Reina berjalan berdua dengan Sheila. Malam ini, Reina sengaja meminta Sheila untuk menemaninya jalan-jalan di sekitar rumahnya. Awalnya dia ingin mengajak Citra, tetapi sayangnya Citra mendadak mendapat pesanan roti. Mau tak mau Reina pun akhirnya mengurungkan niatnya itu. Dia tak mau mengganggu pekerjaan kakaknya. Apalagi, kebutaan yang dialaminya sekarang membuatnya tak bisa lagi membantu Citra membuat roti seperti dulu.
Di bawah langit yang penuh dengan bintang, Reina berjalan menyusuri jalanan dengan menggunakan tongkat yang diberikan Sheila. Suara langkah kaki yang berpadu dengan suara lonceng kecil di tongkatnya mengisi kesunyian malam. Dia ingin menghapal jalan di seluruh kota ini. Walaupun buta, dia harus bisa mandiri. Dia tak bisa terus-terusan meminta tolong dan selalu menyusahkan dua orang yang disayanginya itu.
Reina menghembuskan napasnya dengan berat. Rasa malu dan iri bercampur aduk memenuhi hatinya malam ini. Malu rasanya berjalan-jalan dengan memakai tongkat. Tetapi, apa boleh buat. Sekarang tongkat yang dipegangnya itu adalah alat bantu dirinya untuk melihat. Mau tak mau dia harus bisa membiasakan diri menggunakannya.
Dia menghembuskan napasnya dengan berat. Iri rasanya mendengar langkah kaki yang berjalan tanpa menggunakan tongkat. Iri rasanya hati Reina kepada orang-orang yang masih bisa memandang keindahan langit di malam hari. Hal itu membuatnya berandai-andai bila saja glaukoma tidak menyerang kedua matanya, pasti sampai saat ini dia masih bisa memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit.
“Kau jangan memikirkan hal yang membuat dirimu rendah, Rei!” seru Sheila menebak. Kedua mata Sheila terus saja menatap wajah Reina.
Suara Sheila membuat pikirannya yang melayang-layang entah kemana dipaksa kembali ke dunia nyata. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Reina sendiri sering bingung setiap kali Sheila berhasil menebak apa yang ada di dalam otaknya. Tiap kali dia berpikiran pesimis, Sheila pasti mengetahuinya dan langsung menasehatinya.
“Rei, kita sudah sampai di rumah kamu,” ucap Sheila berdiri di depan pintu masuk.
“Menginaplah malam ini di sini, Shil,” pinta Reina seraya menggenggam lengan Sheila. “Nggak baik perempuan jalan sendirian malam-malam begini. Bahaya. Menginaplah malam ini ya, Shil.”
Sheila berpikir sejenak. Dia lalu mengiyakan perkataan Reina. Memang berbahaya baginya untuk pulang sendirian di malam hari, apalagi dia adalah perempuan. Lagi pula tak apa-apa bila dirinya menginap di rumah Reina. Hanya malam ini, hal itu sama sekali tak mengganggu pekerjaannya dalam mengelola kafe. Dia lantas membukakan pintu untuk Reina, lalu menggandeng lengan Reina untuk membantunya masuk ke dalam rumah.
Baru beberapa langkah dari pintu masuk, Reina mencium aroma yang sangat dikenalnya. Aroma dari makanan yang sangat disukainya. Reina tersenyum senang. Citra memang kakak yang terbaik. Buktinya saja, Citra tahu kalau dirinya sangat ingin makan sup ayam.
“Kalian sudah pulang. Ayo duduk! Kita makan bersama,” ucap Citra sembari meletakkan beberapa piring di meja makan.
Dengan bantuan Sheila, Reina pun langsung duduk. Citra yang baru saja duduk segera mengambil piring untuk Reina. Dia lalu meletakkan nasi dan juga sup ayam kesukaan Reina di atas piring. Dia tahu Reina pasti akan menyukainya.
“Kakak hebat deh. Kakak tahu aja kalau aku lagi pengen makan sup ayam. Sup ayam ini pasti enak,” puji Reina, lalu memasukkan makanannya ke dalam mulutnya.
Citra tak berkata apa-apa. Wajahnya tiba-tiba terlihat gelisah. Perasaan takut kini menghampiri hati Citra.
“Syukurlah kalau kau suka dengan sup ayam itu, Rei. Ayah sengaja memasakkannya untukmu malam ini,” ungkap seorang pria paruh baya yang duduk di samping Reina.
Reina menghentikan makannya. Suara itu, suara yang sangat dikenalnya. Suara yang keluar dari mulut seseorang yang tak ingin ditemuinya lagi. Suara dari seseorang yang sangat dibencinya. Hatinya yang semula senang tiba-tiba menjadi marah. Entah kenapa orang itu harus kembali lagi ke rumahnya. Dan entah kenapa pula suara itu harus kembali terdengar di telinganya.
“Kenapa berhenti makannya, Rei? Makanlah yang banyak agar kau tetap sehat,” ucap pria paruh baya itu kembali.
Reina mengatur napasnya, berusaha mengatur emosinya yang hampir saja meledak. Dia lantas bangkit dari tempat duduknya. Tangan kanannya mulai menggerakkan tongkatnya hendak menjauhi meja makan.
“Kau mau kemana, Rei?” tanya Citra dengan tatapan yang cemas. Kedua matanya menatap piring Reina. Reina sama sekali tak menghabiskan makanannya. “Duduklah dulu, Rei! Kau belum menghabiskan makananmu.”
“Aku sudah kenyang. Aku mau ke kamar dulu,” jawabnya singkat. Dia lalu melangkahkan kakinya agak cepat menjauhi meja makan.
“Maafkan Ayah, Rei. Kumohon padamu, maafkan Ayahmu ini, Rei,” ucap pria paruh baya itu dengan tatapannya yang sedih.
“Rei, duduklah dulu! Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” lanjut Citra.
“Nggak ada yang perlu dibicarakan. Aku capek. Aku mau istirahat dulu.”
Setelah berkata demikian, Reina pergi meninggalkan meja makan dengan hati yang kesal. Dia membiarkan pria tua itu dan Citra memandanginya terus dengan tatapan yang sedih.
Sheila terdiam menatap pemandangan yang tak mengenakan itu. Tak sepatah kata pun berani dia keluarkan dari mulutnya. Dia menghembuskan napasnya dengan pelan. Sepertinya, dia telah salah mengambil keputusan untuk menginap di rumah Reina malam ini.
Pria paruh baya itu menatap sedih kepergian Reina. Sepertinya, Reina masih belum bisa memaafkan kesalahan dirinya di masa lalu. Dia tahu kalau perlakuan dirinya di masa lalu sangat jahat dan sudah menyakiti hati banyak orang, terutama hati ibu mereka. Jadi wajar saja kalau dia susah mendapatkan maaf dari kedua putrinya itu.
“Maafkan Reina, Yah. Nanti aku coba bicara padanya,” ucap Citra berusaha menenangkan ayahnya.
“Tidak usah, Cit. Biarkan saja. Lagi pula wajar kalau Reina masih marah sama Ayah. Ayah sudah banyak menyakiti hati kalian. Maafkan, Ayah,” ungkapnya menyesal.
Citra tak bisa berbuat apa-apa. Sepertinya, Reina masih belum bisa memaafkan kesalahan ayah. Memang tak mudah untuk memaafkan seseorang yang pernah menyakiti hati kita. Sejujurnya, Citra sendiri masih sakit bila mengingat kejadian di masa lalu. Tetapi apa boleh buat. Walau bagaimanapun, pria yang ada di hadapannya itu tetaplah ayahnya, satu-satunya orang tua yang dia miliki dan patut untuk dihormati.
***
BRAKK!
Reina membanting pintu kamarnya dengan sekuat tenaga. Tongkat yang digenggamnya dia lemparkan begitu saja ke lantai. Badannya langsung dia sandarkan di balik pintu. Dadanya terasa sesak. Ingin sekali dia menangis sekencang-kencangnya. Tetapi, hal itu tak bisa dilakukannya. Dia tak mau terlihat lemah, apalagi memperlihatkannya kepada pria paruh baya yang sekarang tengah berada di rumahnya.
Perlahan-lahan kenangan masa lalu mulai berputar di kepalanya. Sebuah kenangan pahit yang selalu menyiksa batinnya. Sebuah kenangan dimana wanita yang paling disayanginya pergi untuk selama-lamanya.
Masih terekam jelas di otaknya, saat sebuah kebahagiaan tiba-tiba berubah menjadi derita. Saat itu, tepatnya ketika dia masih berusia 6 tahun, saat-saat dimana hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Seperti biasa, Reina dan Citra bangun pagi-pagi sekali. Mereka berdua terlihat begitu semangat ingin melakukan aktivitas rutin mereka di minggu pagi. Jalan-jalan di taman merupakan aktivitas yang menyenangkan bagi mereka. Tak hanya bisa berolahraga saja, melalui kebiasaan ini kebersamaan mereka semakin erat.
Reina dan Citra segera menghampiri ibunya di dapur. Tanpa menggosok gigi, mereka berlomba berjalan cepat sampai ke dapur.
“Reina! Citra! Jangan lari-lari!” seru ibunya dari dapur.
Seruan ibunya sama sekali tak diperdulikan oleh Reina dan Citra. Awalnya mereka berlomba berjalan cepat, tapi lama kelamaan mereka saling berlarian.
“Reina! Citra! Jangan lari-lari di rumah!” seru ibunya kembali.
“Yes. Aku menang lagi,” seru Reina sambil melompat-lompat.
Citra tersenyum senang. Lagi-lagi Reina menang darinya. Memang begitulah sifat Citra. Citra selalu saja mengalah dalam hal apa pun pada Reina. Tak hanya kali ini saja dia mengalah. Saat Reina meminta boneka kesayangannya, Citra dengan sukarela memberikannya kepada Reina. Citra memang sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Kadang ibunya merasa bersalah pada Citra. Dia terlalu memanjakan Reina, sehingga Reina bisa berlaku seenaknya kepada Citra.
Reina memandangi ibunya dengan tatapan yang bingung. Banyak sekali adonan roti di dapur. Bahkan ibunya pun terlihat sedang mengaduk-aduk bahan untuk isian roti. Tak biasanya di minggu pagi, ibunya masih membuat adonan roti.
“Ibu ngapain buat roti? Ini kan hari minggu. Bukannya biasanya toko roti kita tutup ya kalau hari minggu?” tanya Reina dengan wajah yang polos.
“Betul tuh Bu yang dikatakan Reina. Hari ini kan hari minggu, masa Ibu harus jaga roti sih? Biasanya kita kan jalan ke taman,” keluh Citra dengan wajah yang tak kalah polosnya.
Ibu pun meletakkan kembali adonan roti ke dalam wadah besar. Tatapan matanya kini beralih pada kedua putri kecilnya itu. Ada rasa bersalah yang ibu rasakan kepada mereka. Pagi ini ibu tak bisa menemani Reina dan Citra jalan-jalan ke taman seperti minggu biasanya.
Ibu tersenyum kecut pada Reina dan Citra, lalu menghembuskan napasnya dengan berat. Ibu kemudian berkata, “Maaf ya, Sayang. Pagi ini Ibu nggak bisa menemani kalian jalan-jalan ke taman. Ibu lagi banyak pesanan roti sekarang, jadi kalian berdua aja ya yang jalan-jalan.”
Baik Reina maupun Citra sama-sama memasang wajah yang cemberut kepada ibunya. Semangat yang mereka rasakan tadi mendadak hilang.
“Yah, Ibu. Kalau Ibu nggak ikut, jalan-jalannya nggak bakalan seru,” keluh Reina. “Ibu ikut ya! Buat rotinya nanti aja.”
“Maaf ya, Rei. Bukannya Ibu nggak mau ikut kalian jalan-jalan, tapi pesanan roti Ibu banyak. Kalau Ibu nggak buat rotinya sekarang, nanti rotinya nggak jadi tepat waktu. Trus kalau orang yang pesan roti Ibu datang, tapi rotinya belum jadi, gimana coba? Pasti orang yang mau beli roti Ibu marah, trus nggak mau lagi deh beli roti Ibu. Apa kamu mau seperti itu, Rei?” ucap Ibu berusaha memberikan pengertian kepada Reina.
Citra menghela napas. Dia tak mau lagi memaksakan ibunya untuk pergi jalan-jalan ke taman bersamanya dan Reina. Dia mengerti kalau saat ini ibunya sedang sibuk, itu pun hasil yang didapat ibu dari menjual roti pasti akan digunakan untuk keperluannya dan Reina.
“Sudahlah, Rei. Jangan paksa Ibu! Ibu kan sedang sibuk bikin roti. Nanti kalau nggak ada yang beli roti Ibu, gimana? Ibu pasti sedih,” ungkap Citra berusaha membujuk Reina.
“Tapi, Ka….”
“Gimana kalau kita jalan-jalan ke tamannya sama Ayah aja. Ayah pasti libur hari ini,” usul Citra.
Reina berpikir sesaat. Tak sampai satu menit, dia menganggukkan kepalanya dengan pelan sebagai pertanda kalau dia setuju dengan usul kakaknya itu. Melihat hal itu, Citra tersenyum senang. Ternyata usahanya membujuk Reina tak sia-sia. Tanpa berkata apa pun lagi, Citra langsung berlari menuju kamar ayah.
“Kakak curang!” seru Reina segera berlari menyusul kakaknya.
Ibu tersenyum melihat tingkah kedua putrinya itu. Ibu sangat bersyukur karena Allah telah memberikan dua orang putri yang baik dan mengerti akan kondisi keuangannya yang pas-pas-an.
***
Citra tersenyum dengan penuh kemenangan. Untuk pertama kalinya dia berhasil mengalahkan Reina. Citra berdiri tepat di depan pintu kamar ayah. Dia menatap aneh. Pintu kamar sedikit terbuka. Dari celah pintu, dia melihat ayahnya sedang menelepon seseorang.
“Kakak curang!” seru Reina dengan suara yang mengagetkan.
Citra terlonjak kaget. Suara Reina tak hanya mengegetkan dirinya saja, tapi juga berhasil mengagetkan ayahnya yang tampak asyik menelepon. Mengetahui ada dua putrinya di depan pintu, ayah segera menghentikan teleponnya. Wajahnya terlihat gugup saat melihat Citra dan Reina. Sepertinya, ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh ayahnya saat ini.
Ayah perlahan-lahan melangkah menghampiri Citra dan Reina. Baik Citra maupun Reina sama-sama mamandang ayahnya dengan tatapan yang bingung. Tak biasanya ayah memakai pakaian rapi di hari libur.
“Ayah mau kemana? Bukannya hari ini Ayah libur?” tanya Citra.
“Hari ini Ayah nggak bisa libur. Pekerjaan Ayah banyak sekali yang belum diselesaikan. Jadi hari ini Ayah harus kerja,” terang ayah. “Ayah berangkat sekarang ya, sayang. Nanti Ayah telat lagi.”
Setelah berkata demikian, ayah pergi meninggalkan Citra dan Reina. Dia sama sekali tak memperhatikan kedua putrinya yang sedang menatapnya sekarang. Citra dan Reina sama-sama menghembuskan napas mereka dengan berat. Di hari libur seperti ini, kedua orang tuanya sama-sama sibuk. Sejujurnya, jalan-jalan ke taman sama sekali tak mengasyikan kalau hanya mereka berdua saja. Tetapi apa yang bisa mereka lakukan. Ayah dan ibunya harus bekerja di hari libur ini.
***
Teriknya sinar matahari rupanya tak melunturkan niat ibu untuk mengantar roti pesanan orang. Citra dan Reina juga ikut menemani ibu. Di bawah payung biru, mereka melangkahkan kaki dengan pelan. Awalnya ibu tidak mengijinkan kedua putri kecilnya itu untuk ikut dengannya, tetapi Citra dan Reina bersikeras untuk tetap ikut. Lucunya, mereka sama-sama bilang kalau ini sebagai ganti rugi karena pagi tadi mereka tak jadi jalan-jalan.
Ibu menatap lekat pada Citra dan Reina, kemudian menghembuskan napasnya dengan berat. Sejujurnya, ibu sama sekali tak tega melihat Citra dan Reina menempuh perjalanan jauh hanya untuk menemaninya mengantarkan pesanan roti. Sangat jelas terlihat di mata ibu, mereka terlihat kelelahan. Keringat pun tak hanya mengalir deras di keningnya, tapi juga membasahi baju belakang mereka.
“Kalian capek?” tanya ibu dengan tatapan matanya yang masih tertuju pada kedua putri kecilnya itu. “Kita istirahat dulu, ya?”
“Nggak usah, Bu. Kita masih kuat kok,” jawab Citra.
“Iya, Bu. Reina dan Kak Citra masih kuat kok jalannya. Kita lanjut aja ya, Bu,” ucap Reina menambahkan.
Ibu tersenyum kecil menatap Citra dan Reina. Tanpa berkata apa pun lagi, ibu pun kembali melanjutkan perjalanannya mengantarkan pesanan roti. Ingin sekali rasanya cepat-cepat sampai dan segera kembali pulang ke rumah agar kedua buah hatinya bisa beristirahat, tapi sayangnya perjalanannya masih jauh dari yang diinginkan.
Ibu menolehkan pandangannya pada orang-orang yang berlalu-lalang. Ibu sama sekali tak menyangka masih banyak orang yang mau menggunakan kedua kakinya sebagai alat transportasi. Dari sekian banyak orang, ada dua orang yang menarik perhatian ibu. Sosok mereka tak terlihat jelas karena jarak mereka terlalu jauh dari ibu. Tapi entah mengapa, ibu merasa mengenal sosok mereka. Dari gerak-gerik mereka yang mesra, mereka terlihat seperti sepasang kekasih.
Semakin lama melangkah, jarak di antara ibu dan kedua putrinya dengan sosok itu semakin dekat. Langkah ibu dan kedua putrinya seketika berhenti. Sosok mereka tak lagi terlihat samar. Ibu sangat terkejut melihat dua orang yang kini berada tak jauh dari hadapannya.
“Ayah ngapain di sini? Bukankah tadi pagi Ayah bilang mau kerja? Kok Ayah ada di sini, sih?” tanya Reina.
Ayah terkejut melihat ibu, Citra, dan Reina. Tangannya yang sedang menggenggam tangan wanita yang berdiri di sebelahnya pun segera dilepaskannya. Wajah ayah terlihat kebingungan. Sepertinya, ayah tidak tahu harus bersikap seperti apa kepada istri dan juga kedua buah hatinya.
“Bu, Ayah bisa jelaskan ini semua.”
“Sebaiknya Ayah jelaskan sekarang sama Ibu! Kenapa Ayah jalan sama Amelia? Jelaskan padaku!”
“Kita pulang dulu, Bu. Ayah akan jelaskan di rumah.” Ayah menghampiri ibu dan segera merangkulnya untuk pulang ke rumah. Tetapi, ibu menepis tangan ayah. Ibu mentap ayah penuh dengan kemarahan. Hal itu membuat ayah semakin kebingungan menghadapi ibu.
“Bu, Ayah akan jelaskan semuanya sama Ibu, tapi nggak di sini. Kita pulang dulu! Ayah akan jelaskan semuanya di rumah.”
“Jelaskan sekarang padaku! Kenapa kau bisa bersama dengan Amelia?” tanya ibu menahan emosinya.
Ayah tak tahu harus bagaimana sekarang. Ayah menolehkan pandangannya ke arah wanita yang bernama Amelia itu. Wajah Amelia terlihat pucat. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Amelia. Ayah menghembuskan napasnya dengan berat. Sepertinya, inilah saatnya ayah harus berkata jujur kepada istrinya.
“Sebenarnya—”
“Yah, aku mau itu!” ucap anak laki-laki yang digendong Amelia. Tangan mungilnya terus menunjuk ke arah penjual mainan keliling yang tak jauh darinya berdiri.
Ibu shock mendengar anak yang digendong Amelia memanggil suaminya dengan sebutan ayah. Air mata ibu langsung mengalir deras membasahi pipinya.
“Kenapa anak itu memanggilmu Ayah, Hend? Apa kau dan Amelia sudah....”
“Maafkan aku, Shinta. Maafkan aku.” Ayah langsung memeluk ibu. Tapi, ibu segera mendorong ayah.
“Keterlaluan kamu, Hend! Selama ini aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untukmu. Tapi kenapa kau tega berbuat seperti ini padaku, Hend? Kenapa?” tanya ibu terisak. Hatinya terasa sangat sakit saat mengetahui bahwa suaminya sudah menikah dengan wanita yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.
“Shinta, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Tapi, aku sangat mencintai suamimu, Shinta. Maafkan aku,” ucap Amelia menyesal.
“Tega sekali kamu padaku, Amel! Tega-teganya kau selingkuh dengan suami sahabatmu sendiri.” Ibu lantas membawa Citra dan Reina pergi meninggalkan suami dan juga sahabatnya itu. Ibu membiarkan suami dan istri barunya itu menatap kepergiannya dengan penuh penyesalan.
Sejak kejadian itu, ibu sering sakit-sakitan. Toko roti yang susah payah ibu bangun terpaksa terlantar. Citra dan Reina bergantian merawat ibu. Bila giliran Reina yang merawat ibu, Citra mencoba membuat roti di dapur. Bila roti hasil buatannya bagus dan enak, Citra akan memajangnya di toko roti, berharap ada yang mau membelinya. Para tetangga sering merasa kasihan dengan nasib malang yang harus di terima oleh Citra dan Reina. Seringkali, tetangga membeli roti buatan Citra untuk membantu mereka.
Beberapa kali ayah pulang dan mencoba untuk meminta maaf pada istri dan kedua putrinya itu. Tetapi, kedatangannya selalu saja ditolak oleh Reina. Reina sakit hati akan perbuatan ayahnya. Gara-gara ayahnya itu, ibunya sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal dunia.
***
suka ceritanya ..semangat
Comment on chapter BAB 1 MIMPI BURUK