Di sebuah bangunan, yang terletak di ujung persimpangan koridor kampus sebelah utara yang disebut laboratorium—kita bercerita tentang Panji dan Zul. Siang itu, setelah berpisah denganku di pelataran parkiran depan. Panji terlihat memasuki ruangan, yang sedikt ramai dengan aktivitas mahasiswa. Bangunan terpisah dari beberapa deret ruangan kelas, sangat nyaman untuk membuat sebuah penemuan atau sekedar ujian tes bidang biologi, atau pun kedokteran.
Seorang pemuda, diperkirakan berumur dua puluh empat tahun. Berkulit putih campuran Indo Melayu, bernama Zul—sekarang kita bercerita sedikit tentang siapa Zul. Seperti diceritakan sebelumnya tentang pemuda ini, yang pernah diminta membuat program kasir supermarket tempo hari oleh pihak kampus. Terlihat sedang bercanda ria dengan beberapa mahasiswa, yang tampak akrab dengannya. Panji terlihat baru datang dan langsung bergabung dengan mereka siang itu.
“Halo, Zul. Gimana kabarnya, nih? Ada perkembangan apa, sama program ente tempo hari? Kok ngubungin ane masalah programnya, sih? Ada apa, nih?” sapa Panji, seraya menjabat tangan ala koboi—menjabat dengan mengangkat tangan serta menepuk pundak, kemudian bergantian ke beberapa teman lainnya.
“Ah ... halo, Ji. Nih dia, nih. Salah satu ikon pemersatu, para mahasiswa di kampus kita. Tampak senang kau hari ini, Ji. Dapat lotre rupanya kau ini, hahaha ...!” canda Zul, diselingi tawa khasnya.
“Hahaha ... bisa aja ente ini, Zul.”
“Ah ... iya, Ji. Sory, kalau aku mau ngerepotin kau hari ini. Ada sedikit trouble nih sama program yang pernah kita bikin itu, Ji. Aku harap kau bisa menanganinya, sikit sajalah. Hahaha ...,” sela Zul, seraya mengambil tas yang ada di pundaknya. “Enaknya di mana nih kita bicara, Ji? Biar sikit santai jugalah,” sambungnya, seraya mengeluarkan sebuah laptop berwarna hitam.
“Mmm ... di sana saja, Zul. Biar kita santai juga, kalau di bawah pohon rindang. Kebetulan ada bangkunya, noh,” usul Panji, menunjuk ke arah pohon cemara yang cukup lebat daunnya dan beberapa deret bangku di bawahnya.
“Wah! Mantap kali ide kau, Ji. Ayo kita bergumul di sana, biar rame hahaha ...!” Mereka pun berpindah ke tempat yang ditunjuk tadi, diikuti rekan lainnya.
“Nah, jadi gimana nih, Zul? Tapi kayaknya ane kagak bisa lama-lama di sini, oke? Ada janji temu sama dosen jam sepuluh, Zul,” jelas Panji, teringat dengan rencana awal denganku.
“Santailah kau, Ji. Belum juga aku buka nih laptop, sudah pengen pergi aja kau ini. Macam mana, kau!” rajuk Zul, seraya membuka laptop ditangan dan menaruhnya di bangku.
“Ah ... bukan begitu, kawan. Ane kagak enak kalau sampai telat nanti, soalnya masalah masa depanku juga.”
“Oke ... oke, Ji. Nih, aku ada kesulitan sama hal ini. Semoga kau bisa bantu, kawan,” tunjuk Zul ke layar monitor laptop miliknya, yang berukuran sebelas inci.
“Sini sebentar ....”
Panji pun segera mengutak-atik isi sebuah program yang ditunjukkan oleh Zul. Sedangkan Zul dan kawan lainnya terlihat serius memerhatikan. Cukup lama juga ia mencoba mencari keluhan apa yang dirasakan oleh temannya itu. Berulang kali me-restart, kemudian membuka lagi dan menambah beberapa rumus logika ke dalam program. Alhasil, ia pun sedikit kesulitan.
“Wah! Ini sih, harus ane konsultasikan juga sama si Satria nih, Zul. Ane pernah belajar angka logaritma sama dia, tapi belum benar-benar memahaminya. Gimana kalau programnya ane copy dulu ke laptop milik ane, entar lanjut dibahas sama si Satria setelah acara pertemuan di perpus? Ane masih bingung sama rumusnya ini, kalau hal Cyber Crime ane paham,” saran Panji yang sempat membuat Zul sedikit keki.
“Waduh macam mana, ya? Kalau udah urusan sama si ‘otak emas’, ane rada tengsin juga, Ji. Apa tak ada solusi lain? Soalnya, nih program pernah aku minta sama dia, Ji.”
“Nah, malah bagus dong, Zul. Artinya si Satria bisa nanganin juga keluhan ente ini. Jangan jadiin dia saingan lu dong, Zul. Repot kalau udah urusan sama si Satria, Zul. Koneksinya banyak sama para dosen.”
“Justru itu, Ji. Program nih, adalah program yang aku minta sama ‘si otak emas’. Dia emang ngalah sama aku, itulah yang membuat aku agak tengsin sama dia, Ji. Gimana, dong?”
“Ya buang rasa tengsin lu sama dia, Zul. Dia baik kok anaknya, lu aja kali yang belum kenal siapa dia sebenarnya. Ane jamin ente ketagihan kalau udah kenal dia, Zul.”
“Kau kira donat apa ‘si otak emas’ itu, pake acara ketagihan segala. Hahaha ... bisa aja kau ini, Ji. Lagian aku bukannya ngiri sama dia, tapi tengsin aja kalau udah deket dia. Tampangnya kayak yang ‘sok’ tuh anak, Ji.”
“Siapa bilang? Dia kelihatannya aja kayak gitu, Zul. Aslinya baik, kok. Meski berasal sebagai anak dari keluarga broken home sama kayak ane juga, dia kagak kayak kita pikir selama ini. Ane jamin dah, Zul. Bukannya kita pernah berburu bareng ama dia dulu, sewaktu liburan kampus. Seenggaknya, kau kenal sedikitlah tentang dia kan, Zul?”
“Oke ... oke. Tapi kau jangan bilang kalau ini program dariku, ya? Aku malulah sama dia, Ji. Paham, kau?”
“Siap ...!”
Sedang asyik berdiskusi. Dari arah depan kampus, tampak beberapa pemuda berlari mendekati Panji dan Zul. Dengan terengah, mereka pun berkata, “Ji, Lu kagak tau apa, kalo si Satria habis dicariin intel barusan.”
“Hah! Intel Lu bilang?! Intel apaan yang nemuin si Satria, Mar? Sekarang dia masih di perpus kagak? Ane hampir lupa ada janji ama dia dan dosen pembimbing, nih!” sergah Panji kepada temannya bernama Komar yang masih terlihat ngos-ngosan itu. “Ya udah, Zul. Nih ane copy bentar program, Lu! Entar malem ane diskusiin sama si Satria, ya?”
“Oke, Ji. Yang penting beres aja, dah. Tapi jangan bilang ini program aku, ya? Malu ....”
“Oke sip, Zul. Ane pamit dulu, nih. Takut ketinggalan.”
“Makasaih, Ji. Lain waktu kita main ke daerah Bandung buat berburu, ya? Sudah lama kau tak ikut berburu sama kami.”
“Sip, Zul. Lain waktu, ya? Ane lagi ada urusan penting dulu.”
“Okelah kawan. Semoga berhasil!”
Setelah berhasil meng-copy data program dari laptop milik Zul. Panji pun bergegas menuju arah perpustakaan. Setengah berlari, dalam hati ia berharap tidak terjadi apa-apa denganku dan janji bertemu Pak Agus pun tidak sampai telat.
“Jangan-jangan intel yang dimaksud Komar tadi, sedang mencari keberadaanku selama ini di dunia Cyber Crime. Bahaya! Bisa-bisa si Satria yang kena tuduhan, nih. Ane mesti hati-hati!” gumam Panji, saat bergegas menuju perpustakaan—itulah sedikit kisah Panji dan Zul.
Sementara aku, baru membuka laptop mengawali pembicaraan serius dengan Pak Agus di perpustakaan siang itu. Setelah kejadian yang tidak pernah diduga dengan datangnya dua agen rahasia, bahkan masih menjadi tanda tanya bagiku. Ternyata begitulah dunia kehidupan yang berhubungan dengan jaringan internet. Demi menjaga keamanan negara, pihak berkuasa di negeri ini harus mempunyai sebuah organisasi yang terselubung di bawah naungan menteri keamanan. Setidaknya itu yang kuketahui hingga saat ini.
*****
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU