Bandung, tahun 2016
“Rhea, keluar kamu!” suara menggelegar terdengar dari kelas XII-IPA-2 SMAN 3 Internasional Bandung.
“Ck. Berisik amat sih, Pak! Orang saya cuma tidur bentar juga!” protes gadis remaja berusia tujuh belas tahun yang walaupun sangat cantik, terlihat urakan.
“Apa kamu bilang? Cuma tidur doang?” Wajah Pak Angga memerah karena menahan emosi. Dahinya yang lebar karena rambut yang sudah membotak membuat kedutan-kedutan uratnya terlihat jelas. Mau tidak mau Rhea jadi memperhatikan dahi Pak Angga, takut kalau urat itu putus saking marahnya sang guru.
“Haduh, Bapak lebay banget sih!”
“Rhea.. Cepet keluar kelas saya..Sekarang!” Suara Pak Angga terdengar lebih perlahan namun intonasinya yang diberi tekanan di sana sini menunjukkan bahwa emosinya jelas-jelas tidak lebih tertekan. Bahkan mungkin akan meledak jika Rhea tidak menurut.
“Ck..” Rhea bangkit berdiri dan berjalan dengan malas-malasan keluar kelas diiringi pandangan teman-teman sekelasnya. Sepertinya kejadian ini sudah tidak asing bagi murid XII-IPA-2 SMAN 3 karena beberapa murid terlihat geleng-geleng kepala. Di antara pandangan lelah murid-murid, terdapat empat orang cowok yang tersenyum lebar seraya lempar-lemparan kode melalui mata mereka.
“Pak, kalau Rhea keluar saya juga!” salah seorang cowok itu berdiri.
“William, duduk kamu!” Pak Angga yang emosinya sudah siap meledak seperti bom atom pun memukul papan dengan penggaris kayu satu meter yang sedari tadi memang sudah dicengkeramnya.
Alih-alih duduk, William berjalan santai melewati sang guru yang dadanya bergerak naik turun menahan emosi.
“Guys, cabut!” seru William. Tiga orang cowok lain berdiri dan berjalan santai mengikuti William keluar dari kelas.
“Sorry, bro!” Cowok yang wajahnya paling tampan di antara keempat cowok itu menepuk pundak Pak Angga yang segera ditepis guru itu.
“Lama amat sih kalian!” Rhea yang sedari tadi berdiri di depan kelas protes karena menurutnya keempat temannya itu terlalu lama mengikutinya keluar kelas.
“Sorry, Rhe. Si Angga rese soalnya. Marah-marah sampe mau jantungan gitu kan gue jadi takut ketempuhan kalo dia sampe pingsan,” jawab William.
“Lo juga, Clyde. Pake basa-basi,” kata seorang cowok yang pembawaannya tenang dan paling penuh karisma di antara keempat pria tampan pentolan SMAN 3.
“Kayak lo nggak tahu Clyde aja, xon. Paling-paling dia cuma iseng ngecek seberapa marah si Angga,” Bukannya Clyde, malah Bram yang menjawab pertanyaan Jaxon tersebut.
“Udah ah. Bosen bahas si Angga. Nanti dia ngerasa penting lagi!” kata Rhea.
“Bener-bener. Cabut!” seru William seperti bos.
“Rumah lo yah, Bram! ”Clyde menepuk bahu Bram.
“Okeh!” Bram menjawab seraya menepuk balik bahu Jaxon.
Brahmana Megajaya, cowok paling kaya di SMAN 3 Internasional memang terkenal karena rumahnya yang besar seperti istana. Letaknya yang strategis, di jalan Ciumbuleuit, membuat rumah Brahmana alias Bram menjadi markas Rhea dan kawan-kawan. Apalagi rumah tersebut dilengkapi ruang khusus nongkrong dan kolam renang super besar. Ruang nongkrong tersebut dinamakan Black Hummingbird karena ada gambar burung kolibri besar berwarna hitam di temboknya. Entah arsitek terkenal mana yang mendesain kamar tersebut.
“Aaah. Akhirnya pulang juga,” Bram menghela napas seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa berwarna hitam di ruangan Black Hummingbird.
“Eh, satu round yuk!” Clyde mengedikan kepalanya ke arah meja billiard.
“Males ah,” jawab Bram.
“Taruhan deh taruhan.” Clyde tetap memaksa.
“Kalo gue menang. Cewek lo, si Cherris, buat gue,” kata Bram sambil nyengir.
“Alaaah. Cherris doang. Ambil lah!” kata Clyde.
Bram yang mulai tertarik akhirnya bangkit berdiri dari sofa dan bergerak menuju meja billiard. Clyde memang terkenal playboy. Kabarnya Cherrisa, cewek paling cantik di SMAN 3 udah ngejar-ngejar Clyde dari bertahun-tahun yang lalu. Akhirnya Clyde mau juga karena kebetulan dia baru putus dari ratu ‘mean girls’-nya SMAN 3, Ara.
@Kang_Isa Thank you so much! Salam kenal juga, Kak! Nanti aku mampir yah ke cerita Kakak!
Comment on chapter Prolog