Waktu menunjukkan pukul lima sore, saat kulihat jam dinding yang menempel di atas ruang tamu kontrakkan—mungkin lebih tepatnya rumah indekos. Sebuah rumah kecil, dengan luas hanya enam kali tujuh meter persegi. Menjadi tempat sementara, untuk sekedar berteduh.
Ruang depan yang tidak terlalu luas, hanya cukup untuk sebuah motor dan televisi di tembok dekat kamar mandi. Rak buku yang kutata, saat sebelum kepulangan ibu dan Rianti tempo hari. Masih terlihat rapi. Setelah berganti pakaian dan rebahan sebentar, Panji pun kembali datang sambil membawa camilan dan membahas masalah tugas kuliah yang tempo hari pernah dibicarakan.
“Sat, waktu lu kagak masuk kuliah kemarin. Pak Agus kasih tugas buat kita, katanya suruh bikin program jaringan buat sistem jaringan online. Ane rada bingung ama beberapa materi, yang pernah diajarin beliau waktu semester lalu,” jelas Panji yang duduk di dekat televisi, tidak jauh dari kamar mandi.
“Iya ... kemarin, Pak Agus juga hubungi ke nomor WA-ku. Dah dijelasin apa yang beliau minta, Ji. Dah, entar malem aku bikin skema dasarnya dulu, biar entar kamu enggak bingung pas gunainnya.”
“Oke. Ane ngikut aja apa yang lu bisa, Sat. Yang penting kita dapat nilai, dan bisa lulus dangan hasil memuaskan.” Tampak semringah wajah Panji, saat kujelaskan beberapa sistem program dan tugas yang harus ia lakukan saat menjalankannya nanti.
Yah ... dalam hal ini mungkin hanya aku yang bisa dibilang, memiliki keahlian berbeda dengan kawan kuliah lainnya. Terbukti saat Pak Agus atau beberapa dosen, meminta dibuatkan sebuah program administrasi management. Sehingga sampai saat ini, program buatanku selalu dipakai untuk menuliskan daftar mahasiswa yang masuk atau keluar, atau pun data keuangan kampus.
Malam itu, dengan mempelajari berbagai hitungan linear dan digit biner program komputer jaringan, yang pernah dipelajari di kampus bersama Pak Agus. Kami pun langsung berkutat dengan berbagai hitungan sistem rumus logika, untuk membentuk sebuah program internet yang dimintanya menggunakan program khusus bahasa pemrograman bernama Delphi dan Visual Basic.
Hingga pukul dua belas malam, setelah tes uji program. Panji terlihat lelah dan merebahkan tubuh tegapnya di depan televisi, hingga tertidur pulas. Sementara aku, masih mengutak-atik berbagai sistem sambil sesekali chat dengan Nouna.
Ah ... kembali malam itu, aku bertemu dengan wanita asal negeri Jiran—wanita yang benar-benar aku kagumi, meski hanya di dunia maya. Sepertinya, kali ini aku tidak bisa berhenti untuk mengenal lebih jauh tentang kehidupan dan kesehariannya. Sungguh ... berbincang dengan sosok yang sama sekali belum pernah bertemu secara nyata. Malam ini, seakan benar-benar nyata aku berada di dekat wanita yang memiliki hidung panjang itu.
“Na, aku boleh minta bantuan awak, tak? Untuk kali ini saja, boleh?” pintaku dalam obrolan kami malam itu.
“Awak nak minta bantuan apa, Sat? Jika berhubungan dengan materi kuliah, bolehlah saye bantu, hehehe ...,” balasnya diselingi senyum.
“Ah ... nampaknya awak sedang tak mood, ye?” candaku.
“Hahaha ... ini sudah malam, Sat. Takut keluarga bangun, [1]tengok saye masih di depan laptop. Tapi ... tak apelah, masih [2]sikit masa tuk kita berbincang.”
“Okelah kalau gitu. Langsung aja ke intinya, ya?”
“Oke.” Balasan singkat dari Nouna.
“Jadi gini, Na. Jike awak tak keberatan, aku ingin dalam mase beberapa pekan ini, main ke Kuala Lumpur. Tapi sebelumnya, minta tolong carikan sebuah hotel atau penginapan dulu di sana, bisa?”
“Maksudnye?” Balasan Nouna, belum memahami maksud permintaanku.
“Begini ... dalam beberapa waktu dekat kan, aku [3]cuti kuliah. Jadi rencananya, ingin lebih mengenal negaramu di Malaysia. Ya, hitung-hitung liburanlah ....”
“Ouh ... lantas, kenape mesti nak cari hotel atau penginapan di sini? Lebih baik tinggal dulu di rumah saye untuk sementara mase, sebelum dapat hotel atau penginapan, tuh?” sarannya yang hampir membuatku sedikit terkaget.
“Jangan, Na. Saya tak nyaman sama orang tua awak atau jiran di sana. Nanti apa kata mereka, seorang wanita didatangi oleh pria yang belum terlalu dikenal, malah mungkin mereka menyarankan untuk kita nikah, gimana?” balasku sedikit menggodanya.
“Hahaha ... awak ini bisa je, Sat.”
“Lha iya, kan? Kita ini belum muhrim, Na. Masak harus tinggal satu atap, sedangkan di negaramu pasti menjunjung tinggi nilai agama, kan? Aku belum siap, kalau baru datang harus segera menikahimu. Terkecuali kalau sekarang kamu siap aku khitbah, Na,” balasku kembali menggodanya.
“Hahaha ... pandai awak [4]berkelakar, ye? Oke ... oke, saye paham, Sat.” balasnya sedikit malu.
Aku rasa saat ini, hatinya sedang berbunga-bunga dengan balasanku tadi. Sebenarnya dari beberapa obrolan kami hingga saat ini, aku bisa memprediksi kalau ia pun ingin mengenal lebih dekat tentang diriku. Hanya sebagai wanita yang mengerti batasan sebagai wanita yang menjaga etika, tidak mungkin ia dulu yang memulai menyatakan perasaan. Setidaknya aku memahami sedikit tentang isi hatinya selama ini.
“Beberapa hari ini aku sedang dapat proyek besar, dan liburan nanti ingin ke negaramu. Soalnya, kalau tak memesan hotel atau penginapan dari awal, mau tinggal di mana aku nanti? Itu pun kalau kamu enggak keberatan ....” Kucoba mengalihkan pembicaraan, agar tidak terlalu berkesan menyudutkan hasratnya juga.
“Ouh [5]cam tuh, keh ...? Boleh, Sat. Esok saye nak cuba cari, atau awak bise kasih saran hotel jenis ape yang awak nak buat tinggal nanti? Supaya ketika awak main ke mari, bise langsung ditinggali.”
“Awak seorang, ada gambaran tak mengenai hotel atau penginapan yang cocok untukku? Bila perlu untuk menetap beberapa mase di sana.”
“Awak nak netap di sini?” tanyanya kembali dengan sedikit terheran.
“Ya. Rencananya seperti itu, Na. Boleh kan kita bertaaruf lebih dekat?”
“Ah ... nampaknya awak nak rayu saye lagi, ye?”
“Hahaha ... kamu ini, lantas selama ini kita sering berbincang itu bukan sebuah kedekatan yang rasional, gitu?”
“Bisa je kau nih, Sat. Malu saye, nih.”
“Kenapa mesti malu, Na? Wajar kan, jika seorang pria dekat dengan wanita, dan kita sudah lama kenal meski hanya sekedar lewat jejaring sosial. Apa salahnya jika aku nag mengenal awak lebih dekat lagi?”
“Tak ade salah, pun. Cume ....”
“Apa kau sudah punya pacar selama ini, Na?”
“Bukan ... saye tak kenal istilah pacar. Sebab di sini, jike pria kenal wanita tuh tak baik, Sat. Tapi jike awak harap main ke mari, tak apelah sekedar kite jumpe.”
“Kalau lebih dari itu?”
“Maksudnye?”
“Ah ... sudahlah, ade masanya kita akan jumpa, dan akan saye jelaskan di hadapanmu. Tidak sekarang, bisa?”
“Oke, Sat. Esok saye nak cuba cari hotel atau penginapan untuk awak. Saya akan bagi kabar kat awak secepatnya esok, jike segalanya telah siap, ye?”
“Sip, Na. Besok aku transfer uang untuk biayanya, ya? Makasih banyak sebelumnya. Maaf aku selalu repotin kamu.”
“Tak apelah, sudah seharusnye kite saling bantu, pun? Saye nak rihat dulu, Sat. Esok saye cuba ke Selangor, gune cari ape nak awak mahu itu, ye?”
“Oke, cantik. Met rehat, ya. Dan terima kasih ... aku tunggu kabar selanjutnya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam ....”
Obrolan pun berakhir hingga jam dua pagi. Setelah apa yang kuminta kepada Nouna, disetujuinya.
Malam ini terasa seperti begitu lama. Beberapa materi dan tugas dari Pak Agus, akhirnya selesai hingga jam tiga pagi dan siap digunakan saat persentasi nanti di hadapannya. Mata pun sudah mulai terasa mengantuk.
Namun sebelum beranjak tidur, kucoba amankan beberapa file penting melalui email cadangan milikku. Berharap tidak ada yang bisa mencuri data hasil kuliahku, beberapa tahun ini.
Sebelum merebahkan diri, hatiku bergumam di hadapan Panji yang telah lebih dulu tertidur, “Besok akan jadi hari terpanjang dan melelahkan, Ji. Bersiaplah untuk memulai kehidupan yang baru. Selamat beristirahat ....” Tidak berapa lama, akhirnya aku pun tertidur di dekatnya yang entah sudah ke alam apa dia saat itu.
*****
[1] Tengok: Lihat.
[2] Sikit mase: Sedikit waktu.
[3] Cuti: Liburan.
[4] Berkelakar: Bercanda.
[5] Cam tuh: Macam itu / Seperti itu.
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU