Saat musim panas kita merindukan Hujan.
Dan saat musim dingin kita merindukan bintang.
Tidak ada manusia yang benar-benar konsisten pada perasaannya.
~Freya
Hidupku seolah tersihir, bukan karena seluruhnya yang berubah. Melainkan karena aku yang mencoba membebaskan diriku sendiri. Adrenalin dan rasa percaya diriku berkembang pesat tak seperti saat pertama kali aku berada di sekolah itu. Aku tidak pernah peduli lagi cibiran mereka, bahkan jika aku menatap mereka pun, tak ada yang berani melanjutkan perkataannya.
Semua itu sejak teman-teman Arza yang mulai dekat denganku; Mira, Jason, Ray dan terutama pemuda bernama David itu. Mereka semua dari kelas dua belas tetapi tidak pernah mempermasalahkanku saat bergabung dengan mereka. Mungkin karena mereka cukup dewasa sehingga pikiran mereka lebih terbuka.
Mira contohnya, dia satu-satunya perempuan di geng itu namun cenderung mempunyai body tomboy. Aku tidak melihatnya saat pertama kali datang ke private party karena dia mempunyai acara sendiri dengan Jason- kekasihnya yang mempunyai perawakan Manado.
Sementara Ray, dia anak kutu buku yang katanya paling jenius di sekolah. Dia lebih cuek dibandingkan teman-temannya namun aku tidak tahu bagaimana dia bisa berteman baik dengan Arza tapi satu hal yang pasti mereka adalah anak-anak pesohor negara ini. Sementara yang paling akrab denganku adalah David- si misterius yang tak tahunya adalah putra seorang hakim Dia sering menghampiriku di kelas setiap jam istirahat untuk melindungiku dari bullying.
Akan tetapi hari itu menjadi kembali suram saat Jia kembali muncul di sekolah. Aku sudah melupakan semua kejadian di gudang kala itu, termasuk bagian dimana dia yang tak tulus berteman denganku. Namun aku tidak benar-benar bisa berteman dengan Jia seperti sediakala. Jia tampaknya tidak memiliki banyak perubahan, dia bahkan tak terlihat seperti seseorang yang sakit. Miko mengantarnya pagi itu dan dia tak menyapa sedikitpun saat melewatiku.
“Apa kabar?” sapa Jia sinis ketika mengambil tempat di bangku kosong sampingku. Biasanya dia lebih suka duduk di depanku, selangkah lebih baik dari diriku.
“Baik.” Aku menjawabnya dengan singkat. Dia menaruh tasnya di bawa kursi dan meletakan kedua tangannya di atas meja. Aku pura-pura tak mempedulikannya karena suasana diantara kami yang kurang baik.
“Aku tidak mengira jika kau juga sedekat itu dengan Arza…” dia kembali memulai tetapi nada bicaranya terasa sedikit berbeda. Aku sebenarnya cukup bosan jika dia terus membahas Arza. Mungkin selama ini aku yang terlalu bodoh menyadari dibalik perkataan bencinya pada Arza, Jia diam-diam menyukai laki-laki itu lebih dari siapapun. Mungkin sebelum berada di sekolah ini mereka pernah menjalin hubungan. “Dia bahkan datang untuk menolongmu.” Itu bermakna sindiran.
Aku masih diam, tak tertarik untuk menyahuti. “Apa sekarang perasaanmu telah berubah pada Arza? Kau tidak lagi membencinya seperti dulu bukan? Kau pasti menyukainya!”
Tapi semakin lama aku semakin tahan dengan ocehan gadis itu. Dia seperti tengah memancingku saat aku berusaha bersabar padanya. Aku bukan lagi gadis protagonist yang teraniaya olehnya, harusnya dia tahu itu sebelum memulai semuanya.
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” aku berangsur berdiri dari mejaku. Jia menatapku sebentar sebelum kembali mengalihkan bola mataku.
“Hanya memastikan saja jika kau tak menyukai Arza?” sahutnya sengit. Dia tidak terlihat seperti orang yang sakit. Aku jadi tak sungkan lagi untuk melakukan sesuatu padanya.
“Apa itu begitu penting untukmu?”
“Tentu saja penting! Aku tidak pernah suka pada orang-orang yang menyukai Arza. Mereka harusnya tahu diri jika mereka itu hanya gadis-gadis jelek!”
Aku kehilangan kata-kata dalam sekejap. Sifat tersembunyi yang tak pernah aku ketahui dari Jia akhirnya ia tampakkan begitu saja. Ada banyak orang di dunia ini yang menyembunyikan sifat aslinya. Saat aku masih berusia 5 tahun, mungkin aku tak akan bisa memahami hal itu. Namun di usiaku kini, semua kemungkinan itu tampaknya sangat nyata. “Jadi kau berteman denganku karena aku satu-satunya orang yang tidak akan menjadi sainganmu?” tebakanku membenarkan perkataan Jia.
“Tentu saja, jika kau menyukai Arza juga seperti gadis-gadis itu, mana mungkin aku mau berteman denganmu!”
Aku tersenyum miris mendengar perkataan Jia. Latar belakang apa yang membuat seorang gadis manis sepertinya menjadi monster yang licik. “Harusnya kau tahu, tidak ada seorang pun pula yang benar-benar mau menjadi temanmu.” sindirku balik membuatnya kembali menatapku terkejut.
“Apa kau sudah dengar jika aku berkelahi dengan Melisa? Alasan lain adalah karena dia tidak menghargai pertemanan, dia mengatakan padaku bahwa dia hanya berpura-pura menjadi teman seseorang.” Sindirku menjurus padanya. Kali ini justru Jia yang terdiam tak dapat menyahutiku. Namun bukan Jia namanya jika mengakui kekalahannya begitu saja.
“Kau pernah bilang Arza membencimu dan ibumu bukan? Lalu apa kau tidak ingin tahu alasannya menolongmu saat itu? Dia tidak mungkin tiba-tiba baik kepadamu begitu saja bukan?”
Aku mengenal isi pikiran Jia. Dia mencoba membuatku bimbang dengan meletakan keraguan di salah satu titik lemahku. Hingga saat ini aku memang belum mempercayai Arza sepenuhnya meskipun hubunganku dengannya akhir-akhir ini semakin membaik. Aku merasa dia menarikku dari lembah kesendirian sedikit demi sedikit. “Dan akhir-akhir ini, mengapa dia semakin mendekati dirimu? Apa kau yakin benar-benar percaya bahwa Arza melakukan semua itu dengan tulus? Hidup ini kejam dan tidak akan ada yang benar-benar mempunyai hati yang tulus…” aku tidak menanyakan pada Arza untuk bagian itu. Dia sejak awal bersikap dingin padaku mengapa bisa tiba-tiba dekat denganku.
“Kau itu tetap saja polos! Mudah untuk dikelabui, Freya!” ujar Jia kali ini dengan nada penuh penekanan seolah mengejekku. Dia juga mendahuluiku meninggalkan kelas.
Jia sepertinya mengetahui sesuatu yang barangkali memang tidak aku ketahui. Siapa Arza dan bagaimana sifat aslinya, mungkin hanya Jia yang lebih tahu dibandingkan aku. Tetapi mengapa semua kebimbangan itu menyertaiku disaat aku telah benar-benar nyaman karenanya.
******
“Hai…” sapa David yang baru muncul. Dia sepertinya datang terpisah dari Arza. Aku sengaja datang lebih awal ke club malam itu tanpa sepengetahuan Arza pula. Aku sudah tahu jalan ke tempat itu dan aku juga sudah cukup mengenal orang-orang di dalamnya jadi tak ada alasan untuk menunggu Arza yang mengajakku. “Kau datang sendiri? Biasanya dengan kakak penjagamu itu?” cibirnya mengambil tempat duduk di sampingku. Aku hanya tersenyum miring. Kakak penjaga? Aku saja meragukan bahwa dia telah menerimaku sebagai adik tirinya.
David mengeluarkan kotak cigarete dari dalam sakunya lalu mengambilnya satu dan menyalakannya di hadapanku. Aku baru tahu bahwa laki-laki itu merokok mengingat di sekolah dia seperti anak baik-baik yang penurut pada orang tuanya. “Kenapa? Kau heran aku merokok?” tanyanya santai padaku. Dia meluruskan kakinya dan bersandar di kepala kursi. Aku tak terlalu menganggap serius perkataannya meskipun tebakannya benar. Jujur saja aku sedikit kecewa karena pernah mengaguminya.
“Karena kau terlihat seperti anak baik di sekolah.” Sahutku tak membantah ucapan David.
David pun tertawa renyah. “Semua anak juga seperti itu! Pura-pura menjadi anak baik di depan semua orang. Tapi mereka sebenarnya tertekan.” Ujarnya tak terlalu memperhatikanku. Semua orang sepertinya bisa berubah menjadi orang lain saat mengalami hal-hal sulit.
“Kau sedang tertekan?” tebakku begitu saja. Dia hanya tersenyum menatapku, kemudian menghisap kembali cerutu-nya kembali dan menghembuskannya. Dadaku sedikit sesak karena ikut menghirup asap rokoknya.
“Anak-anak seperti kami, tidak mungkin tak pernah tertekan. Sementara orang-orang di sekitar kami lebih senang memperhatikan dirinya sendiri. Aku hanya ingin melarikan diri dari orang tuaku yang terlalu tinggi menuntutku. Setidaknya cerutu ini bisa membuatku rileks sesaat meskipun efeknya tidak sebaik marijuana.” Penjelasan laki-laki itu.
“Sejak kapan?” tanyaku lagi.
“Sudah cukup lama! Sejak SMP, aku sudah menghisap puluhan rokok tiap hari.” Aku tidak terkejut lagi. Tetapi dalam benakku muncul pertanyaan, apakah Arza juga perokok seperti David.
“Kau mau coba? Kelihatannya wajahmu pun lebih tertekan daripada aku-” Cibir laki-laki itu yang berakhir dengan tawa. Dia memang tak salah. Aku memang sedang begitu tertekan karena perkataan Jia pagi ini. “Tapi lebih baik kau tak perlu menyentuh barang seperti ini! Kau masih dibawah umur seperti kata kakakmu, hahaha…” Untuk sesaat aku merasa sedikit tersinggung. Aku tidak merasa menjadi anak kecil diantara mereka, setidaknya sepolos anak kecil hingga semua orang bisa mengelabuiku seperti kata Jia.
“Siapa yang bilang di bawah umur? Aku tidak peduli aturan itu!” ujarku sewot sembari meraih kotak cigarette itu dari atas meja itu. David tidak terlalu peduli dan malah lebih menantangku. Dia menikmati sebatang nikotin-nya dengan se-nikmat mungkin untuk mencibirku.
Aku menatap batangan nikotin itu dengan ragu. Tidak ada seorang pun di keluargaku dahulu yang merokok termasuk itu ayahku, bahkan ibu yang tampak seperti wanita licik pun tidak pernah berpikir untuk merokok. Tapi aku sudah tak peduli lagi dengan batasan apapun. Selama itu dapat membuatku keluar dari kepedihanku maka aku akan melakukannya. Lagipula menjadi anak baik bukan lagi passion-ku, aku ingin sekali-kali menjadi orang lain.
Sebatang rokok yang aku ambil dari dalam kotak itu pun hendak aku nyalakan ketika tiba-tiba sebuah tangan menahan pergelangan tanganku. Seketika aku mendongak dan terkejut melihat sosok Arza yang entah sejak kapan berada disana. “Apakah kau sudah lupa batasanmu?” ucapnya sarkartis.
Dia langsung merampas sebatang rokok dan korek api itu dari tanganku kemudian menatap David dengan tatapan tajam. Laki-laki itu pun buru-buru melepas cerutu dari mulutnya dan mengelak. “Aku sudah peringatkan padamu jangan pernah berusaha untuk mempengaruhinya! Apakah kau tidak paham bahwa seburuk apapun laki-laki tidak akan menjerumuskan orang lain ke lubang yang sama dengannya?” sergahnya dengan suara yang cukup keras. David berdehem sebentar lalu menaruh rokoknya yang masih menyala di atas asbak.
Aku mengamati wajah Arza yang tengah menatap David, rahangnya yang tampak mengeras. Dia sepertinya menyalakan David atas apa yang hendak aku lakukan. Tapi aku tak berani memotong perkataannya sedikitpun.
“Aku tidak bermaksud mempengaruhinya! Aku juga bahkan tidak menyuruhnya merokok kok!” Bela David di hadapan Arza. Aku baru sadar jika dia lebih pengecut dari yang aku duga, bahkan ia seolah ingin lepas tangan setelah tak sengaja menawariku cigaret.
“Aku sendiri yang ingin mencobanya!” potongku diantara perdebatan mereka. Arza mengalihkan pandangannya kembali ke arahku dengan geram.
“Aku hanya ingin menghilangkan beban di kepalaku. Dan aku pikir aku bisa menghilangkannya dengan nikotin.” Tubuh Arza terasa semakin menegang mendengar perkataaanku. Itu terasa dari tangannya yang semakin keras mengenggam pergelangan tanganku.
“Ayolah… Arza! Jangan terlalu serius begitu!” kali ini David mencoba menenangkannya.
“Diam kau!” sergahnya kembali. Genggaman tangannya bahkan hampir terangkat. Aku kembali menatap Arza dengan keberanianku yang tersisa. Dia sepertinya memang begitu marah padaku. Tetapi aku tidak mengetahui alasannya.
“Ayo… pergi! Kau tak seharusnya berada disini!” ujar laki-laki itu kemudian menyeret tanganku untuk mengikutinya. Aku tak sempat menolak ataupun bertanya apapun karena dia melakukannya tanpa persetujuanku lebih dahulu.