•••••
Percayalah, menyimpan rasa itu tidak semudah menatap wajah orang yang kita sukai. Kita harus bisa berpura-pura kelihatan tetap baik-baik saja di dekatnya.
πππππ
"DARPAA!!"
"KAK DARPAA!!"
"DARPA SEMANGAT DARPAA!!"
"KAKK DARPA SEMANGAT YA!! KITA DUKUNG KAK DARPA TERUS KOKKK!!"
Andra menutup telinganya yang terus mendengung karena mendengar teriakan demi teriakan yang terlontarkan oleh anak seangkatannya dan adik kelas yang mengagumi Darpa. Pandangan Andra tak lepas dari Darpa yang berada di tengah lapangan, sedang bermain sepak bola bersama teman satu kelasnya. Di sana, mereka sedang melakukan pertandingan persahabatan antar kelas dan kebetulan kelas Andra sedang bermain melawan kelas 12 IPA 1. Tapi kejutannya, banyak sekali cewek yang menyoraki Darpa dari atas tribun. Ya, sebisa mungkin Andra menahan sakit telinga yang terus berdengung keras akibat teriakan super dari mereka.
"Kak Darpa ganteng banget, asli!" Pekik adik kelas di sebelah Andra. Cewek iru terus memandangi Darpa yang sibuk mengoper bola ke teman satu timnya. Andra mendengus, sebal. Kenapa rasanya ingin sekali marah? Tapi ia cukup sadar diri, ia dan Darpa hanya sebatas sahabat.
"Ih, gila! Ganteng asli, rasanya mau gue bawa pulang terus gue umpetin di kamar biar gak ada yang ambil!" Celetuk teman gadis yang berada di sampingnya.
"Eh, Nanda. Ngaco aja lu!" Ceplos cewek yang berada di sebelah Andra pada temannya. Andra hanya mendengar percakapan mereka dengan berpura-pura tetap fokus pada pertandingan di hadapannya. Padahal, mata tertuju ke lapangan tapi telinga tertinggal di tribun.
"Dih, serius gue. Kak Darpa kegantengan sih jadi orang. Kan gue naksir," ceplos Nanda tertawa renyah. "Emang kenapa sih, Cel?"
Gadis yang dipanggil Cel itu hanya mendengus kasar, lalu kembali fokus pada pertandingan. Huh, padahal sudah sekuat tenaga Andra menahan rasa penasaran yang mendalam jika mendengar kata 'Darpa' terucap. Entah bagaimana rasanya, baginya itu sedikit mengganggu di indera pendengaran Andra.
"Lo sendirian aja?" Seru seseorang ikut nimbrung di sebelah kiri Andra. Andra tersentak, lalu tersenyum kikuk pada cowok yang menanyainya.
"Eh," pekik Andra. "Akbar, ya?"
"Iya.."
Andra diam, tidak menjawab lagi. Kemudian fokusnya kembali kepada Darpa di bawah sana. Ah, keringat yang mengucur di tubuhnya membuat cowok itu semakin menawan. Pantas saja banyak gadis dari kalangan mana pun yang tertarik padanya. Bahkan, berteriak memanggil namanya saja tidak malu.
"Lo pacaran sama kak Darpa, ya?"
"Kamu kenal Darpa?" Tanya Andra setelah mendengar nama Darpa disebut oleh Akbar. Sepertinya akan ada pembahasan yang menarik.
"Enggak sih, tapi denger-denger Darpa itu pacar lo. Habisnya, di mana pun ada lo di situ juga ada Darpa." Ucap Akbar terkekeh.
Andrade menahan senyumnya, ternyata banyak yang mengetahui kedekatannya dengan Darpa. Tapi tidak ada yang benar-benar tahu apa arti kedekatan yang ia jalani bersama Darpa. Mereka hanya tau, ia yang seolah kekasih Darpa.
"Kalo mau senyum, senyum aja. Gak usah ditahan. Gue tau, lo mau senyum kan?" Cetus Akbar melirik Andra.
Lantas membuat kedua pipi Andra merona. Andra tersenyum lalu mengangguk. Menunduk malu karena ketahuan menahan senyum.
"Gue gak ngelarang lo senyum. Lagian, senyum lo itu bagus. Bikin lo tambah keliatan cantik."
"Eh," pakik Andra. Ia melirik Akbar yang belum sadar dengan ucapannya. Merasa dilirik, Akbar akhirnya memandang Andra balik, cowok itu tersenyum dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kayaknya gue salah ngomong, ya. Sorry deh, gue takut malah jadi penyebab lo berdua berantem nantinya."
"Akbar, aku boleh tanya?"
"Tanya apa?" Akbar memandang Andra dengan kernyit di dahinya.
"Kamu kok bisa kenal aku, padahal aku aja gak kenal sama kamu."
"Hemm..." Akbar meminum es yang dibawanya tadi. Matanya menerawang ke atas seperti mencari jawaban atas pertanyaan mudah darinya. "Gue emang udah kenal sama lo. Tapi kayaknya emang lo nya aja yang baru kenal gue. Atau kalo gak gue tanya waktu di kantin, lo gak bakalan kenal gue, ya?"
Andra mengangguk, ucapannya memang benar. Siapa pun pasti akan sama seperti Andra, merasa bingung dengan seseorang yang langsung akrab menyapa, padahal mengenal saja tidak. Ingin membalas sapaannya tapi takut salah orang. Jadi serba salah.
"Lo inget gak, dulu pas lo masih kelas enam sekolah dasar, lo pernah nolongin bocah cowok agak gemuk gitu yang jatuh dari sepeda. Bocah itu nangis, terus lo bantu bangun. Sadar gak sih, itu gue."
Andra diam lagi, pikirannya menerawang ke beberapa tahun silam. Di mana ucapan Akbar seperti benar-benar pernah terjadi di kehidupannya. Apa iya memang begitu, ah, masa Andra sudah lupa?
"Yang mana, sih?"
Akbar tertawa renyah, pandangannya tak lepas dari wajah Andra yang terpapar sinar matahari. "Enggak usah dipikirin. Itu udah masa lalu, masa di mana gue gak tau apa-apa. Kalo diinget malah bikin gue tambah malu. Cuma yang harus lo tau, lo itu pernah nolongin gue. Dan gue gak pernah lupa sama wajah lo, apalagi sama bola mata hitam lo itu."
"Iyaa... udah masa lalu." Sambungnya menatap langit.
*****
Pertandingan selesai. Pertandingan dimenangkan oleh kelas Andra dengan skor 5-2. Selisih yang cukup dekat. Penonton mulai berhamburan keluar dari tribun, berpencar kemana saja. Tapi masih ada yang bertahan di tribun untuk sekadar mengagumi ciptaan Tuhan yang terlihat menarik di bawah sana. Sama seperti Andra, ia masih tertahan di atas sini bersama Akbar di sampingnya. Cowok itu bilang, dia mau menemani Andra hingga Darpa nanti datang menemuinya.
Andra sudah menolak saran Akbar secara halus, memberitahu cowok itu kalau biar Andra saja yang menunggu Darpa, karena hal itu sudah biasa untuknya. Berbeda dengan Akbar yang tidak bisa diam di sebelah Andra. Sedari tadi, Akbar memutar-putarkan kunci motor yang dia pegang. Berulang kali hingga benar-benar merasa bosan. Sedangkan Darpa masih berada di bawah sana, berkumpul bersama teman-temannya. Tentu saja Andra harus bergantian waktu untuk bisa berbicara dengan Darpa sebab dia yang sedang bersama teman-teman cowoknya.
"Kalau bosan, balik ke kelas aja. Gak usah temani aku di sini, Bar." Celetuk Andra menoleh pada Akbar.
Pergerakan kunci yang berputar itu terhenti. Akbar terdiam memberi sedikit jeda hingga akhirnya menoleh menatap Akbar, cowok itu tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Lalu kembali memutar kunci itu hingga benar-benar membuat Andra menghela napas pasrah.
Pusat perhatian Andra tetap tertuju pada cowok berbaju merah di bawah sana, cowok itu Darpa. Melihat tawanya yang lepas membuat senyumnya tercetak jelas. Tak peduli siapa yang menjadi penyebab tawa itu tercipta, yang jelas Andra tetap bisa menikmatinya. Andra tidak begitu memedulikan Akbar yang berada di sebelahnya karena memang bukan keinginannta atas kehadiran cowok itu. Itu sudah kemauannya, dia sendiri yang mau menemaninya di sini. Membuat dirinya sendiri terjebak dalam rasa bosan yang cukup panjang.
"Segitu sukanya sama Darpa?"
Andra menoleh saat ucapan Akbar menghamburkan lamunannya. Mengernyit bingung dengan maksud yang diucapkan Akbar. Cowok itu, sikapnya sangat aneh.
"Wajar, sih. Setiap waktu barengan terus. Walau pun bilang cuma sekedar sahabat, tapi tetep aja. Namanya perasaan, gak akan ada yang tahu kemana dia bakalan jatuh. Sekali pun sama sahabat sendiri. Iya kan, Ndra?"
Andra kaget. Ternyata Akbar juga mengenal namanya. Ia kira cowok itu hanya mengingat wajahnya yang pernah menolongnya dulu, katanya.
"Kamu tahu namaku?"
Akbar terkekeh geli, "Ya, jelaslah. Siapa si yang enggak kenal sama lo? Kakak kelas yang paling sering dibicarakan seantero sekolah."
"Loh, aku jadi bahan pembicaraan?" Pekik Andra kaget.
"Iyaa..." Balas Akbar. "Lo itu udah jadi trending di sekolahan tau. Apalagi lo yang selalu keliatan bareng terus sama Darpa. Lo juga sama-sama anggota OSIS, jelas hal itu semakin diperbincangkan."
"Aku takut," ucap Andra menunduk, takut.
"Loh, takut kenapa?"
"Mereka gak seneng ya aku deket sama Darpa? Kok sampe diomongin kayak gitu,"
"Bukan gak seneng," sahut Akbar tertawa renyah hingga matanya menyipit, cowok itu benar-benar terhibur dengan kepolosan Andra. "Mereka ngomongin lo berdua karena bangga. Lo itu disiplin banget sama aturan yang ada, walau dikenal galak. Sedangkan Darpa dikenal ramah dan juga baik. Siapa si yang gak suka sama lo? Pasti gak ada kan. Semuanya tuh kagum sama lo, dan Darpa. Menurut gue sih gitu."
"Kamu masih betah di sini?" Tanya Andra mengalihkan pembicaraan. Tidak mau terjebak terlalu lama dalam topik yang kurang ia sukai.
"Masih, selagi sama lo."
"Kamu gak bosan?"
"Bosan. Tapi kalo ada lo, rasa bosan itu menguap dengan sendirinya." Balas Akbar tersenyum. Membuat Andra terdiam tanpa sahutan.
*****
"Gila, Man! Tadi lo mainnya bagus banget!" Seru Aldi, teman satu tim dan sekelas Darpa.
Darpa terkekeh, "Yang bagus bukan cuma gue. Tapi lo semua bagus."
"Enggak, Man! Kali ini gue serius, beneran deh main lo bagus banget."
Darpa tertawa renyah, temannya memang hiperbola. Segalanya bisa dipuji berlebihan jika sudah dilihatnya. Seperti sekarang, Darpa selalu dipuji dengan kalimat-kalimat yang indah.
"Berlebihan banget sih lo, Al." Cetus Julian.
"Yee! Gue kan memuji teman sendiri. Emang salah?" Cerocos Aldi.
"Gak salah, cuma lo itu berlebihan. Hiperbola tau gak!" Sahut Julian memutar kedua matanya.
Darpa terkekeh, melerai keduanya. Dia takut jika pertengkaran kecil ini malah berakibat lebih lanjut lagi. Setelahnya mereka malah tertawa bersama dengan keringat yang masih menyatu dengan tubuh. Hingga tawa mereka terhenti dengan kedatangan Roji, lawan mainnya tadi. Anak kelas 12 IPA 1.
"Bro," tepuknya dipundak Darpa. Membuat cowok itu tersenyum tipis. "Selamat, ya. Lagi dan lagi kelas 12 IPS 3 menang. Gila! Kasih resep dong!"
"Resep apaan anjir!" Pekik Aldi terkekeh.
"Resep biar menang lah! Capek nih gue, main lawan kelas lo kalah terus!" Sahut Roji tertawa pelan.
"Main tinggal main, Bro." Celetuk Julian, "Yang penting usaha." Sambungnya tertawa.
Mereka kembali tertawa. Meski mereka berbeda jurusan, tapi mereka masih bisa berteman. Tidak ada pembatas antara keduanya. Apalagi jika dilihat, Roji anak IPA dan Darpa IPS. Keduanya tentu berbeda, tapi mereka masih bisa menghargai satu sama lain dan tidak membedakan. Memang sudah seharusnya seperti itu, bukan? Perbedaan ada untuk dihargai dan menghias hari-hari yang kelabu.
"Oh, iya. Dar, itu cewek lo?" Tunjuk Roji ke arah gadis yang berada di atas tribun. Gadis yang duduk berdua dengan seorang cowok yang tidak dikenal Darpa. Gadis itu Andra, sahabatnya.
Darpa menoleh, tentu saja. Ia terdiam sejenak ketika melihat keduanya asik bercanda. Ia tidak cemburu, tidak. Tidak mungkin kan cemburu pada sahabatnya sendiri? Tapi perasaan aneh apa yang sedang hinggap di dirinya?
"Ah, ngaco lo." Ceplos Aldi terkekeh, "Darpa mana punya cewek. Itu mah sahabatnya si Andra, bukan pacar."
Roji menatap Darpa penuh kernyit, Darpa tersenyum tipis tidak mau menyahuti percakapan mereka berdua. Cowok itu bukan tidak mau melakukan pembelaan, tapi ia sendiri bingung mau bicara bagaimana. Memang benar Andra itu sahabatnya, tapi perasaannya bilang jika Andra adalah miliknya.
"Serius bego." Ceplos Roji. "Gue sering liat Darpa sama tuh cewek bareng terus. Ya masa cuma sahabatan." Roji masih belum percaya jika Darpa dan Andra adalah sepasang sahabat.
"Bener." Timpal Julian berdiri. "Mungkin emang masih sahabatan, tapi liat aja kedepannya bakal tetep jadi sahabat atau lanjut ke lebih serius."
"Tua banget si Juli." Celetuk Aldi menggelengkan kepalanya. "Yaudah, balik aja deh. Gue balik duluan ya kawan."
Aldi pergi lebih dulu meninggalkan Darpa, Julian dan Roji yang masih bertahan di lapangan. Julian sibuk memasuki barang miliknya ke dalam tas, mempersiapkan untuk segera pulang. Tak lama, cowok itu pamit dan pulang.
Tinggallah Darpa dan Roji berdua. Masih memandang Andra yang bergurau dengan cowok di sebelahnya. Roji melirik Darpa, ia terkekeh pelan sambil menepuk pundak Darpa sebelum akhirnya benar-benar pamit untuk pulang.
"Kalo emang sayang, dijaga. Lo gak bisa nebak kapan dia pergi. Kalo diliat juga itu cowok deket sama Andra. Siapa tau kan... Siapa tau... Gak ada yang tau kan besok bakalan kayak gimana. Kejutan apalagi yang bakalan lo dapet. Hari ini, lo liat mereka bercanda. Jangan sampe besok lo liat mereka saling punya rasa."
Dan Darpa, berdiam seperti patung. Menyaksikan dua insan yang masih belum melihat ke arahnya. Darpa termenung dengan ucapan Roji, cowok itu ada benarnya. Jika dia tidak mengenggam Andra erat, Andra bisa pergi kapan pun. Tapi Darpa juga sadar, jika dia menggenggamnya terlalu erat, perlahan tapi pasti, Andra malah akan melepaskan diri dari genggaman itu. Darpa jadi merasa bimbang, penuh salah.
Darpa menutup matanya, menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ia kembali menatap Andra, mata mereka saling bertubrukan. Mereka saling tatap, Andra tersenyum, tapi beberapa detik kemudian Darpa membuang pandangannya. Membuat senyum Andra perlahan memudar dan dibarengi kernyit di dahinya. Darpa mengambil tas miliknya kemudian berlalu begitu saja tanpa mau menatap Andra lagi.
πππππ
Lucu banget Darpa sama Andra ini
Comment on chapter Sahabat