Read More >>"> CINTA SI GADIS BUTA (BAB 4 KEHIDUPAN BARU) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - CINTA SI GADIS BUTA
MENU
About Us  

Reina duduk sendirian di bangku taman kota. Dia biarkan hangatnya sinar matahari pagi mengenai wajahnya yang mulus. Tak terasa sudah seminggu ini dia kehilangan penglihatannya. Walaupun sekarang hanya kegelapan saja yang bisa dia lihat, dia merasa sangat bersyukur karena Allah pernah mengijinkannya untuk melihat keindahan yang diciptakan-Nya di taman ini. Masih teringat jelas dipikirannya, pohon-pohon dan bunga-bunga yang tumbuh dengan suburnya dan tertata rapi di taman ini.

Walaupun dia sekarang buta, dia masih bisa menebak kalau pagi ini banyak sekali orang yang menggunakan fasilitas di taman ini. Sejak tadi, banyak sekali suara langkah kaki yang terdengar di telinganya. Bahkan, dia juga sempat mendengar obrolan-obrolan seru dari orang-orang yang berlalu-lalang melewatinya. Suaranya terdengar seperti anak-anak muda. Mungkin karena pagi ini adalah hari minggu, maka tak heran jika banyak anak-anak muda yang menghabiskan waktu paginya di taman kota.

Entah kenapa Reina merasa ada seseorang yang sedang menuju ke arahnya. Sayup-sayup dia mendengar suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari. Semakin lama suaranya terdengar semakin jelas. Hingga akhirnya, suara langkah kaki itu berhenti tepat di depannya.

“Rei, lama ya nunggunya? Maaf ya, Rei. Antriannya banyak banget di warung,” ucap Citra dengan napasnya yang terengah-engah. Dia langsung duduk di samping Reina dan menyodorkan sebotol air mineral ke tangan Reina.

Reina menghembuskan napasnya dengan berat. Tangannya lalu mengambil air mineral yang disodorkan Citra kepadanya. Lagi-lagi dia menyusahkan Citra. Ada rasa sesal yang dia rasakan atas tindakannya saat ini. Jika bukan karena dirinya, Citra tak akan menutup toko roti dan menemaninya berjalan-jalan di taman kota.

Citra meneguk setengah botol air mineral yang ada di genggaman tangannya. Sesekali, dia memandang orang-orang yang berlalu-lalang melewatinya. Senang rasanya bisa terus melihat pemandangan yang indah ini. Banyak sekali orang yang berkumpul dan bersenang-senang bersama. Citra menghela napas. Pikirannya kembali teringat pada masa lalu yang penuh dengan kebahagiaan.

Citra lalu mengalihkan pandangannya ke arah Reina. Dia menatap aneh. Air mineral yang susah payah dia beli tak kunjung diminum Reina. Entah apa yang ada di pikiran adiknya saat ini. Raut wajahnya terlihat sedih. Hal itu membuat Citra penasaran.

“Rei!” panggilnya sembari menepuk pelan pundak Reina.

Suara Citra yang memanggilnya, membuat pikiran Reina yang melayang-layang entah kemana kembali ke dunia nyata. Dia menolehkan wajahnya dengan asal ke samping kanan, seakan-akan dia dapat melihat posisi mana Citra duduk.

“Apa yang kamu pikirkan, Rei? Kakak perhatikan, dari tadi kamu diam aja. Cerita dong sama Kakak kalau kamu punya masalah,” ucap Citra.

Reina menggelengkan kepalanya dengan pelan seraya berkata, “Nggak. Aku sama sekali nggak mikir apa-apa.”

Citra mendengus kesal. Lagi-lagi, Reina menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal, dia sama sekali tak masalah mendengar keluhan Reina. Malahan dia ingin membantu Reina dalam hal apa pun. Tetapi, begitulah Reina. Dia sangat sulit mengutarakan unek-uneknya kepada orang lain. Dia tak bisa menyerah. Dia tak mau lagi kecolongan seperti waktu Reina terkena glaukoma.

“Bohong,” ucap Citra tak percaya. “Pasti ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan kan sekarang. Kamu nggak perlu menyembunyikan apa pun dari Kakak.”

Reina sepertinya tak bisa lagi menyembunyikan apa pun lagi dari Citra. Sejak dirinya buta, Citra sangat memperhatikan dirinya. Tapi terkadang, perhatian Citra membuat dirinya merasa tak berguna sama sekali.

“Rei!” panggil Citra. “Kok bengong sih?”

“Aku hanya berpikir, sepertinya aku semakin membuat Kakak susah. Sejak aku buta, Kakak lebih banyak menghabiskan waktu mengurusku daripada toko roti,” ungkap Reina merasa bersalah.

Citra mengelus dengan lembut rambut panjang Reina. Dia tahu kalau Reina pasti akan berpikiran seperti itu. Dari fisik, Reina memang terlihat kuat, tetapi sayangnya hal itu tidak berlaku pada batinnya. Citra tahu kalau hati Reina sebenarnya sangat sedih. Hanya saja, Reina tak pernah memperlihatkannya kepada siapa pun termasuk dirinya.

“Kamu jangan pernah berpikiran seperti itu, Rei! Kamu sama sekali nggak pernah menyusahkan Kakak. Lagi pula, ini kan hari minggu. Nggak apa-apa kan Kakak libur? Lagi pula bosan juga kali Rei di toko roti terus.”

Reina memilih untuk diam. Dia tahu kalau Citra sedang berusaha untuk menghiburnya. Walaupun berkata seperti itu, tetap saja Reina merasa bersalah. Dia merasa sudah menambah beban hidup yang harus dipikul oleh Citra.

“Ngomong-ngomong sudah lama ya kita nggak ke sini?” tanya Citra mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Iya, ya. Sudah lama banget kita nggak jalan-jalan ke sini. Sejak ibu meninggal, kita terlalu sibuk mengurus toko roti.”

“Kakak jadi kangen deh sama masa-masa dulu. Andai aja waktu itu bisa terulang kembali, pasti jalan-jalan kita sekarang lebih seru. Aku jadi ingat saat kita jalan-jalan sama ibu dan ayah,” ungkap Citra tersenyum kecil. Pikirannya kembali teringat pada masa lalu yang penuh dengan kebahagiaan.

“Sudahlah, Kak. Itu semua kan masa lalu. Lagi pula kalau jalan sama aku emangnya nggak seru apa? Bukannya sama aja?”

“Ya... lumayan lah, ya.”

“Kok lumayan sih?” tanya Reina kaget.

“Habisnya, kalau jalan sama kamu itu lebih banyak melamunnya sih,” jawab Citra tersenyum menatap adiknya. “O ya, kita jadi nggak nih ke kafe Sheila? Udah lama nih Kakak nggak ke sana. Pengen tahu deh bentuk kafe Sheila sekarang.”

“Tentu saja jadi. Yuk!” Reina lantas bangkit dari bangku taman kota. Tanpa menunggu Citra, dia melangkahkan kakinya dengan pelan.

Citra buru-buru bangkit dan berjalan menyusul Reina. Dia langsung melingkarkan tangannya ke lengan Reina. Sebenarnya Reina merasa risih setiap kali Citra melakukan hal seperti ini. Tetapi, apa boleh buat. Dirinya yang sekarang buta memang susah untuk pergi kemana-mana sendiri. Apalagi dia masih belum hapal jalan. Mau tak mau, dia pun harus menerima perlakuan istimewa itu dari Citra.

Citra sama sekali tak memperdulikan wajah Reina yang tampak tak suka dengan sikapnya sekarang. Dia tetap melingkarkan tangannya ke lengan Reina. Sejujurnya, ada perasaan bersalah yang dia rasakan saat melihat adiknya itu. Dia merasa kalau dirinya bukanlah kakak yang baik untuk Reina. Buktinya saja, di saat Reina membutuhkan dirinya, dia sama sekali tak pernah ada untuknya. Sampai-sampai, dia tak menyadari sikap Reina yang menyembunyikan kondisi kedua matanya. Citra menghembuskan napasnya dengan pelan. Mungkin, inilah saatnya dia membayar semua kesalahannya itu kepada Reina.

***

Reina dan Citra duduk saling berhadapan di sebuah meja di pojokan kafe. Di atas meja, tepat di hadapan mereka, terhidang segelas orange juice dan secangkir cappuccino. Wangi khas cappuccino yang mengambang di udara benar-benar menarik indra penciuman Reina. Tanpa berlama-lama lagi, Reina meraba-raba meja di hadapannya. Tangannya mencoba meraih cangkir cappuccinonya. Citra yang melihat hal itu pun segera membantu Reina. Dia mengarahkan tangan Reina ke cangkir cappuccinonya. Dan untuk kesekian kalinya, Reina tersenyum kecut menerima perlakuan yang istimewa itu dari Citra.

Citra tak lantas meminum orange juice miliknya. Kedua matanya tampak menyapu pandang pada ruangan kafe. Dia tampak takjub pada interior ruangan yang disuguhkan kepada pengunjung kafe. Di ujung dalam kafe, terdapat panggung berukuran kecil dengan hiasan lampu LED. Mungkin saja, panggung kecil dibuat khusus bagi para pengunjung yang sedang di mabuk asmara. Entahlah. Tapi, apa pun itu alasannya, Citra sangat menyukainya.

Citra sama sekali tak menyangka kalau Sheila bisa mengelola kafenya dengan sangat baik. Banyak sekali perubahan yang dilakukan oleh Sheila. Dia merobak habis interior ruangan kafe mengikuti perkembangan zaman.

Orang yang ditunggu-tunggu pun akhirnya menghampiri mereka. Sheila melangkahkan kakinya dengan sangat pelan. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat dengan lonceng kecil di ujungnya.

“Reina!” seru Sheila dengan suara yang mengejutkan.

Reina yang sedang menikmati cappuccino pun terbatuk kecil mendengarnya. Suara Sheila benar-benar berhasil membuat jantungnya hampir saja keluar.

“Ya ampun, Shil! Kau hampir saja membuat jantungku copot. Apa kamu mau aku mati di sini?” ucapnya kesal.

Sheila sontak menghentikan tawanya. Dia lalu berkata, “Maaf, deh. Habisnya, kamu terlalu menikmati cappuccinonya sih, sampe-sampe nggak sadar aku ada di depanmu.”

“Aku sekarang sudah buta, Shil. Lalu bagaimana aku bisa tahu kalau kamu ada di depanku?”

“Hah… kau ini, Rei.” Sheila lantas duduk di samping Citra. “Kau jangan menjadikan kekuranganmu itu sebagai kelemahanmu. Lagi pula masih banyak kok orang di luar sana yang hidupnya lebih susah daripada kamu.”

Reina terdiam. Kata-kata Sheila membuat pikiran Reina terbuka. Dia seharusnya bersyukur karena hidupnya masih lebih baik daripada kebanyakan orang di luar sana.

“Apakah wangi cappuccinonya membuat hidungmu rusak? Kamu sampe nggak mencium wangi parfumku ini?” celoteh Sheila.

“Nggak. Aku tadi sama sekali nggak mencium wangi parfummu.” Reina lantas mengendus-enduskan hidungnya.

“Jelas saja kamu nggak bisa mencium wangi parfum Sheila yang menyengat, sejak tadi hidungmu terus saja mengendus wangi cappuccino itu,” terang Citra tiba-tiba.

Reina mendengus kesal. Dia kemudian berkata, “Enak aja Kakak bilang aku mengendus! Emangnya aku anjing pelacak apa?”

Citra dan Sheila tertawa mendengarnya. Suasana kafe yang ramai mendukung suasana di antara mereka tak terasa canggung. Baik Reina, Citra, maupun Sheila sama-sama menikmati suasana pagi ini.

Drrr… drrr… drrr…

Getar ponsel di saku celana Citra berhasil menghentikan tawanya. Dia lantas mengambil ponselnya dan segera menghidupkan layarnya. Rico, nama itulah yang terpampang di layar ponselnya. Citra tersenyum kecil menatapnya. Dia sangat senang karena cowok yang disukainya menelepon dirinya. Tetapi, hatinya tiba-tiba menjadi bimbang. Di satu sisi, dia ingin sekali menerima panggilan telepon dari Rico, tetapi di sisi lain, dia merasa tak enak kalau harus menerima panggilan itu di hadapan Reina.

Reina merasa penasaran. Dia terus mendengar suara getaran ponsel. Dari getaran ponsel yang lama, Reina bisa menebak kalau salah satu dari dua orang yang duduk bersamanya itu mendapat panggilan telepon dari seseorang. Tetapi anehnya, dia sama sekali tak mendengar salah satu dari mereka menerima panggilan telepon itu.

“Ponsel siapa itu yang bergetar?” tanya Reina.

“Ponsel Kakak, Rei,” ucap Citra akhirnya mengaku.

“Kenapa nggak diangkat? Siapa tahu itu telepon penting.”

“Nggak apa-apa nih, Rei?”

“Ya nggak apa-apa lah, Kak. Angkat aja teleponnya. Kasihan kan orang itu terus menelepon Kakak, tapi nggak diangkat-angkat.”

Citra senang mendengarnya. Dia pun akhirnya menerima panggilan telepon itu. Tetapi, baru saja layar ponselnya dia tempelkan pada telinganya, panggilan telepon itu berhenti. Hal itu membuat hati Citra sedikit kecewa.

“Kenapa nggak diangkat teleponnya, Kak,” tanya Reina kembali.

“Teleponnya keburu dimatikan,” jawab Citra mendesah.

“Emangnya dari siapa? Kak Rico, ya?” tanya Reina menebak.

“Iya, Rei,” jawabnya dengan malu.

“Ya, udah. Telepon aja balik. Beres, kan?” usul Reina.

Citra pun mengiyakan usulan dari Reina. Dia hendak menelepon kembali Rico. Tapi, belum sempat dia menelepon, ponsel Citra kembali bergetar. Kali ini, sebuah pesan BBM terpampang di layar ponselnya. Tanpa ragu, Citra langsung membaca pesan itu. Kedua matanya tampak berbinar. Sebuah pesan yang berisi ajakan dari Rico terpampang jelas di layar ponselnya. Dia jadi ragu. Dia ingin sekali menerima ajakan dari Rico, tetapi dia tidak mungkin meninggalkan Reina. Apalagi dengan kondisi Reina yang sekarang buta, pasti susah baginya untuk menemukan jalan pulang ke rumah.

“Ada apa Kak?” tanya Reina penasaran.

“Rico ngajak aku jalan-jalan. Gimana ya, Rei? Terima atau nggak?”

“Ya udah. Kakak pergi aja sana sama Kak Rico.”

“Tapi kalau Kakak pergi, kamu gimana?” tanya Citra cemas.

“Kakak nggak perlu khawatir sama Reina. Ada aku kok. Nanti aku antar deh Reina pulang. Kakak pergi aja sana sama pacar Kakak,” ucap Sheila meyakinkan Citra.

“Kakak dengar sendiri, kan? Kakak nggak perlu khawatir. Lebih baik sekarang Kakak pulang dulu sana! Jadi kalau Kak Rico dah sampai di rumah, Kakak sudah siap,” terang Reina.

Citra akhirnya mengalah. Dia menerima ajakan dari Rico. Tangannya kembali menghidupkan layar ponselnya, lalu membalas pesan BBM dari Rico.

“Kalau gitu Kakak pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, kamu segera hubungi Kakak.” Citra lantas bangkit dari kursinya. Dia lalu melangkahkan kakinya dengan cepat meninggalkan Reina dan Sheila.

Reina menghembuskan napasnya dengan berat. Dia merasa tak enak pada Citra. Karena kebutaan yang dialaminya sekarang, dia jadi menyusahkan kakaknya. Sampai-sampai untuk bertemu dengan orang yang disukainya pun, dia harus berpikir dua kali.

“Ada apa, Rei? Aku lihat, kamu sedang memikirkan sesuatu. Cerita dong, Rei!” pinta Sheila.

“Senang rasanya mengetahui kalau Kakak punya pacar. Itu berarti, ada seseorang yang bisa diandalkan untuk melindunginya. Mengetahuinya, aku jadi memikirkan masa depanku, Shil. Bagaimana hidupku nanti? Apa aku bisa mendapatkan cowok yang bisa menerima aku apa adanya?”

“Bukankah sudah kubilang, jangan jadikan kekuranganmu itu sebagai kelemahan. Kamu nggak perlu merendahkan dirimu karena itu. Reina yang kukenal selama ini adalah seorang gadis cantik yang pintar dan kuat. Aku yakin, suatu saat nanti kamu akan mendapatkan cowok baik yang menerimamu apa adanya. Percayalah itu, Rei. Allah sudah mengatur semuanya,” terang Sheila meyakinkan Reina.

Kata-kata Sheila kembali membuatnya sadar. Dia lupa kalau jodoh itu sudah ada yang mengaturnya. Dia harus yakin, kalau suatu saat dia akan mendapatkan jodoh yang pantas untuknya.

“Sepertinya aku sudah kelamaan di sini. Sebaiknya aku pulang sekarang.”

“Tunggu sebentar. Ini untukmu, Rei.” Sheila lantas menyerahkan tongkat dengan lonceng kecil di ujungnya kepada Reina.

“Apa ini?” tanya Reina. Tangannya lantas meraba benda pemberian Sheila. “Ini tongkat? Ya ampun, Shil. Kamu nggak perlu repot-repot seperti ini, Shil. Aku—”

“Kamu nggak boleh menolaknya. Aku susah payah mencarikan tongkat yang cocok untukmu,” ucap Sheila dengan cepat.

“Terima kasih, Shil. Kamu memang sahabat terbaikku.”

Reina meraba-raba sahabatnya itu, lalu memeluknya dengan erat. Dia tahu karena kondisinya sekarang, dia begitu banyak menyusahkan kakak dan sahabatnya itu. Tetapi, tak satu pun di antara mereka yang mengeluh kepadanya. Dan untuk kesekian kalinya, dia sangat bersyukur karena Allah telah memberikan dua orang yang begitu baik kepadanya.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • rara_el_hasan

    suka ceritanya ..semangat

    Comment on chapter BAB 1 MIMPI BURUK
Similar Tags
Stuck In Memories
14057      2743     16     
Romance
Cinta tidak akan menjanjikanmu untuk mampu hidup bersama. Tapi dengan mencintai kau akan mengerti alasan untuk menghidupi satu sama lain.
When the Music Gets Quite
63      57     0     
Romance
Senja selalu suka semua hal tentang paus biru karena pernah melihat makhluk itu di jurnal sang ibu. Ternyata, tidak hanya Senja yang menyukainya, Eris yang secara tak sengaja sering bertemu dengannya di shelter hewan terlantar dekat kos juga menyukai hal yang sama. Hanya satu yang membedakan mereka; Eris terlampau jatuh cinta dengan petikan gitar dan segala hal tentang musik. Jatuh cinta yang ...
Monday
253      198     0     
Romance
Apa salah Refaya sehingga dia harus berada dalam satu kelas yang sama dengan mantan pacar satu-satunya, bahkan duduk bersebelahan? Apakah memang Tuhan memberikan jalan untuk memperbaiki hubungan? Ah, sepertinya malah memperparah keadaan. Hari Senin selalu menjadi awal dari cerita Refaya.
Ibu
500      292     5     
Inspirational
Aku tau ibu menyayangiku, tapi aku yakin Ayahku jauh lebih menyayangiku. tapi, sejak Ayah meninggal, aku merasa dia tak lagi menyayangiku. dia selalu memarahiku. Ya bukan memarahi sih, lebih tepatnya 'terlalu sering menasihati' sampai2 ingin tuli saja rasanya. yaa walaupun tidak menyakiti secara fisik, tapi tetap saja itu membuatku jengkel padanya. Dan perlahan mendatangkan kebencian dalam dirik...
Mengapa Harus Mencinta ??
3048      990     2     
Romance
Jika kamu memintaku untuk mencintaimu seperti mereka. Maaf, aku tidak bisa. Aku hanyalah seorang yang mampu mencintai dan membahagiakan orang yang aku sayangi dengan caraku sendiri. Gladys menaruh hati kepada sahabat dari kekasihnya yang sudah meninggal tanpa dia sadari kapan rasa itu hadir didalam hatinya. Dia yang masih mencintai kekasihnya, selalu menolak Rafto dengan alasan apapun, namu...
Nadine
5273      1333     4     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...
Ojek Payung
454      322     0     
Short Story
Gadis ojek payung yang menanti seorang pria saat hujan mulai turun.
Pieces of Word
2259      785     4     
Inspirational
Hanya serangkaian kata yang terhubung karena dibunuh waktu dan kesendirian berkepanjangan. I hope you like it, guys! 😊🤗
Dear Kamu
3349      1070     6     
Inspirational
Kamu adalah pengganggu. Turbulensi dalam ketenangan. Pembuat onar dalam kedamaian. Meski begitu, kamu adalah yang paling dirindukan. Dan saat kamu pergi, kamulah yang akhirnya yang paling aku kenang. Dear kamu, siapapun kamu. Terimalah teriakanku ini. Aku kangen, tahu!
Cinta dalam Hayalan Bahagia
634      416     3     
Short Story
“Seikat bunga pada akhirnya akan kalah dengan sebuah janji suci”.