Rasanya baru kemarin hari Vayla menikmati masa libur tengah semesternya, dan esok dia harus kembali ke rutinitas sumpeknya di sekolah, kembali berjibaku dengan rival beratnya di kelas.
Vayla baru tiba di apartemennya menjelang maghrib. Letih sekali dia, seharian menempuh perjalanan panjang dengan kereta yang sarat penumpang. Vayla memang sudah terbiasa sekolah di kota yang jauh dari kampung halamannya. Beruntung orang tuanya mengizinkan untuk menempuh pendidikan di salah satu SMA ternama di Solo.
Pukul tujuh malam, Vayla baru bisa benar-benar bersantai setelah dirinya selesai mandi. Sambil membuat secangkir kopi, dirinya menghubungi Giovany, rival berat sekaligus sahabat dekatnya di SMA.
"Halo, Vay? Udah sampai apartemen?" sapa Giovany lebih dulu.
"Udah nih, capek banget rasanya..." Vayla mengeluh. "Besok udah mulai semester dua lho. Ayo tanding lagi. Siapa yang nilai ulangannya dapet sembilan berturut-turut dia yang menang."
"Nggak semudah itu, Marinah!" Giovany terkekeh. "Hasil akhir tetep yang terbaik. Ulangan doang dapet sembilan, pas ujian jeblok buat apa?"
Vayla menyeruput kopinya sebelum menyahut,
"Kita lihat aja besok."
"Eeeehh, Vay! Vay!" seru Giovany tiba-tiba. "Kok aku kayak denger suara gedoran pintu ya? Apa ada tamu di kamar kamu?"
Vayla menjauhkan HP-nya dari telinga sebentar sambil celingukan ke arah pintu apartemennya yang tertutup rapat.
"Ngaco kamu ah, orang nggak ada siapa-siapa..." gerutu Vayla.
"Udah cek di luar?" tanya Giovany lagi. "Perasaan aku denger suara pintu diketok deh."
"Ya udah tutup dulu HP-nya," kata Vayla mengakhiri pembicaraan. "Setelah menaruh kopi dan HP-nya ke meja, dia berjalan pelan ke arah pintu.
"Dasar Gio ngeyel, dibilangin nggak ada siapa-sia..." Vayla mendadak terdiam saat melihat sebuah buket bunga mawar putih teronggok pasrah di lantai depan kamarnya.
"Eh, punya siapa nih?" Vayla berlutut untuk mengambil buket bunga itu. Kepalanya celingukan ke sana kemari, mengecek kalau-kalau ada seseorang yang tak sengaja menjatuhkannya. Tapi nihil, lorong di apartemen itu nampak lengang. Karena memang di atas jam tujuh malam semua penghuni apartemen sudah nyaman di dalam kamar masing-masing.
Vayla kembali memeriksa buket bunga yang ada di tangannya. Nggak ada nama pengirimnya, nggak ada kartu ucapan apapun.
***
"Hahah... bercanda kamu!"
Reaksi Giovany sudah bisa ditebak, dia bilang Vayla mengada-ada soal buket bunga yang jatuh di depan kamarnya semalam.
"Serius aku, Gi!" Vayla berusaha keras meyakinkannya. "Beneran ada buket bunga itu. Aku lihat nggak ada nama pengirimnya. Ada yang jatuhin mungkin ya..."
"Mungkin," timpal Giovany kurang yakin. "Udah ah, halu kali kamu. Inget ya, kalau hari ini Pak Ajie ngasih ulangan dadakan, kita harus tetep tanding nilai. Siapa yang kalah harus nggantiin piket sebulan!"
"Enak aja."
Giovany tertawa. Cowok tinggi berwajah oriental itu buru-buru pergi ke mejanya sendiri saat kawan sebangku Vayla datang.
"Masih pagi udah mesra aja berdua," goda Brinda, cewek manis berambut bob yang suka nyomblangin Vayla dengan Giovany. "Jadian aja udah."
"Apa sih?" Vayla mengelak. "Gio itu udah aku anggap kayak abang sendiri, tahu. Lagian dia bukan tipeku..."
"Lah, kamu juga bukan tipeku kok, santai aja..." Giobany menyela, entah sejak kapan dia muncul lagi.
"Ceilee... segitunya balik lagi," Brinda nyengir menggoda mereka berdua.
"Ngapain?" Vayla mengangkat kepalanya ke arah Giovany.
"Cuma mau ngembaliin ini," Giovany menaruh penggaris di atas meja. "Nggak sengaja kebawa di tas waktu kerja kelompok dulu."
Setelah itu Giovany berlalu pergi.
Sesuai perkiraan, Pak Ajie selaku guru pengampu Ekonomi, memang memberikan ulangan dadakan di hari pertama masuk sekolah semester dua. Hampir semua murid ingin berkata protes, tapi masih takut dosa. Sehingga berjalanlah proses ulangan Ekonomi dadakan itu.
Beberapa hari setelah itu, hasil ulangan tersebut dibagikan melalui tangan Ketua Kelas. Sudah bisa ditebak, rata-rata nilai ulangan mereka kurang memuaskan, karena memang nggak ada persiapan sama sekali.
"Berapa nilaimu?" tanya Giovany saat bertemu Vayla dan Brinda di kantin.
"Jeblok," jawab Vayla tanpa ekspresi. Dia teringat nilai ulangannya yang mendapat angka di bawah lima.
"Masa segitu?" Giovany tak percaya. "Ketuker sama punya Brinda mungkin?"
"Enak aja kamu ngomong!" semprot Brinda nggak terima. "Mentang-mentang Vayla langganan dapet nilai bagus, terus nggak boleh jeblok sekali-sekali?"
"Ah, nggak gitu Brin..." Giovany mengelak.
"Terus murid yang standar IQ-nya ngepas kayak aku nggak boleh gitu sekali-sekali dapaet nilai agak bagusan dikit?"sembur Brinda lagi.
"Santai, Brin. Maksud aku itu..." Goivany sepertinya masih mau ngomong, tapi sama Brinda keburu dipotong duluan.
"Udahlah Gi, aku mau makan. Kalau laper gini bawaannya mau nelen orang, tahu."
Brinda berjalan pergi meninggalkan Vayla dan Giovany, lalu menghilang di antrian kantin. Giovany menoleh ke Vayla.
"Itu cewek ngapa, ya?" Giovany menggaruk kepalanya. "Jangan-jangan lagi PMS?"
"Kamu sih nyari penyakit aja," komentar Vayla sambil menyeruput es jeruknya.
"Lah, mana aku tahu dia lagi PMS?" protes Giovany sambil duduk di depan Vayla. "Kamu sendiri tumben amat nilaimu sejeblok itu?"
Vayla menarik napas.
"Masa aku mau dapet nilai bagus terus?" katanya pelan.
Giovany terheran-heran memandang Vayla. Nggak biasanya sahabatnya ini irit bicara. Yang dia tahu Vayla itu selalu cerewet dan bersemangat kalau bertanding nilai dengannya.
"Kamu kenapa sih, Vay?" tanya Giovany. "Nggak pantes ah kalem gini."
Vayla menarik napas lagi.
"Gio, si pengirim buket bunga itu..." Vayla baru mau cerita, tapi Giovany bereaksi lebih cepat di luar perkiraan.
"Kamu masih mikirin buket bunga itu?" potongnya nggak percaya. "Vaayy... Kamu tuh terlalu serius tahu hidupnya. Buket bunga jatuh kok dipikirin sampai bikin ulangan jeblok."
"Giiooo... dengerin aku cerita sampai selesai dulu kenapa?" keluh Vayla. "Buket bunga itu beneran ada yang ngirim, tahu. Lagian nggak ada hubungannya nilaiku jeblok sama buket bunga itu."
"Terus yang ngirim siapa?" tanya Giovany.
"Aku nggak tahu namanya," Vayla menggeleng.
"Lah?"
"Dia belum ngasih tau identitasnya," jelas Vayla. "Tapi... aku pernah ngobrol sama dia... di balik pintu. Suara cowok."
"Apa?" Giovsny melongo.
***
Semenjak buket bunga pertama yang jatuh tempo hari, kehidupan Vayla seolah tak pernah sama lagi. Setelah kiriman pertama, besok paginya Vayla mendapati ada sepaket cokelat teronggok di depan pintu kamarnya. Masih tanpa nama pengirim. tetapi ada selembar kartu yang menerangkan bahwa cokelat itu dikirim untuknya.
Tak berselang lama, hanya jeda setengah hari kemudian, tepatnya saat pulang sekolah, Vayla melihat selembar kertas yang ditempel di pintu kamarnya dengan tulisan:
Kamu menerima kirimanku dengan baik, kan? Hubungi aku kalau kamu mau. Kutinggalkan nomorku di sebalik kertas ini.
Vayla cepat-cepat mencopot kertas itu. Dia curiga jangan-jangan ada orang yang iseng mengerjai dirinya. Tapi siapa orang yang rela membuang waktu dan tenaganya untuk tindakan sekonyol ini? Mengikuti rasa penasarannya, Vayla membalik kertas tersebut dan mendapati ada sederet nomor tertera di atasnya. Haruskah dia menghubunginya lebih dulu? Tapi untuk apa? Bagaimana kalau orang ini punya niat jahat?
Vayla memasukkan kertas itu ke dalam tasnya kemudian bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dia belum memutuskan apakah akan menghubungi nomor itu atau tidak.
Malam harinya, entah kenapa rasa penasaran Vayla kembali timbul. Dalam hatinya dia ingin menyelidiki siapa orang dibalik kiriman cokelat ini, dengan asumsi jika orang ini punya niat jahat, Vayla akan lebih mudah mengantisipasinya.
Cepat-cepat diambilnya HP yang tergeletak di kasurnya, kemudian diketiknya nomor asing tadi. Saat hendak meneleponnya, mendadak Vayla merasa ragu-ragu. Sepertinya terlalu beresiko kalau langsung menghubunginya via telepon. Lebih amannya, Vayla akhirnya memilih untuk mengirim chat ke nomor itu.
Kamu siapa? Vayla mengetik tanpa panjang lebar dan langsung mengirimnya. Entah kenapa suara degup jantungnya mulai meningkat mengimbangi rasa penasarannya.Namun rupanya si pemilik nomor tak ingin buru-buru membalas chat dari Vayla dan terus membiarkannya penasaran sampai malam berlalu.
Keesokan paginya Vayla terbangun dalam kondisi malas-malasan. Diambilnya HP untuk mengecek jam, dan matanya langsung terbuka lebar saat mengetahui ada nomor asing mengiriminya sebuah chat.
Bolehkah aku mengenalmu lebih dekat? begitu isi chat tersebut.
Vayla membalasnya, aku nggak tahu kamu siapa.
Tak berapa lama kemudian orang asing itu membalas lagi.
Datanglah ke kamar 111 kalau kamu mau. Aku tinggal di situ
Vayla diam sambil berpikir keras, kenapa harus dirinya yang ke sana? Amankah ini untuk seorang cewek lugu seperti dirinya? Kenapa bukan dia saja yang menemuinya?
Setelah mempertimbangkannya matang-matang, Vayla membalas 'iya.'
"Brin, nanti ke apartemenku yuk?" ajak Vayla saat bertemu Brinda di kelas.
"Eh, ada acara apa?" tanya Brinda ingin tahu. Vayla menjelaskannya dengan suara pelan. Dan ternyata Brinda satu pemikiran dengan dirinya.
"Yang mau kenalan kan dia, kenapa kamu yang disuruh menemuinya?"
"Aku juga nggak tahu," jawab Vayla. "Makanya aku bilang oke tanpa tanpa ngasih tahu kapan mau ke kamarmya. Nanti kita dadakan ke sana aja, Brin."
"Tapi, Vay.." Brinda menoleh ke arah Giovany sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kita ajak Gio juga yuk? Takutnya kalau ini orang beneran ada niat nggak baik kan setidaknya kita aman kalau ada Gio."
"Jangan!" Vayla menggeleng. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi Giovany seandainya tahu masalah ini. Cowok itu pasti berpikir bahwa yang dilakukan Vayla hanya buang-buang waktu meladeni orang iseng. "Kita berdua dulu aja, Brin."
Mau nggak mau Brinda pun setuju. Sesuai rencana, sepulang sekolah hari itu juga dia ikut Vayla ke apartemennya.
"Kita langsung ke kamar 111," komando Vayla.
"Nomornya cakep juga," komentar Brinda. "Nggak tahu deh orangnya."
Sesaimpainya di depan kamar nomor 111, Vayla memberi kode kepada Brinda untuk berdiri agak jauh darinya demi membuat kesan kalau Vayla datang sendirian ke kamar itu. Brinda menurut saja, dia berjalan menjauh melewati beberapa kamar dan berhenti dalam jarak yang menurutnya cukup aman dan leluasa untuk mengawasi Vayla.
Sementara itu perasaan tegang menjalar sampai ke tengkuk Vayla. Meski begitu dia tetap memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar 111 tersebut. Ketukan pertama tidak ada reaksi. Beberapa detik kemudian Vayla kembali mengetuk untuk yang kedua kali. Masih hening. Vayla menarik napas sebentar sambil menunggu. Kira-kira setengah menit, dia mengetuk pintu lagi untuk yang ketiga kalinya. Tanpa sadar, tangannya ikut terulur ke handel pintu.
Puter nggak ya? pikir Vayla sambil memegang handel pintu erat. Jantung cewek itu terasa hampir copot saat mendengar ketukan balasan cukup keras dari kamar 111. Refleks tangan Vayla langsung kembali ke tempat semula.
Vayla... samar-samar dirinya mendengar ada suara yang memanggilnya dari dalam.
"Duuhh... Vayla bikin merinding deh!" dari jauh Brinda merasa hatinya gelisah melihat sahabatnya berdiri di depan kamar 111 tanpa gerakan yang jelas. "Apa sebaiknya Gio kusuruh nyusul ke sini ya? Tapi... nanti Vayla ngamuk?"
Kembali ke kamar 111. Vayla masih berdiri kaku. Dia ingin meyakinkan dirinya lagi, apa benar kalau barusan ada suara memanggilnya?
Vay, kamukah itu?
Cewek ini menjawab dengan gemetar, "Iya, ini aku." tanpa sadar Vayla mendekatkan telinganya ke pintu.
Maaf aku sudsh mengganggu waktumu. Apa aku membuatmu takut? suara itu terdengar lagi.
"Engg... enggak," gemetar suara Vayla.
Maaf aku belum bisa menemuimu langsung. Apa kamu keberatan kalau kita ngobrol seperti ini?
"Nggak... nggak apa-apa," Vayla mengangguk setuju, dengan telinganya masih menempel di pintu.
***
Kita kembali ke masa kini.
"Kamu nggak bercanda kan?" Giovany memandang Vayla dengan tampang susah percaya. "Itu kamu beneran sampai nempelin telinga buat ngobrol sama orang yang bahkan belum pernah kamu lihat?"
Vayla menganggukkan kepala.
"Halu kali kamu," komentar Giovany, sulit membayangkan ada orang yang ngajak ngobrol tanpa saling tatap muka. Ngobrolnya dari balik pintu pula.
"Suaranya beneran nyata di telingaku, Gi..." kata Vayla yakin. "Aku ngajak Brinda waktu itu buat jaga-jaga dari jauh. Kalau nggak,dia pasti denger suara cowok itu juga...."
"Kamu yakin kalau dia cowok?" tukas Giovany.
Yaahhh, nih anak. Kan tadi udah kubilang."
"Mungkin ini semacam... pengagum rahasia?" mendadak Giovany nyeletuk. "Ada yang naksir kamu, Vay. Cuma orangnya nggak kelihatan, hahah!"
Vayla belum sempat menanggapi karena saat itu ada seorang cewek datang mendekati mereka. Atau lebih tepatnya mendekati Giovany.
"Hei, Gio!"
"Eh, Helen!" Giovany menoleh ke si pemilik suara. "Mau makan sekarang?"
"Boleh."
"Vay, kenalin ini Helen. Pacarku," Giovany memperkenalkan cewek itu tanpa malu-malu.
"Serius?" ekspresi wajah Vayla berubah cerah seketika. "Akhirnya.... temenku pacaran juga!"
"Huuusstt..." Giovany menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Helen, kenalin. Ini Vayla, temenku sejak kelas satu. Hampir tiga tahun lah sekelas sama dia. Sampai bosen, tahu."
Helen tertawa, "Hai Vay!"
"Hai Helen!" balas Vayla sambil tersenyum. Helen ternyata cewek yang imut, mungil dengan rambut lurus hitam sepunggung.
"Aku jalan dulu ya, Vay. Hati-hati lho, jangan terlalu percaya sama orang misterius itu," pamit Giovani seraya mengingatkan.
"Siap, Boss."
Tepat setelah Giovany dan Helen berlalu, Brinda datang mendekat sambil membawa dua mangkok soto.
"Nih, Vay."
"Wah, makasih Brin!" Vayla mencium aroma surga yang menguar dari mangkok soto yang dibawa Brinda. "Tapi kok mendoannya nggak sekalian?"
"Lah, udah bagus aku bawain..." komentar Brinda sambil menuang kecap ke sotonya. "Antrinya banyak banget, tahu."
"Iya, iya..."
"Eh, itu tadi Gio sama siapa?" tanya Brinda kepo.
"Pacarnya," jawab Vayla sambil menuang tiga atau empat sendok sambal ke sotonya.
"Eh, pacarnya Gio?" Brinda ngomong sambil mengunyah. "Patah hati dong kamu?"
"Iya, kamu aja yang patah hati. Aku enggak," sahut Vayla sambil menyendok sotonya. "Dibilangin kalau Gio itu udah kayak abangku sendiri. Aku seneng dia akhirnya pacaran, Udah dari kelas satu dia banyak yang naksir."
"Aku kira Gio itu jodohnya sama kamu, Vay. Anak-anak yang lain juga mikir gitu."
"Maklumlah. Aku sama Gio udah deket sejak kelas satu," Vayla menjelaskan. "Anak-anak aja yang mikirnya lain."
Brinda manggut-manggut mengerti.
***
Menjelang sore Vayla baru sampai ke apartemennya setelah menghabiskan jam pulang sekolahnya dengan nongkrong sambil jajan bareng Brinda, Giovany dan Helen. Seharusnya Vayla langsung berjalan ke kamarnya sendiri. tapi niat dan langkah kakinya seolah kurang sinkron. Dan di sinilah dirinya berada sekarang, di depan pintu kamar nomor 111.
"Siapa kamu sebenarnya?" bisik Vayla ke pintu itu. Menddak, secarik kertas muncul dari bawah pintu, seolah ada tangan yang sengaja menyorongkannya di situ. Vayla mengambilnya dan melihat ada sebaris tulisan di atasnya:
Belum saatnya aku menemuimu. Waktunya belum tepat
"Paling nggak beritahu aku namamu," pinta Vayla. Hanya sebentar menunggu, kertas berikutnya sudah muncul terselip lagi.
Mendekatlah, tulis kertas itu. Vayla maju beberapa langkah sampai sedekat mungkin ke pintu. Angin berhembus lembut menyapu rambutnya, entah angin darimana.
Namaku Rendra, telinga Vayla menagkap suara yang telah dikenalnya beberapa hari ini.
"Ren... Rendra? Apa bener kamu... yang kirim bunga? Dan cokelat?"
Iya, aku ingin kamu menyadari kehadiranku. meskipun kamu belum bisa melihatku. pada waktunya nanti kita akan bertemu, Vay.
Vayla merasakan dingin yang menyergap tengkuknya tiba-tiba.
"Kenapa kamu sembunyi, Ren?" Vayla mendengar dirinya bertanya.
Karena belum waktunya aku muncul di hadapanmu. Mungkin minggu depan, tengah malam
"Apa kamu sakit?"
Enggak,aku udah nggak merasakan sakit sama sekali. Hanya ada sedikit yang mengganjal. Dan aku akan menuntunmu untuk menyelesaikannya.
Vayla berjalan mundur dengan perlahan saat tengkuknya merasakan sensasi tidak mengenakkan. Dia cepat-cepat berjalan pergi ke kamarnya sendiri.
Malam itu tidur Vayla rasanya tidak tenang. Ada saat-saat tertentu dia merasa sedih, kehilangan dan marah tanpa sebab. Dia seakan seperti terserang rindu kepada seseorang yang tak tersampaikan.
"Ya ampun, Vay!" Brinda terkejut sekali saat melihat Vayla muncul di kelas dengan kantung mata tebal dan wajah lesu keesokan paginya. "Kamu sakit?"
"Begadang ya?" Giovany menimpali. "Ngapain aja emang?"
"Dia..." Vayla tak melanjutkan kalimatnya.
"Dia siapa?" tanya Brinda bingung.
"Yang waktu itu kita sambangin kamarnya," jawab Vayla sambil bertopang dagu. Giovany bertukar pandang dengan Brinda.
"Si pemuja rahasia kamu itu?" Giovany memastikan.
"Pengagum rahasia kaliiii. Pemuja, kayak setan aja!" celetuk Brinda.
"Sama aja dah."
"Semalaman aku nggak bisa tidur," Vayla mengeluh. "Aku nggak tahu apa ini ada hubungannya sama Rendra atau nggak. Tapi rasanya... semalam itu aku merasa sedih dan kehilangan. Nggak tahu kenapa."
"Ah,ini sih udah jelas sebabnya!" sambar Brinda.
"Kenapa?" tanya Vayla dan Giovany bersamaan.
"Jsngsn-jsngsn ksmu sedih karena Gio pacaran sama Helen?" ujar Brinda sok tahu."Makanya kamu merasa kehilangan."
Vayla mengelus-elus jidatnya sendiri. Sedangkan Giovany menunjuk mukanya dan berkomentar,"Masa?"
"Yang bener aja!" Vayla menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu tuh dijelasin berapa kali juga kayaknya nggak bakal ngerti ya, Brin? Kalau aku naksir sama Gio, kenapa nggak dari dulu aku bilang ke dia? Lagian kalau aku ngerasa kehilangan Gio, masa iya aku cerita hal ini ke orangnya langsung?"
"Ya iyaaa maaffff..." Brinda meringis.
"Tahu ah, biar aku selidiki Rendra sendiri!" Vayla memutuskan.
"Bahaya, Vay!" Giovany mengingatkan. "Kamu aja nggak tahu siapa Rendra itu."
"Makanya aku mau cari tahu. Kalian nggak tahu sih, suaranya itu beneran nyata. Tapi dia nggak mau keluar dari kamarnya."
"Kamu yakin dia itu orang, Vay?" tanya Giovany setelah terdiam beberapa saat.
"Maksud kamu? Kalau bukan orang, hantu gitu?" tukas Vayla. "Masa kamu percaya sama gituan sih, Gi?"
"Yah, siapa tahu aja kamu halu..." kata Giovany hati-hati.
"Halu lagi, halu lagi!" Vayla akhirnya meledak. "Kenapa sih kalian pada nggak serius sama omonganku soal Rendra?"
"Eh, aku belum bilang apa-apa, Vay..." Brinda membela diri.
"Tahu," Vayla cemberut. Sedangkan Giovany memilih diam. Dia pikir mungkin Vayla lagi PMS makanya agak sentimen. Menurut kamus Giovany, aura cewek yang lagi PMS itu jauh lebih menyeramkan daripada hantu.
***
"Gio! Gio! Tolong dong!"
Brinda menghampiri Giovany yang sedang menunggu Helen di depan kelasnya.
"Apaan?" tanya Giovany, heran melihat ekpresi Brinda yang seperti ayam mau bertelur.
"Tolongin Vayla, Gi!" seru Brinda supercepas. "Sampai sekarang Vayla belum masuk kelas! Kalau ada apa-apa gimana?"
"Tenang dulu, tenang!" Giovany menepuk-nepuk bahu Brinda. "Kali aja Vayla sakit apa gimana. Udah kamu telepon HP-nya?"
"Itu dia, Gi!" Brinda buru-buru mengeluarkan HP-nya dari tas. "Semalam itu Vayla chat aku, katanya mau ketemu sama Rendra lagi."
"Ohhh, akhirnya si pengagum rahasia itu menunjukkan wajahnya juga ke Vayla?" Giovany tampak sumringah. "Bagus dong, Brin. Vayla kan jadi nggak penasaran lagi."
"Masalahnya itu..." Brinda menghirup napas banyak-banyak sebelum melanjutkan ceritanya. "Vayla ketemunya malam Jumat kemarin, dini hari gitu..."
"Kamis malam?" Giovany memastikan. "Apa malam Jumat?"
"Setahu aku malam Jumat sama Kamis malam tuh sama aja, Giii!" sewot Brinda.
"Iyeee sori dah."
"Vayla sempet bilang mau ketemuan lagi sama Rendra. Aku udah nawarin mau nemenin dia buat jaga-jaga. Tapi Vayla nolak soalnya ketemunya tengah malam." Brinda menjelaskan.
"Terus ketemunya di mana?"
"Ya di apartemen mereka lah! Di kamar nomor 111, kamarnya Rendra."
Giovany terdiam sambil berpikir.
"Itu artinya... Vayla nggak pulang semalem?"
"Aku nggak tahu," Brinda menggeleng. "Chat aku sama Vayla terputus jam setengah sebelas malam. Gimana dong, Gi? Dari tadi pagi aku telepon HP-nya tapi nggak nyambung-nyambung. Aku takut banget, Gi!"
Giovany menelan ludah. Nggak menyangka kalau ambisi Vayla untuk mengungkap keberadaan si pengagum rahasia itu sampai sejauh ini. Ngajak ketemuan orang tengah malam, di mana logisnya itu?
"Kita harus cari Vayla, Gi!" Brinda mulai merengek. "Aku takut terjadi sesuatu sama dia. Perasaanku bilang kalau si Rendra-rendra itu nggak beneran nyata. Gimana kalau itu cuma halusinasi Vayla?"
Giovany belum sempat menjawab. Tepat saat itu Helen keluar dari kelasnya dan menghampiri mereka berdua.
"Gio, udah lama nunggu?" sapanya.
Giovany melirik Brinda sekilas. "Aku mau bicara sebentar sama Helen. Nanti aku susul ke kelas."
Brinda mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kenapa kamu, Gi?" Helen memperhatikan raut wajah Giovany yang agak berbeda. "Nanti kamu jadi mampir ke rumahku kan?"
Giovany agak-agak gelisah saat harus membatalkan janji yang telah disepakatinya sendiri.
"Len, maaf banget ya. Aku mampirnya lain kali aja gimana?" usul Giovany hati-hati.
"Lho kenapa, kamu bilang hari ini free?"
"Jadi gini..." Giovany memutuskan untuk berterus terang. "Aku mau bantu Brinda mencari Vayla."
"Mencari Vayla? Kenapa dia?" Helen mempertanyakan.
Giovany menjelaskan situasinya sesuai keterangan dari Brinda tadi.
"Kamu nggak marah, kan?" tanya Giovany mengakhiri ceritanya.
"Segitu besarnya ya perhatian kamu sama Vayla, Gi?" tukas Helen yang raut wajahnya berubah seketika. "Sampai kamu membatalkan janji yang udah kita buat sebelumnya?"
"Nggak gitu, Len..."
"Pacarmu itu siapa, aku apa Vayla?" tuntut Helen lagi.
"Kamu pacarku. Tapi Vayla juga sahabatku, Len. Dari kelas satu aku sama dia udah bareng-bareng." Giovany menjelaskan dengan sabar.
"Terus kenapa kamu nggak jadian sama Vayla aja kalau gitu?" tukas Helen.
"Kan aku udah bilang kalau Vayla itu sahabatku," bantah Giovany. "Pacar sama sahabat jelas nggak sama, Len. Mana bisa dijadi-jadiin?"
"Nggak pernah ada persahabatan yang murni antara cowok sama cewek, Gi..." Helen menggeleng. "Salah satunya pasti ada yang baperan."
"Vayla itu udah kuanggap kayak adikku sendiri, Len. Sama kayak Vayla yang menganggapku sebagai kakak. Kita itu sahabatan udah dari kelas satu. Dia di sini merantau jauh dari ortu buat sekolah, Len. jadi wajar kan kalau aku sebagai sahabat berusaha melindunginya?"
Helen terdiam, tapi wajahnya masih ditekuk. Giovany lantas menggenggam kedua tangan cewek itu.
"Aku tahu kamu cemburu," kata Giovany sambil tersenyum. "Bukankah sebelum kita jadian, kamu bilang mau nerima aku apa adanya? Perlu kamu tahu, sebelum kita ketemu, aku sama Vayla udah barengan terus ke mana-mana, Len. Apa adil baginya kalau dia harus terusir gitu aja karena aku punya pacar?"
Helen masih terdiam.
"Inget nggak saat aku ngenalin kamu sama Vayla?" tanya Giovany lagi. "Apa kamu melihat kecemburuan di matanya? Nggak ada kan? Dia ikut seneng lihat aku bahagia sama kamu. Dan emang udah seharusnya seorang sahabat bersikap begitu."
Wajah Helen sedikit melunak.
"Vayla nggak pernah terganggu dengan adanya kita jadian. Jadi tolong, Len. Kamu jangan merasa terganggu sama persahabatan kami, bisa?" tanya Giovany dengan kesabarannya yang luarbiasa. "Jangan membuatku memilih, karena aku nggak akan bisa milih. Persahabatan itu terjadi secara alami. Begitu juga pacaran, nggak akan bisa dipaksain."
Helen mengangguk perlahan.
"Tapi soal hati tetep buat satu orang kan?" katanya memastikan.
"Siap, Bossku."
"Ya udah," Helen buru-buru menarik tangannya dari genggaman Giovany.
"Ya udah apa?"
"Kamu cari Vayla sampai ketemu," suruh Helen. "Lindungi dia sewajarnya. Aku nggak akan merusak persahabatan kalian."
"I love you, Princess-ku!"
"Plis deh, Gi. Nggak usah norak!" Helen tertawa. "Tapi kabari aku, ya. Semoga Vayla nggak kenapa-kenapa."
Giovany mengangkat jempolnya. Setelah itu dia balik ke kelasnya sendiri untuk menemui Brinda.
"Kayaknya kita harus bolos deh, Brin..." bisik Giovany saat sudah berada di kelas.
"Haahh, gimana caranya?" tanya Brinda sementara Giovany berpikir keras.
***
Vayla terbngun dengan kepala yang sangat pusing. Kedua kakinya terasa berat, kerongkongannya pun haus sekali. Dia berusaha mengumpulkan segenap kesadaran dirinya yang masih tercecer entah di mana. Samar-samar dia melihat sekelilingnya. Banyak foto yang tertempel di setiap sudut dinding. Vayla bahkan baru menyadari kalau di samping kepalanya tergeletak sebuah kamera.
Vayla bangkit dan berusaha memfokuskan penglihatannya. Sepertinya dia sedang berada di sebuah kamar karena ada ranjang besar di samping jendela yang tertutup rapat. Vayla tidak tahu ini di kamar siapa dan bagaimana dirinya bisa berada di sana. Meski begitu dia merasa kamar ini sangat familiar, seolah-olah memang di sinilah Vayla tinggal.
Di dekat pintu kamar, terdapat sebuah lemari kayu besar yang ada cerminnya. Refleks Vayla berjalan mendekat ke cermin itu dan dan terpaku saat melihat dirinya sendiri.
Bukan, itu bukan dirinya. Lebih tepatnya dia melihat sesosok laki-laki muda seumurannya balas memandangnya. Laki-laki itu manis, rambutnya hitam lurus seperti rambut Vayla, hanya saja panjangnya menjuntai sampai di bawah telinganya. Vayla mengangkat tangan ke atas rambutnya, dan sosok di cermin itu mengikuti gerakannya. Saat Vayla menurunkan tangannya, sosok itu melakukan hal yang sama.
Apa-apaan ini, batin Vayla bingung. Di dalam pikirannya seakan ada suara yang berkata kepadanya,
Aku mengerti kalau kamu terkejut, tapi jangan takut. Ada aku yang akan menuntun langkahmu. Kamu ikuti saja kemana tubuh itu membawamu pergi.
Vayla menelan ludah. Alih-alih merasa takut, dia malah berjalan mengelilingi kamar itu, memperhatikan setiap foto yang ditempel dengan rapi. Vayla menyadari kalau hampir semua foto yang tercetak adalah foto seorang cewek seumurannya. Bahkan di salah satu foto, Vayla seperti mengenali cewek itu. Karena dia memakai tas dan seragam sekolah yang sangat Vayla kenal. Itu... adalah fotonya sendiri!
Dia cantik ya, suara di pikirannya berkata lagi. Aku mengaguminya sudah sangat lama. sejak pertama kali bertemu di kereta api yang membawanya pulang ke apartemen. Tapi kurasa dia nggak tahu aku.
Vayla memandangi foto-foto yang lainnya. Ternyata selama ini dia tidak menyadari ada yang memotretnya diam-diam.
Aku bertemu dengannya lagi saat pentas sekolah. Dari situ aku tahu sekolahnya, bahkan kamar apartemennya. Tapi aku nggak mau kehadiranku mengganggunya. Aku juga nggakmau bikin dia takut.
Vayla berusaha mengingat pentas sekolah beberapa bulan yang lalu. Tapi dia susah mengingatnya dengan detail.
Aku nggak mau dia berpikir kalau kehadiranku adalah ancaman baginya. Jadi untuk sementara aku memilih mengamatinya dari jauh, sambil sesekali memotretnya.
Mendadak Vayla merasakan perasaan sayang yang teramat dalam. Rasa sayang dan rindu yang telah lama terpendam, namun tak kunjung tersampaikan. Rasa yang bertumpuk-tumpuk terpendam hingga berakhir menyiksa.
Kamu pasti paham apa yang kurasakan.
Vayla mengangguk. Di luar kemauannya, kedua kakinya berjalan mendekati tempat tidur dan kepalanya melongok ke bawah kolong. Dia mendapati ada banyak botol bensin yang berjejer rapi. Seakan benar ada yang menuntun gerak geriknya, Vayla merebahkan dirinya di atas tempat tidur itu.
Rasanya belum ada lima menit Vayla berbaring, ketika sepercik api entah darimana menyambar botol-botol bensin yang berada di bawah kolong tempat tidur itu. Api dengan cepat membesar dan melahap apapun yang ada di kamar. Asap mengepul, memblokir akses penglihatan dan juga pernapasan Vayla.
Tolong! Dia berteriak tanpa suara. Siapa saja tolong aku!
***
"Brin, kamu yakin kalau kamarnya Rendra iru nomor 111?"
Giovany dan Brinda mondar-mandir tak tentu arah. Mereka sudah setengah jam yang lalu berada di apartemen Vayla, berusaha mencari kamar bernomor 111 namun hasilnya nihil.
"Yakinlah, Gi. Kan aku pernah nganterin Vayla ke kamar itu," jawab Brinda.
"Kamu beneran masuk ke kamarnya Rendra?" Giovany memastikan lagi.
"Enggak sih. Aku disuruh Vayla berdiri agak jauhan beberapa kamar buat jaga-jaga," Brinda meringis. "Lagian Vayla sendiri nggak masuk kok. Dia berdiri doang di depan pintu kamar 111 itu."
"Masalahnya kamu sendiri lihat nggak angka 111 di kamar yang didatengin Vayla?" tanya Giovany lagi.
"Enggak. Ya aku percaya aja sama yang dilihat Vayla..." Brinda mengangkat bahunya. "Masa Vayla bohong sih?"
"Kita udah muter-muter dari tadi lho," Giovany mengingatkan. "Dan nggak ada itu yang namanya kamar 111. Pertanyaan aku nih ya, yang kamu nganter Vayla itu sebenernya kamar siapa? Kamar nomor berapa? Kalau kamu nggak tahu, gimana bisa kita nyusul Vayla?"
"Gi, aku jadi merinding nih!" mendadak Brinda ketakutan. "Vayla bilang ketemuannya Kamis malam alias malam Jumat kan? Jangan-jangan dia... dibawa tuyul lagi?"
"Duuhh, aku nggak ngerti deh hal-hal gituan!" Giovany menggaruk-garuk kepalanya. "Udah kita mikir positif aja. Yang pasti di apartemen ini nggak ada itu yang namanya kamar 111."
"Ya ampun... kamu kemana sih, Vay?" Brinda mulai keluar keringat dingin. Sedangkan Giovany merasa pikirannya sudah buntu.
"Gio! Brinda!" sebuah suara mengagetkan mereka. Giovany menoleh dan melihat Helen berjalan ke arahnya bersama seorang cowok dari kelas yang sama.
"Helen, kamu ngapain ke sini?" tanya Giovany terkejut.
"Mau bantuin nyari Vayla juga," jawab Helen bersemangat. "Oh ya, ini temen sekelasku. Namanya Ezad, dan dia bisa melihat lho."
"Melihat?" Giovany mengerjapkan matanya. "Serius?"
"Kamar Vayla sendiri udah diperiksa belum?" tanya Ezad sambil memandang Giovany dan Brinda bergantian. Keduanya menggeleng.
"Kurasa Vayla nggak ada di kamarnya," ujar Brinda. "Chat terakhirnya bilang kalau dia mau ketemuan sama orang."
"Di kamarnya mungkin Vayla nggak ada, tapi petunjuk pasti ada," kata Ezad."Di mana kamarnya? Kita harus cepat."
Brinda memimpin semua kawannya untuk mendatangi kamar Vayla. Untunglah kamar itu tidak dikunci. Jadi mereka berempat bisa leluasa untuk mencari petunjuk sesuai komando dari Ezad.
"Bunga mawar layu, kertas pesan dan cokelat," Ezad menaruh beberapa barang temuannya di atas meja.
"Gimana caranya menemukan Vayla dengan barang-barang itu?" tanya Giovany kurang yakin. Helen memegang pundaknya.
"Serahkan semuanya ke Ezad yang lebih paham. Kita orang awam nurut aja apa katanya," ujar Helen menenangkan. Giovany mengangguk.
"Apa ada yang tahu tempat kos atau apartemen selain di sini?" tanya Ezad memandang mereka bergantian. Brinda mendadak ingat sesuatu.
"Kalau kos nggak ada lagi. Ini satu-satunya apartemen kecil yang bisa disewa untuk anak sekolahan," jelasnya.
"Nggak ada lagi, berarti sebelumnya pernah ada?" Ezad memandangnya serius. "Di mana tempatnya?"
"Nggak terlalu jauh sih," Brinda mencoba mengingat lagi. "Itu kos udah lama nggak disewain. Runtuh kena ledakan atau apa gitu..."
"Sekarang juga kita ke sana," komando Ezad. Tak perlu disuruh dua kali, mereka bertiga bergegas menuju tempat kos lama yang tadi diceritakan Brinda.
***
Vayla membuka matanya. Rasa sakit berangsur menjalar dari kaki ke sekujur tubuhnya. Seperti habis terhimpit benda berat.
'"Toooongg!" Vayla berteriak menggunakan sisa-sisa tenaga yang ada. Dia memandang berkeliling tempatnya berada sekarang. Seperti bekas bangunan lama yang sudah tidak dihuni lagi. Udaranya pengap dan lembab, dengan sedikit cahaya matahari menembus malalui celah atap ruangan.
"Vaayy!" mendadak terdengar suara-suara bersahutan. "Kamu di mana, Vay?"
"Vayla!" suara Giovany terdengar paling keras sendiri. "Vay!"
Vayla menghirup udara sebanyak mungkin dan balas berteriak, "Gioooooo! Aku di sini! Brinda!"
Langkah kaki Brinda terhenti. "A-ada yang manggil namaku!"
"Jangan-jangan itu Vayla?" kata Helen menduga. Dia menoleh ke beberapa titik di antara bangunan yang tak terawat. "Eh, yang di belakang sana itu pintu bukan sih?"
"Kita cek aja," Ezad mendahului kawan-kawannya. Dia berjalan cepat mendekati pintu lusuh yang ada di salah satu ruangan dan membukanya.
"Vaylaaa!" Brinda menghambur masuk ke dalam dan mendapati Vayla yang terkapar tak berdaya di lantai yang kotor. "Kamu nggak apa-apa?"
"Brin, ada api besar yang membakar kamar 111, Brin!" seru Vayla sambil mencoba bangun. Brinda dan Helen buru-buru membantunya.
"Kamar yang kamu maksud itu nggak ada, Vay..." kata Giovany.
"Apa?" Vayla terdiam. "Nggak ada?"
Ezad berjalan mendekati Vayla, "Bisa kamu ceritakan lagi soal api itu?"
Vayla mengangguk. Meskipun masih dilanda kengerian, dia mampu menjelaskan dengan detail apa yang dilihatnya tadi ke semua kawannya. Ezad mendengarkan cerita itu tanpa protes sedikitpun. Sedangkan ketiga kawannya mendengarkan dengan ekspresi kurang percaya.
"Jadi... Rendra berusaha menunjukkan apa yang telah dialaminya ke kamu," Ezad menarik kesimpulan. "Perasaannya yang kuat terhadap kamu menjadi media untuk menuntun kamu melihat semuanya."
"tapi buat apa?" tanya Vayla tak mengerti. "Bahkan sampai sekarang aku nggak tahu Rendra itu nyata atau cuma halusinasiku."
"Rendra itu nyata," kata Ezad. "Hanya saja... dia udah tewas dalam kebakaran itu. Kelihatannya dia ingin kamu tahu soal perasaannya. Selain itu..." Ezad menyadari kalau ada sebuah kamera yang terkalung di leher Vayla. "Boleh aku pinjam sebentar?"
Brinda mengambil kamera itu dan menyerahkannya ke Ezad yang kemudian mengotak-atiknya. Ezad terdiam cukup lama sambil melihat kamera itu.
"Rendra nggak jahat kok. Dia ingin menunjukkan kalau di tempat inilah petaka itu terjadi. Kamar 111 hanya ilusi untuk menuntun Vayla ke tempat jenazahnya berada. Dia hanya ingin dimakamkan dengan layak."
Helen menutup wajahnya dengan kedua tangan, miris.
"Dia yatim piatu tapi sangat cerdas. Karena itu dia bisa meneruskan sekolah dengan beasiswa. Selain itu dia punya beberapa kerja sambilan. Salah satunya adalah jualan bensin. Kelihatannya kebakaran di sini karena ada bensin yang bocor dan apinya menjalar kemana-mana hingga berujung ledakan," Ezad menjelaskan. "Kita harus minta pengurus di sini untuk mencari jenazah Rendra. Siapa tahu ada korban lain yang tertimbun."
Setelah mendengar penjelasan Ezad, Vayla merasakan kedua matanya basah. Rendra, walau aku nggak mengenalmu, tapi aku tahu bahwa yang kamu alami itu sangatlah berat. Terimakasih atas perasaanmu untukku. Semoga kamu tenang di sana, Rendra...
_End_