Hari ini udara begitu menyengat ke seluruh anggota tubuh padahal waktu masih menunjukkan pukul 10.00 siang, merupakan waktu yang tepat dan ditunggu-tunggu oleh para pemuda-pemudi untuk melaksanakan sholat duha sebagaimana rutinitas yang dilakukan oleh Dzikri.
Berjalan melalui lorong-lorong yang padat dengan pria dan wanita yang berlalu-lalang di koridor kampus, adanya yang asik melakukan perbincangan, berlarian menuju ruang kelas karena terlambat mengikuti mata kuliah, berjalan dengan memainkan gadget yang dimilikinya, ketika menoleh ke arah taman dapat diamati banyak pula yang mengerjakan tugas, hanya sekedar untuk berteduh, melamun, dan makan siang.
Menuju tempat di mana seorang muslim menyembah dan memohon segala sesuatunya hanya kepada-Nya. Dzat yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, pengabul doa dalam curahan hati. Rumah Allah. Iyaa, yaitu Mesjid.
Sesampainya di serambi masjid kampus, suasana yang tidak begitu ramai maklum saja ini waktu di mana para mahasiswa memasuki kelas tetapi tidak dengan Dzikri. Ia baru saja keluar dari kelas yang diikutinya.
Menuju tempat di mana mensucikan diri dari hadas kecil sebelum melakukan kegiatan yang sangat sakral yang menghubungkan manusia dengan Tuhan-Nya. Membasuh bagian-bagian terpenting yang diwajibkan, Allah menyukai hal itu.
Didasari atas niat yang tulus dan ikhlas maka segala sesuatunya akan berjalan dengan lancar, jauh dari kata kesulitan serta kesusahan. Seperti Dzikri yang menjalankan shalat duha, 4 rakaat yang tak membuatnya mengeluh. Selalu ia jalankan apa yang diperintahkan Sang Pencipta-Nya.
Khusyuk. Itulah ciri khas dari pria ini. Tak dapat diusik oleh siapa pun, tekun dalam melaksanakan apa yang dikerjakaannya. Entah itu sulit ataupun mudah. Telaten, tanpa melupakan unsur-unsur yang harus ada. Baik itu yang wajib ataupun sunnah. Fokus, tertuju pada apa yang ia jalani tanpa melupakan hal-hal kecil di sekitarnya. Prioritas, selalu dapat membedakan mana yang harus didahulukan. Dapat membedakan mana yang lebih penting dan mana yang hanya menjadi selingan semata.
Salam terakhir sudah ia laksanakan, bermunajat untuk kehidupan yang lebih baik, menatap hari dengan penuh kegembiraan, menatap satu arah dengan berbagai sudut pandang, melakukan yang terbaik untuk esok dan selamanya.
Terlihat gadis dengan menggunakan setelah overal hitam melintasi Dzikri dengan begitu dingin. Tanpa kata dan hanya melontarkan tatapan kosong. Tak terlihat senyum sedikit pun di antara beribu senyum di wajahnya.
“Apa dia tidak mengenalku? Padahal beberapa hari lalu kita bertemu di kelas yang sama.” Keluh Dzikri dalam hati.
Dzikri terus saja memandanginya, ada yang ganjil di dalam dirinya. Tak biasa, ia memandangi wanita sperti itu.
“Hai!” Dzikri memulai untuk menyata terlebih dahulu, dengan wajah ragu-ragu ia melontarkan senyuman yang jarang sekali wanita dapatkan dari dirinya.
Nayla hanya menoleh dan termangu.
“Hai!” dengan wajah yang agak bingung.
“Masih ingat denganku?” tanyanya garing.
“Dzikri?” terkanya.
“Iya.” Ucapnya tersenyum.
“Yang di kelas Bu Windi kemarinkan?”
“Benar sekali. Kamu sedang apa di sini?” pertanyaan bodoh yang dilontarkan oleh Dzikri.
“Sama seperti yang kamu lakukan.” Jawabnya singkat.
“Kamu melihatku?” ucapnya takjup.
“Tentu saja.” Nayla tersenyum.
“Setelah ini kamu akan pergi ke mana lagi? Dzikri bertanya spontan.
“Perpustakaan. Mau ikut?” ajaknya.
“Oh tidak, terima kasih.” Dzikri tersenyum. “Memangnya tidak ada jadwal kuliah?” melanjutkan pertanyaan.
“Nanti jam 1.” Nayla singkat.
“Oh, baiklah.” Datar.
“Aku duluan yaa. Bye.” Ucap Nayla melambaikan tangan. Hal itu dibalas kembali dengan lambaian tangan yang tidak terlalu tinggi, it’s first time to him.
“Bagaimana bisa dada ini berdegup kencang? Sebelumnya aku tidak pernah merasakan hal seperti ini. Bagaimana bisa aku menatapnya begitu dalam? Padahal aku tak pernah melakukannya terhadap wanita mana pun. Bagaimana bisa aku mengingatmu sampai detik ini? Setelah pertemuan pertama kali kita di sana. Bagaimana bisa aku yang menyapamu terlebih dahulu? Sedangkan kamu seolah tak melihatku. Bagaimana bisa dia memperhatikan ku? Dan aku tak melihatnya di tempat ini. Bahkan aku ingin bertemunya lagi dan lagi.” Suara-suara itu mulai bergemuruh dan berkecamuk dalam hatinya.
“Aku ingat wajahnya.” Sambungnya kembali.
Bahkan mengingat wajahnya saja dosa apa lagi untuk menatap wajahnya.
“Aku ingin bertemu dengannya kembali.” Keluhnya.
***
Satu minggu telah berlalu, kembali dengan mata kuliah Bu Windi. Di tempat yang sama, di ruang 4x4 sentimeter persegi, di tempat duduk yang sama Dzikri bertengger di sana. Semua kursi telah dipenuhi oleh mahasiswa yang mengikuti kelas tersebut. Dzikri menunggu wanita itu, tak kunjung datang padahal 5 menit lagi kelas akan segera dimulai.
Nampak dari kejauhan, wanita yang Dzikri tunggu menampakan batang hidung. Terburu-buru, itulah yang menggambarkan situasi yang dialami Nayla. Yaaa, wanita itu Nayla.
Nayla berjalan begitu saja melewati barisan kursi yang berada di hadapannya, tak melihat bahwa Dzikri memperhatikannya. Tak ada kursi kosong di tengah dan bahkan di belakang ruangan yang berukuran 4x4 sentimeter persegi, Nayla hampir putus asa.
“Di sini masih kosong!” tawar seorang pria yang berbaik hati itu.
Nayla menoleh kearah sumber suara itu. Dzikri. Pria itu Dzikri, yang menunggu kehadiran dirinya.
Nayla menuju kursi kosong tersebut dengan gusar, karena ingin segera duduk di sana.
“Benarkah?” tanya Nayla memastikan.
Dzikri hanya memberi anggukkan.
Walaupun tidak dalam satu kursi yang sama, jarak di antara mereka sangat dekat. Hanya berjarang 20 cm saja, tidak kurang dan tidak lebih. Tak ada perbincangan yang terlalu intens.
“Assalamu’alaikum.” Ujar seorang wanita paruh baya.
“Walaikumsalam.” Jawab seluruh mahasiswa di ruangan itu.
Melihat Dzikri dan Nayla duduk berdampingan, kedua mata Bu Windi teralih pada sepasang insan tersebut, tersenyum kepada keduanya. Mereka membalas senyuman itu dengan sedikit canggung.
Hari ini mata kuliah Bu Windi mengasyikan seperti di hari-hari biasanya. Memberikan kesan bahwa setiap kejadian hidup yang kita alami adalah pembelajaran, ambil hikmahnya, ambil postifnya dan buang negatifnya serta teruslah melangkah.
2 jam sudah berakhir, saatnya kelas dibubarkan.
“Bisakah kita bertukar instagram?” Nayla tiba-tiba.
“Tentu saja. Tujuannya untuk apa?” Dzikri menginterogasi.
“Hanya ingin berteman.” Ucapnya singkat.
Mereka saling follow akun satu sama lain, bukan hanya instagram dan facebook bahkan whatsapp, mungkin agar lebih mudah untuk berkomunikasi.
Rasanya aneh ketika Dzikri berusaha berkenalan dengan wanita seperti ini, mungkin benar bahwa ada masanya di manusia menginginkan sesuatu yang harus didapatkannya bukan egois melainkan kepuasan hati dan jiwa ketika memperoleh apa yang diinginkan. Bukan rakus, melainkan tak pernah mempunyai hal tersebut selama ini hanya bergantung sendiri, menahan segala ingin, dan menunggu waktunya tiba. Bukan nafsu, jika hanya menginginkan yang sewajarnya. Hanya sekedar mengagumi, ingin membuka diri dan berkomunikasi lebih baik dengan lawan jenis.
@Riyuni Sukses yaa, semangat jg :)
Comment on chapter Perjumpaan yang Mengagumkan