Setelah dua jam berlalu. Pesawat yang aku dan Panji tumpangi, akhirnya landing di bandara KLIA Malaysia. Dengan membawa dua tas, satu digenggam dan yang satunya dipundak, kami berjalan menelusuri area bandara Kuala Lumpur yang terlihat sangat ramai. Waktu menunjukkan pukul satu siang, kemudian mencoba menghubungi Nouna perihal kedatangan kami.
Begitu melewati proses pendataan di kantor imigrasi—tanpa ada rasa curiga dari pihak imigrasi, aku dan Panji pun segera kelaur menuju pintu tiga area bandara.
“Halo, Na. Saye dah tiba di bandara, nih. Sedang berjalan menuju pintu keluar. Awak ada di mana?” tanyaku saat menelpon Nouna, sambil berjalan diikuti oleh Panji.
“Ouh ... halo, Satria. Saye ada di pintu tiga, arah keluar bandara. Awak sendiri, keh? Saye tunggu di pintu keluar, ye?”
“Oke, Na. Saye berdua dengan seorang kawan, sudah ada di luar, nih. Awak di sebelah mana?” Aku pun mencoba mengamati deretan mobil yang terparkir rapi. Ada bus wisata, yang sedang ramai oleh para penumpang yang baru keluar. Beberapa taxi bandara, dengan para supirnya yang khas berseragam hitam.
Sorot mataku tertuju kepada sosok anggun berbaju model blus warna putih, dibalut kerudung biru celana flanel hitam. Dengan senyum manisnya, Nuona menyambut kedatanganku bersama Panji.
“Selamat datang di negara Malaysia, Satria. Bagaimana kabar awak? [1]Sihat, keh?” sapa Nouna, dengan seutas senyum semringah seraya menangkup dua tangannya tanda salam. Wajah yang selama ini kubayangkan, tidak disangka akan bertemu langsung secara nyata berdiri di hadapanku.
“Alhamdulillah kabar saya sihat, Na. Bagaimana dengan awak sorang? Saye ganggu aktivitinya, keh? Ouh iya ... kenalkan, ini sahabat saye. Namanya Panji,” balasku tersenyum menangkup dua tangan juga membalas salam dari Nouna, seraya memperkenalkan Panji yang terlihat kepayahan setelah mabuk udara tadi.
“Alhamdulillah kabar saye sihat pula, Sat. Ouh ... kenalkan, saye Nouna. Nouna Maharani. Keadaan Akak Panji sihat, keh? Nampaknya awak mabuk udara, ye?” sapa Nouna, ramah ke arah panji dengan gerakan tangan sama seperti kepadaku tadi.
“Ouh ... hai, saya Panji. Panji Gumilar. Yah ... sepertinya begitu. Maklum, saya biasa di darat jadi begini kalau baru ngalamin perjalanan udara. Maaf merepotkan Anda, ya?” Panji mencoba mengulurkan tangan, bermaksud menjabat tangan. Namun terhenti, saat Nouna menangkupkan kedua tangannya sebatas dada. “Ouh ... hehehe, maaf saya baru ngeh kalau dengan wanita enggak boleh saling menjabat tangan. Duh! Ane udik banget ya, Sat? Hehehe ....” Panji terlihat malu, seraya menoleh ke arahku yang sedari tadi memerhatikan wajah Nouna.
Seakan mimpi bertemu langsung dengan wanita, yang selama ini hanya kenal lewat dunia maya. Sedang asyik berbincang, dari arah dalam bandara terlihat dua pria berseragam menuju ke arahku, Panji dan Nouna berdiri.
“Maaf, mengganggu percakapan kalian. Apa saudare bernama Satria, dan satunya bernama Panji dari Indonesia?” tanya dua pria berseragam tadi, ke arahku dan Panji.
“Ouh ... iya, saya Satria dan ini kawan saya Panji. Ada apa, [2]Pak Cik? Apakah ada barang milik kami tertinggal?” balasku kembali bertanya dengan sedikit terheran, sambil menoleh ke arah Panji dan Nouna yang ikut terheran juga.
“Bisa dijelaskan di kantor? Ada hal penting yang mesti kita bincangkan, Saudara Satria,” pinta salah satu pria berseragam tadi, seraya menunjuk ke arah salah satu ruangan yang ada di dalam bandara.
“Ada hal apa dengan kawan saye nih, Pak Cik? Boleh, saye ikut dengan mereka?” Nouna ikut berbicara kepada dua pria berseragam tadi, dengan wajah sedikit tegang.
“Boleh, supaya jelas dan kemungkinan bisa membantu kami pula, Nona. Ouh iya ... sekalian barang-barangnya dibawa masuk, agar lebih efektif,” pinta salah satu pria tadi, menyarankan sambil berjalan menuju pintu masuk bandara.
“Baiklah.” Aku, Panji dan juga Nouna, kemudian mengikuti arah kedua pria yang tadi menghentikan kami.
Dengan penuh tanda tanya, aku melirik ke arah Panji yang terlihat tenang. Sementara Nouna berjalan di sampingku tampak cemas.
“Sepertinya ada hal yang salah, nih? Tapi ... apa, ya? Perasaan, aku dan Panji enggak ngelakuin hal yang salah. Hmmm ...,” gumamku dalam hati, mencoba menenangkan diri.
Setelah memasuki sebuah pintu bertuliskan ‘Kantor Keamanan’ aku, Panji juga Nouna dipersilakan duduk di sebuah bangku yang berderet dekat tembok dan meja di hadapannya. Di dalam ruangan tersebut, terdapat dua monitor yang sepertinya tersambung dengan kamera CCTV. Tidak berapa lama, masuk seorang pria sekitar usia tiga puluh enam tahun berseragam hitam menemui kami yang sedang terbengong penuh tanda tanya.
“Perkenalkan ... nama saye, Dirga. Inspektur Dirga, dari divisi intelijen negare Malaysia,” ungkap pria yang berseragam tadi, memperkenalkan namanya di dampingi dua petugas yang tadi membawa kami.
“Saye Satria. Ini kawan saye, Panji. Dan ini Nouna kawan dari Malaysia. Ada hal apa meminta kami ke sini, Pak Inspektur?” balasku, memperkenalkan identitas kepada pria yang duduk di hadapan kami.
“Begini, Saudara Satria dan Saudara Panji. Menurut informasi yang kami dapatkan. Bahwa Saudara bersama rekan Saudara ini, adalah merupakan agen teroris yang hendak kabur dari Indonesia. Untuk itu, kami dari pihak Kepolisian Diraja Malaysia bermaksud menginterogasi kebenaran kabar tersebut. Sebelumnya minta maaf, jika kedatangan Saudara terganggu sementara.” Pernyataan Inspektur Dirga membuatku terkejut bukan kepalang, begitu pun Panji dan Nouna yang sedari tadi terlihat cemas.
“Apa?! Teroris?! Yang bener aja, Inspektur?! Apa buktinya kalau kami ini teroris?! Jangan asal tuduh aja, dong!” sergah Panji, yang sedikit emosi sambil berdiri dengan raut muka tegang ke arah Insperktur Dirga yang masih terlihat tenang.
“Iya, Pak Inspektur. Kawan saye nih, adalah mahasiswa Indonesia yang hendak representasi mata kuliah di kampus teknik Malaysia. Tak mungkin dikire teroris! Kabar seperti apa, nak tuduh mereke adalah teroris?!” Nouna mencoba menerangkan sedikit maksud kedatanganku dengan Panji, meski terpancar sedikit rasa kesal di wajahnya yang tampak anggun itu.
“Sebentar. Saye bukan nak tuduh mereka teroris, hanya mendapat kabar bahwa kalian adalah teroris yang hendak cuba kabur dari Indonesia. Untuk itu, saye nak investigasi hal ini agar semuanya jelas. Tak lebih cume interogasi sejenak, sebelum kalian melanjut dengan tugas kuliah kalian, tuh.” Inspektur Dirga mencoba menjelaskan perihal kabar tersebut, serta tugasnya menjaga keamanan.
“Jike kabar ini tak benar, maka kalian bisa bebas dan silakan melanjutkan tugas di sini. Untuk itu, kami hendak periksa tas dan barang yang kalian bawa ini,” pinta Inspektur Dirga sambil menunjuk ke beberapa barang yang aku dan Panji bawa. “Ouh iya ..., Nona sorang siapanya mereka?” sambung Inspektur Dirga kepada Nouna yang duduk di sampingku.
“Saye Nouna. Nouna Maharani Novelita, anak salah satu bankir terkaya di Malaysia, juga penanam saham di bandara Kuala Lumpur ini. Kalian kenal dengan Puan Abdul Malih? Seorang bankir di Bank Malih Corporation? Dia adalah ayah saye, jike tak percaya ini kartu pengenal saye!” tegas Nouna, sambil memberikan selembar kartu nama dan MyKad miliknya yang sempat membuatku sedikit terkejut dengan pernyataannya barusan.
Tidak disangka, Nouna yang kukenal selama ini merupakan salah satu wanita terpenting di Malaysia. Selama ini, ia tidak pernah membuka perihal siapa dirinya. Hanya yang kutahu, ia adalah salah satu mahasiswi asal Malaysia dan seorang Violin biasa. Ternyata masih banyak yang belum kukuetahui, perihal kepribadian wanita anggun di sampingku ini.
“Ouh ..., Anda adalah anak Encik Malih, ye? Yang seroang Violin itu, keh? Maaf atas ketidaknyamanan ini, Nona. Kami nak lakukan tugas saje yang diberi atasan, tak bermaksud mengganggu kedatangan kawan Nona di sini.” Salah satu petugas keamanan yang mendampingi Inspektur Dirga, ternyata mengenal siapa Nouna.
“Ouh ... silakan, Inspektur. Jika memang terbukti, silakan tahan kami. Tapi jika tak terbukti, maka kami bisa tuntut atas tuduhan pencemaran nama baik!” sergah Panji, masih emosi.
“Tenang dulu, Ji. Jangan gegabah dalam hal ini. Kita mesti kooperatif, jika merasa enggak bersalah. Biar mereka menjalankan tugasnya, kita ikuti apa keinginannya. Toh ada surat jalan yang menerangkan tugas kita di sini,” saranku mencoba meredam emosi Panji.
“Betul apa yang dikata oleh Satria, Akak Panji. Saye bisa menjamin keberadaan kalian di sini, pun. Sebab sudah masuk tanggung jawab saye juga, yang telah mengijinkan kalian berkunjung ke mari.” Nouna ikut bicara menenangkan sikap Panji tadi.
“Baiklah, jika memang kabar yang kami terima tentang kalian ini tak benar. Silakan bisa lanjut dengan tugasnya di kampus, dan saye nak buat surat permohonan maaf atas kesalahan yang tak patut ini. Namun sebelumnye, mohon kerja same kalian agar proses investigasi ini cepat selesai. Jadi tak perlu memakan mase lama, kan?” saran Inspektur Dirga, mulai sedikit terpancing emosinya. Terlihat raut wajahnya mulai menegang, atas perkataan Panji tadi.
“Tak ape, Inspektur. Saye kenal dengan Nona ini, ia anak seorang bankir di negeri kita juga penanam saham di bandara,” ujar salah satu petugas keamanan di samping Inspektur Dirga, mencoba meminta pengertian kepadanya yang mulai sedikit emosi.
“Saye tak perlu nepotisme macam tuh! Dalam hal ini, saye melaksanakan tugas yang tak kenal dengan gaya feodal macam nih. Tugas bagi saye, adalah keamanan negara. Tak paham hal macm tuh! Paham?!” bantah Inspektur Dirga dengan tegas.
“Baik, Pak Inspektur. Agar tak menyita waktu lebih lama lagi, ini tas milik saye dan barang-barang kami. Silakan diperiksa, dan ini ... saye ada surat jalan dari salah satu dosen di Indonesia perihal tugas kami ke Malaysia ini.” Aku mencoba menenangkan diri, meski sedikit cemas juga perihal tuduhan terhadapku dan Panji sambil menyerahkan surat tugas yang pernah diberikan Pak Agus juga tas berisi laptop serta satu tas lagi berisi baju.
“Nah! Begitu kan enak, keh? Cuba saye tengok isi surat pengantar kalian tuh, biar semuanya jelas, ye?”
Aku dan Panji menyodorkan tas yang dibawa, kepada dua pria berseragam yang mendampingi Inspektur Dirga. Sedangkan surat tugas, kuserahkan kepada inspektur yang terlihat mulai mereda emosinya. Cukup teliti juga mereka memeriksa apa yang kami bawa.
*****
[1] Sihat: Sehat.
[2] Pak Cik: Pak atau Bapak. Sapaan untuk orang lebih tua ( sama seperti Encik )
NB:
Terima kasih untuk yang sudah mampir di episode ini. Bila berkenan, ditunggu ulasan, saran, masukan, serta kritikannya. Agar cerita ini lebih baik lagi.
Selamat membaca, dan sukses selalu untuk semuanya. :)
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU