Setelah Inspektur Dirga selesai membaca surat jalan, yang pernah diberikan oleh Pak Agus tempo hari dan tidak menemukan hal yang dituduhkan. Barang milik kami pun, kembali diserahkan.
Proses pemeriksaan berjalan cukup lama, dan tidak mendapatkan apa yang dituduhkan kepadaku juga Panji. Inspektur Dirga, kemudian terlihat mengulurkan tangan sambil memberikan kartu nama miliknya.
“Terima kasih atas sikap kalian, membantu proses investigasi ini. Maaf jika kedatangannya menjadi kacau, gara-gara kabar yang kami terima. Jike ada hal yang dibutuhkan selama berada di negara ini, mohon hubungi kami, ye? Semoga bisa membantu kenyamanan kalian di sini.”
“Sama-sama, Pak Inspektur. Maafkan kami juga, tadi sempat emosi atas kabar yang dituduhkan. Semoga di lain mase, kami bisa lebih berhati-hati lagi. Bisa kami keluar sekarang?” Aku menerima kartu nama milik Inspektur Dirga, dan meminta untuk keluar setelah barang yang aku dan Panji bawa tidak terbukti sama sekali dengan kabar yang beliau terima.
“Ouh iya ... silakan Suadara Satria. Saye minta maaf atas ketaknyamanan kalian di sini. Ini hanya proses kehati-hatian kami atas kabar yang diterima, agar negeri kami ini aman dari gangguan teror. Semoga hari-hari kalian menyenangkan selama di sini. Dan sampaikan salam saye untuk Doktor Ali Muhalim di kampus. Beliau salah satu dosen saye dulu, sewaktu masih kuliah di sane.”
“Sama-sama, Pak Inspektur. Insya Allah saye sampaikan salamnya kepada Doktor Ali. Kami mohon undur diri, untuk menemui beliau.”
Setelah berjabat tangan dengan Inspektur Dirga. Aku, Panji dan Nouna berlalu meninggalkan ruangan keamanan, kemudian menuju mobil milik Nouna yang terparkir di depan bandara. Tidak berapa lama. Tanpa banyak bicara, kami pun berlalu meninggalkan bandara menyisakan perasaan cemas atas apa yang baru saja terjadi.
“Maaf atas gangguan tadi, Satria. Saye tak tahu akan mengalami hal macam nih, pas awak datang tadi.” Di tengah perjalanan, Nouna membuka obrolan pasca peristiwa di bandara tadi.
“Tak ape, Na. Saye pun tak menyangka akan terjadi hal ini. Jauh dari perkiraan saye sebelumnya.” Aku yang duduk di samping Nouna, mencoba menenangkan diri meski rasa cemas masih menyelimuti pikiran. “Sepertinya, akan ada hal besar yang kuhadapi di sini. Hmmm ... apa pun itu, aku mesti lebih hati-hati lagi.” Aku bergumam dalam hati, seraya menengok ke arah Panji yang sedang menikmati pemandangan negeri Selangor melalui jendela mobil.
“Sial bener tuh petugas! Mereka kira, kita ini teroris apa?! Asal tuduh aja!” seru Panji, menoleh ke arahku yang tanpa sengaja melirik ke arah Nouna yang sedang serius menyetir mobil. “Kamu sama Nouna akrab bener, Sat? Kalian pacaran, ya? Hehehe ...,” sambung Panji mencoba menggodaku serta Nouna.
“Ah ... awak bisa je, Akak Panji. Saye sama Satria tuh kawan dekat, meski kenal lewat jejaring sosial. Tak patut disebut pacaran, pun. Tak boleh same agama, Akak.” Nouna berusaha menyembunyikan perasaannya, meski kutahu ia merasaak hal beda saat bertemu di bandara tadi.
“Aku sama Nouna bukan pacaran, Ji. Tapi calon suami istri, insya Allah.” Aku coba menggoda Nouna dengan perkataan yang lebih dalam lagi ke hatinya, berharap mendapat respon dari wanita yang ternyata telah membuatku jatuh hati itu.
“Awak nih bisa je merayu saye, Sat. Malulah saye, nih.” Pipi Nouna terlihat merona, diselingi senyum simpul ke arahku.
Ah ... sebuah senyuman yang meruntuhkan segala akal sehatku, jika bersama dengannya. Sungguh, seakan hati ini telah terpaut begitu dalam terhadap segala pesona yang terpancar dari diri wanita yang telah mengubah hidupku. Setidaknya sampai detik ini, aku benar-benar terpesona.
“Kenapa mesti malu, Na? Bukankah hal wajar, atas kedekatan kita ini? Bila perlu, aku khitbah awak sekarang, boleh?”
“Awak memang pandai berkelakar, ye? Saye ....” Belum sempat Nouna meneruskan ucapan, Panji langsung memotongnya.
“Hey! Kasmarannya nanti lagi, dong! Aku udah laper banget, nih. Ada resto yang bagus kagak, buat kita makan? Kalian ini, bikin ane ngiri aja!”
“Hahaha ... kalau udah bicara masalah hati, kadang lupa kalau sedang bersama kamu, Ji. Sory, hehehe.” Aku mencoba meledek Panji yang terlihat merengut, meski matanya masih menikmati pemandangan di luar mobil yang kami lewati.
“Kita makan di hotel saje, Akak Panji. Ini kite sudah sampai, pun. Saye sudah pesan bilik buat kalian. Biar nanti bisa langsung [1]rihat di sane, cem mana?” saran Nouna, seraya memutar arah mobil memasuki are hotel yang di maksud.
“Bagus! Kebetulan ane udah gerah pengen mandi.”
“Sip, Na. Saye juga sudah mulai lapar sepertinya, kita bisa makan bersama, ye?”
“Oke. Kita sudah sampai ...!” Nouna pun berseru, seraya menghentikan mobil di parkiran depan hotel tempatku dan Panji menginap.
Setelah memastikan tas yang dibawa. Aku dan Panji mengikuti langlah Nouna yang sudah berjalan terlebih dahulu memasuki ruang depan hotel, di mana kedatangan kami disambut ramah oleh beberapa pelayan.
Merrida Hotel. Di sanalah aku dan Panji menginap untuk dua malam. Setidaknya sampai urusan dengan dosen pembimbing selesai.
“Selamat pagi. Saye nak memastikan pesanan bilik, yang tempo hari dipesan atas nama Satria dari Indonesia.” Nouna mengingatkan ke salah satu pelayan wanita berseragam putih, dengan kerudung sepadan warna seragamnya yang sedang bertugas saat itu, di depan sebuah meja panjang bertuliskan ‘Receptionist’.
“Mase tuh sudah membayar DP separuh bajed, Akak. Sekarang tamu itu sudah tiba, dan hendak menginap malam ini. Bisa meminta kunci bilik, juge segala pelayanan fasiliti untuk mereka? Sekalian, saye nak bayar sisa cash untuk dua hari mereka menginap,” sambung Nouna, menyerahkan sebuah nota pembayaran yang tempo hari dibayar separuh.
“Selamat pagi juga, Akak. Ouh ... iya. Atas nama, Tuan Satria dari Indonesia, keh? Baik, Akak. Sebentar saye cek dahulu sisa biaya dan kunci biliknya.” Wanita pelayan tadi tampak meneliti sebuah komputer yang terletak tidak jauh dari dirinya, dan mengambil sebuah kunci kamar bernomor 17.
Satu buah kamar dengan fasilitas, yang diperkirakan cukup pas untuk kebutuhanku dengan Panji selama dua hari menginap. Tidak berapa lama setelah proses chek in selesai. Seorang pelayan pria, mengantar kami ke kamar bercat putih berukuran enam kali delapan meter persegi berisikan sebuah televisi, AC, spring bad untuk dua orang, serta kamar mandi yang terletak di dekat pintu masuk.
“Maaf, Akak. Boleh saye tanya sesuatu, keh? Mmm ... ada fasiliti free WiFi, keh? Sebab kami sangat membutuhkan fasiliti tersebut, guna menunjang pekerjaan kami selama di sini,” sapaku kepada pelayan pria yang mengantar, sebelum ia meninggalkan kamar.
“Ada, Encik. Semuanya sudah dipersiapkan untuk semua tamu, sebagai fasiliti yang kami berikan. Ouh iya, Encik. Eee ....” balas pelayan tersebut menghentikan ucapannya, serya memberikan tanda meminta uang tip dengan tangannya.
Seolah mengerti, dengan tanda yang ditunjukkan oleh pelayan pria itu. Aku segera merogoh saku celana dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu, yang masih bermata uang rupiah saat itu. Belum sempat diberikan kepada pelayan tadi, Nouna segera mencegah dan menggantinya dengan selembar uang satu ringgit.
“Pakai uang ini saja, Satria. Ia tak paham dengan mata uang rupiah, lagi pula sekedar uang tip saja. Terima kasih, Akak.” Nouna menyerahkan uang di tangannya, dan diterima oleh pelayan pria tadi yang termangu sejenak kemudian berlalu meninggalkan kami.
“Ouh iya, Akak. Jam berapa mase tuk makan siangnya? Mohon beri kami kabar jika sudah siap, ye?!” teriak Nouna menghentikan langkah pelayan pria tadi, yang belum terlalu jauh.
“Sekitar lima belas menit lagi, Akak. Nanti langsung ke restoran saja, ye? Semuanya disiapkan di sana!” balas pelayan pria tadi, sedikit acuh.
“Pelayan sial!” gerutu Nouna, seraya menutup pintu kamar. “Kebiasaan buruk meminta uang tip, macam orang udik saje korang, sial!”
“Kenapa, Na. Ngomel gitu? Kesel same siapa, pun?” tanyaku melihat Nouna menggerutu tidak jelas dengan wajah yang terlihat sedikit merengut.
“Itu pelayan tadi, tak sopan die minta uang tip. Macam orang udik saje korang, tak guna!” balas Nouna masih merengut.
“Hahaha ... sudahlah, biasa itu sih, Na. Di setiap hotel mana pun, pasti ada hal macam tuh, sudah tak aneh, pun. Sudahlah jangan merengut macam tuh, nanti tambah cantik wajah awak,” godaku mencoba menenangkan kekesalan Nouna, yang akhirnya terlihat tersipu malu.
“Ah ... awak nih bisa je kalau merayu, Sat. Pandai pula awak senangkan hati wanita, ye? Hehehe ....”
“Hehehe ... untukmu, apa sih yang tak bisa saye bagi, Na? Bila perlu, nyawa nih saye taruhkan demi senangkan hati awak, hehehe.” Kembali kurayu Nouna, agar tidak terlalu memikirkan sikap pelayan tadi. Sedangkan Panji, terlihat sedang merapikan baju bermaksud hendak mandi mengabaikan pembicaraan kami.
“Sudahlah, saye bisa terbang jika terus dengar rayuan awak nih, Sat. Saye nak ke restoran dulu, siapkan makan siang kita, ye? Saye tunggu awak serta Panji di sana.” Nouna mengalihkan pembicaraan, biar tidak terlalu meleleh hatinya jika terus kurayu sambil beranjak hendak keluar kamar. Yah ... begitulah perasaanku kepadanya, benar-benar sudah dimabuk asmara sepertinya hatiku ini.
“Oke, Na. Saye pun nak salat zuhur dulu, sebentar. Nanti susul awak di restoran, ye?” balasku seraya mengantarkan Nouna keluar kamar.
Setelah Nouna berlalu meninggalkan kamar. Aku segera membereskan pakaian serta mengeluarkan laptop, bermaksud mengecek email menggunakan fasilitas wifi di hotel tempat kami menginap, barangkali ada kabar dari Pak Agus. Sedangkan Panji, yang sedari tadi hanya diam mendengar percakapan aku dengan Nouna terdengar sedang mandi.
Sejenak aku terpaku dengan beberapa email yang masuk. Di antaranya sebuah kabar dari Pak Agus mengenai sebuah kasus yang ditinggalkan aku dan Panji sewaktu pergi dari bandara dan ternyata melibatkan kami.
“Sial! Kenapa jadi begini sih, kasusnya? Apa yang sudah Panji lakukan tadi, saat di bandara, ya? Pantas saja, kedatangan kami dicekal oleh pihak keamanan pas datang tadi!” gerutuku, memahami isi email yang dikirm Pak Agus sejak satu jam lalu.
“Ada apa, Sat? Kok ngedumel gitu, sih? Ada kabar apaan?” Panji yang ternyata sudah selesai mandi, mencoba mencari tahu apa yang kugumamkan.
“Kamu lakuin apa, saat kita berangkat dari bandara tadi pagi, Ji? Kok Pak Agus mewanti-wanti kita, agar berhati-hati menggunakan program. Sedangkan aku, sama sekali belum menyentuhnya sejak semalam merapikan pakaian,” ungkapku, melihat ke arah Panji yang tampak tenang.
“Hehehe ... maaf, Sat. Pas berangkat tadi, ane menguji coba program lu. Memastikan programnya berjalan kagak, biar pas diserahin ke dosen di sini tinggal pakai saja.” Panji menjelaskan apa yang dilakukannya, “Lu marah ama ane, kagak bilang dulu masalah ini, Sat?” sambungnya, kemudian duduk di depan televisi yang tidak jauh dari tempatku.
“Lha! Bukan gitu, Ji. Ini program kan masih dalam tahap uji coba, belum sepenuhnya bisa berhasil. Soalnya gini, dalam rancangan terakhirku nanti. Hasil akhir dari rumus detektornya, akan aku kasih sedikit manipulasi sistem GPS. Agar di saat menggunakannya, tak bisa dideteksi oleh sistem kemanan mana pun!” ungkapku, sedikit kesal.
“Makanya kita ke Malaysia sekarang ini, bermaksud hendak meminta satu rumus ke Pak Ali sebagai dosen kita di sini. Supaya dalam pembuatan akhir program ini, bisa dites oleh Pak Agus di Indonesia. Apakah program kita terdeteksi di sana atau tidak,” sambungku berharap Panji memahami apa yang kuutarakan tadi. Sedangkan ia terlihat terkejut dengan penjelasanku.
“Waduh! Berarti, ntu program masih belum sempurna dong, Sat? Gawat! Pantas saja, pas kita datang di bandara tadi ada agen intel yang mencoba mencekal kita. Haduh ... ane ceroboh, Sat!” sesal Panji, membayangkan apa yang akan terjadi dengan kecerobohannya tadi saat menggunakan program My Bank di bandara Soekarno Hatta.
“Di Indonesia, Pak Agus belum menemukan sistem manipulasi data GPS. Itulah makanya kita diminta ke Malaysia ini, buat memahami satu rumus yang dipahami oleh salah satu dosen kita nanti.” Aku menghela napas sejenak, mencoba berpikir atas ulah Panji itu.
“Kamu kenapa enggak bilang, kalau mau menggunakan program ini, Ji? Pantas saja Pak Agus mewanti-wanti, agar program ini enggak bocor ke siapa pun. Sebab bisa dideteksi oleh pihak intel dari CIA kalau pas digunakan di luar negeri. Malam ini, aku harus merubah satu sistemnya dulu, nih. Biar kalau ada peretas dari pihak pemburu, bisa kita manipulasi datanya. Kita mesti bersiap menghadapi buruan dari para programer dunia, Ji.”
“Berarti, program Lu ini semacam program baru di dunia Cyber Crime, Sat? Waduh! Bakalan banyak yang memburu kita dong, Sat. Sial—sial! Kenapa ane jadi bodoh gini, ya?!” Panji merutuk ulahnya yang sudah membocorkan sedikit perihal program My Bank.
“Bukan program untuk dunia Cyber Crime, Ji. Tapi program ini aku siapkan untuk pihak intelijen negara yang sedang ditangani oleh Pak Agus, atas naungan Badan Intelijen Negara yang berfungsi untuk mencegah oknum aparat negara yang korup. Dengan sistem ini, di mana beberapa nama yang tercantum akan diambil dana keuangan yang dikorupnya dan dikembalikan untuk negara,” jelasku, seraya menutup laptop bermaksud hendak salat sebelum ke restoran di mana Nouna sudah menunggu di sana.
“Makanya, sebelum berangkat Pak Agus berpesan, kan? Agar program ini enggak sampai jatuh ke tangan yang salah. Bisa-bisa program ini digunakan untuk meng-hecker sistem perbankan persis yang kamu lakuin tadi pagi pas kita berangkat dari bandara. Dah ... aku mau salat dulu, udah laper. Nouna udah nungguin di resto buat makan siang, udah jam dua tuh!” sambungku, menunjuk ke arah jam di dinding yang tergantung di kamar seraya berlalu ke kamar mandi. Sementara Panji terlihat termangu menyesali ulahnya tadi pagi.
Setelah salat. Aku mengajak Panji ke restoran yang berada di hotel tempat kami menginap, di mana Nouna sudah menunggu. Dengan berbagai menu makanan yang dihidangkan, kami pun menikmati hidangan khas hotel tersebut yang di desain cukup minimalis dengan penuh keakraban.
*****
[1] Rihat: Istirahat.
NB:
Terima kasih untuk yang sudah mampir di episode ini. Bila berkenan, ditunggu ulasan, saran, masukan, juga krtitikannya. Agar cerita ini lebih baik lagi.
Selamat membaca, dan sukses selalu untuk semuanya. :)
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU