"Jika kau tidak mempunyai mimpimu sendiri, maka kau akan dipakai untuk memperjuangkan mimpi orang lain." –Bill Gates
Emily melambai-lambaikan tangannya dengan bersemangat ke arah taxi yang melewati gedung apartemen tempat tinggalnya. Taxi pun berhenti tepat di depan Emily, dan gadis itu segera menaikinya. Lalu, mobil itu terus melaju melewati pusat kota Guangzhou yang sangat padat. Jika Emily tak salah ingat, terakhir kali ia meninggalkan kota kelahirannya ini, masih banyak sepeda motor yang berlalu lalang di sekitar jalan raya. Saat ini, hanya mobil dan truk yang melewati jalan raya utama.
Rasanya sepi. Namun, mungkin ini adalah kehidupan kota yang sesungguhnya, pikir Emily dalam hatinya. Tata kota Guangzhou telah banyak berubah sejak lima tahun silam. Yang dulunya dipenuhi ruko-ruko di sepanjang pinggir pusat kota, saat ini telah didominasi oleh gedung-gedung pencakar langit yang terdiri dari sepuluh sampai tiga puluh lantai. Gedung itu, seolah-olah dapat jatuh kapan saja dan menindih warga kota di bawahnya.
Ah… tidak baik memikirkan yang seperti itu. Tekad Emily sudah kuat, ia akan menggapai mimpi yang telah lama dicita-citakannya di salah satu kota terbesar di Tiongkok ini.
Taxi yang dinaiki Emily sampai di depan gedung perusahaan Tencent tak lama kemudian. Emily menyerahkan uang sebesar 8 RMB kepada sopir taxi, kemudian segera memasuki gedung Tencent.
Emily sudah menduga, bahwa pemandangan yang menyambutnya akan semacam ini. Puluhan orang dengan seragam eksekutif berlalu lalang dengan cekatan di lobby Tencent. Ini barulah lobby, Emily bahkan belum melihat apa yang terjadi di area kantor. Sambil memandangi suasana itu, Emily semakin mengeratkan pegangannya pada amplop coklat besar yang berisi CVnya. Salah satu teman di Singapore merekomendasikan perusahaan ini padanya.
"Emily, aku mendapat kabar dari ayahku bahwa Tencent group sedang mencari fashionist di bidang entertainmentnya. Kupikir pekerjaan ini akan cocok untukmu. Peluangmu untuk diterima di pekerjaan itu cukup besar, melihat bahwa kau juga bersekolah di universitas standar internasional," ujar Elline pada Emily beberapa waktu lalu, saat Emily memikirkan pekerjaan yang bisa dikerjakannya ketika ia kembali ke China nanti.
Huft… terima kasih, Elline. Kuharap aku tidak akan mengecewakanmu. Kau juga teruslah berjuang di Singapore, tekad Emily. Gadis yang hari ini mengenakan blazer berwarna biru donker itu kini melangkahkan kaki dengan mantap menuju meja resepsionis Tencent.
"Permisi, Nona. Saya ingin bertanya. Saya dengar perusahaan ini membutuhkan seorang fashionist di bidang entertainmentnya. Siapa orang yang dapat ditemui jika saya ingin mengajukan diri dalam pekerjaan ini?" tanya Emily langsung.
"Iya. Yang Anda dengar memang benar. Anda dapat menemui Tuan Wu Fang untuk membicarakan ini," sahut resepsionis tersebut ramah.
"Terima kasih. Omong-omong, di mana saya dapat menemuinya?" tanya Emily lagi.
"Ah… maaf, saya lupa memberitahukan ini kepada Anda," resepsionis tersebut menepuk keningnya dengan keras. "Apakah Anda sudah membuat janji?"
Seketika, kalimat terakhir yang diucapkan resepsionis itu membuat Emily mematung di tempat sambil mengutuk kebiasaan pelupanya yang menjengkelkan.
***
Slurp… Emily menyeruput es tehnya dengan nikmat. Kemudian, ia beralih pada mie ayam yang berada di hadapannya. Setelah membuat janji dengan Tuan Wu Fang yang disampaikan melalui resepsionis tersebut, Emily terus merutuki kebodohannya sembari berjalan ke halte. Saat naik bus pun, pikiran Emily masih tak fokus. Hingga ia salah memilih bus dan dengan bodohnya langsung turun pada pemberhentian pertama. Dan akhirnya, sampailah ia pada kedai mie ayam ini.
"Aish… bagaimana bisa aku melupakan hal yang terpenting sebelum melamar pekerjaan? Eergh… menyebalkan sekali," gerutu Emily sambil menyuapkan mienya dengan kasar. Salah satu tangannya yang dikepalkan menggebrak meja kayu tanpa sadar.
"Kau sedang melamar pekerjaan, ya?" tanya si Tuan Penjual Mie tanpa menoleh ke arah Emily.
Spontan Emily menoleh ke arah pria paruh baya tersebut, berpikir siapa yang mungkin diajak bicara olehnya. Pandangan Emily menyapu sekitarnya, dan tidak ada orang selain dirinya. Mungkinkah pria itu sedang berbicara dengan Emily?
"Ya. Aku sedang berbicara denganmu, Gadis Muda," ucap si Tuan Penjual Mie seolah tahu apa yang dipikirkan Emily. Emily yang duduk di baliknya menganggukkan kepala dengan kaku. "Saranku, tak perlu mencari pekerjaan saja. Tidak berguna. Pada akhirnya kau akan keluar."
"Apa? Tidak usah mencari pekerjaan? Apakah Anda gila, Tuan? Bagaimana bertahan hidup di Guangzhou tanpa pekerjaan?" Emily langsung mengucapkan kata-kata itu di luar kendalinya.
"Mencari pekerjaan memang tak mudah. Selama masa mudaku, aku telah berkali-kali mencari pekerjaan, dan selama dua puluh tahun aku selalu bekerja untuk orang-orang. Dan selama itu pula, aku tak menemukan pekerjaan yang cocok di hatiku."
"Barangkali ambisi Anda kurang kuat, Tuan?" Emily mulai menebak-nebak.
"Huh… bisa jadi memang begitu. Namun, pada akhirnya aku lelah untuk mengerjakan pekerjaan orang lain. Maka setelah berhenti dari profesi programmer, aku memutuskan untuk membuka usaha kedai mie ini," jelas si Tuan Penjual Mie.
Oh… jadi dia tipe orang yang menghancurkan masa depannya sendiri? Dia ingin membunuh harapanku, ya? Sepertinya tidak semudah itu, pikir Emily. "Tapi, menurut saya tidak semua orang ditakdirkan untuk menjadi wiraswasta yang baik, Tuan. Tanpa ada karyawan, tak mungkin ada perusahaan yang menjadi besar. Begitupun tanpa adanya wiraswasta, para pemuda tak memiliki sasaran untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Selama saya tidak disuruh untuk mengusahakan mimpi orang lain, bekerja di perusahaan orang lain bukan masalah. Saya bekerja untuk mimpi saya," sahut Emily yakin.
"Hmm… semangatmu besar sekali, Gadis Muda. Kuharap kau tidak kecewa dengan perkataanmu hari ini," si Tuan Penjual Mie menghadap Emily sambil menyunggingkan senyum miring.
"Tentu, Tuan. Anda telah mengembalikan semangat saya," Emily balas tersenyum. Kemudian gadis itu mengeluarkan uang 12 Qian dari dompet kulitnya.
Emily meninggalkan kedai tersebut dan berjalan kaki santai menuju apartemennya. Waktu masih menunjukkan pukul 09.00 pagi, dan Emily pikir berjalan santai sejauh 3 kilometer bukan sesuatu yang buruk. ia telah lama meninggalkan kebiasaan berjalan kaki sejak di Singapore.
***
"Oh… Xiao Long, bisakah kau membuat rancangan desain yang lebih baik lagi? Ini terlalu mainstream, kau tahu? Divisi kita bisa dituduh melakukan plagiasi. Kuharap kau segera memperbaiki ini secepatnya. Atau aku tak akan segan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada kalian. Huh… tidak berguna," gerutu Leo Wu Fang naik darah. Lelaki berusia dua puluh empat tahun itu melempar buku sketsa karyawannya ke sudut ruangan.
"Baiklah. Maaf, Bos. Saya akan mengganti desain ini secepatnya." Gadis muda bernama Xiao Long itu mengambil buku sketsanya dan berlari keluar ruangan.
Leo hanya dapat menghela napas lelah mendapati banyak karyawan tak berguna yang bekerja di Departemen Kreatif. Pria itu membuka iPhone-nya, memandangi poster pencarian fashionist dan desainer baru bagi Departemen Kreatif Tencent Entertainment. Namun, sepengetahuannya sampai hari ini masih tidak ada sebuah lamaran pekerjaan pun yang terdengar di telinganya. Apakah bekerja di Tencent merupakan beban yang terlalu berat? Menurut Leo, setidaknya ini sebanding dengan gaji yang ditawarkan Tencent.
Kriiing… kriiing… terdengar suara telepon putih yang berdering di samping meja kerja Leo. Pria itu mengangkatnya dengan malas, berharap bukan laporan mengesalkan yang akan diterimanya.
"Selamat pagi, Tuan Leo. Saya Nona Chen di bagian resepsionis. Saya ingin menyampaikan janji yang dibuat Nona Emily Zhang untuk pertemuan besok pagi pukul 09.00. Apakah Anda dapat menemuinya? Kata Nona Emily, Anda bebas menentukan lokasi pertamuannya," ujar Nona Chen dari seberang telepon.
"Hmm… janji untuk keperluan apa?" tanya Leo malas.
"Sebentar," sahut Nona Chen, kemudian gadis itu menjauhkan gagang telepon dari mulutnya supaya percakapan dengan orang di hadapannya tidak terdengar jelas.
"Nona Zhang, maaf saya lupa menanyakan ini. Janji pertemuan ini dalam rangka apa, ya?" Suara Nona Chen terdengar samar-samar dari seberang telepon. Tak lama kemudian, Nona Chen langsung melanjutkan percakapannya dengan Leo. "Uhm… dia ingin melamar pekerjaan sebagai fashionist, Tuan Leo. Gadis itu lulusan NUC. Bagaimana? Apakah Anda bisa menemuinya?"
Entah bagaimana kejadian persisnya, Leo hampir saja menjatuhkan iPhone-nya yang terletak di atas meja ketika mendengar berita yang mengejutkan itu. "Oh… tentu. Aku bahkan bisa menemuinya sekarang. Waktuku agak lengang saat ini," ucap Leo terlewat antusias. "Ehem… apakah Nona Emily Zhang itu masih ada di sana?"
"Euh… dia baru saja pergi ketika saya menganggukkan kepala tanda Anda setuju. Apakah Anda ingin saya mengejarnya? Nona Emily belum mendapatkan kendaraani," jelas Nona Chen dengan nada kecewa. Di lobby, gadis itu masih celingukan ke arah Emily yang masih mematung di pinggir jalan.
"Lupakan. Aku masih dapat menemuinya besok." Leo pun meletakkan gagang teleponnya, kemudian menutup mata seraya menghela napas pasrah. Betapa mengesalkannya menjadi orang yang terlambat.
Footnote:
RMB= Ren Min Bi (mata uang resmi China)
Qian= pecahan mata uang China (1 Qian=1/10 Yuan)
😃 hmm... Latarnya tentang fashion menarik juga
Comment on chapter Prolog