. Seharusnya aku tetap menemani ayah dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat bersama Nouna dan yang lainnya. Tapi hal itu tidak kulakukan. Sebab secara refleks, naluriku mengatakan harus menemukan pelaku meski kemungkinannya tidak berhasil. Mungkin itu yang ada di pikiran Inspektur Dirga terhadapku.
“Baiklah. Saye butuh keterangan dari semua saksi, yang ada di sekitar tertembaknya korban. Setelah urusan dengan pihak [2]hospital selesai, saye harap semua yang hadir di sini memberikan kesaksiannya di kantor. Saye nak tunggu kehadiran kalian di sana, paham?” pinta Inspektur Dirga, “saye nak temui pihak hospital, guna mengetahui kondisi korban. Kalian urus segera di bagian administarsi, guna membawa korban untuk disemayamkan,” sambungnya, seraya berjalan memasuki ruang darurat.
“Baik, Inspektur.”
Dengan perasaan getir, aku serta Panji dan ditemani Nouna segera menuju ruang administrasi guna mengurus jasad ayah.
Setelah salat maghrib. Aku ditemani Panji juga Nouna, membawa jasad ayah ke rumahnya di kawasan Damansara. Sedangkan Lemi, membawa mobil milik ayah mengikuti kami.
Malam itu. Baru pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah milik ayah, yang terlihat asri di daerah bukit Damansara. Sebuah rumah bertingkat dua, dengan taman dan air mancur terletak di depan pendopo yang memanjang serta atap ke arah depan dan melingkari garasi. Bagian belakang rumah menghadap sebuah pantai, di mana laut kawasan Selangor terlihat jelas meski malam menyelimuti sekitarnya. Hal itu bisa aku rasakan dari semilir angin, dan deru ombak yang terdengar samar. Di sana jasad ayah disemayamkan malam itu.
Lemi yang memang sempat tinggal bersama ayah, dalam beberapa bulan terakhir. Terlihat tidak canggung lagi, menata segala keperluan persemayaman jasad ayah di ruang depan dibantu beberapa orang yang tampaknya adalah pembantu rumah.
“Satria. Awak bisa tempati satu kamar di rumah ini, yang memang sudah ayah kau siapkan. Sebab beliau pernah cerita kepada saye, perihal rencana buat awak nak tinggal di rumah ini. Jadi, awak sorang punya hak atas rumah ini, pun,” ujar Lemi, perihal keinginan ayah sewaktu masih hidup.
Sementara aku hanya bisa diam dengan perlakuan Lemi tadi. Melihat dinginnya sikapku, Nouna berkata, “Satria, sekarang saatnya awak untuk bisa terbuka dengan keadaan. Meski Encik Dani sudah tiada, setidaknye ada yang paham tentang kehidupannya dulu. Cobalah bicara dengan kepala dingin kepada Cik Lemi. Agar tak ada jarak antara kalian, tuh.”
Mendengar apa yang Nouna katakan. Pikiranku sedikit mulai terbuka untuk menerima kenyataan keberadaan Lemi di tengah kehidupan ayah semasa hidupnya. Meski masih sedikit berat untuk menerimanya.
“Baiklah. Untuk sementara, saye nak coba membuka diri dengan keadaan sampai jasad ayah dikebumikan esok,” ucapku kepada Nouna, dengan tatapan mata sendu. “Cik Lemi, bisa awak tunjukkan kamar mana yang nak saye tempati malam ini? Saye ingin berbenah sebelum menunggu jasad ayah disemayamkan,” sambungku ke arah Lemi, yang sedang sibuk mengatur beberapa pembantu rumah.
“Baiklah. Awak nanti diantar salah satu [3]amah di sini, ye? Sementara saye nak atur beberapa hal, guna persemayaman Encik Dani esok.” Lemi berhenti sejenak, seraya mencari seseorang yang ditengarai salah satu pembantu. “Pak Sugi, bise antar Encik Satria ke kamar yang tempo hari sudah Encik Dani siapkan? Encik Satria ini anak dari Encik Dani, Pak Sugi. Jadi, layani ia dengan baik, paham?” pinta Lemi kepada salah satu pelayan yang diperkirakan berusia sekitar tiga puluh tahun, berperawakkan tinggi sedikit kurus berseragam hitam.
“Baik, Puan. Jom Encik Satria, saye hantar ke kamar yang sudah disiapkan,” balas pria bertubuh sedikit kurus bernama Pak Sugi, seraya menunjukkan arah kamar untukku.
Tanpa banyak bicara, aku pun mengikuti Pak Sugi bersama Panji di belakangku. Sebuah kamar berukuran cukup besar untuk ditempati, terlihat asri dan tertata rapi. Tembok putih dengan beberapa foto pemandangan laut, tergantung dekat pintu masuk. Sudut kamar dengan jendela menghadap arah depan, sehingga bisa terlihat siapa saja yang masuk ke pekarangan depan rumah. Membuatku merasa nyaman di dalamnya, begitupun Panji yang terlihat kelelahan malam itu.
“Silakan, Encik Satria. Ini kamar yang sudah disiapkan oleh Tuan Dani. Selamat beristirahat,” sapa Pak Sugi, seraya beranjak meninggalkan kamar.
“Terimak kasih, Pak Sugi.” Aku tidak banyak berkata dengan pelayanan Pak Sugi malam itu, hanya bisa tersenyum ramah kepadanya.
Malam itu pun. Setelah berbenah dan mengganti pakaian. Aku, Panji, serta Nouna menunggu jasad ayah yang tengah disemyamkan di ruang depan. Sementara Lemi menerima beberapa tamu yang mengenal ayah selama masa hidupnya hingga malam tiba.
*****
[1] Ape pasal: Apa alasannya.
[2] Hospital: Rumah sakit.
[3] Amah: Pembantu.
NB:
Terima kasih untuk yang sudah sudi mampir di epiode ini. Bila berkenan, ditunggu ulasan, saran, masukan, juga kritikannya. Agar cerita ini lebih baik lagi.
Selamat membaca, dan sukses selalu. :)
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU