MEMBURU. Berkejaran napas remaja lelaki itu. Segenap tubuh lusuhnya bergetar hebat. Dalam kepalan tangan kanannya, tampak sebuah buku kecil tergenggam erat. Buku kecil yang, dalam sekian menit terakhir, berhasil mencekik jantungnya. Merampas udara dari kedua paru-parunya.
Satu kesan melesat dalam benaknya. Buku yang kini dipeluk kelima jemarinya itu…Sungguh luar biasa! Memang, ia tak merasakan apa-apa saat setengah jam lalu seseorang di jalan menghentikan nyanyinya. Menurunkan pelan gitar yang biasa ia gunakan mengamen dari tangannya. Lalu menggantinya dengan buku itu.
“Semua mimpimu ada di buku ini. Percayalah.” ucap orang itu sekilas. Mengusap rambutnya. Lalu pergi begitu saja. Meninggalkannya dalam ketermanguan. Setelah sekian detik terjebak dalam tanya tanpa jawaban, ia memutuskan untuk berhenti terheran-heran. Masa bodoh dengan orang itu. Memikirkannya malah akan membuat pekerjaannya –mengamen, tentu saja- terbengkalai. Akhirnya ia melanjutkan langkah. Satu, dua mobil, lantas ia datangi. Satu, dua refrain, usai disenandungkan. Namun tiba di mobil ketiga, ia membeku. Terdiam seribu bahasa. Rasa penasaran tiba-tiba menyerangnya. Membuat suaranya terganjal deru jantungnya yang, tanpa sadar, berpacu dua kali lipat lebih kuat. Mulutnya yang baru dalam proses akan melontarkan nada, kontan mengatup. Seketika ia berbalik. Berlari menuju gang terdekat, dengan kesadaran yang timbul tenggelam.
Semua mimpimu ada di buku ini. Percayalah.
Kalut, ia mengingat ucapan orang asing itu. Kalut, ia mengingat sikapnya, yang seolah telah mengenalnya bertahun-tahun. Dan yang terakhir, sekaligus yang paling membuatnya kalut, adalah secuil ingatan yang mendadak menerobos masuk memorinya, sesaat setelah mampu mencerna kalimat itu. Sebuah ingatan tentang MIMPI-nya!
Remaja itu menghentikan lajunya. Menyandarkan punggung penuh peluhnya ke dinding gang yang dimasukinya. Kemudian meluruh disana. Ditatapnya buku yang baru didapatnya dengan perasaan bercampur. Antara kesima, takut, dan penuh pengharapan. Sebuah ukiran kalimat berwarna emas, “Dekap Mimpimu di Utopia”, tertangkap matanya. Meletupkan berbagai spekulasi imajiner dalam benak, tentang siapa orang asing itu sesungguhnya. Barangkali orang tadi malaikat, yang selama ini mengawasi lika-liku perjalanannya. Barangkali juga Nabi Khidir, Nabi yang diduga dapat muncul dalam segala jenis rupa, yang konon hingga saat ini belum wafat juga. Barangkali…Barangkali…
Remaja itu menghela napas panjang. Perlahan, tangannya meraih sampul kusam buku itu. Dibukanya lembar pertama dengan sama pelannya. Lagi-lagi, satu kalimat yang sama mengandung “Mimpi” dan “Utopia” menyapa. Membuat sebulir airmatanya jatuh tiada terasa. Kenyataan bahwa di buku itu, kata “utopia”, (yang diketahuinya dari orang-orang memiliki arti “surga”) bersanding dengan “mimpi”. Membuatnya menduga, “mimpi”-nya (sesuatu yang dilupakannya selama ini, sesuatu yang sengaja ia tinggal saat tersungkur dan berjuang bangkit seorang diri), melekat erat dengan suatu zat yang tak berhubungan dengan dunianya lagi. Suatu zat yang abadi. Yang takkan terkejar lagi. Yang sudah “mati”.
Lembar pamungkas telah terlewati. Tangis rana sang remaja mulai menjadi. Ia yakin, orang asing tadi adalah malaikat, dan yang baru saja ia baca ini adalah buku catatan amal hariannya. Karena setiap huruf di buku itu adalah komponen yang menyusun sebuah alur kehidupannya. Setiap aksara disana adalah suka, duka, tawa, dan rindunya. Disana ia seorang tokoh utama!
Lemas, tangannya yang memegang buku terkulai di sisi tubuhnya. Emosinya tak lagi dapat terjaga. Berulang kali ia mengusap mata. Mencegah agar kabur tak melanda pandangannya. Namun sia-sia. Kabut kelabu tetap menghalangi penglihatannya. Tapi…Benarkah kabut ini adalah efek dari derasnya air mata?
Karena begitu kabut itu menyurut, pemandangan yang didapatnya tak lagi sama. Yang dilihatnya bukan lagi dinding gang. Melainkan sebuah jalan mega raya, yang keempat simpangnya dipenuhi kendaraan dan jelaga. Sang remaja lelaki mengerjap. Keheranan mendapati orang-orang yang berlalu lalang diantaranya, seolah tak menyadari kehadirannya. Jangan-jangan tebakannya benar. “Mimpi”-nya melekat erat dengan suatu zat yang tak berhubungan dengan dunianya lagi. Hanya saja dugaannya tadi terbalik. Karena kemungkinan kenyataannya, ia-lah yang sebenarnya abadi. Yang takkan terkejar lagi. Yang kini sudah…“mati”.
Penuh ragu ia amati keseluruhan tubuhnya. Kedua kakinya masih menapak. Yang berarti gravitasi masih menguncinya dalam kehidupan fana. Tangannya pun masih sama. Tak memegang gitarnya. Namun menggenggam buku kecil itu. Buku kecil yang kini, ukiran emas di sampulnya makin menguarkan cahaya.
“Buku…Apa ini utopia yang kau maksud?” tanya sang remaja, meneliti ukiran bercahaya itu dengan raut tak mengerti. Belum sampai ia mendapat jawaban, perhatiannya teralih. Sebuah rintih terdengar tak jauh darinya. Ia menoleh sekeliling. Mencari-cari asal suara. Dan napasnya sekali lagi tersita. “Mimpi”-nya berada kurang dari seratus meter darinya!
Hidup atau mati. Nyata atau ilusi. Sang remaja tak lagi peduli. Kalap, ia berlari. Menyongsong “mimpi” yang selama ini membunuh batinnya dalam sunyi!
“Ibu…Kemana Ibu selama ini?!”
Wanita kurus itu tak menjawab. Seolah tak merasakan rengkuhannya. Tak mendengar isakannya. Namun beberapa saat kemudian, wanita itu bicara.
“Nak…Dimana kau berada? Ibu masih disini. Di tempat terakhir kita terpisah.”
Sang remaja tercengang. Mendadak diliputi pencerahan. Rupanya, selama ini “mimpi”-nya tak pernah pergi. “Mimpi”-nya selalu ada disini! Terharu, tangisnya semakin menggugu. Dan lagi-lagi terciptalah kabut!
Dan saat kabut itu menyurut, mendadak semua kembali. Dinding gang jadi yang pertama dilihatnya. Bingung, terkejut karena tiba-tiba diseret dari “utopia”, membuat sang remaja panik. Dipandanginya buku di tangannya, yang ternyata hanyalah buku cerita dengan gambar seekor kancil. Tapi rupanya, “pencerahan” yang didapatnya tak terlunturkan. Kendati tak mengerti, ia tetap meyakini. Penglihatan yang diperolehnya adalah satu peluang menuju “mimpi”-nya. Menuju Ibu-nya yang bertahun-tahun tak ditemukan. Namun sungguh, rasa penasaran membanjirinya tanpa kendali. Oh Tuhan, apakah “utopia” tadi hanyalah reka imajinasi?
***