Read More >>"> Slash of Life (Delapan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Slash of Life
MENU
About Us  

Buat Ken, perjalanan kedua menuju rumah Nadia ini sangat berkesan. Sudah difasilitasi mobil keren (model yang beda dengan yang minggu lalu, tapi sama nyamannya), lewat jalur minim lampu merah, disuguhi snack pula!

Tapi, bukannya menikmati kesempatan jarang ini, Dio malah membuat sandaran jok jadi horizontal lalu tidur dengan bibir mangap. Kayaknya kalo tuh mulut disumpelin kaos kaki, asik kali ya?

“Adek yang itu,” supir tiba-tiba berkata, melirik Ken melalui spion, “punya kakak cantik banget kan, ya?”

Ken mengangkat alis. “Loh, Bapak tau?”

Supir tersenyum lebar.

“Kalo Adek cucunya Abah Dharma Elang Merah kan?”

“Loh, tau juga?” Apa gara-gara mukaku? Muka pendekar? tambah Ken dalam hati.

“Soalnya dulu saya sempat belajar silat sama Abah Dharma, Dek,” jawab pak supir bangga. Entah mengapa nyengirnya lebar banget.

“Oh iyaaaa? Bapak angkatan yang mana?”

“Wah, nggak sampai selesai, Dek. Cuma satu bulan, habis gitu keluar karena sulit jadwalnya. Waktu itu saya baru diterima di rumah Nyonya, jadi saya mesti ikut latihan di dalam rumah Nyonya juga.”

Ken membulatkan bibir. “Latihan apa, Pak?”

“Banyak, Dek. Ada latihan bela diri juga seperti di Elang Merah. Belajar tatakrama di lingkungan Nyonya. Sampai belajar kedokteran juga, Dek!”

Mungkin maksudnya pelatihan P3K, pikir Ken, menganggap belajar kedokteran untuk posisi supir terdengar terlalu heboh.

“Oya, saya belum kenalan. Saya Ken. Temen saya ini namanya Dio.”

“Saya Sumaryono, Dek.”

Percakapan terhenti sementara Pak Sumaryono membelokkan mobil.

“Adek kemarin-kemarin ke rumah nengok Nona Nadia ya?”

“Iya, Pak,” jawab Ken agak takut-takut, khawatir Pak Sumaryono akan membahas soal mobil yang dipukuli preman. Ngomong-ngomong soal mobil, bagaimana kabarnya ya? Apa sudah diperbaiki? Atau jangan-jangan dibuang sama neneknya Nadia lalu Nadia dibelikan yang baru. Ken memicingkan mata untuk melihat mobil hitam di depan mereka, yang ditumpangi Nadia dan Rena. Hem… mulus… tapi merek dan tipenya sama dengan yang kemarin.

“Belakangan ini Nona Nadia lebih ceria, Dek. Yaaa, saya sok tau sih.”

“Oiya, Pak?” Ken mengingat-ingat gerak-gerik Nadia seharian ini. Memang sepertinya lebih banyak bicara daripada sebelumnya. Tidak terus-terusan menunduk juga. Tapi bisa aja itu gara-gara ada sepupunya sih.

“Biasanya Nona murung terus. Sudah gitu kemarin baru dihukum kurung sama Nyonya.”

“Apa?!” seru Ken.

“Saya heran deh, sama Nyonya,” Pak Sumaryono melanjutkan, tidak ngeh kalau Ken memucat, membayangkan Nadia dikirim ke ruang bawah tanah lalu dikunci di sana. “Kenapa Nona Rena disatusekolahkan sama Nona Nadia? Mereka itu kan kayak air sama api… eh… air sama minyak. Nggak pernah akur!”

Ya, kalau itu sih jelas, pikir Ken.

“Pertengkaran yang terakhir itu… wuih, parah banget, Dek! Berantem itu mah. Pukul-pukulan! Saya sampe ngeri sendiri liatnya.”

Kalau ini sih Ken tidak bisa tidak komentar.

“Yang bener aja Pak? Nadia pukul-pukulan? Nggak percaya ah!”

“Bener, Dek. Suer! Adek ngak tau? Jenggut-jenggutan, cakar-cakaran! Pipinya Nona Rena sampai kebaret, ditampar lho, sama Nona Nadia! Nona Nadia kan pake cincin kan?”

Cincin yang dulu membuat wajah Nadia sendiri luka waktu terjatuh di kelas, Ken mengingat-ingat.

“Saya ikut misahin mereka. Bukannya apa-apa. Nyonya keburu pulang soalnya. Marah besar. Wajahnya sampe biru. Sebenernya saya ngedukung Nona Nadia. Nona Rena itu ya, depannya memang baik, cantik, tapi sebetulnya… hih, kasar. Setiap ada kesempatan, dia selalu meledek Nona Nadia. Kemaren itu, saya pikir, nyaho juga dia. Kesabaran orang kan ada batasnya, ya kan, Dek?”

Ken mengangguk-angguk.

“Emang mereka berantem gara-gara apa, Pak?” tanya Ken, merasa tidak enak mengorek-ngorek informasi teman sendiri, tapi sudah kelanjur penasaran. Nadia yang kalau ngomong suka terbata-bata itu bisa nampar orang? Kalau tidak terjadi di dalam lingkungan Brahmadibrata, pasti sudah masuk koran tuh.

“Yah, biasalah, Dek,” Pak Sumaryono menghela napas. “Soal ibunya Nona Nadia. Soal apa lagi? Memang, wajar kalau mereka benci. Tapi kan sudah bertahun-tahun lalu kan? Kenapa harus terus-terusan kayak gitu? Lagian, menurut saya Nona Nadia itu baik, pintar. Seperti ayahnya. Lebih penting baik dan pintar kan, untuk meneruskan silsilah keluarga. Ya kan, Dek? Daripada siapa orang tuanya. Menurut saya sih ya, sebagai orang awam.”

Ucapan Pak Sumaryono malah menimbulkan lebih banyak tanda tanya di benak Ken. Kenapa ibunya Nadia dibenci? Apa kebencian mereka sebegitu kuatnya sampai tega menyerang Nadia—kalau dugaan Nadia soal insiden pemukulan mobil itu benar?

“Lo nggak baca koran, ya?” komentar suara Dio. Ken spontan menoleh. Cowok itu bertumpu ke sandaran jok Ken untuk menarik tubuhnya sampai duduk. Menguap lebar.

“Mau ngeledek?” tukas Ken gerah.

Dio berkata dengan suara mengantuk, “Dulu kan sempet rame tuh pas SD. Berita ayahnya Nadia meninggal kecelakaan mobil.”

Bola mata Ken bergulir ke atas.

“Masa?”

“Iya.”

“Kapan tuh?”

“Waktu kita kelas satu kayaknya.”

Anak kelas satu SD macam apa yang baca koran? sungut Ken.

“Iya, lumayan heboh itu,” kata Pak Sumaryono penuh semangat. “Saya baru masuk waktu itu. Hueeeebbbohhhh! Di koran sama TV heboh, di dalem rumah Nyonya amit-amit hebohnya.”

“Pasti pada kasak-kusuk siapa yang akhirnya bakal dipilih Safira jadi penerus kan?”

“Iya. Begitu Nyonya pulang bawa Nona Nadia, kisruh, Dek. Parah. Sampe ada rapat besar berkali-kali. Gagal mengubah keputusan Nyonya, mulai banyak rapat-rapat yang lebih kecil. Kalo kita mah ya, yang rakyat kecil begini, sama keluarga ya deket, sayang. Brahmadibrata? Kayak bisnis, Dek. Politik. Siapa yang lebih nguntungin, deketin. Yang ngerugiin, jauhin. Udah nggak ngerti lagi saya.”

“Emangnya kenapa dengan bawa pulang Nadia?” tanya Ken, yang tidak mengerti setengah dari apa yang diucapkan Pak Sumaryono dan Dio.

“Ken, justru ini yang bikin heboh,” kata Dio, terdengar lelah harus menjelaskan. “Ayahnya Nadia itu kawin lari. Dia udah dicoret dari silsilah!”

“Apaaa?!!”

“Coba lo pikirin. Safira cuma punya satu anak. Anaknya itu kawin lari. Trus ngilang. Orang-orang ambisius di sekitar dia pasti udah pada tepuk tangan. Nggak taunya, si anak itu meninggal, juga istrinya, dan anaknya si anak dibawa masuk lagi ke dalam rumah. Kebayang kan gimana rusuhnya keluarga-keluarga yang lain?”

“Persis, Dek!” sahut Pak Sumaryono.

Ken kembali mengingat semburan kemarahan Nadia pekan lalu itu.

Pantas saja. Dan kesalahan yang membuatnya galau setengah mati itu pasti pertengkaran dengan Rena. Ken samar-samar ingat Rena mengenakan plester di wajahnya waktu bertemu di ruang tamu. Persis Nadia waktu hari pertama masuk sekolah.

Ken pernah berpikir, pasti asik jadi Nadia. Cantik, pintar, kaya. Tapi kalau punya musuh yang mengintai di setiap sudut rumah sih, ogah deh.

“Tapi emang ya Dek, hidup itu sekilas kayaknya nggak adil, tapi tiap orang punya jatah cobaan masing-masing. Misalnya aja nih, keluarga saya kan keluarga kecil. Keuangan pas-pasan, asal cukup aja buat makan dan sekolah anak. Pekerjaan jamnya nggak tentu. Kadang tengah malem tiba-tiba ditelepon untuk nganter majikan ke luar kota. Tapi, ya udah, gitu aja. Keluarganya Nyonya itu, uang melimpah, mau apa tinggal telepon, dateng barangnya. Tapi masalahnya uamit-uamit. Apa karena mereka punya segitu kelebihan, jadinya ketakutan? Takut miskin. Takut nggak dapet warisan. Hidup nggak tenang. Padahal buat apa sih uang banyak-banyak kalau banyak takut? Ya nggak, Dek?”

Ken mengangguk-angguk.

Pluk!

Tiba-tiba Dio bersandar ke bahunya. Mata terpejam dan mulut setengah terbuka.

Ken jadi gemas.

“Woi! Orang lagi ngomong serius itu dengerin!”

Bletakk!

 

~ ~ ~

 

Mobil langsung mengantar mereka ke rumah. Ken menatap paviliun depan tempat dia dan Dio dulu med-check.

“Kita nggak usah tes begituan lagi ya?”

“Nggak perlu,” jawab Nadia. “Saya sudah bilang sama bagian depan kalau Ken dan Dio boleh masuk kapan aja.”

“Kok aku ngerasa kayak KKN ya?”

“Ya kalo lo mau diproses lagi dari depan, silakan sih,” kata Dio santai.

“Nggak gitu juga!”

Lembayung menyapu atap paviliun-paviliun istana dengan sinar jingga lembut. Matahari tersembunyi di balik jejeran pohon-pohon kayu besar. Sudah jam empat sore.

“Ayo masuk, Ken, Dio,” undang Nadia, sementara Rena langsung menggandeng lengan Dio.

“Ayo, Di! Mau langsung ke paviliunku? Koki bikin cheesecake lho, hari ini. Kamu suka cheesecake? Kalo kamu nggak suka yang manis, aku bisa minta dianterin yang nggak dikasih krim.”

Ken berbisik kepada Nadia, “Kita mau belajar di paviliunnya Rena emang?”

Nadia menelengkan kepala. “Um… kalau kalian mau dan Rena mengizinkan, boleh aja,” katanya dengan raut ragu. “Atau kita bisa ke ruang belajar atau ke perpusatakaan. Tapi perpustakaan di sini isinya buku-buku kuno. Buku modern ada, tapi bukan buku sekolah. Buku sekolah biasanya disediakan untuk koleksi masing-masing.”

Ken mangap. “Keluarga kalian pasti nyumbang banyak buku buat anak-anak nggak mampu ya?” celetuknya tanpa bisa ditahan. Rasanya susah membayangkan anak-anak Brahmadibrata menggunakan barang seken. Tapi kemana perginya buku-buku pelajaran setelah tahun ajaran berakhir?

Nadia mengernyit. “Tiap bulan Juni-Juli buku-buku sekolah dikumpulkan untuk disumbangkan. Makanya, di kami ada peraturan nggak boleh nyorat-nyoret buku teks. Semua buku itu statusnya dipinjamkan oleh Nenek.”

Celetukan asal itu dijawab dengan serius, membuat Ken jadi rikuh.

“Kita bisa belajar di ruangan yang kemarin,” lanjut Nadia. “Atau kalau mau suasana outdoor, ada gazebo yang deket sumber wi-fi di deket ruangan itu. Gimana, Ken?”

“Kita di gazebo aja! Kayaknya enak, adem. Eh, nggak repot kan ngebawa buku-buku dan segala macemnya?”

“Nggak kok. Kalau perlu, saya bisa pinjam troli dari dapur.”

Ken pikir benda itu cuma ada di supermaret dan toko bahan bangunan.

“Trus Dio udah diseret kemana?” tanya Ken, saat menyadari Dio dan Rena sudah tak tampak.

“Mungkin ke paviliunnya Rena. Agak jauh. Kamu mau mandi dulu, Ken?”

Ken terbelalak. “Hah, kenapa?” kata Ken, sambil menahan diri untuk tidak mengendus keteknya.

“Supaya badannya seger sebelum belajar,” jawab Nadia ringan, jelas banget tak punya maksud tersembunyi.

“Nggg… aku mandi di rumah aja,” kata Ken, berusaha keras terdengar santai. Padahal biasanya mandi sehari sekali itu udah maksimal.

Lima menit kemudian, Ken sudah duduk di saung ditemani segelas iced lemon tea dan setumpuk buku pelajaran, sementara Nadia ngacir mencari Rena dan Dio.

Ken tadinya mau membuka-buka buku catatannya sambil menunggu Nadia dan Dio, saat dia merasakan seseorang datang dari arah paviliun utama.

Seorang cowok kuliahan melenggang santai di lorong penghubung. Taksiran Ken, tingginya paling beda satu-dua senti dengan Dio. Gayanya juga agak mirip: kaos oblong dan celana jins.

Cowok itu menoleh kepada Ken.

—!

Ken buru-buru menunduk. Sesuatu tentang orang tersebut mengusik benaknya. Rasanya pernah bertemu, tapi tidak ingat kapan.

Sementara dia kalut mengubek-ngubek memorinya, si abang-abang sudah tiba di depan gazebo, kedua tangan terlipat. Sepasang matanya yang kelihatan sengak dari dekat mengaktifkan insting pertahanan Ken.

“Ken Ratu,” si Abang berkata. Suaranya lebih berat daripada suara Dio.

Mata Ken melebar. Pertama supirnya Nadia. Sekarang abang-abang ini. Aku baru tau aku terkenal di kalangan Brahmadibrata, pikirnya.

“Ngapain lo di sini?”

“Belajar.” Ken bersyukur suaranya tidak gemetaran. Nggak ada orang yang tahu soal Ken dan berani bertatapan langsung dengannya seperti si abang ini tanpa bekal otot yang memadai. Selain itu, si abang punya aura mengintimidasi. Memang di zaman modern ini orang cenderung meremehkan hal-hal berbau metafisik, tapi Ken percaya bahwa yang namanya insting—apa kata Dio, pengawetan diri?—itu benar adanya.

Ekspresi si Abang tiba-tiba berubah.

“Ah ya juga, kalian satu sekolah.”

“Siapa, Bang?”

Mata si Abang menyipit. “Jangan panggil gue ‘Bang’. Elo dan Nadia. Kalian satu sekolah kan?”

Apakah si Abang ini termasuk yang memusuhi Nadia? Sedang mengukur kekuatan lawan? Ken tidak bisa membaca gelagatnya; dia terlihat lebih apatis daripada Dio.

“Untung juga ketemu lo di sini,” si Abang berkata. Dia merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan secarik kertas. “Tadinya gue mau datengin sekolah lo.” Dia menyerahkan kertas itu kepada Ken. Ken menerimanya dengan bingung.

Kertas itu adalah HVS A4 yang dilipat dua kali. Ada teks yang dicetak di bagian dalam lipatannya. Dengan hati kebat-kebit, Ken membuka lipatan itu. Isinya adalah sebuah surat.

 

DEKLARASI KERJA SAMA MERAH PUTIH

Gue yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama: Gyrohael

Anggota Harimau Putih

selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.

Gue yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama: Ken Ratu Puspawardhana

Anggota Elang Merah

selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.

MENGINGAT

Kerusuhan antargeng beberapa waktu belakangan ini.

MENIMBANG

Harimau Putih dan Elang Merah adalah dua perguruan silat yang mempunyai tanggung jawab moral menjaga keamanan kota.

DIPUTUSKAN

Kerja sama antara Harimau Putih dan Elang Merah untuk  mengembalikan kasih dan perdamaian ke kota kita tercinta.

PIHAK PERTAMA

 

Gyrohael

PIHAK KEDUA

 

Ken Ratu Puspawardhana

 

Ken mendongak, menatap wajah si Abang yang masih terlihat serius. Lalu kembali menatap kertas itu. Lalu mendongak lagi.

“Nggg… kenapa Comic Sans?” katanya, bingung harus bertanya apa lebih dulu.

“Nggak usah pilih-pilih!”

Nggak, bukannya pilih-pilih… tapi, bahkan buat Ken yang pelajaran bahasa Indonesia-nya cuma dapat 6 saja, ada begitu banyak keanehan dalam surat itu yang membuatnya ingin berteriak, “SUMPEH LOOHH?!”

“Jadi Abang—eh, Kakak ini Kak Gyro Pendekar Harimau Putih?”

Si Abang nampak tersinggung.

“Jadi lo nggak ngenalin gue?! Dulu lo dateng kan? Pameran berdarah?”

Ken merasa seperti tersedot ke dalam kaleidoskop. Gambar-gambar kenangan akan kejadian itu berseliweran di sekelilingnya, perlahan menghidupkan ingatan tentang hari itu dengan segala detail yang terlupakan.

Ken mencelat.

“Ah! Iya, Bang Gyro!” serunya.

Gyro satu angkatan di atas Artemis, ketua OSIS yang berhasil mengadakan pameran hanya satu minggu setelah tahun ajaran baru dimulai. Ketua OSIS paling legendaris dari angkatan yang sering disebut-sebut generasi emas. Pada insiden pameran berdarah yang diketuai Artemis, konon Gyro ikut turun tangan meredam kerusuhan.

Selain itu, dulu Ken sering mendengar tentang kehebatannya di kancah persilatan. Seniornya di Elang Merah sering berkata ingin melihat pertandingan antara Artemis dan Gyro di pertandingan resmi.

“Abang kelihatan lebih muda daripada aslinya,” kata Ken polos. Tadinya dia pikir orang ini hanya lebih tua lima tahunan. Kalau setahun di atas Artemis, berarti umurnya sekarang 27 tahun! Sudah cukup untuk disapa Om—

“Jadi lo mau bilang gue tua?!” hardik Bang Gyro.

“Bukan, Bang.”

“Kan udah gue bilang jangan panggil ‘Bang’?!”

“Eeeh iya, Bang—ehh, maksudnya, ampun Kak.”

Bang Gyro mendecakkan lidah, tampak tidak puas.

Ken jadi merasa bodoh karena baru ngeh akan semua itu. Padahal dia pasti sudah pernah melihat foto Gyro di album lama OSIS.

Tapi, Ken membela diri, siapa juga yang mengira bakal bertemu Gyro di rumah Nadia? Dia bukan seorang Brahmadibrata. Plus, gosipnya keluarga Bang Gyro, yang termasuk galur murni, tidak begitu akur dengan Brahmadibrata—bahkan Ken yang kuper dan tidak suka baca koran pun tahu soal itu.

Lalu ngapain dia di sini?

“Lo pikirin tuh,” katanya, menuding proposalnya. “Tapi jangan lama-lama. Gue butuh cepet.”

Ken kembali membaca surat itu, kali ini dengan perlahan, mencerna setiap kata yang tertulis sambil mengabaikan bentuk huruf yang imut-imut dan membuat segalanya terasa tidak serius itu.

“Kenapa aku, Bang?” tanya Ken. “Kalau butuh kerja sama antara Harimau Putih dan Elang Merah, kenapa nggak menghadap Abah aja?”

Ada sebuah cerita rakyat yang isinya begini: naga biru suka berkelana dan menaruh telurnya di sarang hewan-hewan lain. Dua di antaranya ditaruh di sarang elang merah dan harimau putih, sehingga begitu menetas, yang keluar adalah seekor elang merah dan seekor harimau putih berdarah naga.

Di kalangan siswa level bawah, Elang Merah dan Harimau Putih terkenal bersitegang. Tapi, anggota yang sudah dewasa tahu bahwa kedua perguruan berasal dari satu sumber: perguruan Naga Biru yang sekarang sudah tidak begitu familiar di telinga masyarakat. Perguruan itu masih aktif, tetapi markasnya di atas gunung. Warganya hidup bersama alam secara, menurut orang kota, primitif. Tidak pakai listrik, tidak pakai internet. Benar-benar back to nature.

Bang Gyro menghela napas. “Menurut lo, apa yang bakal dibilang sama sesepuh kita soal ini?”

Ken mencoba membayangkan Abah.

“Mungkin… Abah bakal bilang supaya kita beresin masalah kita sendiri. Mungkin Abah juga bakal bilang, kalo kita nggak usah ikut campur urusan geng-geng itu karena nggak ada manfaatnya?”

Abah selalu berpesan agar Ken tidak lari dari pertarungan. Selalu menghadapi tantangan dengan berani dan tanpa penyesalan. Tapi, bukan berarti pertarungan itu harus dicari-cari.

“Nah,” Bang Gyro mengangguk.

“Tapi kalo gitu, ini bukan proposal dari Harimau Putih ke Elang Merah kan?”

“Memang bukan. Ini permintaan personal. Generasi tua itu pasif. Mereka nggak suka konfrontasi. Kenyataannya, kota kita lagi rusuh. Siapa lagi yang bisa beresin selain kita?”

Ken tidak suka arah pembicaraan ini.

Dia sudah gagal sekali, dia tidak boleh gegabah dan mencemplungkan diri ke dalam masalah.

“Gimana cara beresinnya? Serang markas Kobra Hitam dan Penyu Hijau?”

Bang Gyro mendengus. “Mereka nggak secanggih itu untuk punya markas. Tapi, mereka punya orang. Tersebar dimana-mana. Bikin masalah dimana-mana. Cuma ada dua cara yang bisa ampuh buat menghentikan mereka: habisin mereka semua, atau bubarin dan persatukan mereka di bawah satu komando.”

Ken benar-benar tidak suka implikasi yang dimaksud Bang Gyro.

“Abang mau aku ngediriin lagi Kutu Kelabu?” Geng itu memang cuma geng anak SMP, tapi gaungnya lumayan terdengar sampai akhirnya dibubarkan setahun yang lalu. Bang Gyro pasti pernah mendengarnya. Kalau tidak, buat apa dia mendatangi Ken?

“Itu pilihan lo,” Bang Gyro mengangkat bahu.

“Apa yang bakal terjadi kalau aku nggak mau menerima ajakan kerja sama ini?” tanya Ken.

Bang Gyro terdiam sejenak, dan, meskipun Ken tahu dia hanya mendramatisir, dia berhasil membuat Ken jadi tegang.

“Kerusuhan terus berlanjut. Lo bakal terus terseret ke dalam masalah mereka. Lo nggak mau, kan?”

Ken memandanginya lurus-lurus. Sesuatu masih belum klop.

“Kalo gitu, berarti Bang Gyro tau aku akan mempertaruhkan sesuatu yang penting buat membereskan mereka.”

Bang Gyro mengangkat sebelah alis, bibirnya tertarik ke satu sisi dalam sebuah senyum culas.

“Tentu saja, enggak. Kalau lo mau bekerja sama dengan gue. Lo tau siapa gue. Lo tau gue bisa apa. Gue bisa mengerahkan orang untuk menghapus jejak lo. Pihak berwajib nggak perlu tau bahwa lo yang bergerak dan menghajar curut-curut itu. Kasarnya, kalau lo terseret ke pengadilan, gue bisa sediain pengacara. Kalau sebadan-badan lo ancur karena dihajar, gue bisa sediain dokter bedah plastik. Gampang.”

“Motif Bang Gyro sendiri apa? Kenapa susah-susah nyediain… pengacara dan dokter, demi aku ngebubarin Kobra Hitam dan Penyu Hijau?”

Gyro mengangguk. “Gue punya motif. Detilnya lo nggak perlu tau. Tapi lo bisa yakin satu hal: gue pingin kota ini bersih. Kalau dibiarkan begini terus, orang-orang yang gue sayangi bisa kena imbasnya, dan gue lebih suka mencegah itu.”

Curang banget, pikir Ken. Kalau dia ingin melindungi orang-orang terdekatnya, kenapa nggak dia sendiri yang bergerak? Setidaknya, dari segi baku hantam, Gyro itu pendekar yang sudah diakui, bukan pendekar setengah mateng yang latihan Sabtu saja masih suka bolos seperti Ken.

Seolah-olah mengerti arah pikiran Ken, Gyro bicara lagi,

“Lo membubarkan Kutu Kelabu sebelum masuk SMA. Lalu lo menghilang. Lo jadi anak baik-baik yang rajin belajar dan aktif di organisasi sekolah. Nggak perlu Detektif Conan untuk tau kalau lo takut akan sesuatu.

“Tapi Ken, lo seorang pendekar. Lo mau berkubang dalam ketakutan? Seorang pendekar nggak pernah kabur dari pertarungan. Mereka nggak kabur dari masalah. Dan gue tau lo merasa bersalah. Membubarkan Kutu Kelabu adalah kesalahan. Ini kesempatan lo buat memperbaiki itu.”

Ken meremas kertas di tangannya tanpa sadar.

Gyro menegakkan punggung dan bersidekap.

Gyro bukan konglomerat sembarangan. Silsilahnya dapat ditelusuri sampai generasi pertama raja-raja negeri ini. Galur murni—para keturunan raja. Brahmadibrata adalah keluarga bangsawan yang terus menerus menebarkan pengaruh, dan bisa dibilang satu-satunya trah ningrat yang masih bertahan sampai zaman modern. Namun, keluarga Gyro itu dalam level yang sama sekali berbeda. Kalau bukan karena kudeta kaum demokratis tujuh puluh tahun yang lalu, barangkali Gyro punya titel Pangeran sekarang ini.

Kalau Gyro enggan ikut campur dalam pemberesan Kobra Hitam dan Penyu Hijau, barangkali karena segalanya bisa tambah kacau kalau sampai namanya disebut.

Andai memang itulah motifnya.

Namun, Ken merasa ada motif-motif lain yang lebih urgent daripada sekadar pencatutan keluarga galur murni. Gyro tidak bersembunyi di balik bayang-bayang Ken karena khawatir akan mencoreng nama keluarga.

“Kak Gyro?” suara kecil mengusik keheningan di antara mereka.

Nadia sedang mendorong troli dengan berbagai kudapan di atasnya menuju mereka, Dio dan Rena mengekorinya.

Ketegangan lenyap seperti asap. Ken terkesiap.

“Hei,” sahut Gyro. Ada yang berubah dari sikap Gyro ketika menyapa Nadia. Begitu Nadia sudah tiba di dekatnya, abang-abang itu menjulurkan tangannya ke kepala Nadia, mengacak rambutnya.

“Saya nggak tau Kakak mau ke sini hari ini.”

“Iya, gue diundang dadakan.”

“Kakak dateng sendiri?”

“Sama nyokap, lagi ngobrol sama nenek lo di depan.”

“Oh.”

“Oke, gue nggak mau ganggu acara belajar kalian. Oh ngomong-ngomong, kayaknya nyokap bakal lama jadi mungkin gue makan malam di sini.”

Nadia mengangguk.

Sebelum beranjak, si Abang menatap Ken.

“Gue bakal dateng lagi buat nanyain jawaban lo,” katanya, kemudian dia pun berlalu.

“Apa-apaan tu orang?” kata Dio galak, begitu Gyro sudah menghilang dari pandangan.

“Itu Kak Gyro,” kata Rena sambil lalu. “Tunangannya Nadia.”

“APA?!!!” Ken melompat sambil teriak. “Nadia mau nikah?!!!”

“Toa!” umpat Dio.

Nadia menggeleng kuat-kuat. “B-baru tunangan saja kok, Ken…”

“Sama aja kan? Eh, tapi…” Ken menggaruk hidung, “si Abang itu kan sepuluh tahun lebih tua!”

“Dua belas, Ken,” ralat Rena.

“Hah? Bang Gyro pernah nggak naik kelas?”

Rena mengeluarkan bunyi balon kentut. “Kamu bener-bener nggak tau apa-apa ya? Nadia ini dua tahun lebih muda dari kita.  Karena homeschool, jadi belajarnya lebih cepet. Jangan samain sama orang kayak kamu dong.”

Ken menimbang kekagumannya kepada Nadia lebih berat daripada kekesalannya pada Rena, jadi dia mengabaikan ledekan yang terakhir itu.

“Waaaaa... hebat…”

Nadia mulai bergerak-gerak gelisah.

“Jadi Nadia mau dinikahin sama om-om?” kata Dio tanpa banyak pikir. Rena spontan terpingkal-pingkal.

“K-Kak Gyro belum tiga puluh kok…”

“Emangnya jadi om-om ada batas umurnya?!”

“Udah, udah,” kata Ken, kasihan sama Nadia. Dijodohkan saja sudah lumayan aneh, apalagi dengan orang yang jauh lebih tua… walaupun beda dua belas tahun itu nggak jauh-jauh banget sih. Tetangga Ken ada yang bedanya empat puluh tahun.

“Trus, ngapain tunangannya Nadia ngobrol sama lo?” Dio menanyai Ken, lebih ketus dari biasanya. Ken menelengkan kepala, dalam hati bertanya-tanya… apa Dio merasa tidak rela Nadia sudah ada yang punya?

Ken menggeleng. Dio kan berkembang biak secara vegetatif. Makanya semua cewek yang nembak dia ditolak semua.

Akhirnya Ken menceritakan isi pembicaraannya dengan Gyro. Dipikir-pikir, ada untungnya juga orang yang nempel-nempel mereka adalah Rena, yang sudah tahu track record Ken di SMP. Memang sih, lebih baik tidak usah ditempel-tempeli siapapun, tapi setidaknya Ken tidak perlu susah payah menyembunyikan sebagian hal dan gagal dan malah jadi membocorkan segalanya.

“Gue nggak suka abang-abang itu,” simpul Dio, tidak nyambung dengan penjelasan panjang lebar Ken.

“Kamu sih nggak suka semua orang,” tandas Ken. “Mau ngejemput orang tua di bandara aja kayak disuruh terjun payung.”

“Kalau lo punya nyokap kayak nyokap gue, liat apa lo masih ngomong begitu.”

Ken melotot lebar-lebar sambil memberi isyarat ke arah Nadia, yang terdiam. Dasar tiang listrik, ga sensitif banget jadi orang, maki Ken dalam hati. Dio malah membuang muka, tidak mau mengaku salah.

“Ayo, mulai?” ajak Nadia, meraih buku terdekat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    95 banding lima, auto sakit perut ketawa cekikikan. Tenyata kalau di perhatiin tokoh Ken, karakternya hampir mirip dengan, tokoh Tio di ceritaku.

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
12674      2524     7     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.
Memories About Him
3105      1513     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Toko Kelontong di Sudut Desa
4345      1667     3     
Fantasy
Bunda pernah berkata pada anak gadisnya, bahwa cinta terbaik seorang lelaki hanya dimiliki oleh ayah untuk anaknya. Namun, tidak dengan Afuya, yang semenjak usia tujuh tahun hampir lupa kasih sayang ayah itu seperti apa. Benar kata bundanya, tetapi hal itu berlaku bagi ibu dan kakeknya, bukan dirinya dan sang ayah. Kehidupan Afuya sedikit berantakan, saat malaikat tak bersayapnya memutuskan m...
ETHEREAL
1336      592     1     
Fantasy
Hal yang sangat mengejutkan saat mengetahui ternyata Azaella adalah 'bagian' dari dongeng fantasi yang selama ini menemani masa kecil mereka. Karena hal itu, Azaella pun incar oleh seorang pria bermata merah yang entah dia itu manusia atau bukan. Dengan bantuan kedua sahabatnya--Jim dan Jung--Vi kabur dari istananya demi melindungi adik kesayangannya dan mencari sebuah kebenaran dibalik semua ini...
Coneflower
3067      1452     3     
True Story
Coneflower (echinacea) atau bunga kerucut dikaitkan dengan kesehatan, kekuatan, dan penyembuhan. Oleh karenanya, coneflower bermakna agar lekas sembuh. Kemudian dapat mencerahkan hari seseorang saat sembuh. Saat diberikan sebagai hadiah, coneflower akan berkata, "Aku harap kamu merasa lebih baik." — — — Violin, gadis anti-sosial yang baru saja masuk di lingkungan SMA. Dia ber...
It Takes Two to Tango
424      310     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
NAURA
3306      976     3     
Mystery
Naura Adipati, seorang anak disabilitas yang meninggal karena tak tahan menahan penderitaan yang dilaluinya. Penderitaannya dimulai dari keterbatasan dirinya yang tidak bisa mendengar dan berbicara, pembully-an yang dilakukan oleh sekelompok orang-orang yang suka membully, dan pengkhianatan seorang teman. Kematian Naura menjadi terror besar dalam kehidupan mereka.
Delapan Belas Derajat
9964      1862     18     
Romance
Dua remaja yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Salah satu dari mereka memiliki kelainan hitungan detak jantung. Dia memiliki iris mata berwarna biru dan suhu yang sama dengan ruangan kelas mereka. Tidak ada yang sadar dengan kejanggalan itu. Namun, ada yang menguak masalah itu. Kedekatan mereka membuat saling bergantung dan mulai jatuh cinta. Sayangnya, takdir berkata lain. Siap dit...
Secret Melody
2032      718     3     
Romance
Adrian, sangat penasaran dengan Melody. Ia rela menjadi penguntit demi gadis itu. Dan Adrian rela melakukan apapun hanya untuk dekat dengan Melody. Create: 25 January 2019
Ending
4710      1216     9     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...