Ruang sidang itu sama sekali tidak ramai. Hanya satu dua orang duduk di bangku peserta. Menyaksikan seorang tua yang sedang duduk di kursi pesakitan di hadapan. Terdakwa yang disidang oleh separuh dewan hakim saja. Habis kasusnya memang tidak penting. Tidak menyangkut soal pembunuhan ataupun korupsi. Hanya tentang pemotongan pohon milik perusahaan swasta secara liar.
“Jadi, benar Bapak sudah memotong jati di lahan XX?” tanya ketua hakim. Presidium satu di sidang hari itu.
Bapak itu, mungkin lebih pantas disebut kakek, tolah-toleh. Tampak kebingungan. Matanya yang mulai memutih karena katarak menengadah. Menatap kuyu presidium yang kini melotot padanya.
“Bapak? Ngeten, nopo saestu panjenengan mundut kayu dugi kebon XX?”
Hakim itu mencoba mengganti bahasa. Menduga si kakek tak paham Bahasa Indonesia. Namun responnya tetap sama. Kakek masih sama tidak pahamnya.
Kemudian seorang lelaki di belakang kakek berdiri. Mengangkat tangan, “Saya mau order, dewan presidium. Untuk penangguhan hukuman Kakek.”
“Kakek memang sudah pikun dan agak kehilangan pendengarannya. Mungkin saja kakek mengira dirinya sendiri yang memotong pohon itu. Kami dan sekelompok LSM lain sudah mencari bukti. Dan ada indikasi bahwa kakek difitnah.”
“Baik, apakah order dari saudara berkemeja biru garis-garis di depan saya dapat diterima?”
“Tidak sepakat, dewan presidium!” teriak seorang lelaki berjas borjuis.
“Kakek itu hanya berpura-pura pikun dan tuli! Perusahaan Bapak ZZ sudah menemukan bukti kalau dia memang mencuri dari lahan klien saya!”
Kakek yang polos itu memandang hampa ke depan. Tidak peduli dua peserta sidang di belakangnya sedang berdebat tentangnya. Antara menyelamatkannya atau tidak.
Order demi order tidak tersepakati. Dewan presidium mempersilakan pihak yang bertentangan untuk melakukan lobby. Lima menit berlalu. Dan mereka pun kembali. Melalui sampingku yang duduk tepat di tepi pintu masuk.
“Baik, berdasarkan lobby barusan, pihak satu dan dua sepakat untuk mencari lebih banyak bukti untuk memperkuat order mereka. Jadi keputusannya, sidang hari ini ditunda hingga dua minggu ke depan.”
Dua orang jurnalis yang duduk di sampingku bangkit. Mencoba mengambil lebih banyak gambar. Mendekati orang-orang yang terlibat dalam kasus itu. Aku pun yang juga jurnalis, melakukan hal sama. Mengejar orang-orang penting yang opininya kuincar untuk naik cetak.
Tapi padamu, aku tidak mau melaporkan hal itu. Karena semua itu hanya permainan role play yang sengaja diwujudkan dalam realitas konflik yang pelik.
Tidak. Alasanku menulis ini bukan juga untuk membuat cerpen. Atau laporan panjang kepadamu. Aku hanya ingin mengutarakan satu hal.
Sidang hari ini, pun kasus yang sudah dibahas sebulan lebih ini, adalah settingan. Kasus kecil yang sengaja dibesar-besarkan untuk kepentingan negosiasi bisnis orang-orang gila uang. Tidak ada order, klarifikasi, atau tiket-tiket sidang lain yang diucapkan dengan ketulusan. Karena setiap pihak terlibat di sana punya kepentingan politis yang harus diutamakan. Bahkan mereka yang selalu berkoar-koar soal kebenaran.
Tidak. Sidang hari ini hanyalah mainan. Sebentuk asusila mental pada kaum rendahan yang tak paham apa-apa soal kompetisi kotor negara. Dan siapa para masternya? Tentunya raja-raja penguasa. Raja-raja yang menjadi penggendut dompet tercepat. Raja-raja yang selalu haus menghisap darah rakyat. Menganggapnya sebagai insentif. Menghitungnya sebagai upah yang harus diterima dari “kerja” mereka yang sama sekali tak berfaedah. Dan bahkan memolesnya sedemikian rupa. Hingga orang-orang menganggap instansi mereka benar-benar produktif.
Tapi dari semua umpatan itu, di momen ini akulah yang paling terkutuk.
Sidang hari ini aku liput hanya untuk pengalihan isu.
Cerpen dari aku yang tak bisa memperkenalkan nama.