Tangan itu adalah tangan yang akhir-akhir ini menggenggamku. Entah sebagai seorang saudara tanpa darah ataupun sebagai orang lain yang bermakna. Dia jelas menunjukan perbedaan dengan dirinya yang lama. Perbedaan yang begitu jauh hingga aku seolah mudah terhanyut padanya. Entah dengan tujuan apa dia merengkuhku dalam jurang kesendirian, aku tidak tahu itu.
Arza masih berdiri di pinggiran pagar membelakangiku ketika kami tiba di tempat itu. Dia perlahan melepaskan genngaman tangannya dan beralih memandang gemerlap kota di hadapannya. Cahaya remang-remang dari lampu jalanan dan beberapa gedung percakar langit tampak seperti butiran-butiran bintang.
Aku mendekatinya perlahan dan ikut menempelkan jariku ke permukaan pagar. Kami masih berada di gedung yang sama, hanya berbeda lantai dari tempat biasa kami mengadakan private party. Aku tidak biasa memulai pembicaraan meskipun berbagai pertanyaan terus terbesit di otakku. Aku pun masih menunggu dan menunggu Arza yang akan menjelaskannya sendiri.
“Kau? Kenapa kau bilang sedang tertekan?” Tanya laki-laki itu akhirnya menghapus kesunyian. Aku masih menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Angin yang berhembus di atas gedung itu lebih lihai menerbangkan helaian rambutku yang tak terikat.
“Kenapa kau ingin tahu? Apa itu penting bagimu?” dibandingkan menjawabnya, aku lebih suka bertanya balik. Jujur saja aku juga marah karena perlakuannya yang seenaknya memaksaku, ditambah dengan perkataan Jia yang masih mengundang banyak pertanyaan.
Arza mengembuskan nafas panjangnya dan aku bisa mendengar suaranya.
“Jika kau tak suka aku mengetahuinya, tak masalah! Ku pikir akan lebih baik jika kau menceritakannya pada seseorang,”
“Pada siapa?” aku langsung memotongnya, seperti orang mabuk yang tak tahu diri dan penuh adrenalin. Arza hanya menatapku sebentar kemudian kembali beralih. “Dengan siapapun yang bisa kau percaya!” jawabnya membuatku sedikit tertawa. Meski dalam hati aku merasa miris.
“Aku tidak pernah berpikir mempercayai orang lain, bahkan itu dirimu sekalipun.” Sahutku sengaja menyindirnya. Mirip seperti perlakuan Arza dahulu padaku.
Satu detik, dua detik, Arza hanya diam. Dia masih mempunyai rahang yang keras meskipun tampak santai sekalipun. Diam-diam aku menunggunya menanggapi perkataanku tadi. Bagaimana perasaannya jika ada seseorang yang terus-menurus memojokkannya.
“Kau terlalu mirip denganku!” katanya kembali membuka percakapan. Tubuhku berdesir. “Dan aku pikir kita memang tidak jauh berbeda. Kau dan aku sama-sama terluka karena orang tua kita. Aku terluka karena perceraian orang tuaku dan kau terluka karena kelakuan ibumu. Kurasa itu bisa menjadi alasan kau bisa membagi bebanmu meskipun kau tidak mempercayaiku!”
Aku merasakan udara dingin semakin menyengat tubuhku hingga membuat paru-paruku berjinggit. Sementara perkataan Arza terasa seperti lilin yang tiba-tiba menyala diantara udara dingin itu. Hatiku pun luluh seperti salju yang meleleh perlahan. Aku menelan ludahku dengan susah payah sebelum kembali menyahutinya.
“Aku tidak tahu harus percaya dengan perkataanmu atau tidak, karena bagiku semua ini terlalu aneh. Kau yang dahulu begitu dingin dan membenciku mengapa tiba-tiba begitu ingin terbuka padaku. Kau membuat hari-hariku lebih menyenangkan, kau melindungiku, perhatian padaku. Apa mungkin kau mempunyai tujuan licik di balik semua itu?”
Aku mencobak menebak ekspresi Arza dengan pertanyaan itu namun yang aku temui hanyalah ekspresi datar.
“Ya… aku mempunyai tujuan…” Kini giliran aku yang dibuat terkejut dengan kata-katanya. Dia menatapku dari samping setelah puas menatap kekosongan dihadapannya.
“Aku ingin membuatmu jatuh cinta kepadaku. Setidaknya itu caraku untuk balas dendam padamu!”
Aku mencoba menyadarkan diriku dari kemungkinan bahwa kata-kata itu hanyalah kesalahan telingaku yang mendengarkannya. Sepanjang hidupku aku tidak pernah mendengar kata-kata seperti itu. Seorang yang membenciku berusaha membalas dendam seperti yang aku duga, hanya saja caranya tidak lazim yaitu membuatku jatuh cinta. Bagaimana kata-kata itu dapat keluar dari mulut Arza, dari seseorang yang jelas-jelas adalah saudara tiriku karena kedua orang tua kami yang menikah.
“Apa-maksudmu?” tanyaku kedua alis yang mengkerut. Aku tidak pernah menjadi setakut itu pada Arza. Dia menatapku dengan tatapannya yang begitu dalam hingga aku tidak dapat menyelaminya. Arza tak menjawab pertanyaanku, melainkan melangkahkan kakinya dengan pelan menghampiriku. Sementara aku tidak dapat menghindar sedikitpun. Tubuhku kaku, detak jantungku menghantam dan aku tidak bisa berpikir apapun.
Dia mengulurkan tangannya untuk menyetuh pipiku yang dingin lalu perlahan-lahan bergerak membelainya dengan hangat. Aku menutup mata berusaha menghalau detak jantungku menghentak-hentak. Lalu tanpa aku bisa melihatnya telapak tangan itu merengkuh kepala belakangku dan mendorongnya cepat hingga kedua bibir kami sailing menyatu.
Aku membuka mataku seketika dan terkejut. Tepat dihadapanku adalah wajah Arza yang hanya berjarak tak kurang dari satu-centi. Sementara bibirnya masih dengan hangat menempel di permukaan bibirku. Aku kehilangan jiwaku seketika itu, dan sebagian dalam tubuhku terasa merontah-rontah ingin melawan.
Lambat laun bibir Arza tak diam begitu saja, dia bergerak, melumat dan menyapunya dengan lembut hingga membuatku terbuai. Aku tidak penah berciuman sebelumnya bahkan untuk mempunyai seorang pacar pun tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Namun entah mengapa hati dan pikiranku tak sejalan kala itu. Aku ingin melawan, melepaskan diri darinya. Tetapi hatiku berkendak lain sehingga membiarkan begitu saja perlakuan Arza.
Arza melepaskan tautannya setelah beberapa saat. Nafasnya terengah-engah begitu pula denganku, namun dia tidak menjauhkan wajahnya sedikitpun dariku. Dia menatapku dengan bayang-bayang di matanya, memejamkan mata dan menyatuhkan permukaan dahinya dengan dahiku.
Aku tanpa sadar ikut memejamkan mata. Suhu tubuhnya terasa panas meskipun kami berada di ruangan terbuka sekalipun. Dan hatiku pun ikut menghangat dengan semua perlakuannya padaku. Itu bukan perasaan yang terlarang bukan? Perasaanku padanya dan perasaannya padaku. Kami adalah dua bersaudara yang tak memiliki ikatan darah, apakah sebuah hal yang terlarang jika aku menaruh perasaan padanya, jeritku di dalam.