“Galih, elo hanya akan berakhir dibodoh-bodohi sama dia,” ucap Ardi mengingatkanku di sela jam istirahat sekolah. “Dia cuma jadiin elo mainan barunya. I mean, she is… Sarah.”
“Selama ini kan kita cuma ngelihat dia dari luar. Kalau udah kenal dekat kan beda.”
“Lo yakin udah tahu dia sedekat itu?”
Aku hanya diam dan tidak menanggapi ucapan Ardi. Aku memilih menghabiskan semua makanan di hadapan dan berpikir tentang kejadian tadi malam. Malam tadi menjadi saksi seorang murid culun berdampingan dengan murid paling terpopuler di sekolah. Wow. Seberapa keren itu terdengarnya?
Bersekolah di SMA swasta elit dan masuknya pun untung-untungan lewat jalur beasiswa, aku dan Ardi memang seperti dua orang yang tersesat di antara keramaian yang tidak kami mengerti. Kami yang berasal dari keluarga biasa-biasa aja (ayahku seorang karyawan perusahaan biasa sementara Ardi memiliki ayah PNS) berada di tengah-tengah para siswa yang hampir 80% membawa mobil ke sekolah, 90% dari keluarga kaya dan 100% tidak mengenal siapa nama kami. Bagaimana rasanya melewati masa SMU menjadi bukan siapa-siapa? Bagaimana rasanya ketika rankingmu terus menurun dan akhirnya predikat siswa terpintar bukan lagi milikmu? Setidaknya Ardi masih konsisten masuk jajaran ranking lima besar. Namun sudah sejak tahun kedua, aku berhasil turun dari kastaku sendiri dengan menduduki ranking ke-12. Sebelumnya aku ranking 6. Kini semua orang sudah pasti tidak akan tahu dan bahkan sadar aku pernah ada di sekolah ini.
Tapi semua berubah saat pentas sekolah minggu lalu aku membantu Sarah secara tidak sengaja. Sarah Shelfianira, si cewek populer yang tergabung di dalam team cheerleader akan segera tampil namun dia lupa membawa sepatu sneakers favoritnya. Masalahnya, sneakers Sarah adalah sneakers lama yang memang tidak berasal dari brand ternama dan dia suka memakainya hanya karena merasa nyaman. Ketika aku yang menjadi panitia pentas melintasi ruang dan ia melihat ke arah sepatuku, ia langsung menunjukku dan memohon meminjamkan sepatu. Aku ingat sekali baru detik itu aku memandang dan bicara sama dia dalam jarak yang sangat dekat. Baru kali itu juga dia memandang ke arah mataku dan bertanya tentang sesuatu untuk meminta persetujuanku. Aku hanya mengangguk, memasang tampang melongo dan merelakan sampai pulang ke rumah hanya memakai kaus kaki karena sepatunya masih belum kembali. Tapi biarlah bila Sarah yang menyimpannya. Aku malah merasa senang entah kenapa.
“Sebenarnya apa sih yang terjadi malam itu pas elo jemput dia? Coba ceritain lebih spesifik,” Ardi kembali menanyai. Aku ingin menjawab namun bel tanda masuk bertepatan dengan mulutku yang membuka. Akhirnya aku hanya mengangkat bahu dan meninggalkan Ardi yang memang berbeda kelas denganku.
Aku yakin kalaupun gue katakan yang sejujurnya, komentar Ardi pasti hanya akan menjelek-jelekkan Sarah. Tapi Ardi tidak tahu apa yang terjadi. Dia tidak ada saat aku menyaksikan langsung bahwa Sarah memang bukan Sarah seperti yang banyak orang kenal. Sarah yang aku lihat malam tadi bukan Sarah si gadis populer, Sarah yang dijuluki Taylor Swift SMU Kusuma Wijaya karena hobinya gonta-ganti pacar terus, bukan pula Sarah seperti dalam cerita mulut-ke-mulut yang sering terdengar. Sarah yang aku kenal malam tadi adalah Sarah yang ramah sekaligus rapuh dan… membuatku semakin suka sama dia.
*
Waktu itu jam 7 malam dan sebuah telepon dari nomor tidak dikenal memanggil-manggil. Dengan malas dan cuek, aku mengangkat HP.
“Halo?”
Satu suara lembut terdengar menyahut salam. Suara yang membuat aku tidak berani menduga namun akhirnya aku sebutkan juga nama itu.
“Sarah?”
“Wah, kok elo tahu sih?”
Aku berusaha menyimpan kegugupan. “Darimana elo tahu nomor gue?”
“Haha… ada deh. Gue kan banyak agen rahasia. Gue selalu tahu apa yang pengen gue tahu. Oh ya, sepatu lo masih ada disini nih. Mau ngambil gak? Atau gue kirim ke alamat rumah elo?”
“Enggak perlu repot-repot. Nanti aja kalau ketemu di sekolah.”
Aku mendengar jeda panjang dari telepon di seberang.
“Oh ya udah… oh ya, nama elo Galih kan?”
“Kok lo tahu nama gue?” Hatiku kaget bercampur senang dia tahu namaku. Namaku di-notice sama cewek paling terkenal di sekolah!
“Gue tahu dong. Gue kan juga merhatiin sekitar. Cuma elo aja jarang bergaul dan sombong jadi susah diajak temenan,” seloroh Sarah di seberang. “Oh ya, lo malam ini kosong?”
Jantungku berdegup sebentar. “Kosong? Maksudnya?”
“Lo ada kerjaan atau gimana?”
“Hahaha… gak tau nih.” Duh respon macam apa ini. Aku mendadak jadi bego.
“Gapapa kalau emang sibuk… gue cuma nanya kok. Ya udah nanti besok gue bawa sepatunya ya. Bye Galih,” Sarah langsung menutup teleponnya.
Sementara itu aku masih terdiam di tempat dengan HP menempel di telinga. Tadi seperti mimpi dan aku masih bingung harus melakukan apa : apa aku telpon dia balik dan bilang malam ini aku sama sekali tidak sibuk? Siapa tahu dia ingin aku mengajaknya jalan? Atau jangan-jangan ini cuma semacam prank call dia dan teman-temannya di sekolah buat mengerjai aku? Entahlah. Aku terlalu bingung untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yang ada malah akhirnya aku sibuk berpikir, menyangka-nyangka sesuatu dan berakhir ketiduran. Sampai sebuah dering telepon kembali memanggil jam setengah 12 malam tersebut. Tentu asalnya juga dari Sarah.
Maka aku benar-benar pergi dan menemui dia di depan sebuah kafe yang nampaknya sudah tutup karena semua lampunya mati dan pintunya sudah terkunci rapat. Aku melihat dia, masih cantik tapi ada yang berbeda dengan Sarah yang biasa aku lihat di sekolah. Saat motorku berhenti dan dia mendekatiku, aku bisa melihat sorot mata yang layu seperti habis menangis. Aku baru tahu bagaimana dia terlihat saat sedih.
“Sori ya gue ngerepotin elo… kejadiannya panjang. Dion sama gue berantem terus tiba-tiba dia ninggalin gue gitu aja.”
Aku hanya mengangguk pelan. Dalam hati aku tahu jelas bahwa Dion, anak kelas sebelah itu memang adalah pacar Sarah sejak sebulan yang lalu.
“Jalanan udah sepi. Pas gue bingung mau menghubungi siapa gue lihat nomor lo dan gue berharap lo masih bangun,” Sarah menjelaskan.
“Ya udah naik yuk. Biar gue anterin sampai rumah.”
Maka Sarah naik di boncengan motor dan aku ingat betapa perasaanku campur aduk selama perjalanan mengantar dia pulang tersebut. Kita bicara banyak hal dan segala yang kita bicarakan membuat aku menyimpulkan kalau dia memang bukan hanya seorang gadis populer saja. Dia seseorang yang enak diajak ngobrol dan dia selalu mendengarkan ucapanku. Kita bicara banyak hal mulai dari perasaan dia, reaksi dia pas tahu dia selalu jadi bahan gosip sekolahan karena selalu gonta-ganti cowok, unek-unek sebelum lulus, ketakutan nanti kuliah dimana dan banyak lagi…
Mendadak udara dingin malam itu terasa tidak ampuh lagi. Aku merasa begitu tenang. Aku merasa begitu nyaman. Dan Sarah yang terus bicara sementara aku memegang kemudi motor menyusuri jalanan yang lengang di tengah malam… tiba-tiba aku merasa semua tidak bisa lagi lebih indah dari ini.
*
“MANA TUH YANG NAMANYA GALIH?!!” Seseorang berteriak di kelas tepat setelah aku berjalan memasuki pintu. Semua teman-teman menatap ke arahku yang melongo sementara orang yang berteriak itu----Dion, langsung mendekati dan mencengkeram kerah bajuku. Mukanya benar-benar marah dan aku tahu aku dalam masalah besar.
“Lo kasih gue penjelasan lo ngapain deketin Sarah?!!” gertak dia sementara seisi kelas hening. Aku mendadak merasa ada di arena tinju dan semua teman-temanku cuma jadi penonton. Tidak ada yang bertindak atau berusaha membantu.
“Maksud lo apaan sih?” ucapku berusaha menahan ketakutan.
“JANGAN SOK BEGO! Sarah mutusin gue karena dia bilang elo ngajak dia pacaran!”
“Tapi gue gak ada hubungan apa-apa sama Sarah...”
“BOHONG LO!” dan belum sempat gue berkilah, dia meninju tepat bagian hidungku. Seisi kelas mendadak ramai. Orang-orang dari kelas sebelah sampai berdatangan. Ada yang bahkan menjerit ketika melihat hidungku mengeluarkan darah. Ketika aku masih syok dan hanya bisa terdiam lemas, yang aku ingat selanjutnya adalah guru yang datang dan menolong. Dion dijauhkan dan dibawa ke ruang BP. Setelah itu pandanganku sepenuhnya buram….
*
Aku bangun dan orang pertama yang kulihat adalah Ardi yang sudah duduk di dekat tempat tidur ruang UKS. Dia lalu menceritakan semua mulai dari Dion yang diskors karena memukulku, namaku yang mendadak dikenal banyak orang dan semua jadi bertanya-tanya apa benar aku pacaran sama Sarah.
Aku hanya mendengar ceritanya dan tidak berkomentar apapun. Aku bahkan bingung harus bicara apa. Semua begitu cepat, begitu aneh, begitu tanpa diduga. Yang benar yang mana pun aku tak tahu. Apakah Sarah tidak sengaja atau sengaja menggunakan namaku untuk putus dari Dion? Atau ini cuma salah paham karena Dion mudah emosian? Apakah yang terjadi malam itu—percakapan antara aku dan Sarah— benar-benar memperlihatkan the real Sarah atau sama seperti dia bohong ke Dion, dia juga berakting fake padaku? Entahlah. Begitu banyak pertanyaan di kepalaku dan sama sekali tanpa jawaban. Mungkin memang Ardi benar, aku yang tidak tahu siapa Sarah sebenarnya. Atau mungkin tidak ada yang tahu siapa dia sebenarnya.
“Tapi lo tahu gak, Gal,” cetus Ardi di tengah keheningan. “Sarah gak masuk sekolah hari ini.”
Aku terdiam mendengarnya.
*
Dan Sarah benar-benar tidak masuk sekolah lagi sejak saat itu.
Bahkan kabar lebih mengejutkan datang. Sarah melarikan diri dari rumah tanpa tahu kemana. Ini karena orangtuanya menemukan semua pakaian Sarah di lemari beserta koper menghilang. Sementara itu, semua orang di sekolah tidak tahu dengan siapa Sarah kabur, tak terkecuali aku. Dia tidak bersama Dion. Tidak juga kabur bersama Naro, Galih, Indra, Yoan, Rafli, Wisnu atau mantan-mantan dia yang lain. Sebuah kabar mengatakan ia kabur dengan lelaki SMU sebelah, kabar lain mengatakan ia pindah untuk dinikahkan oleh orangtuanya, kabar lain malah lebih mencengangkan dan sulit dicerna logika seperti misalnya dia diculik oleh salah satu mantan pacarnya yang dendam dengannya. Entahlah. Aku tak tahu. Beberapa bulan kemudian semua gosip-gosip itu terlupakan begitu saja ketika kami semua fokus pada persiapan Ujian Nasional.
Hanya saja sebuah hal kecil membuat aku kembali teringat Sarah—kira-kira beberapa hari sesudah pengumuman kelulusan SMU. Sebuah paket terkirim ke alamatku tanpa alamat pengirim dan diteruntukkan untuk namaku, “Galih”. Aku membuka kotaknya dan menemukan sepatu sneaker-ku yang pernah dipakai Sarah di acara pentas seni. Untuk beberapa saat, aku tersenyum tipis memandang sepatu itu. Semua kenangan tentang Sarah mendadak teringat. Malam yang dingin saat aku menjemput dia. Malam dimana aku merasa benar-benar jatuh cinta. Malam dimana aku merasa dia juga punya perasaan yang sama. Malam yang sayangnya mungkin hanya menjadi malam yang biasa saja, mungkin buat dia.
Aku mencoba sepatu lusuh itu namun entah kenapa ukurannya tidak muat lagi di kakiku. Detik itu juga aku tahu aku harus berhenti memakainya dan menemukan pengganti yang baru.
TAMAT.