Telepon rumah berbunyi nyaring. Dengan tergopoh-gopoh, Bibik berlari untuk mengangkat telepon itu sebelum bosnya berteriak marah.
“Halo?”
“Halo, Bik. Kiran di rumah?” tanya Rhea.
“Eh, Non Rhea. Anu.. Non Kiran lagi bimbel deh non kayaknya,” jawab Bibik dengan santainya.
“Bimbel?”
“Iyah, Non.”
“Udah dibilangin jangan bimbel masih juga ngeyel!” geram Rhea.
“Eh, kenapa non?” tanya Bibik dengan takut-takut.
“Nggak papa, Bik. Rhea tutup dulu.” Rhea pun menutup teleponnya tanpa mendengar jawaban Bibik lagi.
Dengan buru-buru, Rhea mencari nomor Kiran di hapenya.
“Nggak diangkat lagi!” gerutu Rhea.
“Sabar, Rhe. Kalau Kiran lagi bimbel pasti hapenya di-silent,” William yang biasanya tegas berubah lembut di depan Rhea. Selalu. Lagi-lagi Clyde dan Bram hanya tukar pandang penuh arti. Mereka tahu benar bahwa berdasarkan kode geng, nggak ada satu pun yang boleh pacaran sama Rhea. Sebenarnya peraturan itu dibuat oleh William sini. Jadi baik Clyde maupun Bram nggak bisa ngomong apa-apa. Jaxon? Dia sama sekali nggak peduli sepertinya.
“Itu anak maunya apa sih? Gue nggak peduli lagi ah! Biarin aja!” kata Rhea sambil memutuskan sambungan telepon dengan frustasi karena orang yang berusaha dihubungi sama sekali tidak mengangkat teleponnya.
“Kita cari pelan-pelan deh,” kata William.
“How?” tanya Rhea yang jelas-jelas sudah kehilangan kesabarannya.
“Clyde, lo tanya Cherris. Jaxon, lo cari tahu tentang pengkhianat-pengkhianat itu! Bram, lo temenin Rhea ke tempat bimbel Kiran. Gue bakal geledah sekolah,” perintah William.
“Siap bos!” Clyde dan Bram menjawab bersamaan. Dengan tenang, Jaxon mengangguk kemudian berjalan pergi.
“Ngomong-ngomong, bos. Kita nggak tahu di mana tempat bimbelnya Kiran, bos,” lapor Bram dengan tampang tidak bersalah kepada William. Tentu saja ia mendapat jitakan di kepala dari Clyde sebagai hasilnya.
“Makanya gue suru Clyde tanya Cherris. Lo kira gue ngirim si Clyde buat ngegombalin si tante girang?” cetus William. Tentu saja Bram cengar-cengir mendengarnya.
“Begitu lo denger dari Clyde, langsung jalan yah!” perintah William lagi.
“Siap, bos!” Bram menggerakan tangan kanannya ke dahi seolah memberi hormat.
Sepeninggalan William dan Clyde, Rhea dan Bram berdiri dalam diam menghadap kantin sekolah yang mulai kosong. Jam memang sudah menunjukkan pukul tiga siang sehingga kebanyakan murid-murid sudah pulang. Sebelum Bram sempat protes karena bosan menunggu, Clyde mengirim SMS.
“Okay, gue dah dapet alamatnya,” kata Bram.
“Bagus! Cabut, Bram!”
“Emangnya gue supir lo!” protes Bram. Tanpa Bram sadari, ia selalu sukses menghibur Rhea, walaupun sedikit. Bahkan mungkin Rhea sendiri pun tidak tahu.
Mobil sport Bram tidak bergerak cepat karena jalan menuju tempat bimbel Kiran ternyata sangatlah berbatu dan penuh dengan lubang-lubang besar. Untuk sebuah mobil sport yang bampernya hampir menyium aspal, jalan di Bandung memang tidak telalu bersahabat.
“Cepetan dong, Bram!” protes Rhea.
“Sabar dong, Rhe! Ini jalannya penuh lobang gini!” jawab Bram.
“Suru bokap lo aspal-in lagi lah!” Rhea asal jawab mentang-mentang dia tahu Papanya Bram sangat kaya raya. Sebagai anak tunggal keluarga yang memonopoli minyak bumi dan retail, Bram bisa mendapatkan apa pun yang dia inginkan.
“Gue juga maunya sih gitu!” jawaban Bram sama sekali nggak lebih logis daripada Rhea.
Perjalanan yang penuh derita batin itu diakhiri dengan Rhea yang menemukan Kiran sedang berdiri dengan buku tebal dipeluk di depan dada. Dengan cepat Rhea membuka jendela mobil dan berteriak, “Heh! Lo! Masuk mobil! Cepet!”
Kiran hampir terlompat saking kagetnya dibentak di pinggir jalan. Dengan gemetar dan takut-takut, Kiran mendekati mobil Bram yang sudah menepi.
“Rhe…”
“Apa?!” bentak Rhea pada Bram.
“Mobilnya cuma muat dua orang,” jawab Bram dengan senyuman tak bersalahnya lagi.
“Kalo gitu lo keluar-lah!” seru Rhea tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Kiran terlihat sangat takut dan menatap Bram dengan penuh rasa sesal tapi Bram tetap nyengir.
“Araseo,” kata Bram dalam Bahasa Korea, mengikuti gaya Jaxon ketika bicara dengan ayahnya.
“Araseo-araseo. Kalau ngerti cepetan dong keluar,” kata Rhea.
Bram membuka pintu dan beringsut keluar. Rhea bergeser dan pindah ke kursi pengemudi untuk memberi tempat bagi Kiran di kursi penumpang. Bram memutar ke arah kursi penumpang, membukakan pintu untuk Kiran dan menepuk pundaknya.
“Good luck yah! Semoga lo sampe rumah.. Dalam keadaan utuh!” bisik Bram. Kiran semakin memucat dan dengan gerakan terpatah-patah ia masuk ke dalam mobil dan memakai sabuk pengamannya.
Mobil dipacu Rhea begitu pintu ditutup oleh Bram. Kiran yang tidak terbiasa naik mobil sport apalagi ngebut, memejamkan matanya dan komat-kamit merapalkan doa. Sesampainya di rumah Bram, Rhea menghentikan mobil. Namun ia tidak keluar dari mobil melainkan membiarkan mobil itu terparkir di halaman.
“Sorry, Rhe. Aku harus masuk. Kemarin aku minta cuti sama gurunya katanya nggak boleh. Aku masih belum bisa banyak materi,” kata Kiran dengan kepala tertunduk.
Jantungnya berdetak kencang dan cepat karena takut. Ia tidak tahu apa yang mungkin akan Rhea lakukan padanya. Sejak ‘kejadian itu’, Rhea menjadi semakin galak, dingin dan kasar pada Kiran.
“Lo ngerti nggak kalau ada orang yang mau berusaha nyulik atau nyakitin lo?” kata Rhea dengan suara yang ditekan kuat-kuat untuk menyembunyikan emosinya.
Kiran bingung harus mengangguk atau menggeleng. Kalau ia menggeleng, Rhea mungkin akan meledak. Kalau ia mengangguk, Rhea akan tahu kalau Kiran menguping kemarin. Bukan lagi meledak, Rhea mungkin membunuh Kiran di tempat karena sudah mengganggu privasinya.
Berharap mati-matian bahwa Rhea nggak akan menyadari kebohongannya, Kiran pun menggeleng.
“Lo nggak bisa pelajaran apa sih?” tanya Rhea. Suaranya lebih tenang dari pada sebelumnya.
“Ehm..Itu.. Kimia.”
“Kimia aja?” tanya Rhea.
“Sama Fisika, Biologi sama Matematika,” lanjut Kiran sambil meringis.
“ITU SIH SEMUANYAAAA!!” Rhea semakin frustasi melihat wajah Kiran yang meringis tidak bersalah seolah ia sama sekali tentang kasus peneroran Rhea.
Rhea menghembuskan napas dalam-dalam.
“Gue minta Clyde ajarin lo,” katanya akhirnya.
“Bimbelnya?” tanya Kiran ragu-ragu.
“Berhenti,” kata Rhea dengan nada memerintah.
Kiran mengangguk cepat tanpa melihat mata Rhea. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa Rhea begitu marah. Ia tahu kalau Rhea sedang diteror dan dia-lah umpannya. Tapi selama ini Kiran kira Rhea sama sekali tidak peduli padanya. Bahkan Kiran yakin bahwa Rhea benci mati sama Kiran. Tapi ternyata, masih ada sedikit bagian diri Rhea yang peduli sama Kiran. Diam-diam ia tersenyum.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog