Dua hari berlalu, waktu terasa begitu cepat. Mengantarkan kepada rencana keberangkatan aku dan Panji menuju Malaysia, yang hanya tinggal hitungan jam. Pagi selepas salat subuh, kucoba merapikan segala keperluan yang dibawa. Beberapa setel baju untuk ganti, termasuk laptop dan beberapa berkas yang diberikan Pak Agus malam itu.
Setelah menikmati sarapan dan membetulkan program yang Panji minta, kami bergegas meninggalkan rumah kontrakkan menuju halte bus yang berada dekat persimpangan tugu Pancoran.
Dengan mengenakan baju kaus warna biru setengah lengan, celana jin abu-abu dan sepatu kets hitam putih. Sementara Panji mengenakan kemeja hitam kotak-kotak, layaknya pelancong yang hendak berlibur. Tidak berapa lama, busway arah bandara Soekarno Hatta pun tiba, dan mengantar kami ke depan area bandara yang terlihat ramai.
“Jam berapa kita berangkat, Sat? Ane mau ke toilet dulu bentar, ya?” tanya Panji setelah kami memasuki area depan bandara sebelah utara yang ada tulisan ‘Terminal 3’ sebagai area keberangkatan ke luar negeri.
“Sekitar jam sembilanan, Ji. Ya udah, aku tunggu di depan terminal tiga sebelum waktu chek-in, ya? Jangan lama, Ji!” seruku, saat Panji berlalu mencari area toliet.
Sudah dua kali, aku menjejakkan kaki di area bandara Soekarno Hatta ini. Sehingga sedikit paham rute keberangkatan yang tertera di area tersebut. Waktu itu, saat mengantar jemput ayah yang sering pergi ke Malaysia. Ah ... teringat dengan Dani Sunjaya, seorang ayah masa laluku yang suram. Sedang apa dia sekarang? Tentunya, pasti sedang menikmati tiap belaian dari Lemi selir penggodanya.
“Ah ... sial! Kenapa mesti teringat ayah, jika berada di sini!” Kulemparkan pandangan, ke arah deretan kursi ruang tunggu yang sudah ramai dengan para penumpang.
Tidak tebersit sedikit pun, akan mengalami hal seperti ini. Pergi ke luar negeri, dengan tugas aneh yang diberi seorang dosen pembimbing yang bisa kubilang ‘gila’. Tentu jika bukan karena impianku memperbaiki nasib, tidak mungkin berada di area yang pernah memiliki cerita pilu ini.
Untuk mengalihkan pikiranku ke masa kelam dulu. Kuambil ponsel di saku, dan mencoba menghubungi Nouna di Malaysia.
“Halo, Na. Saye sudah ada di bandara, nih. Awak nak siap keh, manyambut kehadiran saye di sana?” sapaku, saat terdengar telpon dijawab oleh seorang wanita.
“Ouh ... halo, Satria. Iye keh? Wah ... saye nak mesti bersiap ke bandara, guna menyambut awak di sini, ye? Sory, saye sedang dalam perjalanan menuju Selangor, nih. Dua jam lagi saye jemput awak di sana, ye?” jawab Nouna, yang terdengar semringah.
“Oke, Na. Tunggu saye di sana, ye. Awak mesti cantik nih, saat nanti menyambut saye, hehehe ...,” godaku kepada wanita yang sedari dulu ingin sekali bertemu dengannya, diselingi tawa.
“Hahaha ... awak bise je buat saye tersipu, Sat.”
“Hahahah ... oke, Na. Sampai bertemu di sana, ye. Saye mau naik ke pesawat dulu.”
“Oke, Sat. Saye tunggu, ya.”
Aku pun segera menutup teleponku, dan berdiri bermaksud mencari si Panji yang telah lama pergi ke toilet.
Samar terdengar suara petugas bandara, yang memerintahkan semua penumpang untuk segera menyelesaikan chek-in sebelum boarding pesawat. Kutelusuri arah toilet, di mana Panji terlihat baru keluar. Dengan tergesa, kuberikan kode kepadanya untuk segera menuju loket dan ruang imigrasi.
“Lama banget, Ji? Antri?” sergahku, saat Panji sudah bersamaku lagi.
“Iya, Sat. Sory, ane baru tahu isi toiletnya. Canggih bener ...!”
“Ah ... udah, yuk. Kita ke ruang imigrasi buat selesaiin administrasi.” Aku pun bergeas mengajak Panji ke arah ruangan bertuliskan ‘Ruang Imigrasi’.
Terlihat dua petugas imigrasi berseragam putih, dengan tampang yang sedikit sangar. Salah satunya memegang alat tulis, dan beberapa cap stempel.
“Tujuan kalian ke mana?” tanya salah satu petugas, tanpa basa basi.
“Malaysia, Pak.” jawabku, singkat.
“Ada keperluan apa ke sana? Coba lihat paspor dan visa kalian,” pintanya, tanpa senyum sedikit pun.
Sejanak petugas itu diam dan mengamati kami, penuh selidik. Kemudian kembali bertanya, “Kalian mahasiswa? Ada acara apa pergi ke Malaysia?”
“Iya, kami mahasiswa dari kampus UI. Ada acara pertukaran mahasiswa di sana, hendak meneliti hal ilmiah dari tugas kampus, Pak. Ini surat jalan dari dosen pembimbing kami.” Aku pun menjelaskan maksud dan tujuan, seraya menyerahkan surat tugas yang pernah diberikan Pak Agus malam itu.
“Mmm ... baiklah. Semoga perjalanan kalian menyenangkan.” Petugas tadi segera mengembalikan semua surat jalan milikku dan Panji, setelah memberi cap stempel di pasor dan visa.
Tanpa pikir panjang lagi, aku segera mengajak Panji ke bagian baggage area yang tidak jauh dari ruangan imigrasi tadi. Beberapa tas yang kami bawa, diletakkan di sebuah alas panjang berjalan yang terdapat alat scaner bagasi di bagian tengahnya, agar terlihat apa saja isi barang dari tas yang kami bawa.
“Tas-nya masukkin dulu ke sini, Ji. Biar diperiksa dalamnya sama alat scaner itu,” ujarku, seraya menaruh dua tas yang kubawa diikuti Panji. Perlahan kami pun menunggu di ujung.
Setelah proses bagagge area selesai. Panji terlihat mengambil tas berisi laptop miliknya, sedangkan aku masih sibuk dengan barang yang kubawa.
“Gila! Petugas imigrasi ternyata sangar banget, ya? Kalau bukan dari aparat pemerintah aja, udah ane libas tuh orang!” seru Panji yang masih terlihat dongkol, seraya membuka laptop setelah duduk di deretan bangku yang tampak sedikit ramai oleh penumpang.
“Yah begitulah, mungkin emang sudah tugas mereka, Ji. Sebab ada kemungkinan, banyak dari penumpang yang terkadang enggak jelas tujuan pergi ke luar negeri. Sehingga terbiasa tegas dalam melayani. Abaikan saja, toh kita bersih dari syarat, kan?” Aku hanya bisa berkata tanpa menoleh ke arah Panji, meski terlihat dari sudut mataku ia membuka laptopnya.
Perlahan Panji menyalakan laptop dan mencari program ‘My Bank’, yang diminta oleh Pak Agus sebagai tugas kami selama ini. Tampak dari sudut mataku ia hendak menguji coba program yang seharusnya ditunjukkan terlbih dahulu, kepada dosen pengganti kami di Malaysia.
Beberapa nama dan nomor rekening yang ada di dalam email, segera ia masukkan ke dalam program tersebut, setelah membubuhi nominal angka digital. Kemudian dicek semuanya. Setelah dipastikan sesuai dengan aturan isi program tersebut, sambil menekan tombol ‘enter’ Panji berkata, “[1]Tahniah!” Terlihat proses program pun berjalan hingga selesai. Setelah dipastikan berhasil, ia menutup kembali laptop dan memasukkannya ke dalam tas yang dibawa.
Tidak berapa lama, terdengar suara petugas yang meminta semua penumpang untuk segera memasuki pesawat. Sementara Panji, telah selesai dengan tugas dari Pak Agus yang seharusnya dilakukan saat bersama dosen pengganti di Malaysia nanti—tanpa kuketahui sebelumnya, segera menyusulku yang sedang berjalan menuju ruang boarding, sebuah lorong untuk penumpang memasuki pesawat.
Pesawat kemudian melakukan holding bay sebentar sebagai langkah awal sebelum mengudara, kemudian bersiap di landasan runway. Tidak berapa lama pesawat yang kami tumpangi pun lepas landas, meninggalkan jejak yang Panji lakukan di bandara tadi, dan sepertinya belum terdeteksi oleh siapa pun. Sedangkan bagiku, perjalanan ini adalah sebuah awal menuju impianku untuk bertemu sang gadis Petronas.
*****
[1] Tahniah: Selamat.
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU