Yang Tak Kasat Mata
Tangan cukup kekar itu terlihat mulai berjalan kebahu kanan gadis disebelahnya. Setelah beberapa menit dia mengatur tempo untuk mendapatkan simpatik gadis didekatnya itu terlebih dahulu. Sementara bahunya yang sebelah kiri sudah menempel lebih dekat hampir menyentuh dadanya. Mereka berdua terlihat canggung sebelumnya. Saling menebar senyum manja yang sebenarnya justru terlihat menggelikan bagi orang yang melihat. Begitulah Ken memulai aksinya lagi. Merayu Rara, target baru yang akan dia kencaninya bulan ini. Maklum wajahnya yang tampan membuat banyak gadis disekolah seolah tersihir dengan pesonanya.
Tapi tidak sedikit juga gadis yang sangat membenci dirinya. Sifatnya yang sombong dan angkuh juga membuatnya terkenal menjadi preman disekolah. Dengan dua tangan kanannya Aldi dan Remon dia sering sekali berbaku hantam dengan anak lainnya. Ruang konseling sudah seperti kafe ngopi untuk mereka. Tapi karena anak donatur membuat mereka tidak bisa dikeluarkan dari sana.
" Kamu jomblo kan?" tanyanya pada sambil memiringkan memiringkan sedikit lebih dekat wajahnya menatap Rara.
Rara yang memang sudah sejak dulu memendam rasa terlihat malu-malu mengangguk. Bagi gadis disekolah itu menjadi pacar Ken adalah hal yang membanggakan. Mereka akan dianggap masuk dalam deretan gadis dengan predikat "Golongan cantik" yang cantiknya memang diakui. Ken tidak mau memilih gadis dengan wajah biasa. Selain itu mereka bahkan bisa mendapat banyak keuntungan jika bisa menjadi pacarnya. Ken yang sangat suka menghambur-hamburkan uang bak anak sultan terkaya didunia. Anak emas satu-satunya.
Jawaban itu disambut girang oleh Aldo dan Ramon yang tadi duduk diatas meja didepan mereka langsung mengangkat tangan dan saling berjabat tangan girang.
"Roman-romannya pacar baru nih bos!" Goda Aldo pada Rara.
"Aku sih yes nggak tau kalo bidadari disebelah" jawab Ken menimpali.
Buaian dan rayuan meluncur deras seperti biasa. Sejauh ini cara ini cukup ampuh untuk mereka mendapatkan hati para gadis. Tanpa banyak cara Rara sudah jatuh kepelukannya.
Drattttt !!! Pintu kelas yang semula kosong itu terbuka lebar. Dibuka dengan penuh kemarahan. Seorang gadis lain dengan dua ikat rambut kepang dikepalanya tiba-tiba datang menghampiri mereka. Matanya terlihat merah setelah beberapa saat lalu mendengar dan menyaksikan langsung drama dibalik celah pintu yang tidak tertutup rapat. Dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Hatinya hancur saat kekhasihnya itu merayu gadis lain disaat hubungan mereka masih baik-baik saja.
"Ken Kenapa kamu tidak kekelasku?" tanya Lidia polos.
Matanya masih bisa menahan tangis dibalik kaca matanyanya yang besar. Masih berharap bahwa Ken hanya bermain-main dengan Rara. Dia masih berharap bahwa Ken akan kembali padanya seperti kemarin yang tidak akan berpaling hati menjadikannya yang terakhir.
"Untuk apa? Minta elu ngerjain tugas! Hahaha."
Suara tawa Ramon menggelegar bersaman dengan lainnya.
Lidia sadar selama ini dia hanya dimanfaatkan oleh mereka. Dari sekian banyak gadis yang dipacari Ken hanya dia yang bertahan dari awal. Dia bahkan tahu Ken sudah beberapa kali gonta ganti pacar didepannya secara terang-terangan dan semua orang tau itu. Setiap kali dia ingin mengakhirinya Ken selalu datang dengan rayuan seolah dialah satu-satunya yang ada dihatinya. Ken bahkan tidak pernah malu mengakuinya didepan umum meskipun kenyataannya dia hanyalah gadis kuper yang lebih sering jadi bullyan anak-anak lain. Mengantarnya pulang sekolah bahkan mengenal kedua orang tua Lidia dengan baik. Membuatnya benar-benar yakin bahwa Ken sebenarnya memang mencintainya. Meskipun dia juga terkadang membuat hatinya lelah.
Ken kini berdiri perlahan menghampiri Lidia. Membuat suara tawa yang tadinya riuh menjadi beku. Matanya menatap Lidia Tajam dan perlahan menyentuh kedua pundak Lidia. Suasana yang tidak pernah dibayangkan Lidia sebelumnya. Peluk aku Ken ! Pilih aku! Teriak Lidia dalam hati setelah melihat kesekitaran yang kini menjadi pusat perhatian.
"Ken.." panggilnya lirih ditelinga kekasihnya itu saat jemari-jemarinya mulai menyentuh rambutnya dan membuka ujung tali rambutnya.
Ada rasa tidak nyaman yang coba dia sadarkan dari diri Ken. Seolah mengatakan "jangan lakukan ini" namun mulutnya justru terkunci rapat. Rambut Lidia yang semula rapi memjadi ikal terurai tidak beraturan. Lidia tidak tahu apa yang akan dilakukan Ken padanya sampai pada akhirnya Ken mencoba membuka satu kancing baju dibawah lehernya yang sebelumnya Sudah terbuka.
Plakk.
Tangan Lidia mendarat telak dipipi Ken dengan kasar. Dia merasa hampir dilecehkan oleh pacarnya sendiri. Beberapa dari yang melihat tertawa senang. Menunjukkan seberapa mengerikannya anak zaman sekarang ini. Kenpun tersenyum bengis sambil mengelus pipinya yang terlihat memerah. Remon dan Aldi berusaha membalas Lidia namun ditahannya.
"Ken maafkan aku.."
Pinta Lidia dengan rasa bersalah namun tangan yang ingin menyentuh pipi itu ditepis kasar. Baru kemarin Ken datang kerumahnya. Bercanda dan tertawa seperti keluarganya sendiri dirumahnya seolah tidak ada jarak diantara keduanya. Dan kini mereka bertengkar seperti pendendam yang saling bertemu dan kemudian meledak.
"Beginikah caramu memperlakukan pacarmu? Menamparnya didepan umum dan mempermalukannya !" bentak Ken kencang.
Lidia tidak percaya dengan ucapan Ken. Bukankah seharusnya dia meminta maaf lebih dulu. Kenapa dia berbicara seolah-olah dirinyalah yang bersalah.
"Kita bicarakan semuanya baik-baik." Pinta Lidia masih berharap sambil menggenggam tangan Ken.
Sudah pasti ditepis untuk kedua kalinya. Ken terlihat begitu murka. Dia yang angkuh bahkan seperti tidak mau lagi melihat wajah Lidia.
"Lihatlah semua gadis yang kupacari. Mereka cantik dan populer ! Apa yang bisa kuandalkan dari kutubuku sepertimu." Mendorong Lidia sampai beberapa kali kebelakang," Lihat dirimu! Sadarlah ! Bahkan penjaga kantin lebih cantik dan sexy daripada dirimu."
Tangis Lidia tidak tertahan lagi. Perasaannya kini berubah menjadi marah yang tidak terbendung. Tangannya mencoba menampar sekali lagi, berharap orang yang ada dihadapannya itu sadar dengan ucapannya namun ditepis oleh Ken.
"Lalu apa arti semua yang kita lalui !" teriak Lidia marah.
"Jangan pernah muncul dihadapanku lagi ! Orang sepertimu jangan pernah bermimpi untuk menjadi pacarku! Bahkan manekin dipasar tetlihat lebih cantik dibanding dengan wajahmu yang buruk rupa !"
Lidia terdiam. Rasanya sudah cukup dia berharap, sudah cukup dia percaya sampai dimana Ken akan berubah. Bayangan waktu-waktu yang dilaluinya bersama orang dihadapannya tiba-tiba muncul dihadapannya. Tawa yang pernah dia bagi untuknya dan semua kenangan yang mereka lalui ternyata selama ini palsu. Dia bahkan tidak butuh alasan lagi kenapa Ken memacarinya selama dua tahun ini. Hatinya sudah hancur sekarang.
Ken kembali menghampiri Rara menggandengnya dengan erat. Mencoba meninggalkan Lidia yang mematung meskipun bahunya sudah hampir jatuh ditabrak Aldi dan Ramon dan kini dengan sengaja Rara menabrak bahunya sampai terjatuh kelantai kelas. Sampai kacamata besarnya terlepas entah kemana.
"Dasar brengsek gila !!! Kamu akan merasakan apa yang kamu lakukan padaku. Jika wajahku begitu buruk dari patung ! Bahkan setanpun tidak sudi menjadi pacarmu samapi kau mati!" teriak Lidia kesal sambil tersedu-sedu.
Dari balik bayangan-bayangan yang mulai meninggalkannya, Lidia kini mulai mencari-cari kacamatanya yang terjatuh entah kemana. Dunia terasa tidak adil untuknya saat dia melalui semuanya sendiri. Bahkan kacamatapun meninggalkannya saat dia dalam keadaan kacau. Sesosok tangan dingin menyentuh tangannya. Membuatnya tersentak mendongak kearah wajah yang tidak terlihat itu. Jantungnya hampir terlepas melihat sosok didepannya yang tidak berwajah muncul didepannya. Membuatnya hampir berlari ketakutan. Dan tangan dingin itu langsung memasangkan benda mungil yang sekarang sudah menempel disepasang matanya yang kecil.
"Astaga kufikir kau hantu." ucap Lidia memegangi dadanya lega.
Sesosok gadis berseragam lengkap sama sepertinya kini jongkok didepannya sambil tersenyum. Lidia lupa jika sebelumnya dia tidak mengenakan kacamata. Mengira gadis dihadapannya seorang hantu sekolah yang suka dibicarakan orang-orang minggu ini. Cantik dan terlihat cukup ramah.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanyanya terlihat penasaran.
"Kenapa kamu masih disini?" tanya Lidia balik," Kalau mereka tau kamu membantuku mereka akan ikut membullymu."
Gadis itu terlihat celingukan seolah mengatakan tidak ada siapapun dikelas ini tanpa menjawab pertanyaan Lidia. Dia lalu membantu Lidia berdiri. Menemaninya membasuh wajahnya ditoilet. Mereka terlihat akrab meskipun tidak pernah bertemu sebelumnya. Itu mungkin karena Lidia memang sangat suka menyendiri sejak awal. Dan disekolah ini tidak ada yang mau berteman dengannya karena penampilannya yang kuper. Hanya ada buku dan buku yang dia kenal selama tiga tahun. Dia bahkan belum pernah pergi jajan kekantin satu kalipun selama dia bersekolah. Dia berfikir dikantinpun dia akan tetap diperlakukan berbeda oleh anak-anak lainyya. Meskipun sebelumnya Ken sudah berjanji akan membunuh semua anak yang menyakitinya namun dia tetap tidak pernah pergi kesana. Sebelumnya Lidia bahkan dijadikan tameng oleh teman-temannya. Uang jajan yang dirampas, tugas yang diminta, dan semua hal yang membuatnya bersekolah seperti dineraka sebelumnya. Sampai Ken menyelamatkan hidupnya meskipun dia juga memperlakukan hal yang sama padanya. Bagusnya aturan itu hanya berlaku untuknya dan tidak untuk orang lain
Ken yang kedua orangtyanya berada diluar negeri menjadi sangat dekat dengannya saat bertemu dengan orangtua Lidia. Bahkan lebih dekat dari orangtua kandungnya sendiri.
"Kamu dikelas mana sepertinya aku tidak pernah melihatmu?" tanya Lidia lagi sambil mengusap wajahnya dengan tisu dari kantongnya.
"Benarkah? Aku sering melihatmu di perpustakaan setiap hari dengan bekal makananmu." Jawabnya sambil berjalan keluar meninggalkan Lidia yang langsung mengikutinya.
Saat keluar dari pintu toilet hampir saja Lidia menabrak ketua geng yang menghinanya tadi. Wajah Kenpun terlihat kesal bertemu lagi dengan Lidia. Tapi saat melihat orang yang berada disamping Lidia dia menjadi bungkam. Dan Lidia tentu saja tidak suka dengan pandangan yang sekarang terlihat mengerikan itu. Dengan sigap Lidia menggandeng tangan Kaisha pergi.
Ramon dan Aldi terlihat heran dengan Ken yang sama sekali tidak konsisten itu. Bagaimana bisa dia kembali menebar senyum pada gadis yang sudah dia buang beberapa waktu lalu.
***
Siang ini Ken dibuat penasaran dengan gadis yang bersama dengan Lidia kemarin. Dia beberapa kali pernah melihatnya sebelumnya tapi tidak pernah tau siapa dia sebelumnya. Sampai akhirnya dia mencari tahu sendiri kesetiap kelas yang ada dilantai tiga deretan kelasnya. Hanya ada satu kelas yang belum dia datangi tapi itu tidak membuatnya cukup yakin untuk kesana. Kelas dari manusia yang dia sebut paling jelek didunia.
Dengan wajah percaya diri dia mulai celingukan melihat kedalam kelas Lidia dari balik jendela luar kelas berharap bisa menemukan orang yang dia cari. Tapi usahanya sia-sia Lidia justru melihat wajahnya dengan pandangan melotot. Membuatnya ikut melotot kaget seperti melihat hantu. Dia kembali membenamkan wajahnya dibalik jedela berharap tidak pernah melihat mata yang hampir keluar itu lagi. Dan saat dia membalikkan badan. Dia berteriak kaget. Kaisha gadis yang dia cari kini sudah berada tepat dihadapannya. Tangan Kaisha dengan sigap menutup mulut Ken yang masih menganga sambil memegangi dadanya. Dan saat guru yang mengajar dikelas Lidia membuka pintu mereka sudah lebih dulu berlari bersembunyi dibalik sudut tangga sekolah. Mereka berdua tertawa lepas.
Kaisha tanpa canggung langsung menggandeng tangan Ken menuruni tangga. Membawanya melewati tangga menuju dikelasnya.
"Oh ternyata kamu anak kelas satu? Pantas saja tidak pernah bertemu Tanya Ken ramah.
Kaisha mengangguk pelan. Beberapa kali dia memberikan senyuman manis pada Ken yang terlihat begitu tersipu. Ken mulai melancarkan aksinya untuk mendekati gadis manis dihadapannya. Hanya saja dia sedikit ragu meskipun suasana kelas yang sepi pasti turut mendukung playboy cap krupuk sepertinya.
"Kemana teman-teman sekelasmu?" tanya Ken penasaran.
Untuk beberapa saat Kaisha terdiam. Wajahnya tertunduk lemah membuat Ken merasa bersalah sekaligus bingung dengan pertanyaannya tadi.
"Hari ini semua anak disini sedang melayat kak. Salah seorang teman kami meninggal semalam." ucap Kaisha sedih.
Ken merasa bersalah sudah menanyakan itu. Lalu memegang bahu gadis yang ada disampingnya itu. Menguatkannya agar lebih kuat meskipun dia tidak tahu seberapa dekat dia dengan temannya itu.
"Kenapa kamu tidak ikut kesana?"
"Aku trauma kak tidak bisa melihat tubuh orang mati. Aku takut tidak bisa bernafas lagi. Orang yang kusayang sudah..."
Ken menghentikan kalimat Kaisha dan langsung memeluknya erat. Mencoba menenangkannya yang terlihat hancur. Ken memang bukan orang yang peduli dengan kehidupan pribadi orang lain. Menurutnya akan lebih baik jika gadis yang ada disampinya itu menyimpan lukanya sendiri. Ken takut tidak bisa menghentikan kesedihan orang lain karena tidak tahu caranya menghibur diri.
Siang ini mereka menghabiskan waktu bersama disekolah. Bercerita panjang dan lebar tentang keduanya yang semakin akrab. Hari-hari berikutnyapun sama. Banyak anak yang membicarakan tingkah Ken yang berubah menjadi lebih ramah. Hanya satu orang yang tidak mungin percaya dengan perubahan itu. Lidia.
Jam istirahat sekolah dimulai lidia sudah siap dengan sekotak bekal dan sebotol air minum ditangannya menuju perpustakaan seperti biasa. Hanya saja ada hal yang membuatnya tertahan. Beberapa anak termasuk Aldi dan Ramon merapat kebibir pembatas dinding yang mengarah langsung kelapangan sekolah. Mereka terlihat riuh sambil mengomentari orang yang ada dibawah sana. Membuatnya penasaran dan akhirnya ikut menyaksikannya.
Ada Rara yang sedang berusaha menarik-narik tangan Ken yang tidak mau beranjak dari sana. Entah apa yang mereka perdebatkan aku memang sudah tidak peduli. Tapi mata Lidia beralih pada gadis yang ada disamping Ken yang duduk sambil menyilangkan tangannya diatas dadanya yang mnyembul. Gadis yang kemarin menolongnya. Namanyapun tidak tau dan sekarang Lidia tahu kalau dia hanya anak baru. Dia pasti juga sudah menjadi target Ken sejak bertemu kemarin. Didepan toilet.
***
Semakin hari berita perubahan Ken menjadi semakin populer. Mungkin Lidia satu-satunya orang yang tidak peduli dengan itu? Entahlah. Hatinya masih terluka. Setelah semua yang dia lakukan untuk orang yang sangat disukainya sia-sia.
Kali ini Lidia melihat Kaisha dan Ken yang semakin menggila dengan kemesraannya. Kemanapun mereka selalu berdua dan bergandengan tangan. Tak jarang anak-anak lain menganggap mereka berdua sudah sinting karena menggunakan sekolah untuk memadu kasih bukan untuk belajar seperti semestinya. Kaisha melambaikan tangan pada Lidia yang langsung menyambutnya meskipun ragu-ragu.
"Iya sayang sekali dia tampan tapi sedikit kurang waras."
"Setiap hari dia duduk dibangku taman sambil tersenyum sendirian sangat mengerikan?"
Suara obrolan diperpustakaan bahan menjadi sangat mengganggu dikepala Lidia sampai dia memonyongkan bibirnya agar mereka berhenti berbicara diperpustakaan. Entah dari mana asalnya dia merasa cukup kasihan pada anak baru itu. Dia mungkin sudah dipengaruhi oleh playboy cap botol kecap itu. Lidia berharap bisa menasehatinya sebelum dia menyesal seperti yang terjadi padanya.
Jam istirahat kedua berbunyi Lidia yang sempat ragu-ragu mencoba meyakinkan diri untuk berbicara empat mata dengan gadis itu. Ada yang aneh dengan gadis itu semua siswa dikelas satu tidak ada satupun yang mengenalnya. Lidia bahkan sempat menayakan pada beberapa guru yang mengajar namun hasilnyapun nihil. Sulit sekali mencari anak baru padahal dia cukup berbakat untuk menjadi populer.
Lidia berjalan pasrah kembali tanpa hasil yang membuatnya sedikit kecewa. Tangannya memandang jauh ketengah lapangan yang luas dihadapannya. Matanya mengernyitkan dahi heran. Rara dan Ken? Lagi!. Rara sedang berada difase ikhlas. Kalau saja dia tahu sebrengsek apa Ken dia pasti tidak akan sudi mengenalnya sepertinya. Lidia tiba-tiba mengingat jika ada Ken sudah pasti ada gadis itu disampingnya. Matanya terus mencari kesekitaran mereka berdua. Matanya kini beralih kewajah Ken yang beberapa kali melihat keatap gedung sekolah. Tidak ada siapapun disana hanya ada deretan bunga-bunga yang tertata cantik didalam pot yang berjajar dibalik dinding pembatas disetiap lantai. Dan saat Lidia melihat dengan seksama dia cukup yakin dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sebuah pot bunga yang bergerak-gerak tanpa sebab yang mungkin sebentar lagi akan jatuh dari lantai dua. Tepat diatas kepala Rara. Lidia sendiri tidak yakin dengan apa yang dilihatnya dia langsung berlari mendorong tubuh Rara sampai tersungkur kedasar lapangan sekolah.
Darrrrrrrrrrt!
Pot itu jatuh sepersekian detik setelah mereka jatuh tersungkur. Lidia bahkan tidak percaya dengan apa yang dia lihat tadi seolah benda itu bergerak-gerak dengan sendirinya sebelumnya. Membuat semua orang yang melihatpun berteriak histeris. Banyak orang yang mengerumuni mereka berdua. Beberapa siswa mencoba mengangkat tubuh mereka yang terlihat syok. Lidia bahkan tidak bisa melihat dengan jelas apa yang baru saja terjadi. Yang dia tahu Ken bahkan masih mematung disamping gadis yang dia cari sejak tadi tanpa bergerak sedikitpun.
***
Suara tangis Rara membuat kepala Lidia pusing. Sudah hampir satu jam dia merenggek meminta pulang. Orang tuanyapun belum juga sampai tapi dia terus saja menangis histeris. Beberapa saat kemudia Ken datang menghampiri mereka. Membagi tubuhnya diantara tirai kain yang membatasi tubuhku dan tubuh Rara yang masih terbaring dimatras kasur berbeda. Dia tidak sendiri ada gadis yang tidak dia tahu namanya disampingnya. Dengan langkah perlahan dia menghampiri Lidia sementara Ken menghampiri Rara. Tanpa perlu melihatpun aku bisa tahu kalau Ken sedang memeluk erat Rara yang mulai menurunkan tempo tangisnya.
"Aku mencarimu sejak tadi." ucapku padanya lirih.
Dia masih tersenyum manis mendekati dan menyentuh tangan Lidia. Tangannya masih terasa dingin sama seperti dulu. Keluarga Rara yang datang membuat tangisnya kembali pecah. Ada suara Aldi dan Ramon juga terdengar disana.
"Rara lihat semuanya Mah Rara lihat." isak Rara dipelukan ibunya sebelum pulang. Sementara ayahnya dan lainnya kini berdiri disampingku yang masih terbaring.
"Terima kasih sudah menolong Rara tadi nak. Om tidak tau kalau tidak ada kamu disana." ucap ayah Rara yang terlihat tulus.
"Iya Om tidak apa-apa." jawab Lidia ramah
"Akhir-akhir ini Rara sering mengkhayal yang aneh-aneh. Dia mungkin cukup kelelahan dengan aktifitasnya yang padat. Sekali lagi terimakasih ya nak."
Ayah Rara pergi meninggalkan kami berlima. Wajahnya nampak lelah. Entah apa yang dia rasakan dia terlihat tidak cukup tidur. Terlihat dari matanya yang memerah dan kantung matanya yang membesar.
"Thanks ya Lid kita berempat pamit kekelas. Sorry untuk yang kemarin." ucap Ken.
Lidia membalas dengan senyuman kecut. Sabil memperhatikan tingkah konyol Aldi dan Ramon yang terus mengangkat tiga jarinya.
***
Lidia merasa ada yang ganjil dengan yang terjadi beberapa hari ini. Dia mulai mencari benang merah diantara peristiwa kemarin. Sebenarnya dia ingin mengajak seseorang untuk mencari tahu tapi dia lupa lagi menanyakan nama gadis itu kemarin. Mulutnya kini penuh dengan sandwich buatan ibunya tadi pagi. Berbeda dari biasanya yang melakuaknnya diperpustakaan. Sekarang dia justru duduk manis dibangku dibibir lapangan sekolah. Sesekali dia mencari wajah yang sudah tidam asing yang dia temui kemarin.
"Ngapain disini?" tanya seseorang mengagetkannya Lidia yang hampir tersendak.
"Nyari Kenzo yaaa..." imbuh Ramon yang bercanda tapi garing.
"Sembarangan !" jawab Lidia kesal lalu menutup kotak bekalnya.
"Mau kemana ikan kepang?" imbuh Aldi.
"Cupang." Ramon menabok mulut Aldi.
"Pulang kampung !" jawab Lidia ketus.
Lidia yang sudah berdiri langsung ditarik tangannya oleh Aldi. Membuatnya langsung terduduk seperti semula.
"Jangan suka ngambek ah." Rayu Aldi." gua mau ngomong nih serius."
Lidia menatap mata Aldi dan Ramon dengan alis terangkat. Memastikan apakah mereka bercanda atau serius. Tapi saat Aldi tiba-tiba tertawa membuatnya kembali naik darah. Dan kembali menahannya agar tidak kabur.
"Sebulan ini Ken aneh kita berdua sampe pusing." Ucap Ramon serius.
"Dan itu terjadi setelah kita berempat berantem dulu" imbuh Aldi.
"Terus?" tanya Lidia bingung.
"Ya maksud kita apa mungkin lo dukunin dia apa gimana?" tanya Aldi lagi.
Lidia kembali mengernyitkan dahi. Sejak kapan mereka berdua percaya dengan hal aneh seperti itu. Dan parahnya menanyakan itu padanya tentang hal aneh yang kental dengan ilmu perdukunan. Membuatnya tersinggung dan menganggap bercandaan mereka sama sekali tidak lucu.
"Ngaco ! Kenapa nggak nanya langsung kepacarnya yang sekarang?" tanya Lidia heran.
"Masalahnya Rara lagi depresi berat gara-gara diteror hantu!"
DEG.
Kalimat terakhir Aldi membuat Lidia menelan ludah. Meskipun dia beberapa kali menyangkal tentang ini. Pasti ini ada yang tidak beres dengan gadis itu. Lidiapun meminta mereka berdua untuk menceritakan kejadian-kejadian teror yang menimpa Rara. Rara sempat beberapa kali melihat Ken yang bertingkah aneh. Berbicara sendiri, tertawa sendiri, bahkan berlari-larian sendiri seolah ada orang yang menemaninya bercengkerama. Membuat otak Lidia kembali mengingat kejadian demi kejadian akhir- akhir ini. Mulai dari Rara yang terus menarik-narik Ken yang seperti patung, anak-anak lain yang menganggap Ken gila, yang paling aneh tentang pot yang bergerak sendiri yang hampir membunuh Rara. Sikap Ken juga tidak wajar dia bahkan tidak bergerak meskipun saat itu tangan dan kaki kami tergores cukup banyak.
"Sekarang Kalian tau dimana Ken?" tanya Lidia penasaran.
"Tadi kami melihat dia ada disini tapi setiap kali kami mendekat Ken selalu menjauh seolah tidak ingin berkumpul bersama kali lagi."
"Itu... Itu Ken..!!" Ramon memotong kalimat Aldi.
lidia melihat dengan jelas Ken sedang bersama gadis itu dilantai tiga. Melambaikan tangannya kemereka bertiga yang sedang melihatnya bertingkah aneh menurut kedua temannya. Lidia mencoba meyakinkan dirinya sendri. Tangan kanannya menunjuk Ken yang masih memandanginya sekarang sambil berkata.
"Apa kalian melihat gadis yang menggenggam tangan Ken sekarang ini?"
Aldo dan Ramon beradu pandang lalu tertawa kencang. Menertawakan lidia yang seolah bebicara ngawur.
"Apa matamu buta Ken sedirian disana sekarang." sanggah Aldo.
Melihat Lidia yang terdiam kesal langsung menghentikan tawa keduanya. Lidia masih menatap gadis itu yang sekarang menatap padanya tajam. Lidia mencoba melepaskan kacamatanya yang berembun. Mengusapnya dengan tisu dikantong saku seragamnya agar memperjelas penglihatannya. Entah darimana fikiran itu, Lidia teringat akan sesuatu sebelum kembali memakai kaca matanya.
Kejadian dimana pertemuan pertamanya dengan gadis itu dimulai. Jantungnya kini berdegup lebih cepat. Bayangan yang dulu sempat dia kira hantu sekarang memenuhi otaknya. Dia memberanikan diri menatap gadis itu dengan seksama. Kakinya tiba-tiba gemetar hebat. Sosok gadis yang tidak bermuka rata dengan baju putih sedang menatapnya tajam. Tidak lagi ada senyun disana wajahnya nampak pucat seperti manusia yang beku dari lemari es. Dilehernya banyak darah yang terlihat segar merembes kepakaian serba putihnya yang terlihat longgar. Sementara dia masih bisa melihat dengan jelas samar- samar wajah anak-anak lainnya. Dengan nafas terengah-engah Aldi membantunya untuk menenangkan nafasnya. Membiarkannya mengenakan kaca matanya dengan seksama. Gadis yang awalnya selalu terlihat manis itu kini menatap Lidia dengan tatapan tajam dengan penuh kebencian.
"Kamu kenapa Lidia?" tanya Ramon heran.
"Kita harus selamatkan Ken dia dalam bahaya. Ada roh jahat disampingnya." ucap Lidia terbata bata sambil mencengkeram kedua tangan pria itu.
"Apa maksudmu Lidia?"
"Kalian ingat saat di UKS Ken mengatakan kalian berempat? Itu salah satunya adalah roh itu ! Dan selama ini aku bisa melihatnya !"
Sempat tidak percaya akhirnya Aldi mulai menyadari perubahan-perubahan Ken yang terus menyebut-nyebut nama gadis yang bernama Kaisha. Dan Mereka berlari kesa-kesini membagi tugas mencari tahu tentang siapa roh gadis itu.
Sampai akhirnya mereka bertiga menemukan fakta bahwa Kaisha adalah anak baru yang meninggal sebulan yang lalu karena kecelakaan. Kekasihnya meninggalkannya sekarat dijalan dengan kaki dan tangan yang hancur. Dan hari ini adalah tepat empat puluh hari dimana dia meninggal. Mereka mencoba meyakinkan guru menelfon orang tua Kaisha untuk datang.
Suara riuh diluar sekolah membuat banyak orang berhamburan lari keluar kelas. Sesosok tubuh berdiri dibibir atap gedung sekolah. Lidia berteriak histeris melihat Kaisha yang menggenggam erat tangan Ken tersenyum jahat.
"Ken sadarlah ! Hidupmu masih panjang !" Teriak Aldo kencang.
"Kaisha jangan lakukan itu kumohon !" teriak Lidia histeris.
Lidia bahkan tidak bisa berfikir lagi. Membayangkan Ken sedikit saja kehilangan keseimbangan badanya dia bisa saja mati jatuh kedasar tanah. Kalaupun hidup dia akan mengalami kelumpuhan seumur hidupnya. Lidia menyadari kebenciannya akhir-akhir ini tidak berarti apapun. Perasaannya masih sama seperti dulu. Dan dia tahu kenapa Ken menyakitinya hanya untuk melepaskannya. Ken tidak bisa terlibat terlalu jauh dengan perasaannya padaku yang semula hanya karna kasihan. Dan saat dia takut melukai orang yang mulai dicintainya dia justru melepaskan karena takut melukainya lebih banyak.
Polisipun akhirnya datang bersama seorang perempuan paruh baya yang sekarang semuanya tau itu ibu kandung Kaisha. Lidia menarik tangan Aldo dan Ramon menjauh dari kerumunan. Menyusun rencana yang sebenarnya dia tidak tau akan berhasil.
"Setelah aku melepaskan kaca mataku tolong bawa aku keatap dengan cepat."
Meskipun bingung Aldo dan Ramon mengiyakan permintaan Lidia itu. Tangan Lidia kini memakaikan kacamatanya pada Ibu Kaisha yang langsung berteriak histeris memanggil-manggil nama anaknya. Seolah anaknya ada disana hendak terjun bebas bersama orang lain. Dan dengan susah payah Aldi dan Ramon menuntun Lidia yang mulai menaiki tangga.
"Ini Terlalu lama naiklah kepunggungku." Pinta Aldi.
"Kamu terlalu kecil naik saja kepunggungku !" balas Ramon.
"Kau bisa patah tulang jika menggendong gadis berisi seperti dia !"
Lidia kesal dengan perdebatan menyebalkan itu. Dengan penglihatan kabur dia menendang kedua betis pria didepannya itu. Bisa-bisanya mereka bertengkar disituasi genting seperti ini. Tanpa ragu dia langsung melompat kepunggung Ramon yang baru saja membullynya itu. Dan saat sampai diatas Lidia yang tidak bisa melihat jelas wajah Ken dan lainnya justru bisa melihat dengan jelas wujud asli Kaisha secara dekat.
"Tolong sudahi ini. Membunuhnya tidak akan membuatmu bahagia karena bukan dia yang kamu inginkan." Tangan Lidia mengulur pada Kaisha yang masih menolak." Lihatlah ibumu disana yang terus berteriak memanggilmu. Dia bahkan bisa melihatmu berkat kacamataku. Fikirkan bagaimana hidupnya setelah melihat putrinya meninggal untuk yang kedua kalinya. Meninggal dengan cara-cara yang tidak pernah diinginkannya. Aku yakin diapun akan melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan sekarang!"
"Hentikannn !!!"
Diarrrttttt. Suara petir menyambar disiang bolong setelah Kaisha berteriak, lalu menghilang seperti kilat. Hanya ada Ken yang terlihat bingung sekarang. Ramon menarik tangannya sampai kelantai atap sambil menghela nafas lega. Hanya Lidia yang sekarang termenung. Membayangkan kemana perginya gadis malang itu sekarang. Ini tidak akan pernah adil untuknya meski sampai kapanpun. Tapi ini juga bukan cara yang benar untuknya membalas dendam.
***
"Ibu Kenapa nenek memberiku kacamata semacam ini padaku?"
"Nenekmu adalah seorang dukun yang bangkrut dan dia hanya menyisakan kacamata itu untuk kita bertahan hidup!"
"Kenapa ibu tidak menjualnya?"
"Hanya orang bodoh yang mau membeli kacamata jelek seperti itu !"
"Lalu kenapa aku yang harus memakai benda jelek ini !"
***
" Tidak mungkin aku berpacaran dengan hantu. Dia gadis yang sangat baik."
"Apa perlu kita membawamu ke psikiater bos?"
Tangan Ken langsung memukul kepala Aldo dengan buku yang dia gulung ditangannya.
"Bagaimana dengan Lidia bos sepertinya aku mulai tertarik dengannya setelah menggedong tiga karung beras kemarin." imbuh Ramon.
Tangan Ken langsung mengarahka pukulan ke Ramon beberapa kali. "Jangan menyentuh apapun yang sudah dari awal menjadi milikku !"
THE END
BY GarraAyu