Bernard Liawarda
pragmatis/prag·ma·tis/ a 1 bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis; 2 mengenai atau bersangkutan dengan pragmatisme
Ada satu orang yang sangat mengutamakan nilai-nilai praktis dalam hidupnya. Dia enggak suka hal rumit yang akan membuat otaknya panas terbakar karena hitungan matematika. Yang akan protes, "Terus gunanya mbah Google itu buat apaan, babang?"
Dia enggak akan suka dengan semua hal rumit apapun yang ada dihadapannya. Ketika semua orang pergi naik sepeda motor atau naik angkutan umum untuk pergi ke sekolah, dia hanya akan duduk di belakang jok motor sambil nyengir lebar dan berseru, "Nebeng broohh!"
Dia mungkin enggak suka hal rumit seperti apa dirinya di masa depan nanti, enggak suka hal rumit bagaimana tanggapan orang-orang seantero sekolah karena sikap praktisnya ini.
Dia yang enggak akan repot-repot untuk mengingat nama seseorang yang terus ada disampingnya.
Bernard Liawarda.
Tapi, enggak masalah sih. Selagi dia masih bisa menunjukkan senyuman tipisnya setiap kali dia merengek minta keluar rumah, minta beli makanan atau minuman apa pun yang bisa membuatnya sendawa setiap kali selesai makan.
Apa pun yang Aleetta minta, mungkin aku bisa mewujudkannya.
Pernah, sekalinya, dia mukul belakang punggungku sambil ketawa terbahak-bahak dan hampir keselek bakso dikantin belakang sekolah. Waktu itu lagi bolos mata pelajaran matematika.
"Tahu enggak?" kataku, sambil menaikkan alis beberapa kali ke arahnya.
Aleetta cuma mengendikkan kedua bahu sambil menaruh sendok ditengah-tengah bakso yang ada dimangkok dan membelahnya, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Dia bilang, "Enggak mau tahu, dan enggak pengen tahu ..."
Aku mendesis sebal. Aleetta memang susah diajak kompromi kalau sudah makan. "Kalau Pak Kumis udah pindah dari sekolah."
Awalnya sih, memang enggak bereaksi apa-apa, masih asik ngunyah bakso, sampai semenit berlalu ada sedikit perubahan dari yang kuamati.
Pupil matanya membesar, kunyahan baksonya pun berhenti. Dia sedikit menoleh ke arahku sambil teriak, "Really? Kepala sekolah kita lengser?"
"He eh, bener." jawabku santai. "Kemarin kan ada acara perpisahan di aula sekolah. Bandel sih pas kusuruh ke sana!"
Entah itu refleks karena terlalu senang atau gimana, ya? Dia makan bakso yang tinggal setengahnya lagi di mangkok, sambil ketawa-ketiwi, haha-hihi kayak orang gila.
Sampai akhirnya,
"Uhuuk .... uhukkk..."
Tuh kan keselek.
Kulirik es teh di dekat lenganku yang masih utuh belum kuminum. Kusodorkan ke Aleetta sambil mengelus belakang punggungnya pelan. "Nah, kan keselek."
"SUMPAH, PAK KUMIS LENGSER?"
Sebenarnya, Pak Kumis punya nama, Drs. Baharudin Uswanto, M.pd, biasanya dipanggil Pak Baharudin. Cuma karena Aleetta yang enggak mau repot-repot untuk mengingat nama orang. Jadi dia manggil Pak Baharudin dengan sebutan Pak Kumis karena beliau punya kumis tebal dibawah hidungnya.
"Hooh,"
"SUMPAH ORANG TOLOL ITU PINDAH DARI SINI?! KUMIS BERKARAT! KEPALA EMBE! BAHAHA ..."
Aleetta kembali teriak-teriak sambil ketawa haha-hihi dengan tangan yang terus menepuk keras belakang punggungku tanpa henti.
"HIDUP GUE AMAN. HAHAHAHHA ...."
Mulut Aleetta memang sarkastik. Karena itu dia di sekolah agak kesepian. Setidaknya begitu dari yang kuamati. Memang pernah sekali-dua kali dia dideketin ama siswi-siswi yang mungkin merasa kasian karena lihat dia sendirian terus di kelas. Tapi, enggak sampai seminggu, mereka labrak Aleetta dan maki-maki kayak boncabe.
"Eh, Aleetta, kita temenan sama kamu itu karena kita merasa kasian sama kamu! Jangan sok deh jadi orang! Mentang-mentang kita deketin, terus kamu bisa jadiin kita babu kamu! Enak, ya, jadi orang cuma nyuruh-nyuruh ...."
Dan kalian tahu apa tanggapan Aleetta setelah mendengar semua sindiran mereka?
Dia yang lagi duduk dengan mata fokus ke arah buku, tangan kiri yang mengepal di atas meja, yang satunya lagi megang pelipisnya. Seketika merubah posisi jadi menggebrak meja, posisinya berdiri, pandangannya sejajar dengan para siswi-siswi yang lagi labrak dia. Dan bilang gini dengan emosi yang enggak bisa ditahan lagi.
"ANJING!! BISA DIEM ENGGAK BANGSAT?" teriak Aleetta yang membuat nyali mereka langsung ciut. "KALAU GASUKA JANGAN DEKETIN,NJING! APA SUSAHNYA SIH? GUE ENGGAK BUTUH KALIAN SEMUA, TUKANG NYIRNYIR GAGUNA!"
Dan beberapa jam kemudian, Aleetta dipanggil guru BP.
Dan sekali lagi, aku ingatkan! Aleetta memang sarkas.
Sarkas dalam arti KBBI seperti ini:
sar·kas·tis a bersifat mengejek; mengandung sarkasme
dan Sarkasme adalah :
sar·kas·me n (penggunaan) kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain; cemoohan atau ejekan kasar
Dia kalau ngomong asal ceplas-ceplos, enggak kekontrol banget. Makanya pas nanggap para siswi yang nyirnyir ke dia langsung keluar kata-kata mutiaranya.
Padahal, ya, anjing adalah makhluk keimut kedua setelah kucing yang enggak bersalah apa pun, tapi sering disalahartikan.
Kayak sekarang ini, kalau ngomong asal ceplas-ceplos.
Setelah selesai memberi uang parkir pada Bapak-tua-kurus yang datang dari arah pedagang kaki lima, aku memotret Aleetta dengan sengaja saat dia melihat ke arahku.
Dia marah, tentu. Kusodorkan kamera DSLR milikku untuk menunjukkan hasil jepretanku padanya, dengan senyum mengembang.
Dia diam beberapa lama. "Fix, gue makin suka sama lo!"
Aleetta mungkin enggak tahu seberapa merahnya wajahku ketika dia menyebutkan kalimat tadi dengan enteng.
Aku menggaruk belakang telinga sambil cengengesan. Gini-gini aku itu cowok. Cowok yang lemah kalau digodai cewek cantik, apalagi kayak Aleetta.
Aleetta memang cantik sih, tapi ya itu, nilai-nilai praktis dan asal ceplas-ceplos gede banget. Kayak sampah yang biasa diangkut truk gede waktu kita berangkat sekolah bareng. Gede dan Bau. Tapi Aleetta enggak bau.
"Kenapa sih?" Aleetta cuma menaikkan sebelah alisnya.
Aku menggeleng cepat. "Enggak apa-apa," kataku, sambil berdeham. "Yuk, ke danaunya. Pose yang bagus ya!"
Lantas, dia mengangguk, menarik tanganku dan berjalan cepat menuju pinggiran danau.
"Nama tempat ini apa sih ini?" tanya Aleetta, begitu sampai diujung jembatan dan duduk ditengah-tengahnya.
"Taman Bibit," kataku, dia cuma mengangguk-angguk mengerti. "Jangan banyak gerak, nanti blur!"
Aleetta ini selain punya nilai-nilai praktis dan ngomong asal ceplas-ceplos, dia juga buta arah. Coba kalian tanya dari SMA 6 ke Tunjungan Plaza itu lewat mana? Dia pasti bakalan bingung sendiri dan berakhir nyeret-nyeret paksa orang yang ada disekitarnya.
"Al, ganti pose!" titahku kepadanya.
Dia cuma mengangguk dan menggubah posisinya yang sebelumnya tadi duduk mengarah ke kamera dan sekarang membelakangi.
Aku suka ketika memotret dan objek itu adalah Aleetta. Enggak tahu apa alasannya? Tapi ya ... cocok aja gitu. Selalu kelihatan bagus dan natural. Walaupun aku harus ndlosor-ndlosor untuk dapetin angle yang bagus.
Dan Aleetta juga enggak keberatan kalau disuruh jadi model dadakan. Dia pasti bakalan bilang, "Boleh, itung-itung buat nambah postingan di IG."
***
"Nama lo siapa sih?"
Malam hari itu kita masih di luar, di jalan Ngagel, nyari makanan sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Enggak langsung ke rumah masing-masing sih, harus nganter Aleetta dulu ke rumahnya baru balik.
"Bernard Liawarda," kataku, tanpa melihat kearahnya karena fokus makan mie ayam. "Kenapa? Lupa lagi?"
Aleetta cuma nyengir enggak berdosa. "Hehe.."
Aku mendecak. "Emang susah ya?"
Aleetta cuma diam. Dia kayak lagi mikir sesuatu. "Enggak susah sih," jawabnya santai.
"Ya terus?" Aku menoleh ke arahnya. Terkejut ketika melihat Aleetta yang makan mie sampai belepotan. "Ya Tuhan, makannya yang bener toh mbak!"
Aneh enggak sih? Disaat hal seperti ini terjadi, rasanya jantungku enggak bisa berhenti berdegup kencang. Bunyi deg deg nya keras banget, sampai terdengar ke telingaku.
Kuharap Aleetta enggak dengar detak jantungku.
"Hehe."
Dia hanya cecengiran, gemas deh kalau lihatnya lagi aneh begitu, jadi pengen nabok.
“Kamu tahu?” ujarnya, membuatku mengerutkan kening.
“Tumben?”
“ Apanya?” tanyanya, yang lagi-lagi nyengir. “Salah kalau aku ngomong aku-kamu?”
Aku terdiam, bergeming ditempat. Perasaan aneh yang terus saja menghantui benakku tidak bisa terkontrol. Rasanya seperti terbang ke langit ke tujuh. Aleetta yang kebiasaan ngomong gue-lo ke siapa pun, sekarang malah ngomong aku-kamu dan itu bilangnya sama aku.
“BAHAHAHAHAHHAHA .....” dia ketawa, ketawanya keras banget kayak kambing etawa. “Ah, gue suka banget usil. Jangan geer, Babang...”
Refleks, alis kananku terangkat. Aleetta menepuk punggungku keras. Ketika bibirku terbuka untuk membalas bualannya. Lengan seseorang menyenggol sikuku hingga membuat mangkok pada genggamanku terjatuh.
***
Bagus ceritanya. Ditunggu kelanjutannya ya kakk
Comment on chapter A : Ego