Hari itu, hari di mana Dzikri mau tidak mau harus mempertanggungjawabkan kewajibannya. Sepanjang hari menghafal hafalannya karena tiba-tiba saja sebagian hafalannya hilang entah ke mana. Ia berpikir berulang-ulang kali apa penyebabnya, namun tak kunjung ditemukan. Padahal hari pengujian akan segera dilaksanakan.
Dzikri seorang Tahfidz, khalayak ramai sudah mengetahuinya. Walaupun demikian berulang kali dikatakan, Dzikri tetaplah manusia yang mempunyai kekhilafan. Dia bukan manusia yang sempurna seperti malaikat yang tak pernah melakukan kesalahan. Dia manusia yang masih butuh bimbingan dari orang lain, masih butuh pengalaman dalam menjalani hidup, butuh dukungan dalam menghadapi masalah, butuh keburukan untuk mengerti artinya pembelajaran, butuh terjatuh untuk merasakan yang namanya arti dari sebuah perjuangan, butuh cinta untuk mengisi kekosongan relung hatinya, butuh pundak untuk dapat bersandar ketika dalam kesedihan, dan bahkan sangat-sangat membutuhkan Allah untuk mendengarkan segala keluh kesahnya.
Karena hidup bukan hanya mengenai rohani atau batiniah (kebutuhan di dalam jiwa). Dapat menikmati kepuasan karena kita seorang yang dikagumi banyak orang, mempunyai ilmu yang jarang dimiliki orang lain, lebih pandai dalam menafsirkan sesuatu. Melainkan hidup harus memenuhi jasmani juga, kesehatan fisik untuk memperoleh kemampuan dan keterampilan, kecerdasan, dan perkembangan waktak serta kepribadian dalam pembentukkan manusia yang berkualitas.
Waktu menunjukan pukul 10.30 siang. Dzikri sedari tadi hanya berkutat dengan bukunya di perpustakaan, selalu saja fokus dengan apa yang dikerjakan. Bahkan handphone bergetar pun ia abaikan.
Tak lama kemudian, tibalah seseorang yang mencari-carinya. Siapa lagi jika bukan Taufan, ia terengah-engah mencari Dzikri.
“Kamu ini ke mana saja?” Taufan dengan nafas yang tak karuan.
Dzikri menoleh pada pusat suara itu. Tanpa menjawab pertanyaan Taufan, Dzikri langsung melontarkan pertanyaan.
“Mengapa kamu tahu aku berada di sini? Lagi pula aku tidak mengangkat telphone darimu.”
“Dari Budi, karena dia tadi melihatmu memasuki perpustakaan.”
“Pantas saja.”
“Kamu jawab dulu pertanyaanku!” tegasnya.
“Di sini sedari tadi. Lantas?” jawabnya.
“Bu Windi mencarimu sejak pagi.” Jelasnya.
“Untuk?” jawabnya singkat.
“Mana aku tahu. Sepertinya ada hal penting yang ingin ia bicarakan denganmu.” Jawab seadanya.
“Baiklah, aku akan ke ruangannya.”
“Ya sudah, aku duluan yaa ke kantin.”
Taufan pergi meninggalkan Dzikri sendiri lagi, Dzikri masih berkutat pada pemikiran lain mengenai Bu Windi yang ingin bertemu dengannya.
“Mengapa Bu Windi ingin bertemu denganku? Apa aku berbuat kesalahan? Atau ada tugas yang tidak aku kerjakan? Apa aku tidak menuruti perintahnya dan kata-katanya?” hatinya bertanya-tanya.
Bergegaslah Dzikri menuju ruangan Bu Windi yang tak jauh dengan gedung fakultasnya.
“Tok tok tok.” Terdengar suara ketukan di ruangan Bu Windi.
“Silakan masuk.” Titahnya.
“Assalamu’alaikum bu.” Ucap pria itu.
“Walaikumsalam.”
“Boleh saya duduk terlebih dahulu bu?” mintanya.
“Oh iya, tentu saja boleh. Ibu sampqi lupa mempersilakan kamu duduk.” Ucap ibu dengan tawa renyah.
“Ada apa ibu mencari saya?” tanya Dzikri dengan nada yang lembut.
“Ada yang ingin ibu bicarakan kepadamu, ibu harap kamu bisa jujur akan itu.” Jelasnya.
“Mengenai hal apa ya bu?” Dzikri tampak kebingungan.
“Mengapa kamu akhir-akhir ini sedikit berbeda dari biasanya? Seperti ada sesuatu!”
“Ah tidak bu, saya seperti biasanya kok.” Elaknya dengan tersenyum, seolah-olah tidak ada apa.
Sebenarnya ada hal kecil yang mengguncang hatinya belakangan, untuk saat ini untungnya masih bisa diatasi walaupun masih terasa sulit.
“Ibu menuntut kejujuran kamu Dzikri.” Bu Windi mempertegas suaranya dengan wajah yang masih tersenyum.
“Sejujurnya, saya mengalami sesuatu kejadian yang belum pernah terjadi pada diri saya bu.” Ungkapnya dengan hati-hati.
“Kejadian apa itu?” Bu Windi penasaran.
“Yang membuat hati ini berdegup lebih cepat dari biasanya, susah tidur, hari-hari terkadang begitu rumit, dan tiba-tiba hari menjadi begitu cerah walau hari sedang mendung.”
“Apa kamu sedang jatuh cinta pada gadis itu?” terkanya.
“Ah tidak.” Elaknya.
“Sudah, jangan menyembunyikannya. Ibu sudah mengetahuinya.” Pungkasnya.
“Lalu, bagaiman ibu mengetahuinya? Padahal aku tidak bercerita kepada siapa pun, kecuali Taufan. Itu saja hanya obrolan yang tak terlalu menunjukan pada orangnya!”
“Aku bisa melihat dari matamu yang memandang dirinya. Tingkah lakumu saat berada di dekat. Ketika kamu duduk bersampingan, saat kamu menjawab pertanyaan dirinya mengenai Kamu menunjukkan secara tidak langsung kamu menyukainya.” Jelsnya yang membuat Dzikri sedikit shock.
“Apakah begitu kentara aku menyukai dirinya di hadapan orang lain?” tanya Dzikri dengan wajah yang tertekuk lesu.
“Tidak kok, mungkin hanya orang tertentu dan yang mudah peka mampu membaca gerak-gerikmu.” Jelasnya.
“Itukah yang membuat hafalanmu terganggu?” tanya Bi Windi.
“Aku tidak paham, mungkin saja benar.” Jelasnya dengan tertunduk.
“Kamu begitu menginginkannya?” Bu Windi mulai berbicara serius.
“Tidak bu, hanya mengaguminya.” Jawab
“Lantas apa yang membuatmu menjadi tidak fokus belakangan ini?” Bu Windi bertanya heran.
“Entah, ada rasa yang tak wajar.” Berkali-kali Dzikri berkata ia tidak tahu apa yang terjadi dalam dirinya.
“Apa yang membuat hafalanmun menjadi tak kamu perdulikan, banyak yang lupa, ada yang terlewat, panjang pendeknya menjadi tidak karuan, dan kamu dikatakan lalai atas kewajibanmu!” Bu Windi menanyakan inti dari pertanyaan.
“Bagaimana ibu bisa mengetahuinya?” tanya Dzikri heran.
“Dosen yang mengujimu mengatakannya pada ibu, meski hanya percobaan saja kamu tidak bisa main-main dalam pengujian ini, kamu harus fokus. Kamu seorang tahdfiz, pertahankan idealismu, jangan mudah terpengaruh, dan tolong perhatikan apa yang kamu lakukan semua itu dapat berpengaruh pada prestasimu.” Peringatan keras yang Dzikri peroleh dari Bu Windi.
“Maafkan saya bu, saya tidak akan mengulanginya lagi!” Dzikri menyesalinya.
“Ibu maafkan dan ibu pegang perkataanmu, semoga tidak terulang kembali. Jangan terlalu kamu hiraukan wanita itu, banyak hal yang harus kamu lakukan.” Harapnya.
“Mungkin aku terlalu memikirkan wanita itu dan menaruh harap terlalu besar padanya bahwa kita akan bertemu kembali.” Desisnya.
“Ibu paham apa yang kamu rasakan, ibu juga pernah muda sama sepertimu. Cinta bisa saja memberikan banyak energi yang mungkin tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Memustahilkan hal yang pada awalnya tidak akan terpikirkan oleh kita untuk melakukannya. Bahkan daya sekuat logika pun terkadang terkalahkan oleh lembutnya cinta, sehingga banyak yang beranggapan bahwa cinta itu buta dan terkadang tidak masuk akal. Berulang kali ibu pikirkan, semakin kita pikirkan cinta itu malah tidak ada habisnya. Berusahalah fokus terhadap sesuatu yang lain, yang membuat dirimu tidak terlalu berharap padanya toh jika ia jodohmu sejauh apa pun itu pasti akan kembali padamu.” Jelasnya Panjang lebar.
“Aku sedang berusaha akan itu, menegaskan hati dan mengembalikan semua kekuatan yang ada dalam diriku untuk menjadi seperti Dzikri yang kemarin. Mungkin aku mengaguminya tetapi aku dapat menyimpan itu untukku sendiri, biarlah itu menjadi urusanku, dan memendam rasa itu di sini. Di hati ini.” Dzikri dengan ketegasan hatinya
“Allah mencemburui hati orang-orang yang berpaling dari-NYa. Jika kamu berharap selain dari-Nya suatu saat kamu akan merasakan betapa perihnya pengharapan.” Bu Windi mengingatkan Dzikri kembali.
@Riyuni Sukses yaa, semangat jg :)
Comment on chapter Perjumpaan yang Mengagumkan