Episode 8
Tiga jam berlalu. Aku dan Panji masih berkutat dengan program My Bank. Beberapa aturan bahasa pemrograman, yang dijelaskan oleh Pak Ali segera diubah ulang. Sepertinya ada sedikit kendala, setelah apa yang dilakukan oleh Panji sewaktu di bandara tempo hari. Setelan sistem GPS, tampak sulit untuk ditembus. Hingga saat Pak Ali kembali menemui kami, perubahan sistem pun masih belum sempurna.
“Bagaimana dengan programnya, Satria? Sudah finish keh?” tanya Pak Ali, begitu tiba di hadapanku serta Panji, yang masih disibukkan dengan sistem pemrograman.
“Ada beberapa hal yang masih jadi kendala, Cikgu. Sepertinya sistem GPS ada yang meretas dan mesti diubah suai terlebih dahulu,” balasku, tanpa menghiraukan kedatangan Pak Ali di hadapan kami.
“Hahaha ... satu kesalahan, bisa berakibat fatal dalam pengelolaan sebuah sistem komputer jaringan kan, Satria? Sudahlah ... esok kalian nak temukan, ape yang jadi kendala tuh. Saye percaya dengan kemampuan awak, Satria,” pikir Pak Ali sejenak.
“Ingat anak muda. Sebuah kelebihan dalam dunia teknologi, jika tidak diimbangi keimanan yang kuat kepada Tuhan, akan jadi bumerang bagi si pembuatnya. Jadi, antara kemajuan teknologi dan kematangan berpikir religi itu mestilah seimbang. Jangan menjadi buta karena perkembangan teknologi, sebab suatu kemajuan sejatinya merupakan sebuah kemunduran akhlak jika tak bisa seimbang dengan akhlak illahiah. Paham?” sambung Pak Ali, sempat membuatku dan Panji tertegun.
Apa sebenarnya, yang ada di dalam pikiran dosen pembimbingku dan Panji saat itu. Sepertinya beliau memahami sesuatu, yang membuat kami masih meraba-raba arti dari perkataannya tadi.
“Apa Cikgu ... memahami yang sedang kami lakukan, nih?” tanyaku penasaran.
“Ya. Sangat paham. Tapi saye percaya sama awak, Satria. Kemampuan awak dalam hal program, sudah sangat cukup bagus. Hanya perlu sebuah pondasi kuat, agar tak jadi bumerang buat hidup awak sendiri. Tapi saye yakin, awak bisa.”
“Begitukah? Lalu ... bagaimana dengan saya, Cikgu? Apa Cikgu juga, paham dengan pribadi saya, nih?” tanya Panji, penasaran.
“Jauh berbeda dengan awak, Panji. Awak masih harus banyak belajar tentang program, dan tentunye dengan kehidupan awak sendiri. Ada sebuah ambisi terpendam, dalam benak awak.”
Deg! Perkataan Pak Ali, membuatku serta Panji saling tatap.
“Maksud, Cikgu?” tanya Panji, kembali penasaran.
“Nanti awak nak paham dengan sendirinya, Panji. Tanpa saye ucap, awak nak tau ape maksud ujaran saye tadi. Hanya waktu yang akan menjawabnya.” Pak Ali berhenti sejenak, “sudah, saye nak lanjut dengan kerjaan saye. Kalian, teruslah cari apa yang telah saye beri dari materi pemrograman itu. Jike kalian sudah dapat selesaikan permasalahannya, temui saye di sini, paham?” sambungnya seraya beranjak dari tempat duduk, dan berlalu meninggalkanku serta Panji yang masih kebingungan.
“Ah, sial! Pak tua itu, sok tau tentang diriku. Kayak seorang cenayang aja dia!” gerutu Panji, perihal ucapan Pak Ali mengenai dirinya.
“Hahaha ... kalau menurutku, ada benarnya juga apa yang Pak Ali katakan tentang dirimu, Ji. Mungkin beliau menerka, dari kesalahan yang kamu lakuin kemarin saat di bandara. Kamu ingat, kan?” ungkapku, diselingi tawa.
“Ah ... setiap manusia pan pernah melakukan kesalahan, Sat. Ya wajarlah, karena ane saat itu belum tahu kalau program yang kita buat ini masih bermasalah. Hah, sial! Ngiranya ane ini berambisi, dengan suatu perkembangan teknologi. Padahal pan, cuma ngetes doang!” elak Panji, tampak kesal.
“Ya makanya, segala sesuatu itu mesti dibicarakan dulu sebelum melangkah, Ji. Jangan asal tes apa yang masih jadi sebuah keraguan. Kalau masih ragu, lebih baik diam dulu. Pikirkan langkah terbaik sebelum bertindak, buat rencana matang agar enggak menyesal nanti.”
“Iya, Tuan Satria. Ane paham sekarang.”
“Udah, ah! Kita beresin dulu kerjaan ini. Terus kita temui Nouna di tempat kerjanya. Kita kan, ada janji sama dia sore ini,” ucapku seraya mematikan laptop dan berbenah, sebelum meninggalkan bilik komputer di kampus teknik. Sementara, Pak Ali sudah tidak terlihat di ruangan kerjanya.
Sebelum meninggalkan kampus. Aku coba menghubungi Nouna, yang sepertinya sedang mengadakan rapat direksi di bank milik ayahnya, tidak jauh dari kampus teknik. Hanya butuh waktu satu jam dari sana. Dengan menaiki bus kota arah Lembah Klang, sampailah ke tempat ia kerja Nouna sore itu.
*****
NB:
Terima kasih untuk yang sudah mampir di episode ini. Bila berkenan, ditunggu ulasan, saran, masukan, juga kritikannya. Agar cerita ini lebih baik lagi.
Selamat membaca, dan sukses selalu. :)
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU