Napasku sedikit terengah-engah setelah menampilkan kemampuanku dalam menari balet. Dengan penuh harap, aku menatap ketiga juri yang sedang berbisik-bisik di depan sana. Ini adalah ajang pencarian bakat kelima yang kuikuti dalam tiga bulan terakhir dan belum ada satu pun yang lulus. Aku berharap kali ini bisa lulus, agar aku tidak mengecewakan keluarga.
Juri wanita dengan rambut yang diikat menyerupai ekor kuda berdeham, meletakkan penanya di atas kertas penilaian lalu tersenyum padaku.
“Ambun Malik? Masih tujuh belas tahun?”
Aku mengangguk cepat.
“Penampilan kamu cukup bagus, tetapi...”
Dan aku paling benci dengan kata ‘tetapi’ di tengah kalimat.
“... kamu belum bisa kami luluskan ke tahap selanjutnya.”
“Mungkin ajang tahun depan bisa kamu ikuti setelah berlatih lebih giat lagi.” Juri laki-laki di samping kirinya menganggukkan kepala padaku.
Mau bagaimana lagi?
Sudah lima kali aku mengikuti ajang pencarian bakat dan kelimanya gagal. Menghela napas, aku tersenyum kecut lalu mengucapkan terima kasih.
***
Aku langsung berlari ke pelukan Bunda yang sudah menanti dari tadi. Menangis. Aku hanya bisa melepaskan perasaanku lewat tangis. Bagaimana mungkin aku tidak sedih, ini adalah ajang kelima dan masih saja gagal. Padahal aku sudah sangat yakin dengan kemampuanku. Bunda pasti sudah tahu sendiri hasilnya lewat tangisanku. Aku benar-benar malu dengan kegagalan ini. Tetapi, setidaknya aku sudah mencoba dan aku akan terus mencoba sampai berhasil.
“Masih ada ajang yang lain,” kata Bunda, mengusap punggungku yang masih bergetar.
Ya, memang masih ada ajang yang lain. Tetapi tetap saja, sedih karena gagal ini tidak akan bisa kulenyapkan. Aku menarik diri, menyeka pipiku yang basah dengan tisu.
“Bunda kecewa?”
“Kecewa?” Bunda terkekeh melihatku. “Yang ada Bunda bangga sama Ambun. Sangat sedikit anak seusia Ambun yang mau berjuang dari ajang ini ke ajang itu hanya untuk membuktikan bakat dan kemampuan. Ayah sama Bunda sangat bangga sama Ambun.” Bunda mengambil tasku yang berada di samping kursi lalu mengulurkan tangannya. “Masih banyak kesempatan lainnya. Mungkin Tuhan mengatakan jalan Ambun bukan di ajang ini, tapi di ajang yang lebih besar lainnya.”
Penyemangat inilah yang selalu dikatakan Bunda setiap kali aku keluar dari ruang audisi dengan kepala menunduk dan muka penuh dengan air mata kesedihan. Meskipun demikian, aku tetap percaya. Bukankah itu doa Bunda?
“Ambun belum siap ketemu Ayah.”
“Kok gitu?”
Aku membuka pintu mobil, duduk dengan malas sembari melipat kaki bersila, menunggu Bunda duduk di balik kemudi baru kemudian menjawab, “Ayah pasti bahas masalah pindah lagi, Bun.”
Aku sudah membuat kesepakatan dengan Ayah, tepat dua minggu sebelum audisi tadi dimulai, atau lebih tepatnya saat aku meminta izin untuk kembali mengikuti audisi. Perjanjian yang lumayan sulit untuk diterima; pindah ke Padang jikalau tidak lulus pada audisi kelima ini. Tidak ada yang salah dengan Padang. Salahkan saja laki-laki yang telah mencuri hatiku saat bertemu dengannya dua tahun yang lalu, saat Ayah mengajak kami sekeluarga liburan ke Padang.
Ya, tidak sepenuhnya salah laki-laki itu juga sebenarnya. Hanya saja jantungku sering berdetak tidak karuan setiap kali melihatnya.
***
Sudah hampir setahun kami kembali menetap di Indonesia. Saat aku berusia lima tahun, kami sekeluarga pindah ke Belanda karena Ayah sebagai penerus usaha milik keluarga harus ikut turun tangan. Setelah dirasa terlalu lama bekerja di sana, ditambah perasaan cemas dengan beberapa isu negatif mengenai pergaulan bebas, Ayah memutuskan agar kami kembali ke Indonesia dan memercayakan usaha di sana kepada sanak famili yang lain. Dengan begitu, aku bisa lebih sering mengunjungi Baron dan Nur, sepupuku yang berada di Padang. Well, selain itu ada hal terselubung yang saat ini menjadi masalah mengapa aku malas pindah ke sana.
Kembali mengenai balet. Cita-citaku sejak dulu. Aku tidak tahu bagian mana yang membuat para juri itu selalu saja mengatakan “masih ada ajang selanjutnya” padaku. Penampilanku sudah maksimal, sudah berdasarkan apa yang diajarkan oleh pelatihku. Sungguh, tidak ada yang lebih memalukan daripada kata gagal. Meski Bunda selalu berkata, “Kamu tidak gagal, hanya saja perlu mencoba lagi.”
Bukankah sama saja?
Ah, sepertinya letak kesalahan itu ada pada pelatihku. Hm, sepertinya aku harus memintanya untuk mengajarkan gerakan baru yang lebih bagus. Dengan begitu aku pasti bisa lulus.
“Ambun?”
Aku menulikan telinga dari panggilan di luar. Ayah pasti akan mengatakan ini-itu lagi. Meski bukan hal yang menyakitkan, tetapi tetap saja membuatku sakit. Ayah begitu disiplin, tidak mau aku lelah; mengikuti ajang yang sia-sia begitu saja. Aku bergolek memeluk bantal guling, menghadap ke jendela begitu mendengar kenop pintu diputar. Aku memang tidak pernah mengunci pintu, hal itu dikarenakan beberapa sebab, seperti takut kalau nanti kehilangan kunci dan tidak bisa masuk ataupun keluar dari kamar.
Kasur bagian belakang melesak. Aku memejamkan mata, berpura-pura tidur walau aku tahu Ayah pasti akan mengetahuinya. Kepalaku diusap dengan lembut, kasur semakin melesak, lalu suara Ayah pun terdengar.
“Ayah tahu kamu cuma pura-pura tidur.”
Aku masih bertahan tidak mau bergerak.
“Ayolah, Sayang, jangan sedih begitu. Ayah kan udah sering bilang, meskipun gagal yang penting kamu udah berjuang. Mungkin … di sini bukan jalan Ambun.”
Aku membuka mata. Ayah selalu saja menyemangatiku, namun ujung-ujungnya malah sedikit menjatuhkan. Kuhela napas lalu berbalik menatap Ayah. “Ayah nggak ngerti sama perasaan Ambun.”
“Beri tahu Ayah, bagian mana yang Ayah nggak bisa mengerti tentang Ambun? Sejak Ambun baru lahir pun Ayah yang nyambut Ambun. Ayah sangat mengerti dengan perasaan Ambun.”
Aku duduk membelakangi Ayah, lelah kalau harus berdebat lagi. Ayah akan selalu benar jika berdebat dengan anak-anaknya. Kecuali dengan Bunda, Ayah pasti akan mengalah meskipun Bunda yang salah.
“Ayolah, jangan terbelenggu oleh cita-cita yang hanya akan membuatmu sedih.” Ayah memelukku dari belakang, kebiasaan kalau aku sudah merajuk. “Ayah nggak pernah melarang Ambun ikut audisi lagi, kan? Tapi, Ambun juga nggak boleh termakan oleh kata gagal. Mengerti maksud Ayah, kan?”
Ya. Aku lebih dari sekadar mengerti jika Ayah ingin tahu itu. Tapi yang namanya gagal tentu saja akan menimbulkan rasa sakit, walau hanya seperti titik kecil di kejauhan. Ayah hanya ingin aku melawan sakit karena bersedih dengan kata gagal. Ayah ingin aku melawan gagal dengan tidak berlarut lama-lama sendirian dalam diam. Aku mengangguk, berbalik lalu memeluk Ayah. Watak Ayah begitu keras dalam mendidikku dan adik-adikku. Membuat kami begitu disiplin dan tidak boleh terbelenggu lama-lama oleh kesedihan.
“Ambun mengerti, Yah.”
Tidak ada air mata ataupun getaran dalam suaraku. Ayah selalu berkata, kalaupun sedih tidak bisa menerima kenyataan, cukup sekali menangisinya dan tidak perlu berlarut-larut, karena tidak akan bisa mengubah apa pun. Didikan dan kata-kata Ayah selalu menjadi panutan dalam hidupku.
“Bagus. Itu baru namanya anak Ayah.”
Aku mendengkus mendengar perkataan Ayah. Selalu saja itu yang dikatakan kalau aku sudah menyerah untuk mendebat lebih jauh lagi.
“Ayo, kita ke bawah! Bunda sama adik-adik kamu udah nungguin dari tadi.”
Aku mengikuti Ayah ke lantai bawah. Biasanya mereka semua akan mengadakan acara kecil sebagai hiburan untukku; seperti sebelum-sebelumnya, saat aku pulang dengan kegagalan.
“Uni! Ayah bilang Uni lagi sedih. Nggak lulus audisi lagi, ya?” Rendra yang sudah berusia sebelas tahun langsung berlari memelukku. “Jangan sedih, Uni, masih ada Rendra sama Frisha yang akan menjadi penonton setia Uni.”
Aku mengangguk, membuka tangan agar Frisha—yang masih berusia delapan tahun—juga bisa memelukku. “Kalian memang adik-adik Uni yang pengertian.”
Terharu, tentu saja. Ajaran orang tua sudah melekat pada mereka walau masih kecil. Ayah juga meminta kami untuk memakai panggilan dalam bahasa Minang, karena Ayah memang aslinya orang Minang. Hal itu sangat menyenangkan, terutama saat kami berkunjung ke Padang dan tidak akan canggung dengan panggilan tersebut. Lebih terutama lagi karena kami akan pindah ke sana.
“Ayo, lihat sini!”
Kami bertiga melihat ke arah kamera yang sudah diatur Ayah di dekat meja, pada hitungan ketiga kami pun tersenyum.
“Nah, kalau senyum gini kan kelihatan cantiknya!”
“Ayah, Rendra itu tampan, bukan cantik.”
“Iya, Ayah.” Frisha yang tadinya diam malam bersuara jika mendengar Rendra yang membela dirinya. “Uda Rendra itu tampan, bukan cantik. Frisha maunya sama Uda, bukan sama Uni. Soalnya waktu itu Uni bilang, kalau cewek itu harus sama lawan jenis. Nah, Ayah kan lawan jenis Frisha, tapi Ayah udah punya Bunda. Berarti Frisha sama Uda aja, biarin Uni sendirian.” Frisha mencibir ke arahku.
Aku mengerutkan kening. Perkataan Frisha—yang sedikit garing ini—bisa menimbulkan pemikiran lain di kepala Ayah dan Bunda. Apa maksudnya coba? Masih delapan tahun, tetapi...
“Ambun?”
Aku menatap Bunda yang meminta penjelasan dari kata-kata Frisha—yang katanya berasal dari pengajaranku. Menghela napas, lalu aku menjelaskan, “Ambun waktu itu cuma bilang kalau cewek nggak boleh sama cewek juga, harus sama cowok. Itu aja, Bun. Sumpah!” Aku membentuk tanda V dengan jari telunjuk dan tengahku, menatap Ayah dan Bunda bergantian. “Waktu itu Ambun lagi buka instagram, terus lihat ada posting-an dari teman Ayah; foto anak cowoknya, lalu Frisha datang, nanya-nanya kenapa Ambun lihatin foto cowok. Ya, Ambun bilangnya gitu…,” jelasku agar tidak dipojokkan.
Sepertinya harus diberi sedikit pencerahan kepada adikku yang satu ini. Kata-katanya bisa membuat orang lain salah paham. Bisa-bisa aku dibilang mengajarkannya brother complex. Oh, astaga!
Ayah kembali membahas masalah kepindahan kami ke Padang. Terlebih dengan surat-surat kelulusan yang sudah beres. Itu artinya aku bisa dengan segera mendaftar kuliah di sana. Mengambil prodi Tari sepertinya bukan masalah besar. Terlebih Ayah tahu dengan keinginan terbesarku menjadi penari balet—kendati tahu, mengambil prodi Tari bukan berarti hanya akan mempelajari balet, melainkan tarian lainnya juga.
Setelah acara kumpul-kumpul dan sedikit hiburan selesai, aku kembali ke kamar untuk bersemedi––merenungkan kembali semua jalan––sendirian. Merenung mengenai kehidupan asmara pada usia tujuh belas menjelang delapan belas sepertinya bukan masalah besar. Bukankah itu usia pubertas?
Oh—atau aku telat dalam masa puber?
Ponselku yang terletak di atas nakas bergetar singkat, pertanda sebuah pesan masuk, entah itu dari sosial media atau memang sebuah pesan singkat.
***
Aku duduk di pojok kafe bersama Nora dan Rahmi. Kebosanan benar-benar melanda tatkala liburan sudah datang. Atau, lebih tepatnya tatkala masa putih abu-abu berakhir.
“Hm, mau gimana lagi? Nanti gue cariin lagi info pencarian bakat lainnya.”
Aku menggeleng lemah. Memang, Nora dan Rahmilah yang paling bersemangat mencari tahu info pencarian bakat yang sedang beredar. Bukan berarti aku tidak semangat. Hanya saja, aku tidak bisa jika harus mencari lagi pada saat yang kemarin baru saja gagal. Biarlah mereka yang mencarikan, dengan begitu aku bisa beristirahat sejenak.
“Lo nyerah?”
Aku kembali menggeleng. “Bukan Nyerah, Mi. Tapi…” Aku menghela napas pelan, “sori karena gue belum cerita masalah perjanjian sama Ayah. Gue … gue bakal pindah ke Padang, besok lusa.”
Nora tersedak cappuccino yang sedang diminumnya. Matanya menatapku penuh tuntutan. “Maksud lo?”
“Kalau gue nggak lulus di audisi kemarin, maka kami akan pindah ke Padang.” Kuminum teh es segar pesananku, lalu kembali menjelaskan, “Sebenarnya Ayah udah lama ngajak pindah ke Padang. Cuma … ya, kalian tahu sendirilah alasan gue.”
Rahmi mengusap punggung tanganku yang sedang menggenggam gelas. “Lo bakal balik ke Jakarta lagi, kan?”
“Tentu.” Aku mengangguk. “Gue emang kenal kalian baru setahun, tapi bagi gue kalian udah kayak saudara. Gue beruntung punya sahabat kayak kalian.”
“Anjir! Kok gue bisa mellow gini, sih?” Nora mengusap sudut matanya yang tampak berair. “Awas aja kalau lo sampai ngelupain kita saat udah sukses nanti. Kalau itu terjadi, gue akan jadi orang yang berdiri paling depan; bukan buat minta tanda tangan, tapi buat potong tangan lo!”
Aku tertawa geli mendengar perkataan Nora, begitupula dengan Rahmi. Apa yang dikatakan Nora memang benar adanya. Mereka yang selama ini telah membantuku. Jika suatu hari aku melupakan mereka, maka berarti aku benar-benar tidak tahu diuntung.
“Kita masih tetap bisa berbalas pesan, Genks!”
Nora dan Rahmi mengangguk, “Of course we could.”
***
Uni: Kakak
Uda: Abang