Rima menggenggam kunci rumah di tangan kanannya dengan erat seperti mencari kekuatan dari benda kecil yang sama sekali tak punya daya magis. Hembusan napasnya terdengar berat dan lelah. Sebelah tangan kirinya memegang tali ransel yang tersampir di pundaknya.
Setelah hari ini, ia tidak akan menginjakkan kaki di rumah yang telah menjadi saksi bisu kehidupan pahit keluarganya selama empat tahun terakhir. Setelah ini, ia tidak akan menjadi Rima yang sama lagi. Ia tidak akan menemukan tempat yang bisa ia sebut rumah. Karena sosok-sosok yang ia sebut keluarga telah tiada. Ia tidak akan pernah bisa merasakan yang namanya pulang lagi.
Seorang pria berpakaian necis dan berwajah kebapakan mendekati Rima dan menggiring Rima ke arah sebuah mobil hitam yang terpakir tidak jauh dari gerbang kayu yang reyot karena dimakan usia. Rima berjalan dengan gontai. Setelah berada di luar gerbang, Rima menghentikan langkahnya. Pria berpakaian necis itu juga ikut menghentikan langkahnya.
“Saya mau ngasih kunci ini dulu ke Bu Lastri, Pak,” ujar Rima. Ia menunjukkan kunci dalam genggamannya kepada Pria berpakaian necis itu. “Rumahnya yang itu!” lanjutnya sambil menunjuk rumah bercat biru yang berada tepat di sebelah rumahnya.
Pria berpakaian necis itu mengarahkan pandangan mengikuti arah yang ditunjuk Rima. “Apakah perlu saya temani, Nona?”
Rumi menggeleng, “Gak usah, Pak. Saya sendiri saja. Bapak bisa tunggu disini atau di mobil, saya gak akan lama kok.”
“Saya tunggu disini saja.”
Rima mengangguk, lalu melangkahkan kakinya ke rumah Bu Lastri. Setelah melewati pekarangan rumah yang dipenuhi pohon buah, semak berbunga, dan tanaman obat-obatatan, Rumi sampai di teras rumah Bu Lastri. Sebelum mengetuk pintu rumah, Rumi mengedarkan pandangan sekilas ke sekeliling pekarangan rumah Bu Lastri.
Bu Lastri merupakan wanita paruh baya yang gemar bercocok tanam. Segala pohon buah yang bisa ditanam dan mudah perawatannya, pasti ia tanam di pekarangannya yang cukup luas ini. Bu Lastri juga pecinta tanaman herbal, ia jarang memakai obat-obatan kimia ketika sanak-keluarganya sakit. Bu Lastri lebih memilih memakai tanaman herbal untuk mengobati sakitnya dan sanak keluarganya. Oleh karena itu, di pekarangannya ini, tersedia lahan khusus yang cukup luas untuk yang berisi tanaman obat-obatan.
Dulu, saat pohon-pohon buah ini siap untuk dipanen, Rumi selalu diajak Bu Lastri untuk ikut memanennya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk merujak. Bahkan, ketika Rumi akan berangkat sekolah, Bu Lastri memberikan dua kantong plastik hitam besar buah yang telah dipanen untuk dibagi-bagikan kepada teman sekolahnya. Serendah hati dan semenyenangkan itu Bu Lastri bagi Rumi.
Bagi rumi, Bu Lastri adalah ibu kedua baginya. Begitupula Rumi, Bu Lastri telah menganggapnya seperti anak perempuannya sendiri. Apalagi setelah anak-anak Bu Lastri meninggalkan rumah karena telah berkeluarga. Rumi sudah seperti anak kandungnya sendiri. Jadi, berpisah dengan wanita paruh baya itu akan menciptakan lubang luka tersendiri pada hatinya dan Bu Lastri.
Setelah seluruh luka menyebar dalam hatinya, Rumi berpikir, menambah satu luka lagi mungkin tidak akan ada bedanya. Oleh karena pemikiran itu, Rumi mengetuk pintu kayu mahogani berwarna putih di hadapannya. Pikirannya terasa kosong saat menunggu pintu kayu tersebut terbuka.
Bu Lastri membuka pintu pada ketukan Rumi yang ketiga. Wanita paruh baya itu hanya memakai daster lusuh berwarna cokelat tua. Rambutnya yang dipenuhi uban hanya digulung dan diikat menggunakan ikatan rambut. Kerut-kerut yang terlihat jelas di wajahnya menandakan bahwa usia telah menjalankan perannya dengan sangat baik. Meskipun begitu, Bu Lastri masih tetap cantik, kulit kuning langsatnya membuat wajah Bu Lastri terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Ketika membuka pintu dan melihat tamunya adalah Rumi, Wajah Bu Lastri dipenuhi senyum.
“Masuk, Nduk, ibu kira siapa. Ibu baru selesai masak sayur daun singkong sama nyambel terasi. Lauknya ada tempe goreng, itu makanan kesukaan kamu kan? Kita makan sama-sama, yuk! Keburu dingin.” Bu Lastri menjelaskan panjang lebar.
Ia membuka pintu lebar-lebar menyuruh Rumi masuk. Namun, Rumi menggeleng dan masih setia di tempatnya berdiri. “Disini aja, Bu. Maaf, Rumi gak bisa ikut makan sama ibu. Rumi juga gak bisa lama-lama disini, ada yang lagi nungguin Rumi soalnya,” ucap Rumi serak dan pelan. Rumi langsung meraih tangan Bu Lastri, meletakkan kunci rumahnya di telapak tangan Bu Lastri.
Rumi menggenggam tangan Bu Lastri erat sambil menundukkan kepala.
“Makasih. Makasih udah mau minjemin rumah ibu buat keluarga Rumi. Makasih, ibu udah mau direpotin keluarga Rumi selama ini. Makasih… Makasih udah mau jadi ibu kedua buat Rumi. Rumi benar-benar mau minta maaf kalo selama ini Rumi dan keluarga ada salah sama ibu. Kebaikan ibu, belum bisa Rumi balas.” Rumi terisak dan terbata-bata. Bu Lastri langsung menarik Rumi ke dalam dekapan hangat wanita paruh baya itu.
“Rumi mau pergi, Bu. Rumi harus tinggal di tempat sahabat baik Bunda di ibu kota. Ini permintaan terakhir Bunda.”
Bu Lastri mendekapnya sangat erat. Wanita paruh baya itu ikut terisak. “Rumi tinggal sama ibu saja. Rumi kan udah Ibu anggap anak sendiri. Gak perlu pergi jauh. Disini Ibu sendirian,” isak Bu Lastri.
Rumi menggeleng kuat, terlalu kuat hingga rasanya lehernya akan terlepas. “Ini wasiat Bunda, Bu,” ucap Rumi lemah.
Rumi melepas dekapan Bu Lastri. Ia menghapus jejak-jejak air mata yang masih mengalir dari mata wanita paruh baya itu dengan sayang. “Ibu jaga kesehatan ya, nanti kalo ada waktu, Rumi bakalan sering kesini. Ibu jangan lupa kabarin Kak Mia dan Kak Jonah, suruh sering-sering mampir sini dan nemenin Ibu.”
Rumi berusaha terlihat tegar dihadapan Bu Lastri. Sebelum beranjak pergi, ia mencium kedua pipi wanita paruh baya yang masih terisak itu dengan cepat, lalu beranjak pergi. Rumi melangkah cepat melewati pekarangan menuju pria berpakaian necis tadi. Air matanya telah ia usap menggunakan lengan blush nya.
Pria itu menggiring Rumi menuju mobil hitam yang terpakir tidak jauh dari situ. Pria itu membukakan pintu mobil untuk Rumi, memasukkan koper Rumi ke dalam bagasi, lalu duduk di kursi kemudi. Setelah berada di dalam mobil, Rumi menurunkan jendela mobil di sebelahnya hingga ia bisa melihat Bu Lastri dengan jelas. Wanita paruh baya itu berlari ke arahnya. Bu Lastri mengangsurkan sebuah sweater rajut berwarna navy kepadanya. Di lengan bawah sweater itu terdapat bordiran namanya menggunakan benang putih. Tenyata wanita paruh baya itu sempat mengambil sweater hasil rajutannya itu dari ruang jahit sebelum berlari ke arah Rumi.
“Ini hadiah ulang tahun buat Rumi. Niatnya ibu pengen ngasih besok, sesuai tanggal ualang tahun Rumi. Tapi karena gak mungkin, jadi sekarang aja. Gak apa-apa ya, Nduk,” tutur Bu Lastri. “Sehat selalu ya, Nduk, makin cantik, makin pinter, selalu dalam lindungan Gusti Allah. Ibu selalu berdoa agar Rumi selalu berada dalam lingkungan orang baik-baik, orang-orang yang menyayangi Rumi. Jangan pernah mendendam ya, Nduk. Apa yang udah terjadi di hidup Rumi ini udah jadi suratan dari Gusti Allah. Jangan lupain Ibu ya, sering main-main kesini kalo ada waktu luang. Dah, ditutup jendela mobilnya. Ati-ati ya, Nduk. Jangan lupa baca bismillah,” lanjut Bu Lastri.
Rumi mengangguk sambil mengaminkan segala doa dari Bu Lastri. “Makasih kadonya, Bu. Rumi pamit ya, Bu,” ucapnya serak.
Setelah melihat Bu Lastri menangguk juga sambil melambaikan tangan, Rumi membalas melambaikan tangan dan menutup jendela mobil disebelahnya. Menyandarkan punggungnya, Rumi mendekap sweater rajut di tangannya erat sambil terisak.
Ternyata setelah berkali-kali terluka, Rumi tidak menyangka bahwa berpisah dengan Bu Lastri tetap semenyakitkan ini. Menyakitkan ketika orang-orang yang kau sayangi harus kau lepaskan dengan tiba-tiba, tanpa persiapan. Takdir kadang-kadang memang sekejam itu.
nice story
Comment on chapter BAGIAN SATU