Belum banyak teman mahasiswa yang datang. Namun sudah cukup ramai terdengar keriuhan di luar kampus. Suara bus kota yang menderu, klakson mobil dan motor saling bersahutan, seakan memberi kesan musik alam yang tidak beraturan. Sedangkan aku, hanya asyik dengan ponsel menuju perpustakaan. Tidak sedikit juga teman yang berpapasan menyapa, meski sekedar, “Hai—halo—pagi, Sat.”
“Kamu ngojek lagi enggak, Sat? Aku minta dianter entar siang, bisa?” pinta salah satu teman, yang bisa mengojek kepadaku.
“Enggak, hari ini aku enggak bawa motor. Ada perlu penting buat bahan skripsi entar. Besok lagi, ya?” balasku, seraya berlalu meninggalkannya.
Yah ... rutinitas yang terkadang menjemukan, hanya mungkin karena aku merupakan salah satu bintang kampus—mungkin, lho.
Entahlah, mereka menyebutnya seperti itu. Sehingga menjulukiku ‘Si Otak Emas’. Mungkin juga karena selama ini, aku sering menjuarai lomba-lomba ilmiah yang sering diadakan pihak kampus setiap akhir semester. Atau salah satu ojek langganan mereka juga, bagi teman-teman yang tahu sampinganku selama ini.
Sudah tiga kali aku menjuarai lomba desain web, dan program analisis jaringan. Sehingga setiap aplikasi program kampus yang berbasis jaringan komputer, baik online maupun offline, aku yang tangani. Padahal banyak juga mahasiswa lain, yang tidak kalah jeniusnya dariku.
“Program yang kau buat itu, sangat beda dengan yang lain, Satria. Sangat mudah digunakan, bahkan dipahami oleh penggunanya. Maka dari itu, kamu yang dipilih membuat berbagai program komputer untuk manajemen kampus,” kata salah satu dosen di kampus, saat uji praktek program yang kubuat untuk perpustakaan.
“Terima kasih banyak sudah mempercayakan kepadaku, Pak. Semoga apa yang kuberikan untuk kemajuan kampus ini, bisa bermanfaat.” Aku hanya bisa bersyukur, keahlianku berguna untuk semuanya. Setidaknya sedikit mengasah ilmu yang pernah diberikan di kampus tercinta ini.
Pernah juga pada satu kesempatan, aku diminta membuat program kasir untuk supermarket. Sebenarnya sanggup membuatnya, karena mendapat bayaran yang lumayan untuk menambah uang saku. Hanya karena di sisi lain ada sahabat yang menginginkannya, maka aku serahkan kepadanya. Ya, dialah Zul. Mahasiswa asal Palembang yang sekarang sedang bertemu dengan Panji di laboratorium. Pria berpostur gempal agak pendek yang hobi berburu, dengan bahasa khas Palembang yang masih belepotan jika berbahasa Indonesia. Namun cerdas dan sedikit tempramen.
Ah, tinggalkan tentang si Zul. Karena nanti pun akan ada kisah dengannya. Sekarang, kembali kepada aktivitasku setelah masuk ke perpustakaan. Tidak terlalu ramai sih, keadaan di dalamnya. Baru beberapa mahasiswa saja yang sedang mencari bahan materi untuk pra kuliah mereka. Di sudut kanan dekat petugas, ada tumpukan buku yang kucari selama ini yaitu peta negara Malaysia. Segera kuberjalan ke arah tumpukkan rak, dan mengamati beberapa judul yang berderet.
“Hmm ... lumayan, nih. Buat bahanku nanti saat berkunjung ke negerinya si Nouna. Mmm ....” Cukup lama aku amati deretan buku, hingga akhirnya mata tertuju pada satu judul ‘Peta Negeri Selangor-Malaysia’.
Setelah mendapatkan apa yang kucari. Segera kuberjalan menuju deretan meja, yang tidak jauh dari rak buku, kemudian duduk memebelakangi rak tadi dan membuka beberapa lembar keterangan tentang isinya.
Cukup lama juga aku di perpustakaan. Hingga terdengar dua orang yang terlihat berpakaian jas hitam, masuk dan tampak berbincang dengan wanita petugas perpustakaan, “Hmm ... sepertinya akan ada sesuatu, nih? Ada apa, ya?” gumamku, saat melirik sebentar ke arah pintu masuk perpustakaan.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya wanita petugas perpustakaan terdengar samar, saat dua pria berpakaian hitam itu masuk.
“Bisa bantu kami cari orang ini, Nyonya? Kami dengar tadi, dia ada di sini,” bisik salah satu pria berbaju hitam itu samar, seraya menunjukan foto yang dipegangnya—ditengarai salah satu komandannya, kepada wanita petugas perpustakaan dan kemudian matanya menelusuri beberapa mahasiswa yang berada di dalam hingga menunjuk ke arahku.
Tidak lama kemudian, dua pria berbaju hitam itu berjalan ke arahku. Setelah mendekat dan berdiri tepat di hadapanku, salah satu dari mereka berkata, “Saudara bernama Satria? Boleh kami ikut duduk menemani?”
“Ouh ... i—iiya, silakan. Ada yang bisa dibantu?” tanyaku sedikit gagap dan terheran, seraya mengerutkan dahi.
“Perkenalkan, nama saya Basyir. Sersan Basyir Alamsyah. Salah satu anggota Badan Intelijen Negara Deputi Kominfo, dan ini rekan saya bernama Serda Amir!” tegas salah satu pria berjas hitam bertubuh atletis—diperkirakan umurnya sekitar tiga puluh lima tahun, menjabat tanganku seraya duduk berhadapan dan menatap dengan penuh selidik diikuti rekannya.
“Ya. A—ada maksud apa nih, Pak. Menemui saya di sini?” sergahku terbengong, seraya menutup buku yang kubaca tadi.
“Jadi begini, Saudara Satria. Jangan tegang dulu ... maksud kedatangan kami kemari, hanya ingin berbincang dengan Saudara. Perihal info yang didapat dari salah satu anggota kami, mengenai sebuah program yang selama ini Saudara buat untuk pihak kampus.”
Wajah pria bernama Sersan Basyir datar, seraya melepas kacamata hitamnya. “Kami mendapat laporan bahwa, ada indikasi kegiatan lain di luar kampus yang berhubungan dengan dunia internet jaringan. Kami menduga, ada penyalahgunaan dari program yang Saudara buat untuk meng-hacker sistem negara. Namun siapa pun itu, masih dalam penelusuran pihak kami,” imbuhnya seraya mengeluarkan sebuah ponsel mewah dari saku bajunya, dan menunjukkan sebuah gambar aplikasi yang pernah kubuat.
“Maksud Anda bagaimana, Pak? Saya masih kurang paham,” tanyaku singkat.
“Begini, Saudara Satria. Alias Satria Aji Pamungkas, atau biasa disebut ‘Si Golden Brain’ ....”
Deg! Ada getaran aneh di hati, ketika pria di hadapanku bisa mengetahui inisial nama samaranku di dunia Cyber Crime, yang nyatanya bukan milikku tetapi Panji. Tampaknya ia bukan pria sembarangan, atau bisa dibilang paham juga dengan dunia internet jaringan. Sehingga membuatku harus sangat berhati-hati, dalam mengeluarkan kata-kata.
“Kegiatan Saudara selama ini sudah masuk dalam pantauan kami, dan apa pun kegiatan Saudara di dunia internet pasti kami ketahui ....”
“Anda, meretas akun milik saya?!”
“Tidak! Tidak ada istilah meretas atau meng-hacker akun siapa pun, di sini. Hanya, sejak kemunculan Saudara di dunia internet jaringan. Kami langsung berfokus terhadap data diri Saudara, begitu pun segala hal mengenai prestasi, baik di kampus atau dunia internet, dan telah kami telusuri semuanya,” hela Sersan Basyir, seraya menatap tajam ke arahku.
“Apa Anda menelusuri, isi salah satu situs milik saya? Atau Anda bertanya, ke salah satu guru pembimbing di sini? Atau ..., Anda juga tahu tugas terakhir sebagai bahan skripsi, oleh salah satu dosen di sini juga?”
Rentetan pertanyaan yang sengaja kupancing, untuk mengetahui sejauh mana pria di hadapanku ini mengetahui tentang diriku seperti yang diucapkannya tadi. “Namun sepertinya, Anda salah orang, Pak. Mungkin yang Anda maksud adalah Panji Gumilar, salah satu sahabat saya. Dan kebetulan, ia sekarang sedang ada di lab.”
“Enggak mungkin kami salah orang, Saudara Satria. Jelas sekali, namamu ada di daftar pembuat setiap program yang ada di kampus ini. Jadi, enggak mungkin kami salah orang!” bantah Sersan Basyir, mengerutkan dahinya.
“Memang betul, saya yang buat semua program di kampus ini. Tapi, untuk yang suka berselancar dengan komunitas Cyber Crime itu adalah Panji, Pak. Dia memang penyuka sistem online, apa lagi game. Dia seorang gamers ulung,” bantahku, tentang apa yang dituduhkan oleh Sersan Basyir tadi.
“Kalau Anda enggak percaya, silakan telusuri semua data tentang Panji. Silakan bandingkan. Saya hanya pemilik sebuah situs berisi ilmu program komputer, yang memang dibuat untuk bahan ilmiah kampus. Tidak lebih.” Kembali kuyakinkan Sersan Basyir, agar lebih teliti menyelidiki apa yang sedang mereka cari.
Belum sempat semuanya terjawab. Dari arah pintu masuk perpustakaan, terlihat Pak Agus, dosen pembimbingku yang selama ini ditunggu kedatangannya, tampak berbicara sebentar dengan wanita petugas perpustakaan. Seraya menoleh ke arah datangnya Pak Agus, kuraih tas yang sedari tadi tersimpan di bawah dan meletakkannya di meja.
“Dosen pembimbing, yang sedari tadi saya tunggu sudah datang, Pak Sersan Basyir. Apa Anda juga ingin tahu kegiatan saya dengannya? Silakan tunggu di sini,” ujarku sambil melambaikan tangan ke arah Pak Agus, yang sedari tadi terlihat mencari keberadaanku yang terhalang oleh dua petugas itu.
“Ouh ... baiklah kalau begitu. Biar semuanya jelas.” Sersan Basyir pun menoleh ke arah datangnya Pak Agus, dan menyunggingkan sebuah senyuman.
“Halo, Satria. Hai, Sersan Basyir. Apa kedatangan saya mengganggu waktu kalian?” ujar Pak Agus, ketika sampai di hadapan meja yang sedari tadi kami tempati.
Tampaknya Pak Agus membawa tas yang cukup berat, di tangannya. Kemudian ia menoleh ke arah dua pria yang berada di hadapanku seraya berkata, “Perkenalkan, nama saya Agus. Agus Prawira, salah satu dosen pembimbing Satria. Sepertinya ... kita pernah bertemu sebelumnya, ya? Apa kedatangan saya mengganggu ..., Sersan Basyir?”
Deg! Perkataan Pak Agus membuatku terheran. Seolah beliau sudah kenal lama, dengan kedua pria yang sedari tadi berbincang denganku. Hal itu, membuatku sedikit menaruh curiga, dan menatapnya dengan berbagai pertanyaan di dalam benak.
“Ah ... tidak—tidak, Pak. Silakan duduk. Justru kedatangan kami, yang nampaknya akan mengganggu pertemuan Bapak dengan Satria. Silakan, mari kita duduk bersama,” ujar Sersan Basyir, seolah paham maksud yang dikatakan Pak Agus tadi.
“Ouh ... baiklah. Jadi, ada maksud apa Sersan Basyir dan Serda Amir, datang menemui Satria? Bisa saya ikut membantu, apa yang ingin ditanyakan kepada Satria?” ujar Pak Agus dengan suara khasnya, sambil menarik bangku, dan duduk di samping Sersan Basyir dan rekannya itu.
“Ah ... perihal biasa saja, Pak. Enggak ada hal penting, dengan kedatangan kami menemui Satria siang ini. Hanya ingin mengenal sosoknya lebih dekat lagi, siapa tahu bisa diajak kerja sama dengan pihak kami. Hanya itu saja ....”
“Hanya itu? Enggak ada maksud lain? Bagaimana dengan info yang didapat, mengenai para peretas dunia perbankan yang pernah dibahas dengan atasan Anda tempo hari, Sersan Basyir? Kudengar, ada hubungannya dengan salah satu anak didikku di sini. Benarkah, itu?” Kata-kata Pak Agus seakan menohok jantung Sersan Basyir. Sebab terlihat wajahnya yang tiba-tiba memucat, saat beliau berkata barusan.
“Hahaha ..., Anda bisa saja, Pak Agus. Yah, hanya kebetulan saja kami ada tugas untuk memantau, apa yang pernah dibahas dengan atasan saya tempo hari di kantor. Itu pun hanya sekedar mencari info saja, barangkali ada hal yang memang selam ini kami cari. Tapi ....”
“Tapi tidak mencurigai Satria, kan?” potong Pak Agus, yang membuat Sersan Basyir salah tingkah. Rupanya dua pria yang berada di hadapanku ini, merupakan anggota agen dari badan intelijen. Setidaknya itu yang kupahami dari obrolan mereka dengan Pak Agus.
Ada hal apa sebenarnya dengan Pak Agus dan Sersan Basyir ini? Segala pembicaraan mereka, sungguh membuatku bingung dan hanya bisa terdiam menyimak. Meski tas yang berisi laptop, sedari tadi kupegang di atas meja dan belum sempat dikeluarkan.
“Saya bisa menjamin, segala kecurigaan yang selama ini dilimpahkan terhadap Satria, Sersan Basyir. Jadi, Anda enggak perlu khawatir dengan segala kegiatan anak didikku ini. Ingin memantaunya di internet? Silakan, karena enggak ada hal yang berhubungan dengan apa yang pernah dibahas di kantor BIN tempo hari. Paham?” Kembali perkataan Pak Agus membuatku terkejut, begitu pun Sersan Basyir dan rekannya.
Tampaknya situasi tersebut, mengharuskan Sersan Basyri dan rekannya untuk segera beranjak dari hadapan kami. Terlihat tangannya mengambil ponsel yang tadi disimpan di atas meja, dan kemudian berdiri yang diikuti oleh rekannya itu.
“Baiklah, Pak Agus. Mungkin waktu kami untuk berbincang dengan Saudara Satria, cukup sampai di sini dulu. Jika ada hal mengenai apa pun yang sedang kami telusuri dalam hal ini, akan kami hubungi Bapak terlebih dahulu. Bagaimana, Pak Agus?” tanya Sersan Basyir, yang sudah dalam posisi berdiri dan tampak hendak berpamitan.
“Oke, Sersan Basyir. Ouh iya ... sampaikan salam saya untuk Pak Gunawan, ya? Hati-hati di jalan, Sersan Basyir.” Pak Gunawan? Siapa dia? Itu yang jadi pertanyaanku dari percakapan Pak Agus barusan. Sepertinya mereka memang pernah bertemu sebelumnya tanpa kuketahui dari awal.
“Baik, Pak. Nanti saya sampaikan kepada atasan saya. Mmm ..., Satria. Sampai bertemu kembali, semoga harimu menyenangkan,” sapa Sersan Basyir ke arahku, yang sedari tadi hanya bisa terdiam dengan ribuan tanda tanya atas apa yang diperbincangkan dengan Pak Agus barusan.
“Ouh ... i—iya, Pak Sersan. Semoga harimu menyenangkan juga,” balasku dengan sedikit tergagap, menatap kedua tubuh pria yang telah beranjak meninggalkanku dengan Pak Agus, dan sempat membuatku bertanya-tanya.
Sekarang, tinggal aku dan Pak Agus yang berada di salah satu meja perpustakaan. Meski dalam hati masih banyak pertanyaan atas apa yang terjadi barusan. Namun, mencoba untuk fokus kembali dengan pertemuan yang sudah direncanakan dengan dosen pembimbingku itu. Setidaknya sambil menunggu kedatangan Panji.
*****
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU