Episode 3
Hanya tiga jam aku memejamkan mata. Bayangkan ... betapa mata ini masih terasa perih, ketika harus membukanya. Bahkan saat terdengar sayup-sayup alunan musik di kamar membangunkan tidurku—tapi bukan alunan azan di masjid. Musik yang mendayu dari sebuah grup band favoritku bernama Last Child yang judulnya Diary Depresiku, seakan membawa suasana ke peristiwa pahit yang kujalani selama ini. Ah ... ternyata Panji sudah terbangun duluan, dan tampak sedang asyik bermain game online diiringi musik tadi. Sontak aku terperanjat begitu melihat jam dinding, menunjukkan pukul 05.45. “Ah, sial!” gumamku di hati.
“Astagfirullah, Ji! Kamu enggak bangunin aku, sih? Belum salat subuh, tau!” Segera kuberlari ke kamar mandi untuk berwudu dan menunaikan salat subuh, meski sudah kesiangan.
“Ah! Sory, Sat. Ane juga baru bangun tadi setengah enam. Mau bangunin kayaknya lu kecapekan, makanya ane biarin aja, dah. Sory, Sat. Sory ...!” Panji hanya terbengong melihatku, dan tetap asyik dengan game-nya.
“Huh dasar kamu, emang enggak pernah salat! Jadi enggak inget waktunya ... dasar!” gerutuku, kesal.
“Yah ... lagian, lu. Main laptop sampe pagi, kesiangan dah. Hahaha!” ledek Panji tanpa merasa berdosa, kemudian menggerutu tidak jelas seraya mengecilkan volume suara musik, sebab melihatku sedang salat di ruangan sebelah.
Yah, seperti itulah Panji. Pemuda zaman sekarang, mengakunya saja beragama Islam tapi hanya di KTP. Mungkin banyak Panji-Panji lain di luaran sana, yang bersikap sama seperti dirinya. Tapi, biarlah. Toh jika dikasih tahu juga, pasti mengelaknya, “Nafsih ... nafsih aja, deh.”
Kembali ke diriku. Setelah salat subuh—meski kesiangan juga. Kuhampiri Panji yang sedari tadi asyik sendiri di depan laptopnya.
“Ji, dah sarapan belum? Hari ini kita ketemu Pak Agus, buat laporan hasil tugas. Sepertinya ... aku juga mesti bersiap untuk berangkat ke Kuala Lumpur.”
“Hah?! Kuala Lumpur?! Ngapain, Sat? Nyari bapak lu?!” sergah Panji, berhenti sejenak dari game-nya dan menatapku penuh tanda tanya.
“Ah ... jangan ungkit lagi masalah sama si Dani, Ji! Muak aku!” Sejenak kuterdiam kemudian kududuk di sampingnya dengan muka merengut. “Ada kawan yang pengen ketemuan, kebetulan dia orang sana. Kamu mau ikut apa netep di sini? Entar kamu juga tahu, kalau udah sampai sana, kok!” ketusku, sedikit kesal saat Panji ungkit kembali masalah dengan ayah.
“Waduh ...! Mesti jelas dulu dong, Bro! Kagak asal berangkat aja, ane punya duit dari mana, Sat?!”
“Udah, masalah uang biar aku yang biayain. Kalau kamu mau, tar aku kasih tahu sesuatu hal yang aku rasa kamu suka. Tapi pas di hadapan Pak Agus nanti, ok?! Soalnya, aku juga belum tahu jelas apa yang diinginkan beliau, Ji,” jelasku singkat, seraya meraih ponsel yang sedari kutinggal tidur mengisi baterai. “Mandi dulu sana, gantian aku pinjam laptopnya. Mau hubungi seseorang lewat email, tar sekalian kita sarapan.”
“Udah, noh. Ane bawa tadi dari rumah pas bangun. Pan mesti bantuin ibu dulu, biar urusan kita beres entar. Ya udah ... ane mandi dulu.” Panji mendongakkan kepala, menunjukkan bungkusan nasi uduk yang biasa dibawanya jika ke kampus. Ya, nasih khas buatan ibunya, yang memang berjualan juga di rumah.
“Wah ... repotin nih, Ji.”
“Udah, tinggal makan aja, ge. Banyak nanya, lu. Hahaha ... awas kepedesan!”
Aku pun membuka satu bungkusan nasi yang ternyata ada dua, dan masih utuh. Rupanya Panji pun belum sarapan sedari tadi, saking asyiknya dengan game.
Sambil sarapan, aku coba hubungi Pak Agus untuk bisa bertemu janji hari ini. Sebab dalam tempo beberapa hari ke depan, aku sudah harus berangkat ke Malaysia menemui Nouna.
Ah .... kembali teringat dengan gadis Jiran itu. Nampaknya segala rencana awal, berjalan lancar. Terbukti saat menghubunginya, ia sedang dalam perjalanan ke wilayah Selangor.
“Assalamu’alaikum, Na. Transferan dariku udah masuk?” tanyaku singkat.
Tidak berapa lama, Nouna pun membalas, “Wa’alaikumsalam, Sat. Udah masuk, baru saja saye cek via online. Ouh iya, rencana awak nak tinggal di negeri Selangor, keh? Saya nak perjalanan ke sana, pun.”
“Ouh ... awak sedang dalam perjalanan? Oke, Na. Saya tunggu kabar berikutnya saja, ya? Yah ... tak jauh dari wilayah pariwisata saja, Na. Agar ke sana ada [1]sikit hiburan buat kita.” Balasan pertamaku, kemudian mengetik lagi, “ouh iya, kudengar di Selangor banyak tempat wisata bagus, keh? Boleh juga, jika dekat daerah situ, Na.”
“Wah ... ya banyaklah, Sat. Nanti ketika awak sampai, saye nak antar [2]pusing-pusing wilayah Selangor, pun. Sekalian tengok konser saye bermain biola di atrium KLCC, saat saye wisuda juga. Agar awak tahu indahnya panorame Negeri Malaysia, dan aksi saye di panggung. Hehehe ...” balas Nouna tampak senang.
Selama ini, Nouna memang memiliki keahlian sebagai Violin. Selain kegiatan di kampusnya sebagai sarjana informatika. Talentanya memainkan biola, pernah ditunjukkan kepadaku tempo hari lewat video di akun facebook. Talenta yang benar-benar sangat luar biasa. Mungkin hal itu juga yang membuatku, semakin terpesona oleh kharisma gadis jiran ini.
“Baik, Na. Jika sudah dapat penginapannya, beri kabar saya, ya? Mau ke kampus dulu.”
“Ok, Sat.”
Percakapan terhenti, saat Panji keluar kamar mandi dan ganti giliranku. Tidak berapa lama aku pun selesai, setelah berbenah segala apa yang diperlukan, kami langsung berangkat ke kampus bermaksud menemui Pak Agus menggunakan motor Panji untuk memudahkan menerjang kemacetan kota Jakarta.
Dari persimpangan tugu Pancoran, kami berbelok menuju jalan protokol arah selatan Jakarta-Depok. Kesemerawutan kota, kini mulai sedikit tertata rapi. Di antara deretan trotoar jalan gedung-gedung bertingkat, sudah tidak ada lagi terlihat para penjual asongan atau warung pinggir jalan. Semuanya hanya rimbunan pepohonan yang menambah kesejukan dan keindahan gedung pencakar langit yang saling berderet.
Lanjut ke arah persimpangan jalan Salemba Raya menuju kampus UI, mulai terasa kesibukan beberapa karyawan kantor atau bahkan mahasiswa di kampus tersebut. Setelah memasuki area parkir arah timur kampus, kami pun berhenti dan memarkir motor sebelum masuk kampus.
“Sat, ketemuan sama Pak Agusnya jam berapa? Ane mau ke lab dulu, ada perlu penting sama si Zul!” Panji yang baru saja membuka helm, berseru.
“Katanya sih jam sepuluhan, Ji. Ya udah, aku juga mau ke perpus dulu cari buku. Kita ketemu di sana jam sepuluh, ya?”
“Sip! Ane jalan duluan, Sat.” balas Panji singkat, seperti terburu-buru dengan janjinya.
“Oke.” Aku pun segera menuju arah perpustakaan dekat kantin, berlawanan arah dengan Panji.
*****
[1] Sikit: Sedikit.
[2] Pusing-pusing: Berkeliling.
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU