Read More >>"> Di Hari Itu
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Hari Itu
MENU
About Us  


Deru kereta yang hendak bersiap meninggalkan stasiun malam ini mengusik lamunanku. Ku lemparkan pandangan ke luar jendela. Tak ada yang menarik. Cahaya dari lampu-lampu stasiun mulai lenyap, digantikan pekat yang menerobos malam.
Dingin menyergap tubuhku. Sepertinya akan turun hujan. Aku mencari-cari apa saja yang bisa menghentikan dingin ini. Gerakan tanganku terhenti sejenak, menatap sebuah sweater beludru cokelat yang berada di balik tasku. Ingatan akan hari itu tumpah lagi.
Pada hari itu juga langit terlihat mendung seperti akan turun hujan, meski pada hari-hari sebelumnya cukup cerah.
Dia masih duduk di kursi kafe tepat di hadapanku. Ia terus saja memutar sendok di cangkir espreso miliknya, entah apa tujuannya. Bola matanya menatap keluar jendela, memperhatikan segerombolan anak kecil yang berlarian saling mengejar di luar sana, tanpa senyum.
Rangkaian gerbong kereta semakin jauh membelah gelap, memecah kesunyian malam. Roda kereta berderit-derit menggilas rel, menelan orkestra jangkrik yang baru saja didendangkan. Barangkali jangkrik-jangkrik itu sudah lari lintang pukang, jeri mendengar bunyi rel bising.
Tak seperti bunyi roda kereta ini yang berderit-derit, dia justru berkutat dalam diam, asyik tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tak seperti kebanyakan pengunjung yang rebut berbagi cerita atau sekedar bersenda gurau; dia hanya terdiam di hadapanku. Ekspresi wajahnya kosong tanpa ekspresi.
Tetapi matanya menerawang. Jauh. Seolah-olah dia hanya duduk sendiri di ruangan itu. Pengunjung di kanan-kirinya hanyalah radio-radio tua yang terus menceracau, tak ia hiraukan. Bahkan aku yang sejak tadi mencoba mencairkan suasana pun tak ia gubris.
“Dingin, ya, bu. Coba mendekat sedikit, biar selimut ini cukup untuk kita berdua.” Penumpang di samping kananku—sepasang suami istri berusia paruh baya—saling berbagi selimut, bersiap untuk tidur. Perjalanan ini memang menghabiskan waktu yang panjang.
“Kenakan sweater-mu,” katanya pelan. “Aku tidak menduga cuacanya akan seburuk ini.”desahnya lagi.
Aku tercekat, gerakan tanganku terhenti .Aku belum mengenakan sweater-ku, terus memandanginya lekat-lekat. Apa yang baru saja dia katakan? Bukan, bukan isi ucapannya. Entah mengapa, kurasa ia tidak sungguh-sungguh mengatakannya. Ekspresi wajahnya mengatakan itu. Pikirannya melayang jauh, berada di tempat yang tak aku ketahui.
Tapi aku terlalu malas untuk menerka-nerka, mengijinkan angin menelisik ruangan ini, mengembalikan kesunyian kembali di antara kami.
“Kami masih punya selimut kecil, mau pinjam, nak? Malam ini pasti dingin sekali. Kita masih lama berada di sini sampai kereta tiba.” Penumpang wanita di sebelah kananku bertanya. Aku tersenyum, menggelengkan kepala. Jam di tanganku menunjuk angka sepuluh. Sudah setengah jam sejak kereta meninggalkan stasiun.
Sudah setengah jam pula berlalu sejak espreso di cangkirku tandas tak berbekas.
“Kau sendiri tak mengenakan baju hangat,” Aku membalas sarannya tadi.
Dia menggeleng, memaksa senyum. Ia mengalihkan pandangan ke arah jendela lagi. Akhir-akhir ini, ia bahkan tak menatap mataku saat sedang berbicara padaku. Ia menghembuskan napas berat, membuatku membeku dalam kesunyian ini. Memikirkan hal buruk yang tak seharusnya terpikirkan.
Aku tahu, di setiap hembusan napasnya yang berat, satu serpihan perasaannya untukku turut pergi bersama napas itu. Dadaku tersengal memikirkannya.
Ponselku bergetar. Aku menyingkap tasku, mencari-cari letaknya. Ah, hanya pesan tidak penting.
Ia juga meraih ponselnya yang bergetar di meja. Entah apa yang ditampilkan di sana, lama sekali ia memandangi layarnya. Sepintas, kudapati wajahnya menyungging senyum, tanggung karena ia segera menghapusnya ketika aku memergokinya.
Di luar kafe, awan kelabu menguak terbuka, semakin lebar dan semakin lebar, dan hujan gerimis mulai turun. Anak-anak yang tadi bermain di jalanan segera berlarian, mencari tempat berteduh. Beberapa memilih berlindung di halte yang jaraknya dua puluh meter dari kafe ini, beberapa yang lain memilih berlindung di emperan kafe ini. Pada mulanya hujan turun perlahan dan lirih, hingga akhirnya berubah menjadi guyuran besar. Kasihan anak-anak itu, kedinginan. Tubuh mereka tampias kena hujan.
Tapi tak ada yang lebih dingin dari pertemuan kami.
“Apa lagi yang sedang kau lamunkan, dik. Tidur lagi, ini sudah larut.” Wanita itu menasihatiku lagi, dan lagi-lagi kubalas dengan senyum patah-patah.
“Apa kita sebaiknya pulang saja, ya? Hujannya sudah agak reda. Aku mengantuk.” Aku juga bertanya padanya.
Dia tetap sibuk dengan ponselnya.
“Siapa itu?” ujarku sambil memegang lengannya.
“Bukan apa-apa.” jawabnya dingin sambil melepas genggamanku.
Di balik jendela di gerbong kereta ini, malam menuang pekat bersama rintik hujan. Tetesan air hujan meleleh di kaca jendela, serupa ingatan yang sekarang sedang meluber di kepalaku.
“Apa besok akan turun hujan lagi, ya?” Aku mencoba mencairkan suasana lagi.
Dia tetap diam, matanya tak mau lepas memandang layar kecil ponselnya itu. Ia tidak merasa harus menjawab pertanyaanku.
Aku yang dari tadi berpikir seribu cara bagaimana memulai percakapan ini menghela napas, mengeluh dalam hati. Ini akan jadi jauh lebih sulit.
“Kita hentikan saja,” tanyaku.
“Maksudmu?” Ia menghentikan pergerakan tangannya.
“Aku lelah dengan semua ini.” Aku menyandarkan punggung ke kursiku, memandangi langit-langit kafe yang muram.
“Maafkan aku. Akhir-akhir ini aku sibuk.” jawabnya pendek. 
“Sibuk apa!”
Hilang sudah kesabaranku, lenyap bersama kata-katanya yang menguap ke langit-langit ruangan ini.
Kereta terus bergerak, menerobos malam, menembus pekatnya ingatan. Aku hanya terdiam, tak bergerak, tak memejamkan mata. Sementara itu, seluruh penumpang gerbong yang aku tumpangi sudah terlelap.
Hujan di luar kafe semakin menggila. Kilat menyambar menembus jendela, disusul bunyi petir yang memekakkan telinga. Di seberang meja kami, seorang gadis kecil bersembunyi di balik pelukan ibunya, gentar dengan gelegar petir yang marah. Belum genap kuperhatikan gadis itu karena bunyi petir kedua menyusul, lebih keras dari petir pertama. Gadis kecil itu berteriak, menangis ketakutan di pangkuan ibunya.
“Tolong dengarkan aku. Aku minta maaf kalau akhir-akhir ini semua tidak berjalan dengan baik. Aku yakin aku bisa—“
“Omong kosong.” potongku.
Dia kehabisan kata-kata, gemetar meraih cangkir, menghabiskan isinya sekali teguk. Ponselnya bergetar lagi. Tangannya hendak meraih ponselnya di meja, namun kalah cepat dari tanganku.
“Tolong jangan melibatkan orang lain lagi.” ujarku gusar.
“Orang lain siapa—” bantahnya.
“Aku tidak peduli siapa,” Aku memutus bantahannya.
Anak-anak yang berteduh di emperan kafe sudah lenyap, kurasa orang tuanya sudah menjemput mereka. Hujan juga menunjukkan tanda-tanda mereda, bergegas hendak pergi, membasuh kota lain.
Mungkin ia juga mencoba pergi dari kisah ini. Dia memang tak pernah cocok dengan kisah ini. Judul kisah kami tidak pernah sesuai. Aku sudah tidak peduli dengan akhir yang bahagia. 
Tetesan embun dari atas kereta ini jatuh menembus pergelangan tangan kemejaku. Aku terkesiap, cepat-cepat menarik tanganku, menggesekkannya satu sama lain. Jendela gerbong ini seolah membeku seperti es. Malam berlalu dengan cepat. Aku melirik jam. Sudahlah, aku memutuskan tidur.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan.
‘Sayang, di sana dingin, ya? Jangan lupa pakai baju hangat.’ Begitu isi pesannya.
Demi membaca pesan itu, aku mengalah, memaksa diri mengenakan sweater yang sejak tadi berada di pangkuanku. Aku tak peduli dengan segala kenangan yang melekat di serat-seratnya.
Tapi, ada potongan kisah yang tidak pernah kuketahui. Di luar sana, di balik jendela kamarnya, dia melemparkan pandangan ke ujung jalan yang tampias, menyeka pipinya yang basah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
675      395     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.
Perahu Waktu
360      240     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
Teilzeit
717      357     1     
Mystery
Keola Niscala dan Kalea Nirbita, dua manusia beda dimensi yang tak pernah bersinggungan di depan layar, tapi menjadi tim simbiosis mutualisme di balik layar bersama dengan Cinta. Siapa sangka, tim yang mereka sebut Teilzeit itu mendapatkan sebuah pesan aneh dari Zero yang menginginkan seseorang untuk dihilangkan dari dunia, dan orang yang diincar itu adalah Tyaga Bahagi Avarel--si Pangeran sek...
Archery Lovers
3191      1649     0     
Romance
zahra Nur ramadhanwati, siswa baru yang tidak punya niat untuk ikut ekstrakulikuler apapun karena memiliki sisi trauma saat ia masih di SMP. Akan tetapi rasa trauma itu perlahan hilang ketika berkenalan dengan Mas Darna dan panahan. "Apakah kau bisa mendengarnya mereka" "Suara?" apakah Zahra dapat melewati traumanya dan menemukan tempat yang baik baginya?
DELUSI
499      346     0     
Short Story
Seseorang yang dipertemukan karena sebuah kebetulan. Kebetulan yang tak masuk akal. Membiarkan perasaan itu tumbuh dan ternyata kenyataan sungguh pahit untuk dirasakan.
Dearest Friend Nirluka
220      183     0     
Mystery
Kasus bullying di masa lalu yang disembunyikan oleh Akademi menyebabkan seorang siswi bernama Nirluka menghilang dari peradaban, menyeret Manik serta Abigail yang kini harus berhadapan dengan seluruh masa lalu Nirluka. Bersama, mereka harus melewati musim panas yang tak berkesudahan di Akademi dengan mengalahkan seluruh sisa-sisa kehidupan milik Nirluka. Menghadapi untaian tanya yang bahkan ol...
Love Rain
18031      2454     4     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...
Pahitnya Beda Faith
419      295     1     
Short Story
Aku belum pernah jatuh cinta. Lalu, aku berdo\'a. Kemudian do\'aku dijawab. Namun, kami beda keyakinan. Apa yang harus aku lakukan?
HOME
252      180     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
Premium
Ilalang 98
4298      1658     4     
Romance
Kisah ini berlatar belakang tahun 1998 tahun di mana banyak konflik terjadi dan berimbas cukup serius untuk kehidupan sosial dan juga romansa seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia bernama Ilalang Alambara Pilihan yang tidak di sengaja membuatnya terjebak dalam situasi sulit untuk bertahan hidup sekaligus melindungi gadis yang ia cintai Pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya hanya sebuah il...