“Hidup ini tidak untuk meminta, tetapi berusaha menjalaninya.”
Menempati sebuah asrama sama sekali tidak membuatku benar-benar menjauh dari kehidupan ibu. Masalah demi masalah terus membayangiku. Permasalahan utamaku hanyalah dengan ibu. Aku tidak tahu bagaimana memutus ikatan masalah itu dengannya. Andai saja aku mempunyai sosok ibu yang semestinya, atau seorang ayah yang masih hidup, mungkin aku tak akan begitu membenci hidupku ini.
“Apa yang nenek tahu tentang kehidupan ini?” tanyaku pada wanita tua dengan garis keriput yang memenuhi seluruh wajahnya. Dia tengah mematik Api ke atas kompor ketika aku mengajukan pertatanyaan itu padanya. Sementara aku sendiri tengah mencuci piring sisa-sisa makan malam kami.
Nenek hanya tersenyum ringan. Matanya sedikit rabun sehingga sulit menempatkan pematik di posisi yang benar. Dia hendak memanaskan air untuk air minum kami. Selama liburan menjelang akhir semester ini, aku memang datang mengunjunginya. Hanya sekedar untuk melarikan diri sejenak dari Arza. Dia masih tetap dapat aku temui di sekolah dan itu membuat rasa bersalahku semakin memuncak. Jika saja ibu tidak melakukan sesuatu padanya, aku mungkin masih akan nyaman bersamanya. Sepertinya aku yang menjauhinya terlebih dahulu karena sadar diri dan bukannya sebalinya.
“Nenek jawab nanti saja ya! Setelah selesai membuat minuman hangat ini,”jawabnya. Aku pun kembali pada piring-piring kotorku. Aku terlalu tak sabar untuk mengadukan semua pada nenek.
Usai mencuci piring, aku duduk di ruangan tengah untuk menonton televisi. Tidak ada Chanel yang menarik, aku justru bergelut dengan ingatanku sendiri. Di ruangan tengah itu terpampang banyak foto kenangan tentang ayah, mulai dari ia masi kecil hingga dewasa dan berkeluarga. Ada juga beberapa fotoku dan Sam yang memenuhi laci kayu di sepanjang meja TV. Nenek menyimpannya dengan baik. Tidak ada yang menemaninya di rumah itu selain semua kenangan itu. Ada pula foto yang cukup besar di dinding dekat ruang tamu, foto keluarga yang lama dimana ada ayah dan ibu serta Sam dan aku yang masih sangat kecil dan lucu. Kami terlihat sangat bahagia meskipun kala itu ibu dan nenek sering bertengkar tentang hal-hal sepele tetapi di foto itu mereka tampak akur bersama.
Nenek sepertinya lebih mengenal sifat asli ibu lebih baik dari yang lainnya meskipun ia hanya seorang ibu mertua. Sementara ayah tidak pernah keberatan dengan sifat itu, ia menerima begitu saja apapun yang menjadi kekurangan ibu.
“Ini minumlah!” nenek keluar dari dapur sembari membawa dua cangkir minuman hangat di atas nampan. Aku meraihnya satu. Aroma jahe dengan sedikit gula aren dan serai menyeruak ke dalam hidungku. Dulu aku selalu benci minuman-minuman aneh seperti itu, tapi sekarang seleraku sudah berbeda rasanya. Aku suka tea jahe khas buatan nenek itu. Mungkin karena aku merindukannya.
“Kau ingin bicara apa tadi?” Tanya wanita tua itu sembari mengambil tempat duduk di sampingku. Aku tersenyum tipis sambal meniup-niup ujung cangkir yang masih sangat panas itu.
“Aku tidak paham apa yang diinginkan hidup ini dariku nek?” Ujarku dengan suara setengah serak.
Nenek diam menerawang sebentar sebelum menjawab pertanyaanku, “Kehidupan ini tidak pernah membencimu Freya, jangan salah paham!” katanya, “Mereka hanya ingin mengajarimu menjadi manusia yang sesungguhnya.”
Tapi aku membantah ucapan nenek, “Tapi semuanya tidak membuatku lebih baik nek, aku akan semakin berlari pada hal yang buruk jika mereka terus menguji tentang kebaikanku.”
“Memang begitulah Freya! Semua tergantung pada pilihanmu…”
“Lalu bagaimana jika aku semakin buruk setiap harinya nek? Bagaimana jika aku akan seperti ibu nantinya?”
Nenek beringsut memandangku dari samping, “Apa itu ketakutanmu?” tanyanya. Aku tak menjawab.
“Kau memang tidak akan pernah bisa memutus ikatan dengan keluargamu ataupun dengan ibumu. Tetapi satu hal yang harus kau tahu bahwa kau adalah kau dan ibumu adalah ibumu. Sekalipun di tubuhmu mengalir darah ibumu, itu semua tidak berarti. Darah hanya darah, tidak ada takdir yang sama di dalamnya.”
“Nek…” aku diam sejenak sebelum melanjutkan pertanyaanku. “Bagaimana jika aku mempunyai perasaan pada seseorang yang membuatku merasa bersalah padanya. Apakah aku boleh memiliki perasaan itu padanya?”
Nenek kembali mengamatiku dengan kelopak mata yang penuh dengan kerutan. Dia kemudian tersenyum sebelum mengalihkan pandangannya. “Kau sudah mulai beranjak dewasa rupanya?” godanya.
“Kau masih terlalu muda untuk memahami perasaan manusia. Tetapi tidak ada pula yang akan mampu menolak perasaan itu ketika dia datang menyapamu, cinta adalah hal yang indah Freya.” kata-kata yang mungkin tak akan aku dengar dari mulut ibuku. Katanya cinta hanya kebohongan, realita hidup yang akan mengalahkan segalanya. Aku tidak tahu harus mempercayai yang mana.
“Bagaimana jika aku menyukai seseorang yang tidak seharusnya nek? Seperti kakak tiriku sendiri?” aku bertanya kembali di sela percakapan kami. Awalnya tentang ibuku namun lambat laun, aku semakin terbuka hingga menyinggung tentang hubunganku dengan Arza. Nenek membuatku nyaman tertutama dengan pemahamannya akan suatu hal yang tidak pernah aku dapatkan dari ibu.
“Itu juga pilihan! Jika dia sangat berharga bagimu maka jangan lepaskan apapun yang terjadi diantara kalian, tetapi jika keberadaannya itu membebanimu maka lepaskan!” kata-kata yang semestinya memang aku pertimbangkan.
Tetapi pilihan dalam hidup ini tidak semudah ketika seseorang mengucapkannya. Ketika aku ingin melupakan perasaanku pada Arza karena tak sanggup untuk berhadapan dengannya, aku justru merasa tersiksa. Dan ketika aku ingin mempertahankannya, aku tidak memiliki keyakinan bahwa takdir di dunia ini pun akan mendukung.
Arza adalah sebuah takdir misterius di dalam hidupku. Dia datang dengan tiba-tiba sebagai sumber kebahagiaanku setelah sekian lama menjadi bagian dari kebencianku. Kedatangannya tanpa terduga membawa kotak-kotak misteri yang membukakan jalan-jalan baru menuju tingkat kesadaranku. Aku mempelajari banyak darinya tetapi juga terguncang setiap kali bersamanya.
“Nek… bolehkah aku melarikan diri dari kehidupan ini?” aku meletakan kepalaku di pangkuan nenek dengan nyamannya. Wanita itu tidak menolak dan justru membelai ujung kepalaku dengan lembut. Aku pun lenyap dalam kehangatan itu. Bebanku terasa menipis seiring jawaban-jawaban yang aku dapatkan dari semua pertanyaanku.
“Tidak Freya! Takdir kehidupan ini adalah sesuatu yang tidak bisa kau hindari. Kemanapun kau melarikan diri, kau hanya akan mengulangnya kembali meski di tempat yang berbeda.”
“Jadi aku tak boleh melarikan diri ke tempat nenek?”
“Kau tidak melarikan diri, tetapi disinilah memang rumahmu yang sebenarnya. Sejak kau masih kecil kau sudah berada disini ini. Jika kau merasa lelah dengan perjalananmu, kau dapat pulang kapan saja...”
Aku tidak bisa melepaskan ikatan dengan ibu, aku juga tidak bisa menghidari perasaanku dari Arza. Itulah yang aku dapatkan dari perbicangan panjangku dengan nenek. Dua minggu yang aku lalui bersama nenek terlalu berharga untuk sekedar menjadi persinggahan di antara dilemma kehidupanku. Aku memiliki tekad yang kuat untuk menghadapi masalah yang aku hindari. Setidaknya aku masih yakin bahwa di dunia ini masih ada tempat yang sudi menerimaku dari perjalanan yang melelahkan.