Sepuluh menit sebelum bel pulang, aku mengeluarkan sesuatu dari tasku. Amplop coklat berukuran lumayan besar. Aku meletakkanya di mejaku. Sepasang mata menatap ke amplop itu curiga.
“Apaan tuh?” tanya Gita penasaran.
“Ntar juga ketahuan!” balasku dengan manis. Karena penasaran, Gita mengambil amplop itu, membaliknya dan nyaris membukanya.
“Hei, apa yang kalian lakukan?” ujar Bu Ina. Bu Ina yang berdiri bersandar di meja segera berdiri tegas. Dengan wajah yang perlahan berubah dingin, Buk Ina menancapkan pandangannya lalu memberi perintah dengan nada yang tajam pada Gita. “Kerjakan soal nomor 5!”
“Mampus gua!” desis Gita, “gua kan nggak ngerti bagian ini!”
“Yang nggak ngerti bagian itu saya Bu, bukan Gita,” balasku. Gita melirikku dengan tatapan cemas dan rasa bersalah. “Muka lu jangan keliatan cemas gitu dong. Ntar gua malah langsung ketauan bohongnya!” bisikku saat tak sengaja menoleh sekilas ke arahnya. Gita langsung mengubah air mukanya dan mengangguk membenarkan pernyataanku.
“Kalau begitu, kamu yang kerjakan ke depan!”
“Tapi Bu… saya kan nggak ngerti,” balasku dengan suara sememelas mungkin. Jelas Bu Ina tidak percaya. Selain karena beliau sudah tahu kalau nilai ulangan materi prasayaratku bagus, juga karena tampangku sepertinya tidak meyakinkan.
“Kerjakan pelan-pelan!” ucap Bu Ina dengan nada manis. Kemudian aku bangkit berdiri dan berjalan ke depan kelas, diiringi dengan berakhirnya pelajaran Fisika.
“Ngg, Bu, waktunya udah habis. Apakah saya tetap harus mengerjakannya?” ujarku kebingungan.
“Ya udah, kamu duduk! Kalian boleh pulang!” jelas Bu Ina dan pergi meninggalkan kelas. Begitu Bu Ina pergi, aku langsung berlari menuju tempat dudukku. Gita menyambut kedatanganku dengan senyum yang agak kikuk.
“Maaf ya? Maaf banget. Seharusnya tadi gua dengerin ucapan lu!” ucap Gita begitu aku sampai di depannya.
“Nggak ada gunanya. Elu, kan, selalu begitu,” balasku. Gita terkekeh.
“Sebenarnya isi amplop itu apaan sih?” ujar Gita sambil membuka tasnya, memasukkan buku-buku. Mendengar itu, aku langsung membalikkan badanku.
“Gua punya foto keren…” bisikku. Bisikanku cukup keras hingga seketika mampu menghentikan suara riuh Keke dan Bunga. Mereka menatapku.
“Apa lu bilang?” tanya Bunga. Dia juga bertanya dengan bisikan, mungkin karena tidak percaya.
“Gua punya foto keren!” ulangku.
“Foto apaan? Paling foto gaje!” bantah Keke. “Lu cuma mau usil doang, kan?”
“Ya udah kalau nggak percaya! Gua simpen lagi nih?”
“Beneran keren?” tanya Gita penasaran,
“Yee … gara-gara ni foto, gua di suruh Bu Ina ke depan tau!” Aku berlagak kesal.
“Buruan lihat!” Bunga langsung mengulurkan kedua tangannya. Yang lain mengikutinya dengan antusias. Aku melihat sekeliling dan waspada. Kemudian dengan gerakan cepat, aku menyerahkan amplop itu pada Gita. Ia sudah bersiap merobek salah satu sisi amplop.
“Aah, gua ke toilet bentar, ya!” Aku cepat-cepat berlari keluar kelas dan membawa ranselku. Mereka hanya menatapku heran. Beberapa detik kemudian terdengar … seruan marah bercampur sumpah kerapah!
“Syifa! Lu kurang ajar! Kirain gambar keren beneran.”
“Tangkep tuh si Syifa!” seru Bunga. Aku langsung berlari menjauh dan tertawa-tawa geli. Di belakangku, teman-teman segera mengejarku, sambil tetap ribut dan menjerit-jerit.
Tanpa pikir panjang aku masuk ke sebuah ruangan kecil yang tak begitu jauh dari lapangan basket indoor. Yang ternyata itu adalah ruang ganti tim basket. Parahnya, aku masuk di saat semua anggota sedang ganti baju. Untung baru baju doang! Belum sempat aku melenggang pergi, tiba-tiba cowok yang berada di depanku menahan pintu dengan sebelah tangannya. Bego! Bego! Bego! Kenapa aku sembunyi disini sih? Duh, aku mau jelasin apa coba sama mereka?
“Kamu tau ini ruangan apa?” tanyanya jutek.
“Emang apaan, kak?” ujarku berlagak bego.
Dia berkacak pinggang. “Elu mau lihat adegan ini, kan?”
“Enggak kok kak ...,” Aku tertunduk. “Saya cuma sembunyi dari kejaran teman …,” balasku. Dia menatapku dengan pandangan curiga. Jujur, aku memang sembunyi dari mereka. Aku hanya ingin melindungi diriku. Itu saja! “Nah yang itu kak!” tambahku.
Cowok itu menaikkan alisnya dan tersenyum tipis, “Bay, lu kurung nih cewek!” ujarnya dan berlalu pergi meninggalkanku bersama temannya yang bernama Bayu itu. Gila aja, baru kali ini aku ketemu kakak kelas cakep tapi belagu kayak begini. “Tapi kak ...,” jawabku.
“Lu denger kan apa yang dia katakan?” sahut kak Bayu.
Dalam hati aku menggerutu. “Cuma salah masuk doang, dikurung!” desisku. Sekilas dia memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung sepatuku. Apa yang dia inginkan?
“Sebenarnya lu mau ngapain kesini?” tanya kak Bayu penasaran.
“Hmmm ... nggak ngapa-ngapain sih. Cuma mau liat kapten basket aja!” balasku asal.
“Hah? Emang lu mau apa sama dia?”
“Kenapa kakak ingin tau banget?” tanyaku sambil menatapnya.
“Sekedar ngisi pembicaraan,” jawabnya singkat.
Aku hanya ber 'ohh' ria saja menjawab pertanyaannya. Dia mulai kesal menatapku. “Apa?” kataku.
“Jadi tujuan lu, apa?” ulangnya.
“Ya, siapa tau saya bisa jadi manajer,” jawabku mulai kesal juga. Belum sempat kak Bayu melanjutkan pertanyaannya, seseorang masuk.
“Manajer?” ujarnya. Dia cowok yang ingin mengurungku. “Manajer tim cewek atau cowok?” sambungnya. Dia seperti menikmati pembicaraan ini.
“Cowok dong! Biar bisa jadian sama kapten timnya.” Aku tersenyum.”Makasih ya, Kak! Udah ngusir teman-temanku!” kataku dan dengan cepat berlari meninggalkan ruangan itu. []