Dalam hati Kiran menjerit dan berdoa supaya Rhea membiarkan dirinya masuk ke dalam kamar. Dengan begitu ia bisa menjalankan misinya dan menyelamatkan Rhea.
“Masuk, Ran!” kata William.
“Lo yang punya kamar yah, Will?” sindir Rhea.
Namun Rhea menyingkir juga dari ambang pintu, membiarkan Kiran masuk. Hati Kiran berdetak cepat meskipun wajahnya tersenyum manis.
“Tumben Mama bikin nastar,” kata Rhea.
Tangannya sibuk mengambil kue dari toples sedangkan mulutnya sibuk mengunyah.
“Mau belajar bareng?” Kiran berusaha mengalihkan pembicaraan.
Ia sungguh tidak perlu tahu rencana geng Rhea lebih jauh lagi. Semakin banyak ia tahu, semakin banyak pula ia akan dimanfaatkan Black Hummingbird. Terkadang Kiran curiga sampai tahap paranoid karena sepertinya Black Hummingbird mengetahui semua gerak-gerik Kiran dan Rhea seolah-olah ia punya kamera-kamera tersembunyi di rumah Kiran dan Rhea.
“Nggak nih. Lagi nyusun rencana,” jawab Jaxon.
“Ooh gitu. Sukses yah.” Kiran pun melancarkan keahliannya, berbasa-basi.
Sungguh, ia tidak ingin tahu rencana apa yang mereka susun. Ia hanya ingin melancarkan misinya dengan sukses, yaitu menyelipkan surat hitam tersebut ke dalam jaket William.
“Jadi gimana nih?” tanya Rhea ketika mulutnya yang sibuk mengunyah sedari tadi sudah kosong.
“Masalahnya, Clayton ada di rumah. Dan dia pasti laporin bokap kalo Jaxon keliatan nongol di kamer gue.” William mulai membeberkan masalahnya.
“Kalo gitu, kita selundupin aja Jaxon ke kamer lo. Gue bantuin,” kata Rhea.
“Nggak segampang itu, Rhe. Lo belom pernah ke rumah gue sih. Di gerbang ada dua orang penjaga yang bawa pedang samurai. Rumah gue dibenteng setinggi tiga meter. Setiap jarak tiga meter ada penjaga yang bisa Aikido dan membawa kunai. Di depan kamer gue ditunggu seorang pembantu yang juga bisa bela diri. Gimana caranya Jaxon bisa masuk tanpa ketahuan,” kata William.
Mulut Rhea dan Kiran sukses menganga. Mereka tidak pernah menyangka seberapa ketat penjagaan rumah William. Kini mereka terbayang film-film samurai dan ninja jaman dulu, dimana tuan rumahnya dijaga dengan sangat ketat. Belum lagi para ninja dan samurainya nggak akan sungkan main tebas orang dan lempar-lempar benda tajam. Kan nggak lucu kalau Rhea nancep di tembok karena dilempar kunai dan shuriken. Lagipula tidak ada di antara mereka yang mau membiarkan Jaxon kena tebas. Bisa jadi perang dunia ketiga meletus di Bandung kalau pewaris tunggal klan Kim ditawan klan Nakamura.
“Apa gue nginep di rumah Bram yah?” Jaxon yang sudah pasrah pun membuka mulut dengan suara yang perlahan.
“Terus kalo Kegan nyerang lo gimana? Yang ada Bram kocar-kacir ke rumah gue bukannya ngelindungin lo!” Rhea tertawa geli ketika membayangkan Bram yang rusuh gedor-gedor rumahnya karena Kegan nongol. Sayangnya, tidak ada satu pun dari ketiga orang itu yang ikut tertawa. Coba aja kalau ada Bram di sini, pasti dia udah ngakak habis-habisan, pikir Rhea.
“Rumah Mas Clyde aja gimana?” Kiran bersuara dengan halusnya.
Rhea bengong, disusul Jaxon dan William.
“Lo..Lo..Sejak kapan lo sama Clyde pacaran?” Rhea tergagap.
“Eh? Aku nggak pacaran sama Clyde kok, Rhe. Mas cuma guru aku doang kan?” tanya Kiran salah tingkah. Wajahnya memerah karena malu dan tangannya bergerak-gerak memainkan kalung kupu-kupunya yang berwarna biru.
“Oh, Tuhan!” Rhea menjatuhkan kepalanya ke meja kayu yang memang sedang dikelilingi Rhea dan teman-temannya.
“Kenapa Rhe?” tanya William.
“Cilaka ini!” Rhea bergumam dengan wajah yang masih menelungkup di meja sehingga suaranya terdengar seperti orang lagi sikat gigi.
“Cilaka gimana? Apa yang lebih cilaka dari nyelundupin Jaxon ke rumah gue?” kata William. Akhir-akhir ini memang William suka lola alias loading lama.
Rhea mengangkat wajahnya dan menatap Kiran dalam-dalam.
“Clyde udah ngapain lo?” tanyanya dengan serius.
Kiran yang makin salah tingkah pun menjawab,” Dia cuma megang..”
“Dia udah megang-megang lo?!” Suara Rhea meninggi seraya diiringi gebrakan meja. Sontak saja Kiran terlonjak karena kaget.
“Eh bukan gitu. Dia cuma..”
“Itu sih nggak cuma, Ran! Gue nggak nyangka yah ternyata lo segampang itu? Ck..”
“Dia cuma megang tangan aku beberapa detik. Ngambil hape aku,” kata Kiran dengan lugunya. Kepalanya tertunduk malu dan wajahnya semerah kepiting rebus.
Rhea dan William bengong. Mereka sampai-sampai tidak berkedip selama kurang lebih lima detik karena tidak sukses mencerna perkataan Kiran.
“Maksud lo dia nggak pernah megang badan lo?” tanya Rhea akhirnya.
“Eh…Kayaknya nggak.”
“Kok kayaknya? Yang bener dong, Ran!” William ikut-ikutan panas mendengar jawaban Kiran yang polosnya kelewatan.
“Anu.. Tangan termasuk badan kan, Rhe?”
Lagi-lagi Rhea sukses face palm saking speechless-nya.
“Tahu ah! Gue dah nggak bisa ngomong ngadepin lo! Ngomong ma dia gih, Will!” kata Rhea sembari menegak teh jahe dengan rakusnya.
“Aku belajar lagi deh yah. Baru inget Clyde ngasih PR Kimia. Aku belum sentuh,” kata Kiran, masih dengan kepala tertunduk dan rambut yang menutupi sebagian wajahnya.
Rhea pun mendengus, ”Udah sana-sana!”
Kiran berdiri dan beringsut menuju pintu tanpa menoleh sekali pun karena kepalanya sibuk ngeliatin lantai alias nunduk. Pintu ditutup perlahan dan Kiran pun menghembuskan napas lega.
“Kenapa, Ran?” Suara Mama membuat jantung Kiran nyaris berhenti seolah-olah ia adalah maling ayam yang baru aja ketangkap basah sama hansip kampung.
“Eh, nggak papa kok Ma. Aku belajar yah!” Kiran ngacir ke kamanya dan buru-buru menutup pintu sebelum Mama sempat bertanya lebih jauh.
“Satu..Dua..” Sebelum Kiran selesai menghitung, hapenya berbunyi.
“Gimana misi lo?” tanya wanita berkode Black Hummingbird dengan nada penuh otoritas.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog