•••••
Penjelasan itu perlu. Sebab, kebanyakan masalah datang tanpa ada kejelasan.
πππππ
Hari sudah sore, pukul lima Andra baru saja tiba di rumah. Andra segera masuk ke dalam kamar dan mengganti seragam dengan kaos biasa. Lalu kembali turun ke bawah menuju dapur untuk mengambil segelas air putih dan menenggaknya. Kerongkongannya tiba-tiba saja terasa kering, apa mungkin ini efek tadi siang?
Jika benar, seharusnya ia tidak dekat dengan Akbar sehingga Darpa tidak marah padanya. Bukan malah seperti ini, Darpa merajuk tanpa penjelasan lebih rinci. Dia hanya bilang tidak suka dengan Andra yang dekat dengan cowok lain. Padahal cowok itu Akbar, cowok yang pernah ia tolong dulu.
Andra menenggak lagi segelas air, lalu berjalan ke ruang tamu dan duduk di sofa. Bersandar, mengembuskan napas pelan. Tidak seharusnya seperti ini.
Darpa... kenapa kamu marah? Padahal bertanya saja belum.
Jika memang tadi Darpa melihat Andra dengan cowok lain, seharusnya cowok itu bilang jika ia tidak menyukainya. Bukan malah menghilang layaknya ditelan bumi, sampai membiarkan Andra pulang seorang diri.
Andra sudah menunggu Darpa sejak tadi, setia di atas tribun menanti kehadirannya, tapi nyatanya Darpa memilih pulang lebih dulu dan meninggalkan Andra yang masih terdiam di sana bersama Akbar.
Sekali lagi, Andra mengembuskan napas pelan. Membiarkan tubuhnya merenggang dengan sendirinya. Rasanya sangat lelah, entah apa yang membuat tubuhnya terasa sangat kelelahan. Atau mungkin karena pikirannya yang terlalu berkelebat kemana-mana. Ah, masa iya begitu?
Andra memejamkan mata sejenak, berusaha untuk tidak kalut. Kejadian ini bukan pertama kalinya jadi ia harus bisa mengambil keputusan dan melakukannya dengan bijak. Tidak boleh tergesa-gesa dan melakukannya tanpa berpikir.
"Kamu kenapa?" Bunda datang menghampiri Andra yang masih bersandar di sofa. Membuat kedua mata gadis itu terbuka, Andra menatap Bunda dengan senyum yang selalu ia sajikan hanya kepada orang tertentu.
"Gapapa kok, Bun."
"Tadi Bunda gak lihat Darpa, kamu gak pulang bareng sama dia?"
Ah, Bunda terlalu peka. Padahal Andra ingin menghindari percakapan yang terdapat Darpa di dalamnya. Tapi sepertinya tidak bisa, Bunda selalu peka terhadap sekelilingnya.
"Engga tahu, Bunda."
"Loh, kok enggak tahu?"
"Aku gak pulang sama Darpa. Aku pulang sendiri, enggak tahu Darpa kemana." Ucap Andra mendengus, sebal. Tentu saja hal itu masih melekat padanya, rasanya ingin mendatangi Darpa dan memakinya. Andai Andra bisa melakukannya.
"Kok bisa?" Bunda bertanya dengan alis yang menyatu. Mungkin Bunda bingung kenapa Andra tidak pulang bersama Darpa. Karena biasanya, ia selalu dengan Darpa.
"Enggak tahu," sahut Andra membenarkan posisi menjadi duduk tegak. "Coba Bunda tanya Mamah, kenapa Darpa gak pulang bareng aku."
"Kenapa harus Bunda?"
"Aku... gak berani nanya ke Darpa." ucap Andra pelan.
Bunda tersenyum, beliau mengelus lengan Andra halus. Bunda tidak marah, pun mengerti jika pertemanan remaja memang sering terjadi perselisihan.
"Coba kamu tanya, bicarakan dengan baik. Siapa tahu, kalian bisa baikan. Kesalahpahaman memang sering terjadi di kalangan remaja seperti kamu. Tapi sebaiknya, segera tuntaskan permasalahannya bukan tali pertemanannya." Ucap Bunda sebelum akhirnya meninggalkan Andra yang termenung. Bunda benar, Bunda memang selalu benar. Kesalahpahaman yang terjadi memang sering menyebabkan pertengkaran kecil, membuat kerenggangan pada tali pertemanan. Bisakah Andra mempereratnya kembali?
*****
Andra sudah siap untuk pergi. Pakaian yang ia kenakan juga cukup tertutup. Baju berlengan panjang berwarna biru dongker dan celana panjang berwarna hitam. Rambut yang dikuncir kuda, serta bedak bayi di wajah dan lipbalm. Tidak lupa sneakers berwarna putih. Andra rasa berpenampilan begini sudah bisa dibilang rapi.
Sekali lagi gadis itu berkaca, memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. Andra menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan, berulang kali hingga gugup itu hilang. Malam ini, Andra berniat ke rumah Darpa untuk bertemu dengan cowok satu itu yang sedang merajuk. Andra terkekeh pelan, membayangkan wajah Darpa yang sedang merajuk sungguh membuatnya tertawa. Mungkin saja, wajah cowok itu akan terlihat seperti bocah berusia lima tahun yang kehilangan mainannya.
"Bunda..." Panggil Andra menghampiri Bunda yang berada di bawah sana. Bunda sedang bersama dengan Ayah, mengobrol ringan sambil menonton televisi. Bahkan Andra bisa melihat dengan jelas Ayah yang merangkul Bunda.
"Iyaa sayang," Bunda menoleh menatap putrinya. Kernyitan langsung terlihat jelas di wajah cantiknya. "Loh, kamu mau kemana?"
"Mau ke rumah Darpa, Bun. Gak apa-apa kan?"
"Sama siapa?" Kini Ayah membuka suara. Dia menatap jam di dinding dan kembali menatap Andra.
"Sendiri,"
"Gak mau diantar?" Tawar ayah sekali lagi memastikan. "Sudah jam delapan malam, yakin mau sendiri?"
Andra berpikir sejenak, Ayah benar. Ini sudah malam, banyak bahaya di luar sana. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Sebaiknya memang Ayah mengantarnya ke rumah Darpa. Selepas dari lebih aman, Ayah juga bisa memastikan ia selamat sampai tujuan.
"Yaudah..." Seru Andra pelan, "Diantar Ayah aja."
Ayah tersenyum, pun dengan Bunda. Akhirnya Andra diantar oleh Ayah ke rumah Darpa, Bunda tidak ikut. Dia lebih memilih berdiam di rumah dan tidur. Sebaiknya memang seperti itu.
Sepanjang jalan, Andra tidak bersuara. Memilih untuk bungkam. Banyak pikiran dalam kepalanya, salah satunya; apa yang akan ia lakukan jika nanti bertemu Darpa? Apa ia akan langsung menanyai maksud cowok itu merajuk, atau... menanyai kabarnya yang membuat rindu melanda seketika.
Ayah melirik Andra sejenak, beliau terkekeh pelan. Ayah tidak tahu permasalahan yang Andra hadapi karena memang ia tidak pernah cerita dengan beliau. Tapi berbeda jika ayah mengetahuinya dari Bunda. Mereka kan, suka sekongkol.
"Kamu ada masalah ya sama Darpa?" Tanya Ayah memecah keheningan. Andra berdeham, berusaha terlihat baik-baik saja di depan Ayah walau ia tahu, Ayah pasti tahu tentang kondisinya.
"Enggak, Yah. Aku gak ada masalah sama Darpa. Mungkin cuma sekedar salah paham. Biasalah, namanya juga remaja." Sahut Andra terkekeh pelan. Berusaha setenang mungkin. Padahal dalam hati sudah mati-matian tidak menjerit.
"Ayah harap sih, kalian nggak ada masalah. Karena gimana juga, keluarga kita saling deket. Gak enak kan kalo sampe ada masalah?" Andra tahu, dalam kalimat Ayah barusan ada makna untuk ia yang tetap baik-baik saja dengan Darpa. Tidak boleh bertengkar, tidak boleh musuhan.
"Iya Ayah, aku juga mengerti." Balas Andra tersenyum. Senyum yang jelas ia paksakan karena tidak mau membuat Ayah khawatir dengan keadaannya.
"Oke," Ayah mengelus puncak kepala Andra. Ia tersenyum, kali ini tulus dari dasar hatinya. Ayah memang hero paling hebat yang ia punya.
*****
Mobil yang Ayah bawa sudah sampai di rumah Darpa. Gerbang terbuka, karena memang Pak Tedi, satpam rumah Darpa cukup mengenal mobil Ayah sehingga memudahkan ayah untuk masuk ke perkarangan rumah Darpa.
"Malam Pak Tedi," sapa Ayah pada Pak Tedi. Andra tersenyum kala Pak Tedi menyahut sapaan Ayah.
"Ayah tungguin atau gimana?" Tanya Ayah pada Andra. Mobil sudah berhenti dan Andra siap turun. Andra terdiam, memikirkannya sejenak. Jika Ayah menunggunya, takutnya nanti malah kelamaan. Jika Ayah pergi nanti Andra kembalinya... Ah, tidak penting.
"Ayah pulang aja, aku nanti pulang sama Darpa."
"Yakin sama Darpa?"
"Hm.." gumam Andra ragu, lalu mengangguk. "Iyaa, nanti aku usahain agar pulang sama Darpa. Ayah gak perlu khawatir, ya."
"Ya sudah, kamu hati-hati." Seru ayah sebelum pergi. Untungnya Andra benar-benar sudah bertekad untuk menemui Darpa jadi tidak akan ragu lagi tentang bagaimana pulang nanti.
Setelah berpamitan dan menatap mobil Ayah yang sudah tidak terjangkau pandangan, Andra memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Ia menekan bel yang berada di sisi kanannya, beberapa detik kemudian pintu terbuka. Tampaklah Lisa, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik. Lisa tersenyum menyambutnya hangat.
"Loh, Andra. Tumben banget dateng malam-malam begini." Tanya Lisa, bingung.
Andra tersenyum, tidak menyahut. Membiarkan Lisa mengajaknya masuk ke dalam rumah hingga mereka berdua berhenti di ruang tamu. Ternyata di sana ada Bagas; Ayah Darpa dan Darpa yang masih tidak peduli dengan kedatangan Andra.
"Lihat siapa yang datang!" Seru Lisa senang. Bagas menoleh dan tersenyum pada Andra, ia pun membalas senyumnya. Tapi tidak dengan Darpa, cowok itu masih enggan menatapnya.
"Darpa," panggil Lisa karena sadar jika Darpa tidak peduli dengan kedatangan Andra.
Darpa menoleh dengan sebelah alisnya yang naik, terlihat menyebalkan. Sebisa mungkin Andra menahan tawa agar tidak keluar. Karena baginya, wajah menyebalkan Darpa sama sekali tidak terlihat menyebalkan, justru malah terlihat aneh dan menggemaskan.
"Ada Andra, kok kamu malah diam aja." Lisa berkacak pinggang menatap putranya.
Karena tidak ada pergerakan, Lisa semakin dibuat kesal. Andra hanya menunduk, ragu. Tidak berani untuk menatap Darpa lebih lama lagi. Tidak bisa, sebelum mereka berdua berbaikan.
Bagas yang sadar jika di antara kami berdua sedang ada malasah memilih mengajak Lisa ke kamar. Meninggalkan kami berdua saja di ruang tamu. Andra masih berdiri di sudut ruangan tanpa ingin menghampiri Darpa yang acuh tak acuh padanya. Kenapa rasanya sesakit ini? Berada dalam satu ruangan, tapi tidak bisa berkata apa-apa.
"Ngapain di situ? Duduk!" Suara Darpa akhirnya terdengar. Suara berat itu menginterupsi Andra untuk segera duduk. Perlahan, gadis itu jalan ke arah Darpa.
Darpa masih fokus dengan ponselnya, tidak menatap Andra atau melirik. Dia seperti tidak peduli jika ada makhluk hidup lainnya di sisinya. Dia terlihat sangat tidak peduli.
"Duduk, Ndra. Kamu ngapain berdiri di situ?" Celetuk Darpa menatap Andra. Suaranya rendah, mengalun jelas di telinga Andra. Ia menahan napas sejenak, ini seperti mustahil.
"Iya..." Sahutku susah payah. Aku duduk di sofa sebrang Darpa. Mata kami bertemu, saling menubruk. Tak ada senyum, hanya mata yang saling berkomunikasi. Terlihat jelas pancarannya mata itu, mata legum yang ia rindukan.
"Ada apa?" Tanya Darpa, masih belum tersenyum. Tapi nada suaranya rendah sehingga membuat Andra nyaman mendengarnya.
"Aku..."
Darpa menunggu ucapan Andra yang setengah-setengah, Andra bingung ingin bicara dari mana dan bagaimana. Sebab ia pun tidak begitu tahu apa yang menjadi permasalahan di antara mereka berdua. Jika boleh memilih, Andra lebih memilih untuk berdiam bersama Darpa tanpa harus mengutarakan apa yang ia rasakan hari ini dan membuat Darpa merasakan apa yang ia rasa. Tidak, Darpa tidak boleh merasakan apa yang gadis itu rasakan.
"Andra..." Panggil Darpa pelan, "Sini," Darpa menepuk sofa di sebelahnya. Membuat kening Andra berkerut.
"Duduk di sini aja, gak usah di sana." Lanjutnya tersenyum.
Andra menahan napas, senyuman itu akhirnya lolos dari bibirnya. Senyuman yang selalu menjadi daya tarik gadis itu. Darpa benar-benar meengerti Andra. Andra beranjak dan pindah duduk di sebelah Darpa. Cowok itu masih tersenyum menatapnya tanpa henti. Ah, sungguh. Rasanya sangat tenang.
"Darpa..." panggil Andra pelan.
"Hm?"
"Kamu marah sama aku?"
"Enggak, kata siapa?" Sergah Darpa tersenyum.
"Terus kenapa kamu--"
"Ninggalin kamu?" Darpa memotong ucapan Andra, ia terdiam, memandang Darpa dalam. Ah, cowok itu...
"Iya... Kenapa kamu malah ninggalin aku? Kalau kamu marah, kamu gak seharusnya pergi gak bilang kayak gitu. Aku nungguin kamu Darpa..."
Darpa terkekeh pelan, cowok itu menarik tangan Andra dalam genggamannya. Darpa tersenyum menatap gadis itu, senyumnya mampu membuat detak jantung Andra berlomba.
"Kamu salah," ucapnya. "Aku gak marah sama kamu, enggak sama sekali. Mungkin, saat itu aku beneran kalut. Aku juga gak paham sama diri aku sendiri, kenapa aku bisa kayak gini."
"Aku... gak suka liat kamu sama cowok lain. Pun cowok itu gak aku kenal." Sambungnya pelan.
Jelas, itu sudah jelas. Permasalahannya ada di Akbar. Jika di pikir memang belakangan ini Akbar menjadi dekat dengan Andra tapi Darpa tidak mengetahuinya. Darpa juga tidak tahu jika Akbar adalah orang dari masa lalu yang kembali hadir setelah beberapa tahun berjalan. Sepertinya memang benar, Andra yang salah. Andra yang tidak bercerita padanya, tapi ia pun takut Darpa tidak menerima penjelasannya.
πππππ
Lucu banget Darpa sama Andra ini
Comment on chapter Sahabat