“Huhuhu ...”
Pagi itu, ketika mentari mulai naik ke singgasananya, menyambut hari dengan bahagia. Burung-burung berkicau riang, hingga akhirnya terganggu akan seorang gadis yang menyembunyikan wajahnya di bawah pepohonan. Tubuh mungil dengan rambut pirang lurus sebahu, beradu dengan batang pohon yang mulai bergerak terkena angin. Jemarinya bergerak perlahan, telapak kakinya saling bertumpukan dan sesekali menghentakkan diri ke tanah. Desiran angin yang kuat tak lantas mempengaruhi dirinya, malah semakin membuat dia menikmati masa tenang dan menumpahkan segala emosi. Kala itu, di bukit yang menghijau pada musim penghujan, perempuan berkulit kuning cerah hanya sendirian menikmati sepi bersama sendu yang merayapi kalbu.
“Hei, hei, teman kecil. Bukankah hari ini terlalu indah untuk menumpahkan air mata?”
Perempuan tersebut menghentikan tangisnya sekejap, wajah dibalik kedua tangannya mencoba mengintip ke sekitar. Tidak ada orang, mungkin hanya perasaanku saja.
Ia kembali pada kegiatan awal, dan kali ini semakin kencang suara tangisnya. Cukup lama hingga dirinya tesentak oleh sebuah sentuhan. “Mama!” pekiknya spontan, hingga ia terjerembab dan jatuh ke hamparan rumput. Sebuah tangan menyambut dirinya, ia terkejut bukan main. “Siapa kamu? Menjauh dariku!” gertak gadis itu setelah memperhatikan detail manusia dihadapannya. Seorang lelaki yang mungkin tidak jauh berbeda umurnya dengan dia, cukup menawan dengan kulit cerah dan paras rupawan. Wajahnya pun seperti terbuat dari cetakan yang sempurna. Hidung mancung dan bola mata yang indah, dengan iris cokelat berbinar pada bola matanya. Tanpa terasa, pipi gadis itu merona.
“Aku hanya ingin membantumu. Lihatlah, wajahmu sudah seperti tomat matang sekarang. Hahaha.” Pria kecil itu tertawa kecil, namun tangannya tetap terulur dan tidak berpindah posisi. Dengan sungkan, akhirnya perempuan itu menerima uluran tangan yang datang kepadanya. “Namaku Ferd. Kamu kenapa menyendiri di sini? Oh, lihat bulir bening itu.” Jemari Ferd dengan lincah menyeka air mata gadis dihadapannya. Ia telaten dan lembut menghapus bekas kesedihan kawan kecilnya, bahkan terasa hingga ke dalam diri sang gadis. “Anak kecil seperti kita, tidak boleh meresapi kehidupan terlalu berlebih. Karena setelah dewasa nanti, masalah yang datang akan semakin banyak. Nikmati usia muda yang masih minim masalah.”
Perempuan itu menaikkan sebelah alisnya, “Eve,” katanya, yang dibalas tatapan penuh misteri oleh Ferd. “Namaku Evelyn, panggil saja Eve,” imbuh Eve untuk memperjelas kalimatnya. “Terima kasih.”
Ferd hanya tersenyum, yang menambah nilai plus, membuat ia bertambah manis. Kemudian dirinya bersandar pada batang pohon yang lantas diikuti oleh Eve. Pandangannya menyapu sekitar bukit, kemudian pada langit yang cerah di atas sana. Gumpalan awan yang bergerak memberinya ketenangan, apalagi diringi kepakan burung yang terbang kesana kemari mengikuti arah angin. Daun berguguran, menimpa sekeliling mereka seperti mengartikan hati Eve yang butuh rasa sunyi. Meski begitu, sesungguhnya gadis tersebut masih sangat penasaran dengan Ferd yang tiba-tiba saja datang ke hidupnya yang nelangsa. Apalagi di usia yang teramat muda, kata-kata bijak Ferd merupakan kemustahilan di umur mereka.
“Mari berteman,” ujar Ferd datar, dengan mata tertutup serta menengadah pada langit. Tubuhnya ia rebahkan, bersantai ria di antara ribuan kata tanya yang belum sempat Eve utarakan. Eve memang memiliki banyak teman, namun akhir-akhir ini karena hal buruk yang datang terus menerus ke hidupnya, membuat dia jarang bermain dan bergabung dengan yang lain. Eve merasa, ia hanya sendiri.
“Sudah kubilang, jangan dirasakan secara berlebih. Nikmati saja hembusan angin yang melewati,” sahut Ferd di antara keheningan, yang membuat Eve sempat tersentak. Ah, anak itu memang sulit diterka. Eve hanya sanggup mengangguk dan mengikuti gaya Ferd, dengan terlebih dahulu menyelonjorkan kakinya. Nyaman sekali, Eve bahkan dapat merasakan belaian dari udara yang selama ini tidak pernah dinikmatinya sedemikian rupa seperti sekarang. Atau, memang Eve terlalu merasa tertekan? “Anak kecil sudah seharusnya lebih menikmati hidup, apalagi jika Tuhan telah menyediakan semuanya. Itu kata mamaku.”
Ah, benar. Eve mengiyakan kalimat demi kalimat yang pria kecil itu sampaikan. Mamanya Ferd sangatlah bijak, pantas jika teman barunya ini sangat santai dan damai. Andai saja Eve bisa melakukan hal yang sama sejak dahulu. Hmmm .....
Tunggu, sepertinya ada satu hal yang dilupakannya. Dengan mata tertutup, Eve bergumam kecil, “Kau, dari mana?”
Belum sempat gadis itu mendapat jawaban, sebuah lengkingan yang menyakitkan telinga terdengar samar. “Eve! Go home now!” Ia mengerjap, lantas terkejut mendapati Ferd tidak ada di tempatnya. Kemana bocah itu, bukankah baru saja mereka berbincang?
Eve bangkit dengan rasa takut, berniat menghampiri ibunya sebelum dirinya menjadi bulan-bulanan oleh wanita itu. Rumah bukan lagi tempat yang paling membuatnya betah berlama-lama sekarang. Tidak ada canda tawa, berbagi cerita, suara televisi, bahkan pelukan saja kini menjadi momen langka. Ralat, sepertinya selamanya tidak akan pernah ada lagi. Semua berubah, sebab suatu hal yang tidak dia mengerti. Tentu saja, baru tujuh tahun dia hidup dan disuguhkan masalah orang tuanya.
Terlintas bagaimana ayah dan ibunya bergantian memangku Eve ketika menaiki ayunan. Dengan badannya yang mungil, ia bahkan mampu menyelinap ketika mereka duduk bersama di ruang keluarga sambil membaca majalah. Apalagi Eve sangat disenangi tetangga karena parasnya yang manis, ibunya selalu bangga membawa dia kemana-mana. Tapi sekarang, jauh berbeda. Jangankan mengajaknya jalan-jalan ke taman di akhir pekan, bertamu ke sebelah rumah seraya ibunya bergosip pun sudah tidak pernah. Eve tidak lagi memiliki alasan untuk bergaul dengan orang banyak, ia hanya sibuk memikirkan kenapa sikap dua orang yang sangat berharga dalam hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat.
“Ah!” Jari kakinya yang menyembul dibalik sandal jepit menyenggol sesuatu. Eve mengambil benda itu. Bentuknya persegi panjang dan keemasan, sebuah cokelat dengan topping kacang mede?
“C’mon, Eve! Kenapa kamu begitu lama?”
Eve panik melihat ibunya semakin mendekat, segera ia sembunyikan pemberian misterius itu di saku baju. Mungkin, mungkin saja Ferd tidak sengaja meninggalkan jajanannya disini. “I’m sorry, Mom.” Ia bahkan tak berani memandang wajah ibunya yang memerah, dengan mata membulat seperti hendak keluar dari tempatnya. “Go home!” perintah ibu muda tersebut seraya menarik terlinga Eve, dan gadis kecil itu hanya meringis serta turut mengikuti langkah sang ibu. Ia hanya berharap, suatu saat bisa bertemu dengan teman kecilnya itu lagi. Semoga saja.