Rhea berjalan gontai menuju sekolah karena hampir semalaman ia tidak bisa tidur. Rasanya surat-surat hitam itu menerornya bahkan dalam tidur. Lebih parahnya lagi, motor Rhea bahkan hampir nyungsep ke pintu angkot yang lagi nurunin penumpang! Baru kali ini ia kehilangan kendali atas motornya.
“Rhe! Lo gila yah?!” suara Bram memecah pikiran Rhea, menyelematkannya dari terror Black Hummingbird di dalam otaknya.
“Pagi, Bram!” jawab Rhea dengan nada sangat nelangsa.
“Kenapa lo? Digigit zombie?” tanya Bram sambil menepuk pundak Rhea.
“Nggak! Diisep burung kolibri!” jawab Rhea dengan nada yang tidak jadi lebih ceria sedikit pun bahkan setelah mendengar joke garingnya Bram.
“Aduh, Rhe! Nggak usah dipikirinlah! Kan Kiran sekarang dah aman. Biar Clyde nggak jago-jago amat berantem, seengganya dia bisa ngelindungin Kiran sambil ngajarin dia. Paling nggak, Cassanova kita satu itu bisa manggil satu pleton tentara wanita buat ngecover dia ma Kiran. Well, itu pun kalau Kirannya belum dijadiin Prisoner of War sama penggemar Clyde,” jelas Bram panjang lebar. Sayangnya, ketika Bram selesai ceramah, orang yang diceramahi sudah berjalan setidaknya lima meter di depannya. Masih dengan cara jalan yang lebih mirip zombie di film the Walking Dead daripada panglima perang.
“Woy! Lo dengerin gue nggak sih? Udah susah-susah sok puitis juga!” protes Bram.
Ia berlari mengejar Rhea dan merangkul gadis itu asal. Bram memang tidak pernah memperlakukan Rhea seperti cewek.
“Apa lagi, Bram?” tanya Rhea, tidak bersemangat.
“Gue tadi mau ngomong..”
“Ngomong apa?”
“Ehm..Gue lupa.” Bram terkekeh seraya menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.
Rhea yang biasanya pasti sudah memukul pundak Bram sambil bercanda. Namun Rhea versi zombie yang sekarang berjalan di sisinya sama sekali tidak bereaksi.
“Akunya diwaro dong, Rhe!” Bram menggelayut tangan Rhea dengan manja, berharap akan dibogem sama cewek tomboy ini. Lagi-lagi, Rhea tidak bereaksi. Ia tetap berjalan lurus dengan Bram yang sekarang diseret di belakangnya, padahal tinggi tubuh Bram jauh di atas Rhea yang bisa terhitung mungil.
Bram tidak menyadari bahwa dari jauh ada sepasang mata yang memperhatikan dirinya dan Rhea. Bukan hanya memperhatikan, sepasang mata itu menatap mereka tajam-tajam. Jika mata itu laser, pasti tubuh Bram dan Rhea sudah bolong-bolong.
“Sialan! Udah gue bilangin kalo Rhea itu punya gue!” Tembok yang tadinya digunakan sebagai tempat persembunyian pun berubah fungsi jadi samsak.
“Tenang, Will! Bram temen kita. Dia tahu kok posisi lo sebagai kandidat pertama buat dapetin sang tuan puteri,” Clyde yang sedari tadi berdiri di belakang William dengan setia pun berusaha menenangkan sahabatnya itu.
“Terus kenapa dia coba-coba manja-manjaan gitu sama dia, Clyde?!” tangkas William.
“Karena lo nggak pernah ngapus aturan konyol yang lo bikin sendiri, Will. Kalo lo apus kan lo punya kesempetan deketin Rhea sekaligus nunjukkin sama Bram kalau lo yang punya kuasa,” kata Clyde, masih dengan nada tenang dan kepala dingin. Ia tahu benar, William tidak bisa dihadapi dengan keras. Api lawan api tidak pernah berakhir dengan damai. William menggeram dan memukul tembok tak berdosa itu sekali lagi.
“Inget, Will! Bram temen lo dari kecil!” kali ini Clyde terdengar seolah ia tidak lagi berada di pihak William. Ia berusaha memperingatkan William agar tidak gegabah.
Tindakan Clyde sebenarnya beralasan mengingat WIliam, Bram dan Clyde sudah bersahabat sejak mereka masuk TK. Clyde hanya berusaha bersikap diplomatis dan tidak berpihak pada salah satu sahabat. Namun karena William kali ini benar-benar jatuh cinta dan Bram sama sekali tidak berusaha menjauhkan diri dari Rhea seperti yang Clyde lakukan, posisi Clyde menjadi lebih sulit. Terkadang ia berharap ia bisa menjadi Jaxon. Yang selalu tenang dan belum kenal William dan Bram selama Clyde mengenal kedua makhluk yang sangat bertolak belakang itu sifatnya.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog