7
Musim Gugur, 2017
(Rienna Arabella)
Waktu terasa berhenti dan musim gugur menjadi begitu lama. Hujan sesekali mengguyur lalu aku mulai merindukan masa-masa yang ingin kulupakan. Aku teringat kedua orang tuaku yang telah tiada, aku teringat masa kecilku yang indah dan bahkan aku teringat kenanganku bersamamu. Dua puluh empat jam sejak pertemuan kita, aku tak lagi merasa berada di dunia. Aku menghentikan semua detak jam, mematikan ponsel, menutup semua tirai dan pintu hingga membiarkanku dalam kegelapan sepanjang waktu.
Aku merasakan jiwaku yang kembali terperosok pada lubang luka yang telah kututup. Aku tidak mampu keluar dari lubang itu. Aku merangkak, menggapai apapun yang dapat kugapai tetapi pada akhirnya aku menyerah. Aku raga yang kosong saat ini. Dengan isi kepala yang terus memutar pembicaraan terakhir kali denganmu. Air mataku pun seolah memiliki otak sendiri, mereka tak dapat kukendalikan. Aku ingin bersikap biasa dan menganggap pertemuan itu seperti pertemuan yang lain. Tetapi hatiku terlalu rapuh, hatiku tidak mampu membendung luka lama yang kembali menganga karena pertemuan itu.
“Rienna… apa kau di dalam? Aku akan memanggil keamanan untuk mendobrak pintumu jika kau tidak membukanya sekarang juga!” teriak Kenzo dari luar. Tapi hanya dapat kudengar samar-samar. Entah sudah berapa kali dia meneriakiku dan mungkin di luar sana juga penghuni flat lain yang sedang membicarakanku.
“Apa perlu kupanggil pemilik flat saja? mungkin dia mempunyai master key?” saran seseorang. Sekarang mereka pasti tahu jika seseorang yang berada di dalam flat ini adalah orang yang bermasalah.
072790 itu sandi pintu.
Kau bisa membukanya sendiri tapi tolong suruh mereka pergi!
Sent
Aku mengirim pesan untuk Kenzo setelah mengaktifkan kembali ponselku. Tidak ada balasan tapi tidak terdengar lagi suara keributan di luar. Aku kembali menelungkup saat pintu flat terbuka sesaat kemudian dan menampakan sosok Kenzo dengan setelah casual, celana jeans dan kaos polo dibalik mantel coklatnya. Dia menunggu hampir setengah jam di luar jadi aku akan memaklumi jika dia memarahiku.
“Rienna… ya tuhan! Apalagi yang terjadi?” Dia menghembuskan nafas lega ketika mendapatiku dalam keadaan hidup.
Hanya saja aku tak tertarik menyahuti. Aku terlalu malu menatapnya dengan keadaan yang kacau. Dia pun masih berdiri di ujung ranjang sembari menunggu jawabanku. “Apa kau tahu? Kau hampir membuatku mendobrak pintu flatmu karena begitu cemas…” gerutunya.
“Kau pasti berpikir aku sudah bunuh diri? Memangnya aku separah itu hingga kau mencemaskanku?” lirihku masih dengan posisi semula, menelungkup di atas ranjang dan menyembunyikan wajahku disela-sela bantal.
Kenzo hanya berdecak. Wajahnya tidak terlihat karena ruangan yang gelap. Tapi kudengar samar-samar langkah kakinya yang menuju sisi ranjang. Dia berhenti disana, kemudian menyibak tirai di jendela dan membiarkan sinar matahari sore menyilaukan penglihatanku. Hujan tampaknya telah reda hingga cuaca kembali cerah.
“Apa yang terjadi padamu sebenarnya?” tanyanya menginterogasi. Tapi sebelum aku menjawab, dia sudah mendahuluiku. “Apa kau bertemu dia?”
Dan kata-kata itu sukses membuat jantungku terhantam. Rasanya seperti dunia yang kembali berputar dengan suara jantungku sebagai detaknya.
“Tidak ada yang perlu kau sesali! Bahkan jika kau bertemu dengannya lagi.” sambungnya.
Kerongkonganku seolah tercekal saat aku berusaha membantah kata-kata Kenzo, “Tapi bagaimana jika setelah pertemuan ini aku justru tidak bisa melupakannya?” lirihku, bersamaan dengan setetes air mata yang jatuh dari kelopak mataku.
“Tidak ada yang akan menyalahkanmu kalaupun kau tidak bisa melupakannya. Kau hanya tidak perlu membohongi dirimu sendiri!”
“Tapi aku ingin melupakannya!” potongku dengan nada suara tinggi.
Kenzo tidak langsung menjawab. Dia mengamati raut wajahku beberapa saat sebelum kembali membuka suara. “Kau tidak benar-benar ingin melupakannya, itulah kesimpulanku. Kau hanya takut terluka dan merasakan kesakitan yang sama karena dia.”
Aku membasahi bibirku. Mengulangi kata-kata Kenzo di dalam hatiku. Perkataannya benar, aku memang terlalu takut dengan rasa sakit yang sama.
“Rienna… dengarkan aku! Apakah rasa sakit itu nyata?” Kenzo berjongkok tepat dihadapanku dan menatap manik-manik mataku. “Bagaimana kalau kau mencoba untuk menyayangi dirimu sendiri mulai sekarang! Biarkan apapun yang kau takutkan terjadi dan jangan menyesali apapun. Karena kau juga pantas untuk bahagia!” bisiknya.
“Kau menyalahka dirimu atas kepergiaan orang tuamu. Kau terlalu memaksa dirimu untuk menjadi yang terbaik. Bahkan kau juga berusaha menghukum dirimu sendiri karena semua masa lalu itu. Jangan hidup seperti itu lagi!” kata-kata Kenzo selalu berhasil membuatku kembali tenang. Meskipun hanya sesaat.
Aku pun kemudian bangkit dari posisiku dan menyekat sisa-sisa air mata di pipiku. Kulihat sekelilingku sangat kacau, semua berserakan. Dan aku bahkan lupa kapan terakhir kali mengisi perutku. Rasanya aku benar-benar kehilangan diriku sendiri untuk beberapa waktu.
“Kau sudah makan? Bagaimana kalau aku membuatkanmu sesuatu?” tawaran Kenzo yang langsung kusetujui. Pria itu pun kemudian beranjak berdiri dan berjalan menuju Kabinet di dapur mini flatku. Namun sebelum dia benar-benar sampai disana, tiba-tiba ponselku berdering menampakan beberapa baris angka yang tak kukenal.
“Angkat saja dan hadapi rasa takutmu!” seolah dia sudah tahu siapa penelpon itu, Kenzo menyarankanku untuk mengangkatnya. Aku juga bisa menebak pemilik nomor itu. Dan itu membuatku ragu untuk menjawab panggilan itu.
“Moshi… Moshi…” lirihku.
Dan suara yang menyahuti dari diseberang sana, justru kembali melumpuhkanku.
******
(Jefrine Kalhendra)
Jantungku seperti kembang api yang memercik, setelah sekian lama kehilangan detaknya. Aku seperti mati selama sepuluh tahun terakhir dengan detak jantung yang tak memiliki hasrat hidup. Tetapi pertemuan denganmu dua puluh empat jam yang lalu seolah menghidupkan euphoria dalam detakku. Aku tidak pernah melupakan sensasi itu. Bagaimana aku merasa hidup kembali dari kematian rasa dan bagaimana aku yang seolah menemukan kembali diriku yang lama. Meskipun aku tahu bahwa kau tetap tidak nyata, kau bukan lagi seseorang bisa membuat diriku bersikap apa adanya.
“Apa ada sesuatu yang terjadi?” Aku mematikan putung rokok di tanganku ketika melihat Yuiko berdiri diambang pintu sembari menenteng kantong belanja dan tas lengan hanmade miliknya. “Kau sudah berjanji padaku untuk berhenti merokok bukan?” lanjutnya.
“Ini yang terakhir…” jawabku setengah tertunduk, tanpa memberi penjelasan.
Yuiko berjalan menuju dapur dan meletakkan kantong belanja disana. Aku belum memberitahunya tentang pertemuan itu dan masih memikirkan cara untuk menyampaikannya sehingga hal itu membuatku gelisa setengah mati. Beberapa jam yang lalu−tepat sebelum Yuiko datang−aku juga mengambil keputusan fatal dengan menghubungimu. Aku terlalu terburu-buru dan tidak berpikir panjang memperhatikan posisiku dengan Yuiko.
“Moshi… Moshi…” Suara itu berputar kembali di benakku. Suara yang tersengar serak dan ragu-ragu. Seolah kau belum siap menjawab panggilanku.
“Oh… hai, ini aku!” sahutku sedikit canggung. Tidak terdengar suara apapun dari seberang sehingga aku pun sedikit cemas, “Apa kau baik-baik saja?”
“Hm… ya, hai…” jawabmu beberapa saat kemudian.
“Apa aku terlalu cepat menghubungimu? Maaf… kau sedang tidak sibuk sekarang?”
“Tidak apa-apa…” jawabmu lagi singkat. Aku membasahi bibir bawahku sembari memindakan ponsel ke telinga kanan. Pembicaraan ini terasa lebih canggung dibandikan dengan pembicaraan terakhir kali.
“Aku menghubungimu untuk mengajakmu makan malam sesuai janji kita, kau ingat? bagaimana kalau besok malam? Di restaurant hotel dekat Meguro river?” tidak ada topik yang muncul di kepalaku selain tentang makan malam bersama itu sehingga aku pun tidak ingin lagi berbasa-basi.
“Entahlah… aku harus bertanya pada Kenzo, apa dia punya waktu…”
“Oh… begitu?” hening sesaat hingga aku dapat mendengar detak jantungku sendiri. Tampaknya kau menjadi pasif dalam pembicaraan ini.
“Kalau begitu kau bisa menghubungiku lagi kalau dia setuju!” tandasku dengan perasaan yang sulit kuartikan.
“Tidak perlu! Aku akan menanyakan padanya sekarang,”
“Kau bersama Kenzo?” tanyaku sedikit gagap.
“Hm… dia datang ke flatku.”
“Baiklah… aku akan menunggu.”
Entah suasana apa yang tengah kurasakan. Berbagai macam imajinasiku tentangmu dan Kenzo di sebuah flat yang sama terus berputar di benakku. Rupanya sudah sejauh itu rupanya hubungan kalian. Dan aku hanya bisa memejamkan mata karena merasa sangat frustasi. Apa yang sebenarnya kurasakan? Mengapa aku justru mulai membenci sosok Kenzo disampingmu?
“Halo…” panggilmu dari seberang yang kembali menyadarkanku. “Kenzo bilang dia tidak punya acara jadi dia bisa menemaniku…”
“Hm… baguslah! Aku akan mereservasi meja untuk kita.”
“Ya… terima kasih.” Ujarnya. Aku merasakan suasana yang sulit. Rasa terima kasihnya tidak masuk akal.
“Sampai jumpa di makan malam!”
“Hm… sampai jumpa!”
Hanya sesingkat itu pembicaraan kami. Tapi mempunyai efek yang berat padaku. Aku sampai harus kembali membeli rokok dan mengisapnya beberapa batang hanya untuk meredakan rasa frustasiku. Perasaan yang sungguh membinggungkan. Aku tidak bisa lagi bersikap tenang. Ada sesuatu di dadaku yang merontah-rontah. Rasa cemburu entah semacam itu. Tapi bagaimana aku bisa merasakannya jika gadis yang aku cintai bukan Rienna.
“Aku sudah menyiapkan makan malam, apa kau akan memakannya sekarang?” itu suara Yuiko. Entah sejak kapan dia sudah berada disampingku. Menatapku seperti aku telah melakukan kesalahan padanya.
“Aku masih belum lapar jadi nanti saja.” tolakku. Yuiko menyandarkan punggungnya dan mulai menghembuskan nafas.
“Kau pasti belum melihat beberapa sampel undangan yang kukirim…” tuduhnya. Tapi dia memang tidak salah sedikitpun.
Aku menegakkan tubuhku. Mencoba berkelik tapi Yuiko berhasil menangkap gelagat tak bisa itu dariku. Hingga akhirnya aku pun menyerah, tak ingin lagi mengulur waktu.
“Maafkan aku…” Suaraku tertahan. Menatap Yuiko membuat kesalahanku terasa berkalil lipat. “Aku belum mengatakan padamu jika aku bertemu Rienna kemarin. Dan kami berjanji bertemu lagi minggu ini.”
Sekilas ada perubahan mimik yang kulihat di wajah Yuiko saat mendengar nama itu kusebut. Sekilas sebelum dia mengubahnya dengan cepat. Dia sudah sering berakting di panggung jadi tidak sulit baginya berakting baik-baik saja di depanku. Namun kali ini aktingnya terlalu mencolok untuk dia tampilkan.
“Lalu apa masalahnya?” seperti yang kutebak. Dia berpura-pura tak terpengaruh dengan nama itu. Yuiko bahkan bersikap seolah hal itu adalah hal yang biasa terjadi. Kami benar-benar telah terjebak dalam opera sabun.
“Entahlah, aku juga tidak tahu apa masalahnya…” desahku.
@aiana kira-kira seperti itulah hehe
Comment on chapter AuntumSenang banget di komen, terima kasih banyak ^^
Aku juga suka "27 Syndrome" kayak aku banget itu ceweknya wkwk