Hari memang selalu berganti. Tapi, perasaanku padamu takkan pernah terganti.
……
Hari ini matahari cukup terik. Upacara yang tidak bisa dilalui dengan khidmat. Ditambah lagi, pidato kepala sekolah cukup lama.
Tahun ini, ayah Idelisa menjabat sebagai kepala sekolah. Tidak sering mendengar curhatan Idelisa tentang ayahnya itu. Walaupun begitu, Idelisa tetap menganggap ayahnya, terbalik dengan ayahnya yang tidak menganggap Idelisa.
“Mar …,” panggil Mansa yang berada di samping Azmariah.
“Hm?” sahut Azmariah lalu menoleh ke Mansa.
Hidung Mansa mengeluarkan darah. Azmariah panic melihatnya. Ia memegang tangan Mansa yang dingin lalu menariknya perlahan.
“UKS aja, ya?” tawar Azmariah.
“Enggak bisa jalan,” lirihnya.
Tanpa aba-aba, Mansa terjatuh dan berhasil ditangkah oleh Azmariah yang sudah panic tidak tertolong. Tim kesehatan yang berjaga mulai menghampiri tempat Mansa berdiri tadi. Begitu juga dengan Bu Muntianah.
“Azmariah ikut, ya?” ucap Bu Muntianah diangguki Azmariah dengan wajah cemasnya.
***
“Maaf ya, baju kamu jadi kena darah Mansa,” ucap Bu Muntianah seraya membawa gelas yang berisi the hangat dan diletakkan di atas nakas.
“Enggak apa-apa, Bu.” Azmariah hanya tersenyum tipis dan kembali menatap Mansa yang masih tertidur di hadapannya.
“Kamu kaget, ya? Dia sering begini.” Bu Muntianah duduk di samping Azmariah dan ikut melihat Mansa yang masih tertidur. “Dulu, kalau dia enggak nangis, mungkin dianggap meninggal,” lanjutnya.
Azmariah menoleh ke Bu Muntianah lalu mengerjapkan matanya beberapa kali. “Maksudnya, Bu? Masalah jantungnya?”
Bu Muntianah mengangguk. “Selain itu, suhu badannya juga beda sama orang biasanya. Warna mata juga beda.”
“Warna … mata?” tanya Azmariah dan diangguki Bu Muntianah.
“Kamu gak sadar? Dia pakai lensa kontak kalau sekolah,” ucap Bu Muntianah.
Azmariah hanya bisa melongo mendengarnya. “Enggak sadar …,” gumamnya.
“Warna mata dia itu biru, beda sama orang Indonesia biasanya,” lanjut Bu Muntianah.
Azmariah menggangguk paham dan kembali memerhatikan Mansa yang belum terbangun juga dari tidurnya. Ia cemas dengan Mansa yang sekarang ini. Akankah kemungkinan terburuk terjadi?
Azmariah belum siap jika mendengar Mansa tidak ingat dengannya seperti drama picisan yang biasa ia tonton.
Itulah kemungkinan terburuk bagi Azmariah sekarang ini.
Mata Mansa mulai bergerak. Perlahan terbuka membuat Azmariah mengembangkan senyumnya dengan bahagia.
“Mar …?” panggil Mansa ke Azmariah.
“Abang, ya. Baru bangun langsung panggil Azmariah, bukan Mamah,” ketus Bu Muntianah yang ada di sebelah Azmariah.
Mansa menatap ibunya dengan sayu dan senyum tipis. “Mah, Asa mau berdua sama Azmariah dulu, boleh?”
Bu Muntianah menghela napasnya lalu memandang Mansa serta Azmariah secara bergantian. “Jangan lakukan hal tabu,” ucapnya.
“Asa gak nafsu sama Azmariah, Mah.”
Perkataan yang membuat Azmariah menatap Mansa dengan tajam. Namun Mansa tidak mengacuhkannya. Saat Bu Muntianah keluar dari UKS. Mansa kembali menatap Azmariah.
“Bantu bangun,” ucapnya.
Azmariah menghela napasnya lalu membantu Mansa duduk dari tidurnya tadi. Ia duduk di sebelah Mansa.
Mansa menyandarkan tubuhnya ke dinding yang cukup dingin masih dengan tatapan sayunya. Azmariah semakin cemas melihat Mansa yang seperti sekarang.
“Kenapa, Mar?” tanya Mansa dengan suara serak.
Azmariah hanya menggeleng. “Besok lo gak usah sekolah,” ucap Azmariah.
“Simpati sama gue?”
“Orang kayak lo gak perlu disimpatiin.” Azmariah menyentuh dahi Mansa dengan tangan kanannya.
Hal itu membuat mereka berdua bertatapan sebentar.
“Suhunya gak jelas, tangan gue dingin,” gumam Azmariah.
Akhirnya, Azmariah menyentuhtuh dahi Mansa dengan dahinya. Pastinya, wajah Mansa memerah sekarang. Napasnya memburu. Walaupun jantungnya tidak berdetak, dia merasa seperti habis lari marathon.
Dia merasa dirinya tidak bisa dikendalikan lagi sekarang. Dengan perlahan Mansa menutup mulut Azmariah dan mengecup tangannya di sana.
“Jangan kayak gitu lagi, Mar,” ucapnya lalu melepaskan tangannya yang menutup mulut Azmariah tadi.
“M-maksudnya? Lo gak suka …?” tanya Azmariah lalu menelan salivanya susah payah.
“Apa kurang jelas?” tanya Mansa.
Mansa memegang kedua bahu Azmariah seraya mengatur napasnya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Azmariah dengan cepat hingga bibir mereka bersentuhan.
Azmariah membulatkan matanya tidak percaya. Saat Mansa menjauhkan wajahnya perlahan, ia kembali jatuh ke pelukan Azmariah.
“Sa? Mansa? Bangun!” teriak Azmariah seraya menepuk pipi Mansa berkali-kali.
Dia tidak tahu harus melakukan apa lagi. Ia mendekap Mansa dengan berlinang air mata.
@yurriansan makasih banyak kak sudah mampir^^
Comment on chapter 03. Pulang BarengAku suka nama mansa garem wkwkwkwkw
Oke kak,^^