Setelah memasuki pelataran bank. Aku dan Panji menunggu Nouna di ruang lobi kantor tersebut. Bangunan yang tertata rapi, dengan sambutan ramah dari sekuriti berseragam hitam dengan topi khasnya.
Beberapa deret ruang kasir, tepat di depan pintu masuk terlihat empat karyawati cantik berhijab biru yang sedang sibuk melayani nasabah. Ruang resepsionis terbagi tiga di samping ruangan kasir, tampak sibuk dengan nasabah juga. Sudut mataku, tertuju ke sebuah ruangan tertutup bagian tengahnya dengan sebuah tulisan ‘Bank Malih Corporation’. Di sana terlihat samar di dalamnya. Nouna tampak sedang mengadakan rapat, bersama beberapa orang yang samar pula karena terhalang tulisan tadi.
“Silakan Akak tunggu di sini, ye? Sebentar lagi [1]Puan Nouna selesai rapat. Mau kopi atau teh panas, Akak?” sambut seorang sekuriti dengan ramah, setelah aku dan Panji duduk di ruang tunggu.
“Mmm ... teh hangat saja, ye? Dua,” balasku menoleh sebentar ke arah sekuriti tadi, kemudian melirik Panji yang tampak diam memerhatikan situasi ruangan.
“Baik, Akak. Sebentar saye nak hantarkan pesanan Akak tuh.” Sekuriti tadi segera beranjak meninggalkanku serta Panji.
“Kamu masih kesal, dengan perkataan Pak Ali tadi, Ji? Sepertinya ada yang sedang kau pikirkan,” tanyaku perihal diamnya Panji saat itu.
“Enggak. Ane cuma kagum sama temanmu ini, Sat. Masih muda, udah bisa mengelola usaha segede ini. Dengan segitu banyaknya karyawan, dia sepertinya sudah biasa hadapi berbagai persoalan hidup. Beda banget sama ane, yang terlahir dari keluarga kagak mampu,” ungkap Panji.
“Maksud kamu ..., Nouna, Ji?”
“Iyalah, siapa lagi kalau bukan dia, Sat? Yang kita kenal di sini pan, cuma dia. Emang ada lagi yang kita kenal selain dia?”
“Ouh ... aku kira Pak Ali.”
“Ngapain urusin Pak Tua itu, Sat? Udah kagak ngaruh ane ama omongan dia. Orang tua sok tau!”
“Hahaha ... habis, tadi kan kita lagi obrolin apa yang Pak Ali katakan waktu di kampus, Ji. Eh, enggak taunya soal Nouna, hehehe ...,” candaku.
“Pak Ali itu orang sok tau, Sat. Ngapain diobrolin? Kagak ngaruh ane sama ucapan dia tadi.”
“Tapi ... ada bener juga kan, apa yang beliau katakan itu, Ji? Seenggaknya, bisa jadi bahan introspeksi diri juga.”
“Ah, persetan ama omongan dia, Sat! Ane kagak ngaruh!”
“Berarti bener apa yang beliau katakan tentang dirimu, Ji? Ambisius, tempramen, juga masih harus banyak belajar tentang ilmu komputer. Iya, kan?”
“Ane emang kagak kayak lu, Sat. Yang serba bisa dalam hal komputer. Tapi ane paham apa yang mesti dilakuin, buat selesaiin skripsi kita ini. Seenggaknya sampai tugas ini selesai, dan kita wisuda entar. Lagian Pak Agus, ada-ada aja ngasih tugas. Meski ke negeri kayak gini lagi!”
“Berarti ... emang bener apa yang Pak Ali katakan itu, Ji.”
“Ah, sialan lu, Sat!”
“Hahaha ... udah, Ji. Sabar dulu sebentar. Program kita itu, hanya butuh sedikit waktu buat penyempurnaan aja. Habis itu kelar, kita bisa kembali ke Indonesia buat ngasih laporan ke Pak Agus. Santai aja dulu, kita nikmatin apa yang sedang kita jalani ini. Siapa tau kamu dapat jodoh orang sini. Jadi, kita bisa tetanggaan kalau tinggal di sini entar. Iya, kan? Hehehe ....”
“Mau lu kayak gitu, wew ...!”
“Hahaha ....”
Tidak berapa lama. Nouna pun terlihat keluar dari ruangannya, diikuti beberapa orang yang salah satunya tampak aku kenali. Ternyata Dani Sunjaya—ayahku, yang berjalan beriringan dengannya. Yah ... ketemu lagi deh, sama pria yang sudah tidak pernah kuharapkan lagi berbicara dengannya, meski hanya dalam mimpi.
“Hai, Satria. Sudah lame awak tunggu? Maaf ... saye baru selesai rapat dengan beberapa kolega perbankan, dan awak tau siapa salah satunye?” sapa Nouna, begitu melihatku bersama Panji.
“Iya saya tau, Na. Tuan Dani Sunjaya!” ketusku, tanpa menoleh.
“Satria. Kita bertemu lagi di sini, Nak. Enggak disangka, ayah masih bisa dipertemukan sama kamu,” sapa ayah, tampak tersungging senyum ke arahku.
“Buat apa lagi kita bertemu? Apa masih belum puas?”
“Jangan awak bersikap cam tuh, Satria. Ayah awak ini, seorang yang hebat dalam dunia perbankan. Cara berpikirnya sangat logis dan realiti. Nanti awak tau seperti ape sikap beliau, tuh. Awak sama Panji sudah makan, keh?” tanya Nouna, berharap aku memberi sedikit kesempatan untuk berbicara dengan ayah.
“Nah! Sekarang giliran elu yang kagak realita, Sat. Tadi lu bilang pan sama ane, kalau realisitis dikit tentang diri sendiri. Sekarang giliran lu nih, yang mesti realistis. Gimana, Sat? Hahaha ...,” ledek Panji.
“Ini beda, Ji!” bantahku.
“Beda gimana, Sat? Kondisinya sama, pan? Berpikir realita. Lu ... ane, sama aja, pan? Hahaha ....”
“Sialan lu, Ji!”
“Hahaha ... ayolah, Sat. Jangan jadi pecundang gitu, sama keadaan lu ini. Kita sama aja, pan?”
“Baiklah! Saya akui kalau dia itu masih ayah saya, tapi sebatas di sini dan di hadapan kalian saja. Tidak lebih!”
“Kamu masih terus marah sama ayah, Nak? Baiklah. Ada beberapa hal yang mesti kita bicarakan, sampai kamu mau benar-benar mengakui tentang sikap ayah selama ini,” ujar ayah, menatap penuh harap ke arahku.
“Sebentar, Pak Cik. Supaye obrolan kite lebih santai. Enaknye kite sambil makan saja, cem mana? Kalian pun pasti lapar, keh?” potong Nouna ke arahku juga Panji, memberi saran untuk makan bersama. “Saye ada sebuah resto yang pas, untuk kite berbincang santai sore ini. Kita ke sana sekarang? Tapi sebelumnya, salat ashar dulu, ye?” lanjutnya, seraya beranjak dari ruang lobi diikuti aku, Panji juga ayah ke arah musala yang berada di samping bangunan.
Baru saja aku, Panji, Nouna dan ayah keluar dari pintu bank. Dari arah mobil ayah, sosok wanita cantik tiada lain adalah Lemi menghampiri kami. “Jumpa lagi sama budak busuk rupe nih! Ape yang nak awak mahukan di sini? Tak puas awak permalukan kami, keh?” sergah Lemi menatap tajam ke arahku, sementara ayah mencoba menenangkan dirinya.
“Saya tak nak jumpa awak sorang di sini, pun. Tapi nak jumpa kawan saya. Hanya kebetulan sahaja kami berjumpe. Saye tak ada urus sama awak, jadi jangan turut campur, paham?” ketusku, dengan perasaan kesal ke arah Lemi.
“Sudah, sekarang nih bukan waktunye tuk berdebat. Mari kita salat ashar dahulu, biar pikiran tenang. Jangan perkeruh perasaan hanya karena ego.” Ayah menengahi pertengkaranku dengan Lemi, “ayo kita ke musala dulu, biar tenang. Satria, kamu sama yang lain jalan dulu. Biar ayah susul nanti, ya?” sambung ayah, seraya memisahkan diri bersama Lemi dan terlihat berbicara serius berdua.
Tanpa berpikir lama lagi. Aku, Panji serta Nouna bergegas menuju musala dan tidak berapa lama ayah menyusul beserta Lemi yang terlihat masih menunjukkan rasa tidak senang ke arahku.
Setelah salat ashar. Aku dan Panji mengikuti Nouna berjalan menuju mobil miliknya, yang terparkir tidak jauh dari mobil milik ayah. Setelah sebelumnya, bersepakat untuk bertemu di sebuah restoran di daerah Selangor.
Namun, sebelum ayah dan Lemi memasuki mobilnya. Tiba-tiba.
Kresh! Crut! Gubrak!
Ayah terjatuh dengan kepala tertembus sebutir peluru, tepat di bagian dahinya. Sementara Lemi, aku, Panji juga Nouna terkejut mendengar tubuhnya yang tiba-tiba tersungkur.
Melihat tubuh ayah yang tersungkur, dan berlumuran darah di bagian kepalanya. Aku, Panji, Lemi serta Nouna segera menghambur ke arahnya sebelum sempat memasuki mobil.
“Ayah! Ada apa denganmu?! Tidak! Kenapa ... a—ada apa ini?! Ayah?! Tidak!” teriakku begitu memangku tubuh ayah, yang sudah tidak bernyawa.
“Pak Cik, Apa yang salah dengan awak, keh? Ada ape, nih?!” Lemi yang tidak jauh dari tubuh ayah, hanya bisa tercengang melihat kondisinya yang langsung kudekap di pangkuan.
“Pak Dani! Ada apa ini?!” Panji dan Nouna berseru hampir bersamaan, begitu aku memangku tubuh ayah.
Kejadian sore itu, membuat suasana menjadi ramai dikerubungi beberapa sekuriti dan warga yang tanpa sengaja melintas. Dengan tatapan tajam penuh selidik, aku mencoba menelusuri arah tertembaknya ayah.
Tepat di depan bank milik Nouna. Terdapat sebuah bangunan apartemen bertingkat. Mataku tertuju ke arah atap apartemen tersebut. Perasaanku mengatakan, dari arah sanalah penembak ayah melakukan aksinya.
“Ji, tolong bawa ayah ke rumah sakit terdekat. Ada yang harus kulakukan dengan pelaku penembakan ayah ini!” sergahku kepada Panji, kemudian berlari ke arah apartemen di seberang jalan.
“Tunggu, Sat. Ane ikut ama lu! Cik Nouna, bawa Pak Dani ke rumah sakit terdekat. Nanti saya nyusul sama Satria!” seru Panji, ke arah Nouna yang sedang terkejut dengan kejadian tersebut dan segera mengikuti arahku berlari.
“Baik, Panji. Cik Lemi dan sekuriti, bantu saye bawa tubuh Encik Dani ke mobil. Kita bawa ke hospital segera!” pinta Nouna, kemudian membuka mobilnya.
Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berlari membelah keramaian jalan diikuti Panji. Sementara Nouna dan beberapa sekuriti, membopong mayat ayah ke dalam mobil miliknya dan bergegas menuju sebuah rumah sakit terdekat.
Sementara. Aku mencoba berlari menerobos keramaian lalu lintas sore itu, tanpa rasa takut akan bahaya tertabrak mobil. Dengan napas tersengal. Aku menaiki setiap tingkat tangga di samping apartemen, yang diperkirakan bertingkat tujuh itu.
Setibanya di atap. Usahaku tidak membuahkan hasil. Hanya ada beberapa botol minuman kaleng, yang ditengarai milik si pelaku penembakkan ayah sore itu.
“Sial! Dia berhasil kabur! Hah—hah ...!” gerutuku dengan napas tersengal, sambil menendang kaleng bekas minuman yang ada di tempat tersebut.
“Sat. Kenapa lu lari ke sini? Emang di sini, tempat pelaku penembakkan ayah lu itu?” tanya Panji, mengatur napasnya setelah mengikutiku berlari.
“Iya. Aku merasa, di sinilah pelaku itu malakukan aksinya. Sial! Siapa pelakunya?!” balasku sambil merutuk dan menatap ke arah, di mana ayah tertembak yang berjarak sekitar satu setengah kilometer.
“Pelakunya pasti orang profesional, Sat. Jarak dari sini, cukup lumayan jauh juga.” Panji ikut memprediksi apa yang aku pikirkan.
“Yah, perasaanku juga mengatakan hal itu, Ji. Tapi ... siapa pelakunya? Pasti dia pembunuh bayaran, yang dikasih tugas membunuh ayah! Sial!” Aku terus merutuk seraya melihat sekeliling area.
Dengan tatapan tajam. Mataku terus mengitari sekitar are aparteman dan sudut jalan, dari atap. Mencoba mencari sosok mencurigakan, yang bisa mengarah kepada si pelaku. Namun sia-sia, tidak ada seorang pun yang berlalu di sekitar area. Hanya beberapa pejalan kaki yang terlihat penasaran dengan kejadian di seberang jalan.
*****
[1] Puan: Nyonya.
NB:
Terima kasih untuk yang sudah sudi mampir di episode ini. Bila berkenan, ditunggu ulasan, saran, masukan, juga kritikannya. Agar cerita ini lebih baik lagi.
Selamat membaca, dan sukses selalu. :)
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU