Usiaku 10 tahun saat ibu memperkenalkanku pada suami barunya. Dia mengajak kami tinggal di rumah mewah miliknya di kasawan perumahan elit Jakarta. Suami ibu adalah seorang pengusaha berkebangsaan Jerman yang baru bercerai beberapa bulan lalu ketika kemudian memutuskan menikah dengan ibu. Aku tidak mengerti apapun kala itu selain hanya kenyataan bahwa aku akan tinggal bersama orang asing selama beberapa tahun kedepan.
Di rumah mewah itu, tinggal pula tiga bocah laki-laki. Satu berumur 14 tahun, satunya lagi 11 tahun dan yang terakhir 9 tahun, mereka anak-anak dari suami ibu. Anak pertamanya bernama Arzavier Fritz atau yang biasa dipanggil Arza. Yang kedua bernama Michael Iko Fritz atau Miko dan yang ketiga bernama Daniel Abraham Fritz atau yang lebih sering dipanggil Dani.
Aku tidak pernah lupa tatapan mata mereka saat pertama kali kami datang, tatapan tak suka. Anak ketiganya bahkan mendorong adikku hingga terjatuh saat dia memegang mainan miliknya yang berserakan. Miko menatap kami tak peduli sementara Arza, dengan raut dinginnya mengatakan pada adiknya bahwa dia lebih baik membuang mainan itu karena ayah mereka akan membelikan mainan baru untuknya. Dani pun menjulurkan lidahnya dan kemudian melempar mainan itu hingga hampir mengenai wajah adikku.
Aku tak merasa bahagia tinggal di rumah itu. Dan justru merasa begitu terbebani. Keinginanku untuk kembali ke Bogor dan tinggal bersama dengan nenek dari mendiang ayahku tak mendapat persetujuan dari ibu. Dia beralasan bahwa kami tidak akan mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak jika tinggal di Bogor. Aku pun tak dapat berbuat banyak untuk menentang pernyataan ibu karena kala itu aku masih seorang anak penurut yang tak mengerti apapun. Aku mengikuti semua perkataan ibu bahkan keinginannya untuk menjadikan aku bagian keluarga itu, hingga pada akhirnya aku mengetahui segala hal yang merupakan sisi gelap dari kehidupan mewah itu.
********
"Tuan muda! Mengapa anda memberikan semua makanan di meja untuk Boogie?" tegur seorang pelayan pada Dani ketika aku baru menginjak anak tangga terakhir. Ruang makan keluarga berada di sebelah tangga menuju lantai dua dan hanya dibatasi oleh tembok sebatas anak tangga terakhir. Aku berdiri kaku mengintip keributan yang terjadi di ruang makan. Bocah laki-laki bertubuh gendut itu sedang berdiri di atas kursinya lalu mengambil beberapa makanan dari atas meja untuk di berikan anjingnya. Dia juga melahap makanan-makanan itu dengan rakus−menggigitnya sedikit lalu mengambil yang lain. Dia seperti bocah kerasukan Jin.
“Memangnya kenapa? Aku dan anjingku sangat lapar.” jawabnya sembari terus melahap beberapa paha ayam. Aku mengamati meja makan, dalam sekejap semua piring disana tampak kosong.
“Tapi tuan, nona Freya dan adiknya belum makan. Dan makanan itu untuk mereka!" ujar pelayan itu lagi. Yang langsung dipotong oleh Tuan muda nakal itu.
"Memangnya siapa mereka? Mereka bukan majikanmu, aku yang bos-mu!” Seru bocah gendut itu sembari menggebrak meja hingga membuat sang pelayan ketakutan. Adikku yang semula sudah berada di ruang makan bahkan langsung melompat dari tempat duduknya dan bersembunyi di belakang tubuhku. Dia ketakutan karena tak pernah mendapat perlakuan kasar dari siapapun sebelumnya.
“Dan satu hal lagi! Jangan adukan pada ayah atau siapapun jika kau tak ingin dipecat!" hardiknya kemudian meninggalkan meja setelah memastikan semua makanan habis.
Hari ketiga aku berada di rumah itu, kami lalui dengan siksaan tanpa makanan (karena keluarga itu memiliki jadwal makan yang ditentukan waktu, hanya sekali penghidangan). Sementara ibu meninggalkan kami untuk sebuah acara di luarkota bersama suaminya. Dia tidak pernah menanyakan pada kami apakah kami baik-baik saja di rumah itu. Dani, si bungsu yang nakal itu membuat aku dan adikku tak mendapatkan sarapan pagi dan makan siang, bahkan makan malam pun kembali tidak dia sisakan untuk kami.
Aku dan adikku memilih untuk mengurung diri di kamar seharian dan hanya memakan beberapa keeping snack untuk mengganjal perut kami yang kelaparan. Keberadaan kami di rumah itu pun seperti orang asing yang tak diinginkan, bahkan meskipun suami ibu cukup baik kepada kami tapi anak-anak itu membuat kami menderita seperti berada di neraka.
Adikku pun terus merengek mengeluhkan sakit di bagian perutnya malam itu, sementara aku tak berani meminta bantuan pada siapapun termasuk pada pelayan. Aku juga belum mengenal pelayan di rumah itu dengan sepernuhnya. Beberapa dari mereka juga tampak menakutkan dan kejam, terutama wanita tua yang menyambut kami di depan pintu saat kami baru tiba di rumah itu beberapa yang hari lalu. Tatapannya sangat tajam seperti penyihir yang suka memakan anak kecil. Penyihir yang membuat rumah dari permen dan coklat yang kemudian membuat Hansel dan Grettel terperangkap.
Ibu pun tak dapat dihubungi. Sementara beberapa potong cookies di dalam kantongku juga tak bisa mengganjal rasa lapar di perut Sam. Bunyi perutku juga terus mengusik hingga aku tak bisa menutup mata sedikitpun. Yang aku alami sungguh sulit dipercaya bahkan jika aku menceritakannya pada orang lain sekalipun.
Kami tinggal di rumah mewah dengan fasilitas yang serba mewah namun kami justru kelaparan seperti tengah tersesat di jalanan. Meskipun kecil, di rumah nenek kami tidak pernah merasakan kelaparan sekalipun. Dia selalu memberi kami makanan yang cukup dan memperlakukanku dengan baik. Hanya saja aku tak tahu mengapa hubungan nenek dengan ibuku tampak tidak terlalu baik beberapa tahun terakhir ini, terutama setelah kematian ayahku.
Pukul dua belas malam, aku masih terjaga. Sementara Sam, adikku sudah tampak terlelap sembari memegangi perutnya yang semakin kurus. Aku baru mencoba memejamkan mata ketika suara ketukan pintu di luar kamar mengusik telingaku. Aku pun bergegas turun dari ranjang dan membukanya.
Dua orang pelayan termasuk wanita tua yang aku takuti tampak berdiri disana. Matanya masih menyala seperti terakhir kali, namun kali mereka tersenyum ramah kepadaku sembari membawa nampan penuh dengan makanan-makanan yang lezat serta dua gelas susu coklat hangat. Aku menelan ludahku saat melihat makanan-makanan itu mereka letakan di atas meja.
Aku pikir aku akan mati kelaparan esok hari dan tak akan lagi tinggal di rumah neraka itu lagi. Namun pada akhirnya ada pula orang yang masih sedikit peduli pada kami.
“Tuan muda Arza meminta kami membawakan makanan itu ke kamar nona. Silakan nona makan!” ujar wanita tua itu sebelum melangkah keluar dan menutup pintu kamarku kembali.
Kukira makanan itu dari mereka karena kasihan padaku namun ternyata anak laki-laki berwajah dingin itu yang memberikannya. Aku tidak tahu jika dibalik wajah dinginnya dia masih memiliki kepedulian pada kami, hanya saja itu sudah terlalu terlambat karena beberapa menit kemudian suara mobil ibu dan suaminya terdengar di luar rumah. Aku tidak bisa menjelaskan pada mereka perlakuan yang aku dan adikku dapatkan di rumah itu.