Episode 1
“Hidup berawal dari mimpi.”
Kutipan tadi, mungkin tidak asing bagi sebagian orang. Atau bahkan, banyak yang memahami artinya.
Menurut beberapa orang, mungkin hanya sebuah kata-kata isapan jempol belaka. Sehingga bisa dengan mudah menyangkal, “Hidup kok, hanya mimpi?! Coba bangun, dan hadapi sebuah kenyataan!”
Kisah ini, entah harus dimulai dari mana. Karena isinya menurutku tidak pantas untuk diceritakan, yang pasti segalanya seakan seperti mimpi. Sebuah kehidupan yang kujalani, tidak semudah dan seindah seperti layaknya kehidupan anak menjelang dewasa yang menapaki dunia perkuliahan. Seabrek biaya, dari mata kuliah di bidang internet jaringan informatika, dan bisa dengan manja meminta kepada ayah, “Yah, beli laptop. Buat menunjang kuliahku.”
“Kamu ini, bisanya cuma minta. Cobalah berusaha sedikit, biar tahu kerasnya hidup seperti apa!” Itulah sanggahan ayah tempo hari, ketika aku kebingungan harus bagaimana mencari sesuatu penunjang untuk dunia kuliah, yang sedang kudalami ini. Meski akhirnya dibelikan juga.
Mungkin itu dulu, sewaktu ayah dan ibu masih bersama. Namun tidak untuk kali ini, atau mungkin juga kisah ini bermula di sini. Setelah tiga bulan mereka berpisah. Mau tidak mau, sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Aku harus kerja keras demi menghidupi ibu dan adik.
Seperti sore itu. Setelah selesai dengan tugas membuat program aplikasi komputer, serta membantu dosen dalam menyusun materi untuk kuliah. Dengan mengenakan jaket kulit warna hitam khas, layaknya seorang pemburu rupiah. Helm tutup dengan kaca setengah membungkus wajah agar tidak terkena embusan angin. Aku harus mengojek, mengantar beberapa kawan mahasiswa pulang ke rumah kontrakkannya, atau sekedar bertemu pacar mereka yang menunggu di sebuah mall. Yah ... lumayanlah untuk bisa bertahan hidup, sebelum kepulangan ke kota Cirebon—bersama ibu dan adikku.
Sebagai anak pertama, dari dua bersaudara. Tidaklah mudah menjalaninya, apalagi keadaan keluarga yang hancur karena keegoisan seorang ayah. Setelah perceraian kedua orang tua, sekitar tiga bulan yang lalu. Kehidupanku tidaklah seperti yang dibayangkan selama ini. Mencari sesuap nasi demi melanjutkan hidup di kota besar seperti Jakarta, tidaklah mudah. Meski, yah ... statusku di kampus adalah seorang mahasiswa teladan, dengan beberapa prestasi. Tidaklah cukup untuk membiayai adik sekolah.
Setelah kedua orang tua berpisah. Adik dan ibuku kembali pulang ke kampung halaman di kota kecil bagian timur Jawa Barat, atau sering disebut kota wali—Cirebon. Di sana, aku mengantarkan ibu dan adik untuk melanjutkan apa yang pernah tertunda, sebelum bisnis ayah di bidang perbankan sesukses sekarang. Entah setan mana yang memisahkan kedua orang tua, di saat bisnis ayah mengalami kemajuan pesat.
Seorang perempuan berdarah campuran melayu dan Indo, telah memisahkan kebahagiaan keluarga kecilku. Sehingga kehidupan yang, awalnya segala sesuatu mudah dalam segi ekonomi. Kini, harus berjuang kembali dari awal. Sebab mana mungkin aku terus-terusan meminta, apa yang menjadi tanggung jawab seorang ayah terhadap keluarganya. Sedangkan ia sendiri, tengah asyik dengan wanita baru dalam kehidupannya.
Meski di kampus, aku dijuluki anak yang serba berprestasi. Terutama di bidang teknologi komputer, yang kini menjadi salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh semua orang. Tidak serendah itu mesti mengemis, hanya demi mendapatkan sejumlah uang untuk biaya adik atau ibuku di kampung. Seperti sore itu, saat sedang mengojek mengantarkan salah satu teman kampus ke rumah kos-kosannya.
“Lu kagak malu, pulang kuliah mesti ngojek gini, Sat?! Seenggaknya, bagi seorang mahasiswa yang berprestasi di kampus.” Sindiran salah satu teman, yang pernah mengojek saat kuantar pulang.
“Kenapa mesti malu?! Ini kan kerjaan halal juga, dari pada harus maling!” Sanggahanku, tanpa menghiraukan sindirannya.
“Ya ... seenggaknya sebagai salah satu anak berprestasi, apa enggak ngerasa risih gitu sama kawan lain?”
“Kalau mengandalkan rasa malu, apa akan kenyang dengan makan rasa malu itu? Kan enggak. Yah ... seenggaknya dengan begini, aku bisa menghargai waktu dan keringat dari hasil ngojek. Dari pada terbuang sia-sia, dengan kegiatan yang enggak jelas. Membuang uang, foya-foya, atau sekedar nongkrong menggoda wanita di pinggir jalan. Mending ngojek, dapat uang. Dikumpulin sedikit demi sedikit buat nambahin biaya kuliah. Lebih bermanfaat, kan? Hehehe ....” Kembali aku pertegas alasan, dengan sesungging senyum.
“Iya juga, sih. Elu emang beda dengan kawan-kawan lain, Sat. Pantas, kalau lu jadi salah satu anak teladan di kampus. Bisa berpikir realita.”
“Zaman sekarang. Kalau enggak memanfaatkan kesempatan, kapan bisa maju meraih impian? Aku ini anak tanggungan keluarga, setelah ayah bercerai sama ibu. Kalau enggak kerja keras, mau makan apa adik sama ibuku? Iya, kan?”
“Ya ... ya—ya. Bener juga, Sat. Gue salut ama lu, dah!”
Seperti itulah keseharianku, setelah perceraian orang tua. Harus rela membuang jauh rasa malu, dan menghadapi kenyataan hidup yang memang tidak mudah di jalani. Setidaknya, ada sedikit usaha untuk meraih separuh impianku.
Aku teringat di malam pertengkaran ayah dan ibu, ketika itu baru pulang kuliah. Tanpa sengaja terdengar. Sebelum sempat masuk rumah, sebab hujan deras menyamarkannya.
Jas hujan masih melekat di badan, kubiarkan terus membasah meski dingin mulai merasuk ke seluruh tubuh. Setelah kontak motor kumatikan ketika memasuki gerbang depan, agar tidak terdengar saat pulang. Kemudian mengendap tepat di samping kamar Rianti adik perempuanku, yang baru menginjak usia sekolah dasar. Terdengar jelas oleh telingaku, ia hanya bisa meringis di dalam kamarnya. Mungkin dari sini awal kisahku.
Namun, apa karena profesi ayah sebagai developer perbankan di sebuah perusahaan bonavide di Jakarta. Membuatnya lupa kepada keluarga sehingga sering keluar negeri, terutama Malaysia dalam mengembangkan kerjasama antar negara? Dari situlah, awal bencana terjadi.
“Aku mohon jangan pergi, Mas. Demi anak-anak kita ... hiks. Kamu tega, jika harus menghancurkan impian mereka. Biar aku saja yang menderita karena perselingkuhan dan egoismu itu, tapi jangan anak-anak kita ...! Hiks.”
“Saye bukan [1]nak hancurkan impian mereke, Lastri! Ini tuntutan profesi, yang mengharuskan saye menetap di negeri [2]Jiran. Dan peraturan perusahaan di sane, saye tak diperboleh membawa keluarge. Di lain sisi, ade wanita yang selalu membantu dalam mewujud impian saye selame nih! Ini impianku, Lastri! Impianku!”
Penjelasan ayah dengan logat Malaysia, yang kini terbiasa ia ucapkan, membuatku naik darah. Namun, hanya bisa menahan amarah yang mulai menelusup ke dalam sanubari. Itu yang kubisa untuk sementara waktu, demi menghormati ibu yang masih memohon di hadapannya.
“Sedang kau, di sini. Sekadar menunggu ketibaanku, tanpa mahu mengerti [3]cam mane saye kerja keras selame ni! [4]Just nag wang, wang dan wang! Gune biaya kuliah si Satrialah, sekolah Riantilah, makan sehari-harilah. Bisa habis tak jelas duitku nanti! Malam ni, kita pisah! Besok pengacaraku nak datang ke mari, gune urus semue perceraian kite, paham kau?!”
“Kamu tega, Mas. Tega!”
“Halaahh ...! Bisa awak cuma merengek, merajok minta ape haja yang tengah saye bangun dalam mewujud impian saye! Sudah! Saye sudah bosan, dan tak nak dengan cara hidup awak di sini! Tak gune!” Cacian ayah dengan gaya yang mungkin terbawa kebiasaannya berbahasa Malaysia, sehingga sikap dan bahasanya malam itu, angkuh.
“Impian macam apa, yang dengan tega harus meninggalkan keluarga dan memilih wanita jalang dengan alasan profesi?!” gumamku di hati, tanpa sempat untuk berontak dari segala alasan ayah malam itu.
Pria paruh baya bernama Dani Sunjaya, usia sekitar empat puluh lima tahunan berkulit sawo matang, mata sipit berwarna hitam dan tatapan tajam. Dengan kemeja putih yang terselip rapi di dalam jas setelan serta dasi yang melingkari leher. Seakan-akan telah membutakan naluri seorang bapak terhadap anak-anaknya. Sungguh, kehidupan yang benar-benar telah membutakan. Melupakan asal usul saat masih serba pas-pasan, sebagai pekerja proyek bangunan. Untuk makan sehari saja, saat itu harus meminta dulu ke warung dekat perempatan jalan. Bayarnya pun, pas ia dapat gajian.
Namun, ketika proyek bangunan itu selesai, dan dapat tawaran dari rekannya untuk bekerja di perusahaan perbankan miliknya. Segala kesusahan hidup kami, mulai berubah. Hanya tidak disangka, akan berakhir pedih bagiku, ibu, dan Rianti.
Atau kisah ini, mungkin tentang dunia percintaan—dan memang sebuah kisah cinta. Intinya impianku dari semenjak mengenal bangku kuliah, dan bertemu seorang wanita asal negeri Jiran bernama Nouna Maharani Novelita. Serta keinginan untuk mengenalnya lebih jauh, dan tinggal bersama di negeri yang terkenal dengan menara Petronas-nya.
Tapi lebih baik, kisah ini berawal ketika ayah dan ibu bercerai. Hanya karena godaan dari seorang wanita asal negeri Jiran—yang pasti bukan Nouna si gadis imut yang kukenal. Melainkan Lemi. Seorang wanita muda berkulit putih, rambut hitam terjuntai sebahu, mata cokelat berbinar, dengan polesan make-up layaknya artis Holywood berusia sekitar dua puluh lima tahun, lebih tua dari usiaku saat ini. Pernah beberapa kali bertemu dengannya, saat mengantar jemput ayah di bandara jika hendak kembali atau baru datang dari Malaysia.
*****
[1] Nak: Hendak / Ingin / Mau.
[2] Jiran: Tetangga.
[3] Cem mana: Bagaimana
[4] Just nag wang: Hanya uang
@Ardhio_Prantoko Wih ... terima kasih, Mas Dhim. Alhamdulillah karya ini sudah terbit, tinggal nunggu lounching saja, nih. Hehehe
Comment on chapter Info Novel IMPIANKU