"Nara, inget pesan kakak..."
"Main boleh tapi harus pulang dulu ganti baju dan makan siang..." kami mengucapkannya bersamaan. Aku menatap kakakku jengkel. Ini sudah hampir pertengahan semester dan kakakku tak hentinya mengingatkan masalah ini. Ia lebih cerewet daripada orang tuaku sendiri.
"Kak Seta, please..." kakakku hanya nyengir dan mengacak puncak kepalaku pelan. Mau tak mau aku memegangi poniku yang bisa berantakan, membuatku mengeluh lagi, "aku udah gede, kakak!"
"Biasanya kalau ada yang merengek udah gede itu justru lagaknya aja yang gede, tapi aslinya masih... cengeng!" Kak Seta membuka sabuk pengamanku dan mengambil tasku dari kursi belakang mobilnya, "nih masuk sana! Kakak bisa telat nanti gara-gara kamu!"
"Ih kok nyalahin Nara sih!" aku merebut tasku dengan cepat, "pates kakak nggak punya pacar, kakak bawel!" aku menutup pintu mobil dengan cukup keras. Kak Nara menurunkan kacanya dan berteriak dari dalam.
"Awas aja kalau kamu punya pacar tapi nggak bilang sama kakak!"
"Jangan teriak-teriak! Malu-maluin!" aku melambaikan tanganku, mencoba mengusirnya.
"Belajar yang rajin Sayang..." Kak Seta melambaikan tangannya dan mobil merah itu mulai meninggalkan halaman sekolah. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba untuk mencari petunjuk apa ada saksi mata dari kejadian ini. Dan benar saja.
"Itu tadi pacar lo?" Giani, sahabat sebangku ku mulai mengutuki dengan pertanyaan.
"Bukan, dia kakak gue!" aku melangkah masuk ke dalam sekolah. Ia berusaha menjajari langkahku yang sengaja kubuat lebar-lebar.
"Kakak lo? Buat gue boleh nggak?" mata Giani melebar, imut sekali sebenarnya kalau seandainya yang dibicarakan bukan tentang Kak Seta. Aku sadar dan mengakui kalau kakakku itu termasuk kategori kaum adam yang menarik perhatian. Dia bisa di bilang cakep dan tubuhnya yang tinggi sempurna melengkapi penampilannya.
"Nggak boleh, dia udah bawelnya minta ampun, nggak perlu ditambah elo..." aku membuka pintu kelas dan masuk ke dalam, membuat Giani tersingkir dan mau tidak mau hanya bisa mengekoriku dari belakang.
"Ya elah elo pelit deh..."
"Gue nggak pelit, ini demi kesehatan telinga dan hati gue. Lo nggak mau kan gue sakit karena mendengar ocehan kalian berdua setiap hari?" aku meletakkan tasku di kursi paling belakang, dekat jendela yang paling besar.
"Lo khawatirnya kebangetan deh..." Giani ikut meletakkan tasnya dan mengamati jam tangannya. Masih pagi, setengah jam lagi bel baru berbunyi. Ia tiba-tiba nyengir dan menoleh ke arahku, "ke lapangan yok. Kita one on one, kalau gue menang lo kasih nomor kakak lo, kalau lo kalah lo traktir makan siang!"
"Lo pikir gue tuli apa? Itu sih enak di elo semua!" aku menatap sahabatku ini gemas. Bisa aja ngaconya. Tapi seorang Kinara tidak pernah menolak tantangan, hanya nggak setuju aja dengan peraturan menang kalah itu. Aku sudah berdiri dan meraih bola basket yang ada di belakang kelas. Bola basket yang aku beli patungan dengan si Giani.
"Oke peraturannya, kalau gue menang lo traktir makan siang kalau gue kalah lo traktir makan siang", aku mulai mendrible bola basket berwarna hitam itu. Ia menari dengan anggun di tanganku.
"Lo nggak bisa mengelabuhi gue, pokoknya yang kalah tetep banyarin yang menang..." Giani sudah menghadangku tepat di depan ring sebelum aku menembak bolanya.
"Deal!" aku mulai menerobos pertahanannya dan memasukkan poin pertama. Aku sengaja mundur dua langkah dan berdiri di luar garis tri-point dan tanpa menunggu, aku membidiknya. Bluss, bola masuk dengan mulus! Yess. Aku mengangkat tangan, merayakan kemenangan.
"Jangan seneng dulu!" Giani sudah siap menyerang dari samping, ia bersiap melakukan lay up dan tubuhnya yang lebih tinggi dariku membuatku kalan jump. Ah, dia juga berhasil mencetak angka. Pagi itu, tanpa kami sadari beberapa siswa mulai memperhatikan pertandingan kami dari pinggir lapangan sambil berjemur dibawah sinar mentari pagi.
"Gue yang menang!" aku berteriak saat melemparkan bola, lagi-lagi dari wilayah tiga angka. Namun bidikanku meleset beberapa centi. Bola itu mengenai pinggirang ring dan memantul dengan kekuatan sebanding dengan gaya lemparnya. Mempraktekkan hukum fisika yang ditambah dengan gaya grafitasi, membuat bola itu bergerak turun dan memilih targetnya.
"Oh God!" aku berteriak diikuti oleh beberapa orang yang juga menjadi saksi peristiwa pagi itu. Aku berlari menghampirinya. Aku sempat melirik badge di tangan kirinya, sial dia kakak kelas duabelas. Aku menelan ludahku, "Kakak nggak papa?"
"Yang jelas, gue basah..." ia memperhatikan seragamnya yang sekarang berwarna merah karena tertumpah minuman bersoda. Ia baru saja membuka tutup botol minumnya saat bola itu tiba-tiba mengacaukan paginya.
"Kok pagi-pagi minum soda sih! Nggak baik makannya..." aku menggigit bibir bawahku, menyadari kesalahanku.
"Malah jadi elo yang ngomel, gue korbannya nih di sini", ia menyodorkan minumnya kepadaku, "daripada elo, perbuatan baik lo pagi-pagi udah mencelakakan orang lain."
"Ra..." Giani menyentil bahuku pelan, "gimana?"
Aku hanya menggeleng pelan dan menatap laki-laki yang masih sibuk mengibas-ibaskan seragamnya agar cepat kering.
"Maafkan aku kak..." aku menunggu, hingga akhirnya bel masuk berbunyi.
"Lo temani gue ke BK saat ini juga..." orang itu mendahuluilku. Aku gelagapan dan cepat-cepat memberikan bola basket ke Giani. "Lo tunggu di kelas aja, biar gue yang tanggungjawab...."
"Tapi Ra..."
"Nggak papa, bilang sama Pak Kholis kalau gue di ruang BK!" aku berlari dan mengikuti laki-laki itu tepat tiga langkah di belakangnya. Aku menunduk saat ia melewati lorong kelas dua belas. Jujur ini adalah lorong yang jarang sekali digunakan anak-anak kelas sepuluh atau kelas sebelas. Aku gugup saat beberapa kakak kelas sempat menyapa laki-laki itu. Ikut penasaran.
"Bian! Ada apa denganmu!" Bu Tata langsung saja berteriak melihat anak didiknya masuk dengan kondisi seperti itu. Ingat, bajunya yang putih itu sudah berwarna merah, karena minuman soda itu.
"Ini salah saya Bu", aku langsung mengaku saat Bu Tata beralih menatapku.
"Ada baju ganti Bu?" tanyanya sambil duduk di salah satu kursi BK.
"Sebentar..." Bu Tata mulai sibuk membuka lemari di pojokan ruangan. Ruang BK ini menyimpan baju cadangan untuk siswanya. baju-baju itu berasal dari sumbangan kakak angkatan yang sudah lulus. Ini untuk menganggulangi kejadian seperti ini, "ada apa sih ini?"
"Tadi gadis kecil ini bermain basket dan bolanya mengenai minuman saya, Bu. Saya terpaksa mandi darah..." jelasnya.
"Hush ngawur aja kamu..." Bu Tata sudah kembali dan membawa dua buah baju, "ini yang paling gede, kamu coba dulu di sana. Kamu, duduk sini, siapa namamu? Ibu belum apal kelas sepuluh..."
"Kinara Bu, Kinara Sali Baswara..." aku duduk di kursi yang di sediakan untuk anak-anak saat bimbingan konseling.
"Saudaranya Seta?" aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Bu Tata. Kak Seta dulu juga sekolah di sini dan baru lulus dua tahun lalu. Jadi wajar kalau guru-guru masih ingat padanya. Apalagi Kak Seta sempat menjadi ketua Osis di sini.
"Lo adiknya Kak Seta?" yang terkejut justru laki-laki yang sedang mengganti bajunya. Ia membuka tirai yang awalnya menutupi dirinya. Aku sontak tertawa melihatnya.
"Oh, kekecilan!" Bu Tata yang menepuk dahinya, baju itu terlalu pendek untuk bisa di masukkan ke celananya. Membuatnya sangat ketat di tubuhnya yang tinggi itu.
"Yang ini panjangnya oke, tapi bahunya nggak muat Bu..." ia melepas bajunya dengan asal, membuatku mengalihkan pandangan. Walau ia memakai kaus tanpa lengan tetap saja membuatku tak berani menatapnya.
"Ya udah kamu beli yang baru aja, ibu bikinkan surat ijin keluar Bian..." Bu Tata kembali ke tempat duduknya.
"Dia juga Bu, dia yang harus beliin saya baju!" Bu Tata menilikku dari balik kacamatanya. Saat aku mengangguk pasrah Bu Tata mengiyakan permintaan itu.
"Ke kelas gue dulu gih, ambillin jaket sama tas gue..." aku melongo tak percaya.
"A..a..a..ku kak? Ta..tapi kan kelas du..duabelas..." tanpa aku sadari aku tergagap. Membayangkan masuk ke kelas dua belas saja membuatku mulas.
"Lo nggak lihat gue telanjang gini?"
"Bian..." Bu Tata menegurnya, "Nih, Kinara. Kamu sekalian berikan ini ke kelas Bian lalu ke kelasmu juga. Biar Bian tunggu di sini..." aku tambah melongo tak percaya. Bukannya membelaku, beliau justru menyetujui ide laki-laki itu. Aku sudah tidak bisa mengelak lagi.
"Nama gue Fabian Galih..." aku menelan ludah sambil mengangguk tak berdaya. Siap-siap memotong urat malu ku di kelas dua belas.
Oh God, please hlep me...
Bersambung...
Catatan:
One on one adalah permainan basket dimana hanya dimainkan dua orang. Satu lawan satu.
drible : menggiring bola basket
@yurriansan saat baca ini, jadi mikir jangan2 yang buat naskah kemarin itu. semangat ya, semoga bisa baca hardcopynya
Comment on chapter Hi!