Bahkan, cinta tumbuh dalam gulitanya malam.
……
“Sa, cerita dong,” ucap Azmariah memecah keheningan.
“Apa yang harus gue ceritakan?”
“Apapun.”
Mansa menghela napasnya lalu menatap Azmariah dalam. “Yang lo mau tahu apa?” tanyanya.
“Hm ….” Azmariah memasang pose berpikir seraya memejamkan matanya. Ia tidak sadar kalau Mansa ingin tertawa melihatnya. “Banyak!” serunya frustasi seraya membuka matanya.
“Yang paling dasar?”
“Penyakit lo,” ucap Azmariah spontan.
Mansa hanya mengerjapkan matanya beberapa kali. Kesepian di lingkungan sekolahnya membuat sura angin sangat terdengar.
Taman sekolah sangat sepi. Mereka berdua duduk di bangku taman. Mansa menghela napas lalu menjatuhkan kepalanya ke paha Azmariah.
Dia memegang tangan kanan Azmariah lalu mendekatkan tangan itu ke tempat jantungnya bersemayam.
“Kok ….” Azmariah membulatkan matanya tidak percaya.
“Gak berdetak, kan?” tanya Mansa lalu memejamkan matanya.
Azmariah menjauhkan tangannya lalu menepuk dahi Mansa dengan cukup kuat hingga laki-laki itu mengaduh kesakitan.
“Apa, sih?” tanya Mansa sedikit berteriak.
“Nyamuk,” gumam Azmariah lalu memperlihatkan nyamuk yang sudah mati di tangan kanannya.
Mansa menghela napasnya dan berusaha bangun, tapi Azmariah menahan dahinya agar tidak terbangun. Mansa menggenggam tangan Azmariah dan bertanya, “Kenapa?”
“Begini aja, lima menit lagi,” ucapnya.
Mansa tersenyum tipis mendengarnya. “Gantian cerita,” ucapnya.
“Cerita tentang?”
“Yang mau lo ceritakan.”
Azmariah terkekeh. Ia tidak tahu harus memulai dari mana. Sedangkan Mansa menunggu cerita darinya.
“Dulu …,” gumam Azmariah seraya menepuk dahi Mansa berkali-kali dengan perlahan. “Gue kecelakaan. Lupa di mana, tapi itu jelas tabrakan truk sama mobil yang dibawa Papa,” lanjutnya lalu tersenyum.
“Waktu itu kita berempat. Mama, Papa, gue sama adek gue Rinjani.” Azmariah mendongak dan melihat langit yang berwarna jingga. Air matanya hampir turun karena mengingat kejadian yang menyakitkan itu.
“Lalu, yang bisa selamat cuma gue …,” lirihnya. “Itupun, tangan gue gak bisa diapa-apain lagi, Sa ….”
Air mata Azmariah berhasil lolos dan jatuh ke pipi Mansa. Pada akhirnya, Mansa bangun dari tidurnya dan memeluk Azmariah dengan lembut.
Walaupun ia sudah tahu hal itu, tapi tetap saja ia merasa bersalah saat melihat Azmariah menangis di hadapannya secara langsung.
“Gue gak suka ada yang bawa-bawa orangtua gue kalau gue salah,” ucap Azmariah disela tangisnya.
“Maaf …,” bisik Mansa.
“Gue gak tahu harus gimana, Sa,” lirih Azmariah.
Mansa semakin mengeratkan dekapannya saat itu juga. Ia merasakan sesak yang sama dengan Azmariah. Air mata yang tadi mengucur membuat seragam Mansa sedikit basah.
Perlahan suara tangis Azmariah tidak terlalu tersengar lagi. Mansa melepaskan dekapannya lalu menatap mata Azmariah dengan dalam.
Siapapun akan terhipnotis dengan tatapan Mansa sekarang ini.
Tubuhnya memang dingin, sikapnya memang menyebalkan, gayanya memang terlihat paling hebat. Tapi, tatapannya sekarang sangat hangat. Melebihi apapun.
Jika hati Azmariah bukan dari batu, ia pasti sudah jatuh hati sekarang juga.
“Gue punya sesuatu buat lo, Mar.”
Azmariah mengerjapkan matanya beberapa kali lalu tersenyum tipis. “Apa?”
Mansa menarik lalu menghela napasnya dengan hati-hati. Ia kembali menatap Azmariah dengan dalam. “Kita pulang dulu, gue antar,” ucapnya.
Azmariah menyiritkan dahinya lalu mengangguk dengan ragu.
Mereka berjalan ke parkiran dengan sunyi. Azmariah memiliki satu pertanyaan lagi, namun ia ragu untuk menanyakannya.
“Sa, boleh nanya?”
“APa?”
“Suhu badan lo … normalnya berapa?” tanya Azmariah hati-hati.
“Delapan belas derajat.”
Azmariah mengangguk lalu terkekeh.
“Kenapa?” tanya Mansa.
Azmariah menggeleng pelan lalu tersenyum. “Sama kayak suhu ruangan kelas, ya? Delapan belas derajat,” ucapnya.
“Kalau lo kangen gue, lo ingat aja suhu kelas. Pasti keingat,” ucap Mansa.
“Kok gitu? Seharusnya jangan diingat, dong?”
Mansa menoleh ke Azmariah yang ada di belakangnya. “Kenapa?”
“Iya, kalau diingat nanti nambah kangen, gak bisa ketemu akhirnya tersiksa sendiri, kan?” balas Azmariah lalu berjalan mendahului Mansa.
“Ngaruh, ya?” gumam Mansa lalu mendekati Azmariah.
Ia menyalakan mesin motornya dan menyuruh Azmariah naik.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya mengobrol seperti biasa. Kadang, Mansa terlihat konyol jika dihadapan teman-temannya.
Namun, di depan Azmariah jarang sekali dia seperti itu. Dia hanya merasa senang jika Azmariah senang.
Sesampai di depan rumah Azmariah, ia melepas helm dan menunggu Azmariah masuk ke dalam rumahnya.
“Dari dulu gue bingung,” gumam Azmariah. “Kok, lo tahu rumah gue? Waktu pertama kali lo antar, gue gak ada kasih arah jalan, kan?” tanya Azmariah.
“Oh, itu. Rahasia.” Mansa memangku wajahnya dengan tangan kanannya lalu terkekeh.
Azmariah memicingkan matanya lalu mundur beberapa langkah seraya tersenyum kea rah Mansa. “Gue masuk, ya?”
Mansa mengangguk.
“Sampai besok,” lanjut Azmariah lalu melambaikan tangan.
Mansa memakai helm miliknya kembali. Dan pergi meninggalkan Azmariah yang masuk ke rumahnya.
@yurriansan makasih banyak kak sudah mampir^^
Comment on chapter 03. Pulang BarengAku suka nama mansa garem wkwkwkwkw
Oke kak,^^